Rate

FILE 64: Sistem Pertahanan di Sarang Lebah

Mystery & Detective Series 649

Setelah melewati lobi, timnya bergerak di koridor panjang yang dindingnya terbuat dari kaca.
Di balik kaca nampak alat-alat laboratorium yang dirakit dengan mesin.

    “Sekarang saatnya inspektur … lindungi tim jangan jauh-jauh.”
    FARIL berkata sembari memberi aba-aba kepada Inspektur Anton ketika masuk ke dalam lobi ruang laboratorium. Ghost masih menunggu di luar untuk mengamati keadaan. Satu per satu tim masuk ke ruang lobi dengan senapan teracung. Waspada kepada musuh yang tak nampak. Saling melindungi satu dengan yang lain.
    Bunyi tembakan terdengar dari dalam asap yang memenuhi lobi. Tim merunduk dan menyebar untuk mengetahui arah penyerangnya.
    “Waspada hantu teman-teman … mode siluman.” Suara radio komunikasi dari Leon.
    Faril membidik dan menembak. Ia berhasil menjatuhkan sisa pasukan penjaga yang berada di lobi. Suasana yang hening membuatnya nampak gusar. Kali ini ketua tim tidak banyak membantu selain mematung di tempat. “Ini sistem acak lagi … biasanya gak begini.”
    “Hati-hati jebakan … perhatikan sekitar,” ujar Ghost mulai melihat sesuatu dari teleskopnya.
    “Hah … Ghost benar teman-teman ada jebakan laser. Seorang pasukan sempat menyalakan pendeteksi laser sebelum kujatuhkan,” ujar Faril sembari merunduk.
    “Lempar bom asap lagi gih … lobi ini bisa meleduk kalau kena laser,” ujar Mary memperingatkan.
    Inspektur Anton nyaris kehilangan konsentrasi dalam kabut asap. Cahaya laser yang menyilang membuatnya nyaris menyalakan detektor bom di dalam lobi.
    “Santai saja … kita punya waktu tak terbatas,” ujar Andri yang sedari tadi diam.
    “Yoi, kalau tewas bisa restrart lagi kan. Kalau gitu kapan kelarnya nih misi,” ujar Faril terus melangkah perlahan melewati laser yang berada di lobi.
    “Hah, di dunia game memang punya banyak waktu … tapi di dunia nyata enggak. Kalau bisa ke level tujuh malam ini juga,” ujar Ghost melalui radio komunikasi.
    “Oke ndan … siap!” ujar Akbar.
    “Kalau ada Faril bisalah.”
    “Roger that ….”
    “Jangan dekat-dekat ke dinding kaca di koridor … di tengah-tengah aja,” ujar Faril. Setelah melewati lobi, timnya bergerak di koridor panjang yang dindingnya terbuat dari kaca. Di balik kaca nampak alat-alat laboratorium yang dirakit dengan mesin. Tangan-tangan robot masih aktif merakit tanpa kesalahan dan tanpa rasa takut terhadap serangan itu.
    “Waspada kaca … pakai masker kalian,” Andri mengingatkan.
    “Emang ada apa dengan kacanya?” tanya Inspektur Anton.
    “Kalau kacanya pecah, akan tersembur gas beracun dari ruangan mesin itu … lari tim …,” Faril mulai mempercepat langkahnya ketika melihat cahaya laser dari senapan pasukan penjaga di ujung lorong.
    “Masker menghalangi pandangan,” ujar Ghost.
    “Sniper aja dari sini bos … kalau pasukan itu mendekat bisa baku tembak di koridor kaca,” ujar Leon memperingatkan.
    “Run … run … run!” seru Faril berusaha mendatangi pasukan penjaga yang mulai nampak di ujung koridor.
    “Ghost sniper dari sini,” ujar Inspektur Anton.
    “Coba aja kalau bisa jangan sampai mengenai kaca,” ujar Leon.
    Bunyi tembakan mulai terdengar dari senapan runduk Ghost. Satu per satu pasukan penjaga yang hendak memasuki koridor itu terkena headshot.
    “Ok sip! Kita beruntung punya sniper kayak Ghost,” puji Mary.
    “Good job team…,” ujar Akbar.
    Kesabaran pasukan penjaga yang masih berlindung di ujung lorong habis. Mereka memakai masker dan memuntahkan tembakan ke arah tim Faril yang sudah beberapa meter dari mereka.
    Faril merunduk dan melepas tembakan balasan. Teman-temannya melindunginya dengan tembakan dari kanan dan kiri. Bunyi kaca pecah mulai terdengar. Lubang-lubang yang terbentuk akibat tembakan membuat gas beracun tekanan tinggi berhembus keluar.
    “Udah kubilang pakai masker,” ujar Andri yang sudah sedari tadi wajahnya tertutup masker gas.
    Beberapa anggota tim yang tidak memilih memakai masker maju menerjang. Mereka bukan memiliki keberanian, namun lebih sebuah kenekatan. Lagipula tak ada yang benar-benar tewas di dalam game, hanya perlu memulai dari awal. Walau akibatnya, waktu akan terbuang percuma.
    Akbar menerjang pasukan penjaga dengan memberi tembakan satu per satu demi melumpuhkan pasukan itu. Bunyi teriakan kemarahan terdengar ketika pasukan itu nekat menarik granat untuk bunuh diri!
    “Lari ke depan!” seru Faril melalui mikrofonnya.
    “Siapa yang ngasih perintah menyerang hah?” tegur Mary.
    “Lah kalau gak maju ya tewas kena gas racun Mer,” bantah Akbar.
    “Kan udah dibilang pakai masker … ya pakailah masker,” ujar Andri.
    “Wes gak ada waktu untuk bertengkar, kita harus bersatu!” ujar Faril.
    “Gak tengkar ini bos … tapi diskusi!” seru Akbar.
    “Diskusi gundulmu,” ujar Andri.
    “Gue gak gundul bro … udah tau rambut gue keriting,” kilah Akbar lantas tergelak. Namun, suara tawanya tertutup tembakan beruntun yang datang dari enam sudut ruangan yang berbentuk segi enam. Selepas keluar dari koridor, kini mereka sampai di ruang utama yang dijaga ketat oleh senapan mesin otomatis di tiap sudutnya. Ruangan yang dijuluki sarang lebah.
    Serbuan tembakan menghantam tembok yang terbuat dari baja. Mencabik troli dan suku cadang mesin yang belum sempat dipindahkan.
    “Sembunyi dulu … atur siasat. Mulai masuk sarang lebah,” ujar Faril. “Gue ketua tim di sini, jadi dengarkan.”
    “Akbar .... denger tuh,” ujar Mary.
    Akbar tak menjawab malah menembaki senapan otomatis yang berada di sudut ruangan. Ketika ia tak menemukan tempat untuk bersembunyi, ia terpojok. Ketiga mesin senapan otomatis yang lain mengarah kepadanya. Ia jadi sasaran empuk di tengah-tengah ruangan yang berbentuk segi enam itu.
    “Gilak tuh anak!” seru Andri.
    “Oke jangan sembunyi kalau gitu serang mesin otomatisnya … lindungi Akbar,” Faril keluar dari tempat persembunyian di balik mesin-mesin cadangan. Ia memuntahkan peluru dari senapan serbunya ke arah senapan mesin. Namun, senapan itu tak bergeming.
    “Kan udah tau kalau sulit menghancurkan senapan mesin itu?!” protes Leon.
    Inspektur Anton maju kemudian melempar granat yang sudah dihitung waktu dan jaraknya agar dapat tepat meledak seketika dilemparkan ke senapan mesin itu.
    “Hati-hati inspektur … kena tim … ruangan ini masih belum terbuka,” tegur Faril.
    Granat yang dilemparkan inspektur polisi itu melayang tepat ke senapan mesin. Seperti bola basket yang menuju ke ring. Kemudian setelah membentur senapan mesin itu, granat itu mental kembali. Beruntung ketika jaraknya satu meter granat itu meledak. Pecahan granat terlempar ke seluruh ruangan. Membuat seluruh tim merunduk dan berlindung di balik mesin demi menghindari pecahan granat yang mencabik apa saja yang dilewatinya. Satu senapan mesin berhasil dilumpuhkan.
    “Sip … walau beresiko,” ujar Leon.
    “Kita biasanya menunggu sampai peluru di senapan mesin itu habis. Dengan memberi mengumpankan diri lalu sembunyi. Begitu terus. Karena senapan mesin itu mendeteksi panas tubuh,” ujar Faril.
    “Biar Akbar yang jadi umpan. Kalau tewas dia bisa ngulang lagi, simpel,” ujar Mary.
    “Emang gue kail pancing apa jadi umpan,” ujar Akbar lalu terkekeh. Nampak menikmati game Blizzard yang menegangkan itu. Dan tak ada yang terluka ataupun benar-benar tewas.
    “Kalau Akbar kembali ke luar … kita harus menunggunya, karena setelah ini butuh kerja sama tim, gak boleh ada yang kurang,” ujar Faril.
    “Lah … tapi Akbar kena tembak tuh lihat jalannya lambat,” ujar Leon.
    “Biar gue aja jadi umpan sampai peluru senapan mesin habis,” ujar Faril bergerak zig zag dari tempat mesin ke mesin lain demi melindungi dirinya ketika dihujani peluru dari senapan mesin.
    Ghost mencoba membidik senapan mesin yang dilapisi titanium itu. Ia membidik moncong senapan mesin itu. Namun, sia-sia.
    Setelah beberapa lama, satu per satu senapan mesin mulai kehabisan peluru dan hanya berputar tanpa sebutir peluru pun yang keluar. Faril terdiam beberapa lama untuk memulihkan dirinya setelah terkena beberapa butir peluru yang menghantam tubuhnya. Ia membuka kotak obat dan mengobati dirinya agar kembali pulih.
    “Pasang bom … aku masih memulihkan diri,” ujar Faril.
    Leon memasang peledak C4 di pintu ruang segi enam itu. Kemudian menjaga jarak agar tak terkena ledakan. Tim yang lain hanya dapat mengawasi sembari mengisi amunisi senjata masing-masing.
    Bom plastik C4 meledak menjebol pintu ruang segi enam itu. Tanpa diduga ruangan itu bergetar dan atapnya berjatuhan ke lantai.
    Setelah pintu ruang segi enam jebol. Satu per satu anggota tim itu masuk ke ruang kantor. Di sana beberapa karyawan yang tak bersenjata nampak mengangkat tangan tanda menyerah. Terdengar jerit panik dan tangisan dari karyawan perempuan.
    “Bunuh aja nih berisik,” ujar Mary.
    “Woy sejak kapan cewek jadi sadis gitu Mer? Tunggu aba-aba Faril aja,” timpal Andri.
    “Mereka kan boot … bukan manusia beneran,” ujar Mary lantas terkekeh.
    “Iya, tapi hati-hati … kalau salah bunuh kita gak bisa masuk ke level dua. Karena di antara karyawan laboratorium ini ada yang memegang kunci akses ke level dua,” ujar Faril mengingatkan.
    “Owh gitu, gue gak tau. Gak pernah nyampe ke sini ... Ok, AFK dulu kk … kebelet pipis!” seru Mary.
    “Yeee … tuh cewek mengalihkan topik,” ujar Akbar lantas terkekeh.
    “Di level ini masih bisa di-save kan?” tanya Inspektur Anton.
    “Iya, kalau mau dilanjutkan besok tanggung inspektur,” ujar Faril.
    “Ghost gimana? Masih mau lanjut?” tanya Inspektur Anton melalui mikrofonnya.
    “Kalau aku punya banyak waktu inspektur,” ujar Ghost.
    “Aku mau menengok Selfi dulu ya,” ujar Inspektur Anton. Ia memandang ke sekeliling kamar dan tak melihat batang hidung tunangannya.
    “Oh, oke inspektur … kita bisa add pemain lain untuk ikut sub misi ini. Jadi inspektur bisa gabung lagi kalau sudah level tujuh,” ujar Faril.
    “Tunggu bentar. Aku mau cari Selfi di ruang lain. Mungkin di dapur,” ujar Inspektur Anton. Ia keluar dari kamar demi mencari keberadaan gadis itu. Ia ingat Selfi pernah sewot karena tak diperhatikan ketika dirinya bermain game dengan Faril.
    Namun, ketika Inspektur Anton mencari di ruang dapur tak ada seorang pun di sana. Ia kemudian melangkah di koridor demi menuju ke ruang rekreasi. Di ruang rekreasi sudah tak ada siapapun. Ia tak menyangka hari sudah larut malam dan para karyawan dan ilmuwan sudah pulang.
    Di tengah perjalanan mencari Selfi, inspektur polisi itu berpapasan dengan sekuriti yang berpatroli ke sekelililing ruangan.
    “Anda mencari siapa inspektur?” tanya sekuriti itu. Ia sudah mengenal Inspektur Anton ketika polisi itu memeriksa kasus penembakan di laboratorium.
    “Selfi tadi ada di dalam kamar, lantas pergi entah kemana…,” timpal Inspektur Anton.
    “Loh, kok bisa gak tau tadi satu kamar kan?” tanya sekuriti itu heran.
    “Saya tadi asyik main game.” Inspektur Anton nampak salah tingkah.
    “Oh …, ya kita cari sama-sama inspektur. Kebetulan saya lagi patroli nih,” ujar sekuriti itu memberikan senternya ke inspektur itu. “Saya bawa dua senter, untuk jaga-jaga.”
    Apa yang terjadi dengan Selfi? Kenapa ia tiba-tiba keluar dari kamar tanpa pamit?
    Atau ada yang memaksanya untuk keluar kamar?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience