Chapter 4

Fantasy Series 60

---

BAB 4: Nama yang Tak Pernah Lupa

Pagi itu suasana di SMPN 3 Balung terasa sedikit lebih sejuk. Gerimis semalam menyisakan aroma tanah basah yang menyelinap sampai ke dalam kelas 8A. Dzakwan datang lebih pagi dari biasanya, dan itu bukan tanpa alasan.

Ia duduk di bangkunya, membuka buku catatan, lalu menuliskan satu nama dengan pulpen biru:

Syavira.

Nama itu tidak asing. Tidak sulit diucapkan. Tapi rasanya... terlalu indah untuk hanya disebut sekali. Ada sesuatu dalam nama itu yang membuat dada Dzakwan berdebar hanya dengan menulisnya.

Rifky datang tergesa, sambil mengunyah sisa gorengan. “Hah, kamu ngapain pagi-pagi udah nulis di buku? Biasanya kamu ngantuk.”

Dzakwan buru-buru menutup halamannya. “Nggak... cuma catatan.”

Rifky menatapnya curiga. “Catatan atau nama?”

“Apaan sih,” elak Dzakwan, pipinya langsung merona. Ia tahu, Rifky terlalu jeli soal hal begini.

Namun yang Rifky tak tahu, malam tadi Dzakwan bermimpi.

Mimpi aneh. Ia berdiri di tengah lapangan sekolah, dikelilingi teman-teman sekelas yang tertawa keras. Dan dari kejauhan, Syavira datang membawa buku. Ia tersenyum, lalu memanggil namanya.

“Afla Dzakwan, ya?”

Itu saja. Tapi dalam mimpi, suara Syavira terdengar seperti nyanyian paling merdu.

---

KETIKA NAMA DISEBUT

Pelajaran keempat adalah jam kosong. Satu momen langka yang sering berubah jadi ajang curhat atau kegiatan absurd. Dzakwan dan Rifky duduk di bangku belakang, main lempar kertas.

Namun tiba-tiba, suara pintu diketuk pelan. Bu Lina dari kelas 9E muncul di pintu.

“Afla Dzakwan, boleh keluar sebentar?” tanyanya.

Seluruh kelas langsung bersorak, seperti biasa.

“Wuuuuu ada yang dipanggil bu guru!”

“Dzakwan ketauan nyimpen surat cinta tuh!”

Dzakwan melangkah pelan ke luar kelas, bingung. Apa salahnya?

Tapi ternyata, Bu Lina hanya menitipkan pesan dari salah satu murid kelas 9E.

“Syavira tadi minta tolong dikasih ini,” kata Bu Lina, menyodorkan satu map plastik.

“Untuk Bu Siti ya, katanya Syavira nggak sempat ngantar sendiri,” jelasnya.

Dzakwan mengangguk cepat. Tapi pikirannya bukan soal map itu. Pikirannya hanya fokus pada satu kalimat:

“Syavira tadi minta tolong...”

Syavira tahu namanya. Syavira menyebut namanya. Syavira...

Menyebut namanya!

---

KEMBALI KE KELAS

Begitu masuk kembali ke kelas, Dzakwan seperti berjalan di atas awan. Map plastik biru di tangannya terasa sangat ringan. Senyumnya tidak bisa disembunyikan.

Rifky menyambut dengan tatapan heran. “Apa itu?”

“Titipan buat Bu Siti,” jawab Dzakwan singkat.

“Tapi dari siapa?”

Dzakwan menunduk, lalu menjawab pelan.

“Dari Syavira.”

Rifky hampir jatuh dari kursinya. “Apa?! Syavira?! Kakak kelas kamu itu?! Gila, gila, gila!”

Dzakwan hanya senyum kecil. Tapi dalam hati, dia menjerit:

Dia tahu namaku. Dia ingat. Bahkan mungkin... dia penasaran.

---

SORE DI WARUNG SEBELAH SEKOLAH

Pulang sekolah, Dzakwan dan Rifky mampir ke warung kecil dekat gerbang. Mereka membeli es teh dan sempol, seperti biasa.

“Kwan, aku serius nanya,” kata Rifky sambil menyeruput es teh. “Kamu udah bener-bener jatuh cinta, ya?”

Dzakwan menghela napas pelan. “Aku nggak tahu, Rif. Tapi... setiap kali aku nulis namanya, hati aku tenang. Tapi sekaligus deg-degan.”

“Kamu yakin bisa nahan semua ini tanpa bilang apa-apa?”

Dzakwan diam sejenak. Lalu berkata lirih, “Untuk sekarang... tahu dia ingat nama aku aja, itu udah cukup.”

Dan itu benar. Karena bagi Dzakwan, nama itu adalah pengingat. Tentang perasaan pertama, tentang tatapan yang diam-diam, dan tentang senyum yang tak bisa ia lupakan.

Syavira.

Nama yang tak pernah lupa.

---

[Bersambung ke Bab 5: Senyumnya Masih Sama]

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience