Chapter 5

Fantasy Series 60

---

BAB 5: Senyumnya Masih Sama

Hari Jumat datang dengan langit cerah dan angin lembut yang menggoyang ujung-ujung bendera di tiang halaman sekolah. Di SMPN 3 Balung, hari Jumat artinya pulang lebih cepat, tapi juga waktunya kegiatan Jumat Bersih dan senam pagi.

Dzakwan, seperti biasa, datang dengan rambut sedikit acak-acakan dan mata yang masih setengah kantuk. Tapi sejak Senin kemarin—sejak insiden map plastik itu—ia punya energi lebih untuk datang lebih pagi.

“Kamu ngarep ketemu Syavira lagi, ya?” bisik Rifky sambil menyapu halaman kelas dengan sapu lidi yang sudah kehilangan sebagian bulunya.

“Enggak,” jawab Dzakwan cepat. “Cuma pengen bantu-bantu aja.”

“Bantu nyapu harapan kamu sendiri?”

Dzakwan melempar daun kering ke wajah Rifky. Tapi dalam hati, dia tahu Rifky benar.

---

Pertemuan di Lorong Utara

Setelah senam, semua siswa disuruh membersihkan lingkungan sekitar. Dzakwan kebagian lorong utara—jalan kecil yang menghubungkan ruang UKS dengan gudang alat olahraga. Lorong itu jarang dilewati, sepi, dan... tempat yang cukup strategis untuk bertemu siapa pun secara "tak sengaja".

Dan seperti takdir yang mengerti isi hati Dzakwan, saat dia sedang memunguti sampah kertas di ujung lorong...

“Eh... kamu adik kelas, ya? Yang kemarin bantuin Bu Lina?”

Suara itu. Suara lembut yang masih terngiang dari mimpi beberapa malam lalu.

Dzakwan menoleh cepat.

Syavira berdiri tak jauh darinya, mengenakan seragam olahraga sekolah dengan jaket ungu tergantung di lengannya. Rambutnya diikat ke belakang, tapi beberapa helai jatuh ke pipinya, membuat wajahnya terlihat lebih manis dari biasanya.

“Eh... iya, aku...”
Dzakwan tercekat. Suaranya nyangkut di tenggorokan.

“Afla Dzakwan, kan?” tanya Syavira sambil tersenyum kecil.

Dan saat itu juga, waktu seolah berhenti.

Dia masih ingat namaku.
Dia senyum.
Senyumnya... masih sama.
Manis. Hangat. Dan bikin lutut Dzakwan lemas seperti habis lari keliling lapangan tiga putaran.

---

Obrolan yang Gugup

“Aku mau ambil buku di ruang OSIS, tapi tadi lorongnya ditutup. Jadi lewat sini aja,” jelas Syavira.

“Oh... iya, iya... aku bersih-bersih,” jawab Dzakwan, padahal jelas-jelas dia cuma berdiri sambil memegang kantong kresek setengah kosong.

“Waktu itu, makasih ya. Kamu udah bantu anterin map buat Bu Siti,” kata Syavira.

“Iya, sama-sama...”
Ada jeda canggung. Dzakwan menggaruk kepala padahal tidak gatal.

“Kamu kelas 8A ya?” tanya Syavira lagi.

“Iya. Kakak kelas 9E, kan?”
Baru kali ini Dzakwan bisa menyebutnya ‘kakak kelas’ tanpa suara bergetar.

“Iya, hehe.”
Dan dia tersenyum lagi. Senyum itu. Senyum yang entah bagaimana terasa seperti matahari pagi setelah semalam hujan deras.

---

Momen Kecil, Dampak Besar

Beberapa detik berlalu tanpa kata. Angin lewat pelan, membawa aroma wangi dari sabun pembersih lantai yang baru disiram di kelas sebelah.

“Eh... aku duluan ya,” kata Syavira akhirnya. “Mau ke ruang OSIS.”

“Oh, iya. Hati-hati... eh, maksudnya... semangat!”

Dzakwan hampir menampar dirinya sendiri. Kenapa dia harus kedengaran seperti penyiar radio?

Syavira hanya tertawa kecil. “Kamu juga semangat ya, bersih-bersihnya.”

Lalu dia pergi, meninggalkan jejak langkah yang entah kenapa terasa bergema di kepala Dzakwan.

---

Kembali ke Meja Kayu di Kelas 8A

Pulang sekolah, Dzakwan duduk lagi di bangkunya. Kali ini, dia tidak menulis nama Syavira. Dia cuma membuka halaman kosong, lalu menulis:

> Hari ini, dia tersenyum. Untukku.
Dan senyumnya... masih sama.

Lalu ia menutup buku itu pelan, seperti menyimpan harta karun.

Karena bagi Dzakwan, meski tak ada ucapan cinta, meski belum ada chat di WhatsApp, tapi satu senyum yang tulus... bisa lebih membekas dari seribu pesan.

---

[Bersambung ke Bab 6: Mencari Alasan untuk Dekat]

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience