Chapter 2

Fantasy Series 60

---

BAB 2: GUGUP DI LORONG SEKOLAH

---

Lorong panjang antara ruang guru dan perpustakaan biasanya sepi, apalagi sebelum jam istirahat tiba. Namun pagi ini, sekitar pukul 07.25, dua pasang langkah kaki terdengar menggema di sana. Itu adalah Dzakwan dan Rifky, dua siswa kelas 8A, yang baru saja diminta oleh Bu Guru Bahasa Indonesia untuk mengambil majalah dinding yang tertinggal di meja ruang guru.

“Ayo cepat, Wan. Nanti bel masuk,” ucap Rifky sambil mempercepat langkah.

Dzakwan mengangguk, tapi justru langkahnya melambat. Ia tahu benar—lorong ini bukan lorong biasa. Di tempat inilah ia pernah melihat Syavira dari jarak sangat dekat untuk pertama kalinya. Sejak saat itu, lorong ini menjadi tempat yang membuat jantungnya berdebar lebih cepat setiap kali melewatinya.

“Kamu kenapa jalannya pelan banget? Mau kalah lomba jalan santai?” goda Rifky setengah sarkastik.

“Nggak. Aku cuma… pengen santai aja jalannya,” jawab Dzakwan sambil berpura-pura tenang, meskipun dalam hati sebenarnya kalut.

Dan benar saja.

Saat mereka hampir melewati pintu UKS, terdengar suara tawa ringan—renyah dan familiar. Suara yang belakangan ini terlalu sering muncul dalam mimpi Dzakwan.

Ia langsung menoleh. Di ujung lorong, muncul sosok yang membuat waktu terasa melambat. Syavira.

Rambutnya hari ini digerai, tidak dikuncir seperti biasa. Ia mengenakan jaket sekolah tipis berwarna abu-abu yang dibiarkan terbuka, memperlihatkan dasi biru yang rapi dan seragam yang selalu bersih tanpa cela. Bersamanya ada dua teman sekelas, tapi mata Dzakwan hanya fokus pada satu orang—dia.

Langkah mereka semakin dekat. Jarak kini tinggal tiga meter.

Dzakwan mulai panik. Apa yang harus dilakukan? Menunduk? Menyapa? Senyum? Atau berpura-pura tak melihat?

Detik-detik itu terasa seperti seabad. Jantungnya berdetak kencang, seperti ingin meloncat keluar. Tangannya mulai berkeringat.

Lalu… Syavira menoleh. Tatapan mata bulat bening itu menangkap pandangan Dzakwan. Dan kemudian, senyum itu muncul. Lembut, tulus, dan—entah kenapa—terasa hangat sekali.

“Pagi,” ucapnya singkat, tapi terasa sangat dalam di hati Dzakwan.

BOOM.

Dzakwan membeku. Bibirnya bergerak perlahan, berusaha membalas. “Pa—pagi juga...” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.

Beberapa detik kemudian, Syavira dan teman-temannya telah lewat. Tapi aroma manis momen tadi masih tersisa di udara.

Rifky menoleh dengan ekspresi geli. “Barusan kamu gugup banget. Serius, aku kira kamu mau pingsan.”

Dzakwan tak menjawab. Ia masih berdiri di tempat, menatap kosong ke ujung lorong, seperti seseorang yang baru saja ditampar kenyataan indah.

“Eh, kamu sadar nggak tadi Syavira nyapa duluan?” tanya Rifky lagi.

Dzakwan mengangguk pelan, pipinya memerah. “Sadar… dan itu… suara paling merdu yang pernah aku dengar.”

Rifky tertawa lepas. “Wah, parah. Kamu udah kelelep, bro.”

---

DI KELAS 8A, LIMA MENIT KEMUDIAN

Begitu kembali ke kelas, Dzakwan duduk dengan wajah memerah. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, mencoba menyembunyikan ekspresi gugup yang belum hilang. Sementara itu, Rifky sudah sibuk bercerita ke teman-teman dengan versi dramatis yang tentu saja dilebih-lebihkan.

