Chapter 6

Fantasy Series 60

---

BAB 6: Mencari Alasan untuk Dekat

Senin pagi datang lagi, membawa suara bel masuk yang tak pernah terasa semenyakitkan ini. Dzakwan berdiri di depan gerbang sekolah, menatap para siswa yang berdatangan satu per satu. Tapi matanya hanya mencari satu orang. Satu senyum. Satu langkah kaki yang membuat degup jantungnya berubah jadi orkestra.

Syavira.

Tapi sejak pertemuan di lorong Jumat lalu, Dzakwan belum lagi melihatnya. Tidak di kantin, tidak di koridor, bahkan tidak di lapangan waktu upacara. Syavira seakan menghilang dari radar.

Padahal, Dzakwan sudah menyiapkan banyak hal. Bahkan dia mulai rajin ke perpustakaan. Bukan untuk baca buku—tapi buat cari alasan. Alasan untuk bisa ketemu lagi.

---

Misi Perpustakaan Dimulai

“Ngapain kamu ke sini lagi?” tanya Bu Nirmala, pustakawan senior, heran melihat Dzakwan muncul untuk ketiga kalinya dalam dua hari.

“Eh... cari buku tentang... ekosistem hutan hujan tropis, Bu,” jawab Dzakwan, asal sebut.

“Loh, bukannya minggu lalu kamu minjem ‘Tumbuhan Langka di Indonesia’?”

“Iya, Bu. Tapi saya butuh pembanding data,” ucap Dzakwan sambil berusaha terdengar ilmiah.

Bu Nirmala menyipitkan mata, lalu mengangguk pelan. “Pintar juga kamu sekarang ya…”

Padahal, alasan utamanya sederhana: Syavira sering ke perpustakaan. Katanya, dia pengurus bagian dokumentasi majalah dinding sekolah. Jadi harapan Dzakwan cuma satu—ketemu dia, walau cuma sebentar.

---

Rifky, Sahabat yang Kebablasan

Saat istirahat kedua, Rifky menepuk bahu Dzakwan dengan ekspresi geli.

“Bro, jujur aja. Kamu ke perpus bukan nyari buku, tapi nyari cinta, ya?”

“Gak semua orang seperti kamu yang cuma ke kantin buat beli tahu isi,” balas Dzakwan.

“Eh, tahu isi itu cinta juga. Cinta pada rasa!” seru Rifky dramatis. “Tapi serius, kalau kamu mau deketin kakak kelas, ya harus gerak. Jangan cuma nunggu dia nyapa dulu.”

Dzakwan mendesah. “Gue... eh, aku udah nyoba. Tapi kayaknya... susah.”

“Gak ada yang susah buat cowok niat. Nih ya, kamu bikin aja rencana. Misi. Target. Misalnya: ‘Hari ini harus ngomong minimal tiga kalimat ke Syavira.’ Gitu. Kayak main game, ada misinya.”

Dzakwan terdiam. Sebenarnya... masuk akal juga.

---

Strategi Baru: Minjam Buku

Saat sore, Dzakwan menulis rencana barunya di buku catatan kecil:

> Target: Dekat dengan Syavira, tapi tetap kalem dan tidak memalukan.

Langkah 1: Cari buku yang Syavira suka. Langkah 2: Pinjam duluan. Langkah 3: Balikin bareng—biar bisa ngobrol.

Catatan: Jangan gugup. Jangan salah sebut nama. Jangan lupa napas.

Esok paginya, Dzakwan berangkat lebih awal dan langsung menuju perpustakaan. Ia memilih duduk di pojok ruangan, lalu mulai membuka daftar peminjaman buku.

Di sana, matanya langsung menangkap tulisan tangan dengan nama “Syavira Putri A.”
Buku yang ia pinjam terakhir: “Kumpulan Cerita Pendek Inspiratif Remaja.”

Dzakwan mencari buku itu di rak. Dapat. Masih satu eksemplar tersisa. Ia mengambilnya cepat-cepat, lalu menuju meja pustakawan.

Saat sedang antri, tiba-tiba ada suara lembut di belakangnya.

“Eh... kamu juga suka buku itu?”

Dzakwan hampir menjatuhkan bukunya.

SYAVIRA.

Langsung. Live. Tanpa buffering.

---

Degup yang Tertangkap

Dzakwan menoleh pelan. Syavira berdiri di belakangnya, mengenakan jaket OSIS dan membawa map penuh kertas.

“I-ini... aku cuma iseng aja, Kak.”

Syavira tersenyum. “Aku suka banget cerita pendek di halaman 42. Tentang anak yang takut tampil di panggung, tapi akhirnya berani karena lihat senyum ibunya.”

“Oh... aku belum baca sampe situ,” kata Dzakwan, walau jelas dia belum baca sama sekali.

“Kalau kamu udah baca, cerita-cerita kayak gitu bisa ngubah cara kita lihat orang lain, loh,” ucap Syavira pelan, lalu menyodorkan bukunya ke pustakawan.

Dzakwan terdiam. Bukan karena tidak paham, tapi karena matanya tidak bisa berpaling dari wajahnya. Di antara kata-kata, waktu, dan tumpukan buku, dia tahu—dia ingin lebih dekat. Tapi bukan hanya sebagai adik kelas yang lewat, melainkan sebagai seseorang... yang bisa bikin Syavira tersenyum setiap hari.

---

Pulang dengan Harapan

Setelah meminjam buku, mereka berjalan keluar perpustakaan bersamaan.

“Kamu suka nulis juga?” tanya Syavira.

“Sedikit. Paling nulis di buku catatan gitu.”

“Wah, keren. Nanti kalau kamu ada tulisan yang bagus, boleh dong dimasukin ke mading sekolah.”

“Eh... boleh, boleh banget,” kata Dzakwan, walau dadanya mendadak kencang.

“Kalau mau, kamu bisa kasih ke aku dulu. Biar aku editin.”

“Serius?”

“Serius. Aku tunggu ya,” ucap Syavira sambil melangkah pergi.

Dan kali ini, bukan hanya senyum yang tertinggal—tapi janji. Janji kecil yang membuat Dzakwan mengenggam bukunya erat-erat seperti sedang membawa harapan paling berharga dalam hidupnya.

---

Di kamar malam itu, Dzakwan membuka halaman buku pinjamannya. Tapi bukan untuk membaca. Ia mengambil kertas kosong dan mulai menulis.

> “Kak Syavira, ini bukan puisi. Tapi kalau kamu baca, mungkin kamu akan tahu... Aku ingin dekat. Bukan karena kamu cantik. Tapi karena senyummu... bikin dunia aku lebih tenang.”

Dzakwan tersenyum kecil. Lalu menyelipkan kertas itu di halaman 42.

Halaman yang katanya... paling menyentuh.

---

[Bersambung ke Bab 7: “Dia Nanya Namaku!”]

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience