BAB 7: Dia Nanya Namaku!
Selasa pagi di SMPN 3 Balung terasa berbeda. Matahari belum tinggi, tapi hati Dzakwan sudah membumbung. Bukan karena nilai ulangan matematika (yang kemungkinan besar merah), tapi karena satu kalimat sederhana yang masih terputar dalam kepalanya semalam:
“Aku tunggu ya...”
Tiga kata dari Syavira yang cukup membuatnya menulis ulang puisi tiga kali, menghapus, lalu menulis ulang lagi. Dan pagi ini, ia membawa puisi itu, diselipkan rapi dalam map plastik bening, siap untuk diserahkan.
Tapi ada satu masalah besar.
Bagaimana caranya menyerahkan tanpa kelihatan seperti anak SMP yang sedang naksir berat?
Padahal… ya memang itu kenyataannya.
---
Rencana yang (Hampir) Gagal
“Jadi, kamu mau kasih puisi ini langsung ke dia?” tanya Rifky saat mereka duduk di bangku taman belakang sebelum bel masuk.
“Enggak langsung, sih… pengennya nitip aja. Tapi nggak ada yang bisa dititipin.”
“Lah, kamu bisa nitip ke angin. Mungkin angin akan menyampaikan isi hatimu,” ucap Rifky sambil memainkan ranting pohon.
“Serius dikit napa.”
“Yaudah, aku ada ide,” kata Rifky, mendekatkan mulut ke telinga Dzakwan. “Kamu pura-pura tanya soal mading. Terus bilang kamu punya tulisan, trus kasih deh... Sok misterius dikit, pasti bikin penasaran.”
“Hmm…”
“Kalau kamu takut, aku yang kasih... Tapi nama penulisnya tak ubah jadi Rifky Saputra.”
Dzakwan langsung merebut mapnya. “Heh, jangan!”
---
Pertemuan (Tak Sengaja) Lagi
Saat istirahat pertama, seperti dipanggil semesta, Dzakwan melihat Syavira berdiri di depan papan mading sekolah. Tangannya sibuk menyusun kertas-kertas berisi artikel dan gambar. Kakinya berdiri jinjit, berusaha menempel kertas paling atas.
Dzakwan menarik napas dalam-dalam. Lalu melangkah.
“Eh… Kak Syavira?”
Syavira menoleh. “Oh, hai! Kamu Dzakwan, kan?”
Deg!
Dzakwan sempat membeku.
Dia nanya namaku! Dia inget namaku! Bahkan dia nyebut tanpa salah!
“I-iya... hehe,” jawab Dzakwan kaku. “Aku... ini, ada tulisan. Kalau Kakak masih mau terima buat mading…”
Wajah Syavira langsung berbinar. “Serius? Wah, boleh banget! Kamu tulis sendiri?”
“Iya,” ucap Dzakwan sambil menyerahkan map plastik itu.
Syavira mengambilnya hati-hati, seperti benda berharga. “Makasih ya. Aku baca nanti sore, ya? Kalau bagus, kita muat di edisi minggu depan!”
“Oh, iya... makasih juga udah mau baca.”
“Eh, kamu udah pernah kirim sebelumnya?”
“Belum pernah sih... baru kali ini coba-coba.”
“Wah, hebat. Berarti kamu anaknya berani juga ya,” ucap Syavira sambil tersenyum. “Nanti kalau udah naik cetak, aku kasih lihat dulu sebelum dipajang, ya?”
Dzakwan hanya bisa mengangguk.
Syavira pun kembali ke urusannya. Tapi bagi Dzakwan, itu bukan sekadar obrolan ringan. Itu seperti… wawancara kerja cinta yang berhasil dilewati.
---
Pulang Sekolah dengan Detak yang Berbeda
Saat jam pulang, Rifky menunggu Dzakwan di gerbang sambil ngemil keripik singkong.
“Gimana? Udah kasih?”
“Udah,” jawab Dzakwan singkat.
“Wah, progres! Besok dia bawa balasan nggak? Mungkin surat cinta balik? Atau... lembar penolakan?” goda Rifky.
“Yah, lihat aja besok...”
Tapi dalam hati, Dzakwan menyimpan harapan besar. Bahkan langkah kakinya terasa lebih ringan dari biasanya.
Malam harinya, ia tidur lebih cepat, berharap mimpi malam ini dipenuhi Syavira—dan puisi di halaman 42 itu akan jadi alasan mereka makin dekat.
---
Di Sudut Kelas 9E...
Sementara itu, Syavira duduk di meja belajarnya. Ia membuka map plastik bening itu, dan menemukan selembar kertas tulisan tangan. Di sudut kanan bawah, tertulis:
> Untuk Kak Syavira – dari Dzakwan, 8A.
Ia membaca perlahan. Kalimat demi kalimat. Lalu senyum kecil terbentuk di wajahnya. Bukan senyum basa-basi. Tapi senyum yang muncul ketika hati disentuh dengan tulus.
“Kamu lucu juga, Dzakwan,” bisiknya sendiri.
Lalu ia menaruh kertas itu di dalam buku tulisnya. Disimpan.
Bukan dibuang.
---
[Bersambung ke Bab 8: Gengsi bikin Pusing]
---
Share this novel