---
BAB 3: Tatapan Curi-Curi
Pagi itu, matahari baru saja naik beberapa senti di langit Balung. Suasana sekolah mulai ramai oleh langkah-langkah tergesa dan suara tawa pelajar yang memenuhi udara pagi. Di dalam kelas 8A, Dzakwan sudah duduk di bangkunya sejak bel belum berbunyi. Ia menatap papan tulis dengan wajah serius, pura-pura menyalin catatan yang sebenarnya belum ada. Matanya sesekali melirik ke arah jendela.
Lorong depan kelas masih kosong.
Tak lama kemudian, Rifky datang dengan ransel yang tergantung miring dan langkah malas seperti biasa. Ia langsung menjatuhkan diri ke kursi sambil bersandar.
“Masih nungguin dia lewat?” tanyanya sambil membuka resleting tas.
Dzakwan menoleh cepat. “Siapa?”
“Yaaa siapa lagi. Kakak kelas favorit nasional itu.” Rifky terkekeh, suaranya mengejek tapi akrab.
Dzakwan hanya membalas dengan senyum malu. Sejak kejadian di lorong kemarin, pikirannya dipenuhi oleh satu nama: Syavira. Bukan cuma karena senyumnya yang lembut, tapi karena... tatapan itu. Tatapan singkat yang terasa seperti cerita panjang, meski hanya berlangsung dalam hitungan detik.
Dan benar saja, beberapa menit kemudian, langkah-langkah dari arah tangga mulai terdengar. Detak jantung Dzakwan berpacu seperti alarm yang mendadak berbunyi. Ia menunduk, tapi bola matanya tak bisa menahan diri untuk melirik ke arah luar jendela.
Sosok itu muncul.
Syavira.
Hari ini ia mengenakan cardigan abu-abu di luar seragam putih birunya. Rambutnya diikat dua kuncir rendah, dan sebuah tas selempang kecil tergantung manis di pundaknya. Cara berjalannya santai, dan seperti biasa... dia tersenyum. Senyum yang tidak pernah terasa sama dengan yang lain.
Dzakwan pura-pura menulis, meski ujung pensilnya sudah hampir habis. Matanya terus mencuri pandang, mencuri momen yang tak bisa ia dapatkan secara langsung.
“Bro, nulis apa sih sampai pensilnya udah dua senti?” bisik Rifky sambil melongok ke buku catatan Dzakwan yang ternyata... kosong.
“Eh, ganggu aja,” sahut Dzakwan cepat, menutupi malu.
Rifky nyengir. “Kalau mau lihat, ya lihat aja. Tatapan cowok jatuh cinta tuh nggak bisa disembunyiin. Ketahuan dari cara lo megang pensil aja udah kayak nulis surat cinta.”
“Gila. Mana berani gue nyapa. Dia kakak kelas. Nanti gue dikira sok kenal, sok deket.”
“Yaudah, lanjut curi-curi pandang aja sampai pensiun sekolah,” sahut Rifky santai.
Dzakwan kembali melirik ke luar. Tapi Syavira sudah menghilang di ujung lorong. Ia menelan ludah pelan. Rasanya seperti kehilangan sesuatu yang belum sempat benar-benar dimiliki.
---
ISTIRAHAT PERTAMA
Di dekat taman sekolah, di bawah pohon ketapang yang rindang, Dzakwan dan Rifky duduk sambil menikmati es mambo. Tangan Dzakwan menggenggam plastik leleh berwarna ungu, sementara matanya... terus bergerak, menyapu halaman seperti sedang mencari harta karun.
“Lu tahu nggak, Rif. Katanya, tatapan pertama itu biasa. Tapi tatapan diam-diam... itu yang bikin hati nggak tenang,” ujar Dzakwan pelan.
Rifky menoleh cepat. “Lu ngutip dari mana tuh? Buku filsafat cinta SMP?”
“Enggak. Dari hati gue sendiri.”
Rifky tertawa keras. “Waduh, gawat. Udah mulai jadi penyair, nih. Bentar lagi bikin puisi buat Syavira.”
Dzakwan hanya tersenyum kecil. Karena sebenarnya, puisi itu... sudah ia tulis. Di halaman belakang buku tulis Bahasa Indonesia.
> Tatapmu, diam tapi membakar.
Senyummu, ringan tapi menjerat.
Dan aku, hanya siswa kelas delapan
Yang jatuh... dalam diam.
Ia belum berani menunjukkan puisi itu pada siapa pun. Bahkan pada Rifky, sahabatnya sendiri. Karena buat Dzakwan, perasaan ini terlalu rapuh. Terlalu dalam untuk dijadikan bahan candaan.
---
SIANG HARI DI PERPUSTAKAAN
Pelajaran terakhir hari itu adalah Bahasa Indonesia. Bu Linda meminta seluruh kelas untuk pergi ke perpustakaan, mencari buku referensi tentang puisi dan pantun.
Dan takdir, seperti biasa, bekerja dengan cara yang misterius.
Dzakwan yang sedang menyusuri rak bagian “K”, tiba-tiba mendengar suara yang tak asing. Tawa ringan. Terdengar dari arah rak “F”. Ia menoleh perlahan.
Di sana, berdiri seseorang yang membuat waktu seakan berhenti sejenak.
Syavira.
Ia sedang membolak-balik buku dengan wajah serius. Cardigan abu-abunya terlihat kontras dengan warna rak yang pudar. Dzakwan menahan napas. Ia berusaha menoleh ke arah lain, tapi jantungnya sudah terlanjur berdetak tak beraturan.
“Wan... itu si kakak kelas lo, kan?” bisik Rifky sambil pura-pura ikut mencari buku.
“Iya... iya... iya...” jawab Dzakwan nyaris tanpa suara.
“Coba tatap dia lagi. Siapa tahu... dia juga liat lo.”
Awalnya, Dzakwan ragu. Tapi entah karena nekat atau penasaran, ia akhirnya menoleh.
Dan Syavira... sedang melihat ke arahnya.
Tatapan itu terjadi hanya sekejap. Tapi cukup untuk membuat Dzakwan tak bisa bernapas. Apalagi ketika Syavira tersenyum—lagi.
Refleks, Dzakwan menunduk. Tangan gemetar. Ia mengambil buku tanpa sadar, dan membukanya dari belakang.
“Waduh, dia liat! Rif, dia tadi liat gue!” bisiknya terburu-buru.
“Trus? Ekspresinya gimana?”
“Senyum... senyum kecil gitu...”
Rifky menepuk bahu Dzakwan. “Tatapan curi-curi lo berhasil, bro.”
Dzakwan geleng-geleng pelan. “Gue takut dia jadi curiga gue suka dia.”
“Memang lo suka, kan?”
Pertanyaan itu dibiarkan menggantung.
Dzakwan diam. Tapi diamnya adalah jawaban yang paling jujur.
---
MALAM HARI DI KAMAR
Seperti malam sebelumnya, Dzakwan membuka buku tulisnya yang mulai lusuh di bagian belakang. Ia menambahkan bait baru:
> Tatapku diam. Tatapmu tahu.
Tapi tetap kita berpura-pura tak saling tahu.
Ia membaca ulang tulisan itu beberapa kali, seolah ingin memastikan perasaannya benar. Lalu ia menutup buku, menatap langit-langit kamar.
“Besok... aku tatap dia lagi. Sekali saja cukup.”
Tapi Dzakwan tahu—tidak akan pernah cukup. Karena setiap kali ia melihat Syavira, rasanya seperti membuka halaman baru dari cerita yang belum selesai. Dan mungkin, belum akan selesai untuk waktu yang lama.
---
[Bersambung ke Bab 4: Nama yang Tak Pernah Lupa]
Karena terkadang, cinta tidak dimulai dari kata-kata. Tapi dari mata... yang saling mencari meski berpura-pura tak peduli.
Share this novel