“Barusan itu lho, Dzakwan kaya robot yang korslet. Pas ketemu Syavira langsung freeze. Aku sampai takut dia kena stroke ringan!” serunya, disambut tawa teman-teman sekelas.

“Wah, Dzakwan suka kakak kelas ya?” celetuk Nino sambil tertawa.

Dzakwan hanya bisa menarik napas panjang. “Kenapa tadi aku nggak senyum balik aja sih?” gerutunya dalam hati.
Padahal momen kecil tadi—ketika Syavira menyapa duluan—sudah lebih dari cukup untuk membuat hatinya bergetar.

---

DI BUKU CATATAN PRIBADI DZAKWAN (YA, DIA PUNYA)

> Hari ini, jam 07.27 pagi. Syavira bilang ‘pagi’ ke aku lebih dulu. Aku jawab, walaupun agak gugup.
Tapi dia tersenyum juga. Dan itu cukup untuk membuat semangatku naik 300%.
Besok… aku akan coba lebih berani.

Catatan: Jangan nunduk terus, Dzakwan. Kamu laki-laki!

---

KEESOKAN PAGI

Dzakwan sudah siap sejak subuh. Rambut disisir rapi, seragam disetrika sendiri, sepatu dibersihkan dua kali. Di dalam tasnya, ia menyelipkan sebuah penghapus kecil baru, dibungkus tisu bersih. Rencananya sederhana—kalau hari ini ada kesempatan ngobrol, ia akan pura-pura minjem penghapus.

Strategi remaja SMP yang polos dan manis.

Tapi begitu Syavira lewat, Dzakwan… hanya bisa menunduk. Lagi.

Namun, tidak sepenuhnya gagal.

Karena Syavira… masih tersenyum balik.
Dan itu saja sudah cukup membuat pagi Dzakwan sempurna.

---

SAAT ISTIRAHAT KEDUA

Di kantin, tempat paling ramai dan penuh cerita, Dzakwan dan Rifky duduk di bangku biasa. Kali ini, Dzakwan membawa bekal dari rumah—mie goreng dengan telur dadar. Ia makan perlahan sambil sesekali melirik ke meja tempat Syavira biasa duduk.

Dan ya—di sanalah dia. Duduk santai sambil tertawa pelan dengan teman-temannya. Tapi ada yang berbeda.

Syavira melihat ke arahnya. Lagi. Dan—yang membuat jantung Dzakwan hampir berhenti—ia mengangguk kecil.

Tanpa pikir panjang, Dzakwan reflek melambaikan tangan. Tapi begitu sadar apa yang ia lakukan, ia langsung menarik tangan kembali, wajahnya merah padam.

Rifky, yang melihat semuanya, menggeleng pelan. “Kamu makin hari makin gila, Wan. Tapi, aku salut. Setidaknya kamu mulai berani.”

Dzakwan hanya tersenyum. Ia tidak berkata apa-apa. Tapi hatinya bahagia.

---

MALAM HARI DI KAMAR

Dzakwan membuka kembali buku catatannya. Ia menulis pelan, hati-hati, seperti sedang menuangkan sesuatu yang sangat berharga.

> Hari kedua. Senyum. Dibalas. Lambaikan tangan. Dia melihat.

Kecil. Tapi cukup untuk membuat aku semakin yakin.
Aku jatuh cinta.
Dan aku akan coba lebih berani.

Besok? Mungkin... aku akan bilang: “Hai, Syavira.”

Semoga nyaliku cukup.

---

[Bersambung ke Bab 3: Tatapan Curi-Curi]
Karena cinta... selalu dimulai dari pandangan pertama. Atau, pandangan ke seratus kalinya—yang tetap saja bikin jantung berdebar.

---

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience