Rate

FILE 21: Sleeping Beauty

Mystery & Detective Series 649

SELFI dalam penyamaran sebagai Agatha ketika berada di mobil Denara. Dalam situasi itu ia mendapat telepon dari Denara yang mewanti-wanti agar berhati-hati. Setelah ceramah dari Denara, ia segera menonaktifkan ponselnya.
    Agatha tengah mengawasi kediaman Evangela. Mobilnya berada di gang yang lengang. Perumahan mewah yang sepi itu dipisah oleh taman-taman pribadi yang cukup luas. Pepohonan cemara angin tumbuh mengitari taman itu menyempurnakan tempat pengintaiannya.
    Seminggu sekali ilmuwan itu berada di rumah bersama teman-temannya sesama ilmuwan. Mereka mengadakan diskusi ilmiah yang dikemas dalam acara santai. Biasanya Evangela memasak untuk teman-temannya, kali ini teman-temannya yang memasak untuknya. Gazebo di belakang rumahnya cukup luas untuk mengadakan acara makan-makan. Acara untuk melepas penat setelah berada di dalam laboratorium cukup lama.
    Agatha berusaha memejamkan mata sampai hari beranjak sore. Ia mendengar pagar besi rumah Evangela yang berderit membuka. Pagar rumah elektronik itu membuka secara otomatis. Melalui kaca depan mobilnya, ia dapat melihat sedan Evangela keluar dari pelataran rumahnya. Pos sekuriti yang berada di dalam pagar terlihat.
    Agatha merapikan rambut palsunya kemudian menyalakan mesin mobil. Mesin menderum perlahan. Ia menaruh tangan di atas setir dan membuntuti sedan Evangela. Sedan silver itu mudah terlihat. Pengejaran relatif mudah karena sedan Evangela berhati-hati melaju. Ilmuwan itu ternyata juga sopir yang cakap.
    Arah tujuan mobil Evangela menuju ke puncak. Agatha mengetahui dari berita bahwa ilmuwan itu memiliki vila yang mewah di sana. Namun, dugaan Agatha meleset. Mobil Evangela berbelok arah menuju ke dalan hutan. Keluar dari jalan beraspal menuju jalan makadam.
    Setelah beberapa menit melalui jalan makadam, dari balik pepohonan mulai nampak kabin yang cukup besar yang terbuat dari kayu.
    Tidak jauh dari kabin, di balik pepohonan, Agatha menghentikan sedannya. Ia menyembunyikan mobil di balik pepohonan di pinggir jalan tak beraspal. Ia menyadari Evangela bersama seseorang. Dari dalam mobil keluar seorang lagi. Dan penampilan Evangela berubah, rambutnya yang semula pendek kita berubah panjang. Sejak kapan? Agatha yakin itu rambut palsu, wig. Berarti wanita kedua adalah Maria, adiknya. Artis yang mayatnya ditemukan di kali Ancol! Orang yang selama ini disangka Si Manis Jembatan Ancol ternyata kakak Maria, Evangela.
    Apakah kedua wanita cantik itu yang melakukan pembunuhan?
    Jadi selama ini mayat Maria yang ditemukan itu palsu? Identitas mayatnya direkayasa?
    Agatha nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia meraih kamera dan membidik kedua kakak beradik itu ketika keluar dari dalam mobil. Tidak jauh dari sedan Evangela mobil lain terparkir di halaman kabin yang teduh. Seseorang keluar dari dalam mobil itu. Seorang pria. Dan Agatha segera mengenalnya sebagai Roy Prakoso, putra dari pemilik salah satu stasiun televisi.
    Agatha memilih jalan berputar demi mendekati kabin itu. Ia menuju ke belakang kabin. Dari balik pepohonan ia sempat melihat ketiga orang itu masuk ke dalam kabin melalui pintu depan. Ia memutari kabin itu dan sampai di satu-satunya kamar yang berada di sisi kabin. Ia menduga untuk mengurangi kecurigaan, mereka memilih kabin rahasia yang tak begitu menarik perhatian.
    Jendela kamar kabin itu menghadap ke jurang yang berada di tengah hutan.
    Agatha harus berhati-hati melangkah menghindari ranting-ranting kering yang bisa menyebabkan bunyi tak perlu. Jerih payahnya terbayar karena jendela lebar itu hanya tertutup gorden tembus pandang. Ia dapat leluasa mengetahui apa yang terjadi di dalam kamar. Perlahan ia mengendap-endap di bawah jendela dan melongok. Samar-samar ia mendengar suara.
    “Kalian berdua pasangan yang sempurna….”
    “Dan kau boleh melakukan apa saja….”
    “Pria yang beruntung.”
    “Tunggu….”
    “Apa yang kau tunggu manis?”
    “A—aku rasa mengenal kalian….” Suara Roy terdengar bergetar karena syok.
    Jeritan pendek mengiringi napas kematian. Terdengar napas satu-satu dari dalam kamar. Pria itu seperti tercekik sesuatu. Dan Agatha menyaksikan kengerian itu.
    Dari gorden jendela yang menerawang, Agatha menjadi saksinya. Seorang dari mereka tiba-tiba membekap mulut pria itu dari belakang. Mungkin obat bius, pikir Agatha. Pria itu hendak melawan, namun Evangela yang berada di belakangnya dengan sigap mengunci lengannya. Tubuh kokoh pria itu ambruk ke lantai tanpa perlawanan berarti. Kedua wanita itu mulai mengenakan jas hujan dan masker. Salah satu wanita mengenakan sarung tangan karet kemudian meneteskan cairan dari botol kecil ke sebuah tisu. Ia mengusapkan tisu itu ke leher pria yang masih setengah sadar. Tidak sampai semenit, hidung pria itu mengeluarkan darah seperti mimisan. Belum berhenti sampai di situ, matanya memerah. Darah keluar dari mulut dan telinganya. Menggenangi lantai. Darah merembes di celananya, tepat di selangkangannya, membuat celananya berlumuran darah.
    Kedua wanita menjauhi pria itu. Mereka melangkah perlahan mendekati jendela dengan wajah yang dipenuhi kepuasan. Mereka meraih botol lain dan mengusap ke kulit leher masing-masing.
    Agatha menduga mereka baru saja memakai penawarnya, antitoksin adamin.
    "Pria brengsek ini memang pantas mati. Sudah banyak perempuan yang menjadi korbannya. Ia seganas racun mematikan yang kita masukkan ke pembuluh nadinya. Penyelidik forensik hanya akan menemukan bekas melepuh di lehernya. Racun baru yang sangat mematikan.”
    “Hah, siapa yang akan menyangka, penelitian mengenai penularan penyakit ternyata menghasilkan senjata biologis. Mampu membunuh pria dewasa kurang dari satu menit. Siapa yang akan mengira penemunya sekaligus penciptanya. Terima kasih karena telah mengusulkan nama virusnya, Evatoxin, atau EV-X. Ahli forensik yang mengotopsinya pun akan kewalahan karena evatoxin akan menyamarkan rigor mortis. Dan tak lama lagi nama racun ini akan segera dipatenkan. Kemudian penawarnya akan mendapat tawaran tertinggi di negara-negara di dunia. Bahkan aparat yang mengatur kita pun akan tunduk. Keadaan akan berbalik!”
    “Nggak percuma mempunyai kakak ilmuwan dan cantik sepertimu. Ya, kebanyakan stereotipe wanita cantik tak memiliki otak. Dan lelaki cenderung akan lebih memilih wanita cantik, karena mereka pikir dapat membodohi kita. Sekarang siapa yang kena getahnya?"
    “Kita memang duet manis yang mematikan.” Wanita pertama melepas wig-nya. Rambut aslinya pendek sebahu. Ia kakak Maria, Evangela. Penemu virus yang menjadi kutukan Ancol. Selama ini ia membantu Maria membalas dendam atas aksi penculikan yang menimpanya. Beruntung ia bisa lolos.
    Keduanya mengulum senyum.
    Agatha melangkah mundur. Sial baginya karena bunyi ranting pohon yang terinjak kakinya memecah kesunyian di sekitar vila. Kedua wanita di dalam kamar mendengarnya. Mereka mengetahui kehadiran Agatha dari dalam jendela kamar. Walau ia masih dalam penyamaran, hidupnya berada dalam bahaya.
    Agatha tiba-tiba tidak dapat bergerak dari tempatnya. Entah kenapa, tiba-tiba kedua lututnya terasa lemas. Ia berusaha mengatasi rasa terkejutnya. Perlahan ia mulai bisa menggerakkan kakinya.
    Evangela, ilmuwan kimia itu adalah kakak Maria. Ia menghindari sorotan media massa dan tetap low profile. Karena itu wajahnya tidak mudah dikenali. Apalagi ia menyamar menggunakan wig rambut panjang. Wanita kedua yang selama ini diduga sebagai Si Manis Jembatan Ancol tidak lain adalah kakak Maria sendiri, Evangela! Selama ini merekalah yang menjadi eksekutor atas kematian yang mengakibatkan beberapa pria tewas mengenaskan. Begitulah deduksi yang terbersit di benak Agatha. Jika benar demikian berarti kepolisian telah kecolongan? Termasuk pemerintah yang bekerja sama dengan pihak asing dalam pengembangan laboratorium rahasia itu?
    Evangela menarik gorden jendela. Tepat ketika Agatha berbalik untuk melarikan diri.
    “Hei, ada yang menguntit kita!!”
    “Kejar! Jangan sampai lolos!”
    Agatha berlari ke halaman kabin itu. Ia hendak kembali ke mobilnya yang terparkir di balik pepohonan tidak jauh dari kabin. Ketika ia menuju ke arah mobilnya, tanpa diduga tiga orang pria yang mengenakan jaket hitam menghadangnya. Satu di antara pria itu mengenakan jaket yang menampakkan seragam polisi di baliknya.
    “Jangan bergerak!” seru seorang dari ketiga pria itu. Dua pria lainnya hendak menangkap Agatha.
    “Kalian polisi?” tanya Agatha. “Sedari tadi mengikutiku?”
    “Ya, kami polisi ... kami tidak mengikuti siapapun karena kami memang berjaga-jaga di pos hutan tak jauh dari kabin ini. Sekarang kamu jangan melawan dan menurut saja.” Pria pertama mencabut pistol dari balik jaketnya.
    “Tunggu, kalian salah paham. Saya Selfi….” Agatha membuka rambut palsunya. Rambut Selfi yang pendek dikibas-kibaskan. “Saya gak terlibat dengan Evangela dan Maria. Mereka yang….”
    “Diam dan berlutut!” seru seorang pria itu.
    Selfi tak berdaya ketika berada di bawah todongan senjata api berperedam. Pria yang lain mengikat kedua tangannya, sedangkan rekannya mengikat mulutnya dengan sapu tangan.
    Maria dan Evangela mendekati Selfi yang tak berdaya di bawah todongan senjata.
    Selfi tak mengira ternyata oknum di jajaran kepolisian juga ikut terlibat. Tentu saja intelijen sudah mengetahui tentang pengembangan virus itu. Itu pula sebabnya atasan polisi memberi ijin kepada Denara untuk menyebarkan berita tentang ‘kutukan Ancol’ dengan tujuan demi pengalihan isu. Karena itu isi kutukan Ancol yang dikaitkan dengan legenda berhasil mengalihkan perhatian publik dari rencana yang sebenarnya.
    “Siapa kau!! Apa yang kau lakukan di tempat ini!!” sergah Maria menyusul kakaknya yang memeriksa rambut palsu milik Selfi.
    Lidah Selfi kelu di bawah todongan senjata.
    “Oh, dia salah seorang reporter yang sering muncul di teve itu. Selfi Lena, reporter wanita yang cukup bernyali,” timpal Maria. Suaranya terdengar dingin. “Kami nggak memiliki urusan denganmu.”
    “Jangan ditembak! Lebih baik dihabisi memakai evatoxin. Kita memiliki orang-orang di media lain yang akan menyebarkan berita tentang seorang reporter ternama yang tewas bersama korban di kabin itu.” Seorang pria berjaket menyingkirkan pistol dari
tangan rekannya. “Jangan gegabah. Rencana kita masih panjang.”
    “Betul. Jika rencana ini gagal dan sampai bocor ke media, maka atasan kami pun akan menangkap kalian.” Seorang pria berjaket menunjuk ke arah Evangela. Ilmuwan cantik itu nampak bersungut-sungut mendengarnya. “Atasan kami tak mau jika operasi menghancurkan sindikat King Cobra dengan evatoxin mengalami kegagalan!”
    “Oke! Baiklah, lakukan apa yang sudah jadi kesepakatan! Lakukan apa yang ingin kalian lakukan! Kami sudah muak jadi bidak catur kalian!” Evangela melangkah mundur hendak menuju ke mobilnya. Maria dengan wajah kebingungan mengikuti kakaknya dari belakang. Kemudian seperti berubah pikiran, Evangela menoleh dan berkata, "Sebagai bayarannya aku ingin mereka berdua sebagai eksperimen."
    “Baiklah. Jadi jangan salahkan kami. Ini adalah resiko dari profesi kalian,” ujar pria berjaket itu. “Sebenarnya kabin di tengah hutan ini dapat menjadi kuburan yang sempurna bagi mayat seorang reporter dan polisi antisuap yang suka ikut campur….”
    Pria berjaket itu tak meneruskan ucapannya ketika bunyi tembakan terdengar dari balik pepohonan. Bunyi tembakan lagi. Kali ini sebutir peluru mengenai bahunya.
    Sontak kedua temannya mencabut pistol dan waspada.
    “Jatuhkan senjata kalian!!” Sebuah suara terdengar dari arah jalan setapak yang membelah hutan itu.
    Selfi mengenal suara itu. Suara Inspektur Anton terdengar tidak jauh darinya. Di balik pepohonan yang menjadi tempat persembunyiannya.
    Inspektur Anton sudah mengetahui bahwa Selfi dan Agatha sebenarnya adalah orang yang sama. Karena itu ia menaruh pelacak di mobil milik Denara yang seringkali digunakan oleh Selfi. Ia juga telah lama mengendus bahwa beberapa rekan dan atasannya melindungi Evangela dan Maria. Ia pikir, oknum polisi lebih memilih jalan pintas dengan cara mengendalikan evatoxin yang akan digunakan untuk menghancurkan para anggota King Cobra. Bonusnya, mereka mendapat keuntungan dari pemerasan yang dilakukan kepada Maria dan Evangela agar laboratoriumnya tidak ditutup.
    Inspektur Anton keluar dari tempat persembunyian. Ia melangkah panjang-panjang dengan senjata teracung ke arah Evangela dan Maria yang hendak melarikan diri dari kabin itu menggunakan mobil mereka.
    “Sejak kapan?” Evangela melangkah mundur. Terkejut dengan kedatangan inspektur polisi itu. “Hei, aku kira kita bisa berteman. Karena kami juga menjadi kaki tangan kepolisian. Mereka bisa menutup laboratorium kami sewaktu-waktu jika tidak….”
    “Lebih tepatnya oknum di kepolisian ... dan saya tidak bekerja sama dengan mereka,” potong Inspektur Anton. “Angkat tangan kalian. Buang benda-benda beracun dari pakaian kalian!”
    Evangela mengangkat kedua tangannya. “Misi kami sudah selesai! Evatoxin sudah berada di tangan polisi … maksud saya, oknum polisi.” Ia masih menggenggam sesuatu di tangannya. Botol berisi cairan virus mematikan itu!
    Inspektur Anton menyadari apa yang akan terjadi. “Buang botol itu!!”
    “Dengan senang hati!!” Diam-diam Evangela membuka tutup botol itu lalu melemparkannya ke arah Inspektur Anton. Cairan yang berada di dalam botol itu tumpah mengenai pakaian inspektur polisi itu. Evangela dan Maria segera mengenakan masker. Mereka memberi tanda ke arah ketiga pria berjaket untuk menjaga jarak dan menghindari arah angin agar tak tertular virus.
    “Botol itu berisi evatoxin!” seru Selfi ke arah Inspektur Anton.
    Apakah sudah terlambat?
    Efek evatoxin secepat malaikat kematian. Tubuh Inspektur Anton ambruk ke tanah. Darah mengalir dari hidung dan telinganya. Merembes ke kaos yang dikenakannya.
    Selfi berlari ke arah Inspektur Anton yang menjulurkan tangan ke arahnya. Namun, sebelum Selfi meraih tangan Inspektur Anton, tubuhnya terjungkal ke tanah. Kaki Maria menyambar pergelangan kaki Selfi hingga terjerebab ke tanah. Ia terlambat menutup hidung ketika evatoxin masuk ke dalam pernapasannya.
    Aroma menyengat tercium oleh Inspektur Anton. Tiba-tiba penglihatannya buram. Kepalanya terasa dipalu dari belakang. Tubuhnya ikut ambruk ke tanah. Ia lupa menutup hidungnya. Evatoxin menyebar melalui udara, masuk ke pernapasannya. Menyeretnya ke jurang neraka. Ia pernah berada di ambang kematian. Dan sekarang untuk kedua kalinya ia berhadapan dengan maut.
    Apakah kali ini Inspektur Anton masih dapat lolos dari kematian untuk yang kedua kalinya setelah pernah dikubur hidup-hidup?
    Perlahan kesadaran Selfi lenyap. Pandangannya gelap. Bayangan wajah-wajah berkelebat dalam benaknya untuk terakhir kali. Evatoxin menyebar di nadinya. Syarafnya memberi sinyal berbahaya ke sekujur tubuhnya. Menyeretnya ke jurang kegelapan tanpa batas. Kini ia dapat tidur lebih lama dari biasanya, entah sampai kapan. Apel terlarang dari buah pengetahuan telah membawanya kepada maut. Namun, wajah Selfi nampak tenang dalam tidur panjangnya yang tak berujung, bagai putri yang tertidur karena kutukan..., kutukan Ancol.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience