Rate

FILE 61: Misteri Labirin di Pulau Badai

Mystery & Detective Series 649

Apakah van hitam itu dapat melewati labirin di bawah Pulau Badai?
Apakah labirin itu sama seperti di dalam game Blizzard?

    INSPEKTUR Anton menunggu jawaban dari pemain game bernama Hogst. Ia dan Faril tak menduga bahwa Ghost memakai nama anagram. Hogst adalah anagram dari Ghost.
    Di layar chat masih terpampang sebuah pertanyaan: barang bukti fisik apa yang Ghost berikan kepada Inspektur Anton?
    Untuk beberapa lama tak ada jawaban. Karakter bernama Hogst masih diam tak bergerak di tempatnya sembari memegang senapan serbu di tangannya.
    “Apakah ia Ghost yang asli?” tanya Selfi.
    Inspektur Anton hanya dapat mengangkat bahu.
    Kemudian sebuah teks jawaban muncul di layar chat: pakaian Nazrudin dengan residu mesiu, proyektil peluru, dan rambut korban ... sori barusan sinyal down....
    Inspektur Anton dapat bernapas dengan lega. “Yap, benar itu adalah Ghost. Karena hanya aku dan Ghost saja yang mengetahuinya. Sebelum pergi ke Pulau Badai, Ghost memberikan tiga barang bukti fisik itu, selain kliping koran tentu saja.”
    “Lalu apa yang akan disampaikan kepada Ghost?” tanya Faril.
    “Kita akan menyusun rencana serangan kepada komplotan King Cobra … melalui game online … ketik itu,” ujar Inspektur Anton.
    “Bagaimana kalau kita memakai komunikasi suara agar inspektur dapat mendengar suara Ghost?” tanya Faril.
    “Ide bagus. Boleh juga.” Inspektur Anton mengacungkan jempol.
    Faril memasang headset dan menyalakan komunikasi suara melalui game itu. “Nih, hanya Anda yang mengenal suaranya bukan?” tanya Faril.
    Inspektur Anton menerima headset kemudian menyalakan mikrofon. “Haloo … Ghost?” tanya Inspektur Anton melalui mikrofon headset.
    “Halo inspektur … bagaimana keadaan di sana?”
    Inspektur Anton mengenal suara itu. Suara khas dari hantu yang pernah didengar ketika mengungkap kasus penembakan di Modernland. “Aman terkendali … posisimu di mana?”
    “Aku ada di dalam mobil … arah jam 12 di atas bukit dekat laboratorium.”
    Inspektur Anton memandang berkeliling. Ia mendekati panel kemudian menekan tombol demi mengganti warna gradasi jendela kaca menjadi transparan. Melalui jendela ia dapat melihat bukit yang berada tidak jauh dari laboratorium itu. Tempat yang strategis dalam jangkauan jarak tembak oleh senapan runduk sniper. Walau lebih sulit daripada mengawasi koridor di rumah sakit seperti tempo hari. Dan jaraknya dua kali lipat.
    Melalui jendela kamar itu, Inspektur Anton mengamati bukit yang berada tidak jauh dari laboratorium. Ia memicingkan mata demi melihat posisi mobil Ghost berada. Namun, ia kesulitan melihat dalam jarak sejauh itu. Kemudian ia melihat berkas cahaya yang berkedap-kedip. Kode morse yang berarti HOGST yang berarti anagram dari Ghost.
    “Kau menerima pesan kode morse dariku inspektur?”
    “Ya … oh rupanya di situ posisimu. Apakah bisa membidik ke tempatku?”
    “Ya, melalui teleskop senapan runduk aku bisa melihat Selfi, Faril yang nampak mendengarkan di belakang inspektur. Jika ada sniper lain yang membidik, tenang saja, kaca jendela itu cukup tebal untuk membelokkan peluru … apalagi kaca itu bisa berubah warna gradasi.”
    “Ya ... kuharap tak ada yang menyabotasemu di sana. Atau ada sniper lain yang mengawasi kita.”
    “Lalu apa rencanamu berikutnya inspektur?”
    “Entahlah … aku kira kau sudah memiliki rencana … ya, karena kau yang mengundangku Pulau Badai.”
    “Beruntung Faril masih ada bersamamu inspektur … kita membutuhkannya untuk masuk ke level tujuh di dalam game Blizzard.”
    “Apa maksudmu? Aku masih belum paham.”
    “Aku juga tak paham … almarhum Arnes yang mengatakannya. Ia membangun sistem di Pulau Badai dan di Pulau Evatoxin terinspirasi dari game itu … jadi kita mungkin menemukan jawabannya di dalam game itu … di level ketujuh. Aku ingat benar.”
    Inspektur Anton menoleh ke arah Faril yang juga mengerutkan dahi. Mereka berdua masih belum paham apa yang dikatakan Ghost.
    “Kau pernah mencapai level tujuh kan Faril?” tanya Inspektur Anton.
    “Ya, bahkan sampai level delapan … tapi itu yang terakhir yang bisa aku lakukan … dan mungkin hanya dewa yang bisa masuk ke level sembilan."
    “Apa yang ada di level ketujuh?” tanya Inspektur Anton dan Ghost nyaris bersamaan.
    “Sebuah labirin … di ruang bawah tanah,” jawab Faril.
    Inspektur Anton dan Ghost seketika terdiam. Selfi yang mendengarnya pun tak dapat menemukan kata-kata untuk bertanya atau berbicara.
***
    “Jadi kau bisa menunjukkan labirin itu? Di level tujuh dalam game Blizzard?” tanya Inspektur Anton setelah mengakhiri percakapan dengan Ghost.
    “Aku hanya satu kali pernah menembus ke level tujuh, itupun bersama tim yang kompak dan berpengalaman. Lagipula tak ada rekaman, tak bisa disimpan, karena labirin itu berubah-ubah tiap tujuh detik. Jadi tak ada petunjuk yang bisa dijadikan pedoman agar berhasil menuju ke level tujuh itu.”
    “Tak ada rekaman dari pemain lain atau petunjuk dari walkthrough?” tanya Inspektur Anton.
    “Kalau pun ada, percuma karena labirinnya berubah-ubah. Karena itu tak ada yang merekam gameplay pemain yang pernah ke sana. Labirin itu bergeser secara acak seperti puzzle. Ada sekitar seratus peluangnya.”
    “Tak bisa disimpan?”
    “Ya, tak bisa menyimpan data save kecuali ketika sudah berada di level delapan. Padahal di level tujuh saja lumayan panjang." Faril menghela napas.
    “Jika game itu nyata … manusia tak akan hidup di dalam bungker apalagi labirin? Iya kan?”
    Faril menggeleng. “Di dalam game itu … di dalam bungker … musuh kita bukan manusia. Tapi mesin.”
    Inspektur Anton menganguk-angguk. “Robot seperti di film-film Terminator gitu?”
    “Bukan tapi mesin mekanis yang dipersenjatai dan sistem jebakan mematikan. Tidak ada yang mirip manusia sih.”
    “Aku tak yakin sistem sains fiksi seperti dalam game benar-benar bisa dibangun di dunia nyata. Atau bahkan di Pulau Badai sekalipun.” Inspektur Anton nampak sangsi.
    Faril mengangkat bahu. “Ya, setidaknya di dalam game seperti itu … aku tak tau sistem seperti apa yang menginspirasi ilmuwan di sini jika terinspirasi dari game itu.”
    “Oke, baiklah setidaknya kita memiliki beberapa petunjuk. Jadi peluangnya tidak benar-benar nol. Sementara aku berlatih di dalam game itu, aku akan menyelidiki gerak komplotan King Cobra agar kita tidak lengah.”
    “Ya, urusan di dalam game serahkan kepada saya … saya akan mencari tim untuk masuk ke level tujuh. Anda dan Ghost ikut juga dalam tim agar mengetahui seperti apa level tujuh itu.”
    “Oke, terima kasih. Cari tim yang kompak dan yang penting tidak berisik.”
    “Siap inspektur.”
    “Aku yang paling tak berguna di sini,” ujar Selfi menggerutu.
    “Kau tulis saja laporannya kepada Denara, ini akan menjadi sebuah cerita yang bagus.” Inspektur Anton mengecup pipi Selfi kemudian bergegas keluar kamar. “Aku akan menyelidiki van hitam yang dipakai komplotan itu. Kalian jangan ke mana-mana karena lebih aman di sini. Ghost akan tetap mengawasi di sekitar laboratorium.
    “Hati-hati ya,” ujar Selfi.
    Inspektur Anton memberi tanda oke dengan jemarinya.
***
    “Mbak pandai bersih-bersih, ya?” Ela yang muncul di ambang pintu kamar di ruang penginapan di laboratorium. Ia memerhatikan Selfi yang tengah membersihkan kamar itu.
    “Eh, Ela ... kirain siapa. Jam istirahat ya?” tanya Selfi nampak senang dikunjungi ilmuwan muda yang cantik itu.
    “Iya. Mbak….” Gadis itu membanting tubuhnya di atas sofa dengan lenguhan panjang. Kemudian mengamati Faril yang tak bergeming di depan layar monitor.
    “Beruntung banget Inspektur Anton memiliki reporter cantik dan rajin ya,” ujar Ela memuji Selfi.
    “Ya, mungkin sudah jodoh. Inspektur itu tak peduli apapun ketika menyelidiki sesuatu. Ruang kantornya saja berantakan,” ujar Selfi sembari tersenyum.
    Mengingat ketika berada di apartemen yang sama dengan inspektur itu. Jika kebetulan ia yang berada di rumah maka ia yang melakukan pekerjaan bersih-bersih.
    “Pekerjaan perempuan memang tak ada habisnya. Setelah di kantor, di rumah pun ada tugas yang menunggu.”
    “Emang udah berapa lama tunangan?” tanya Ela.
    “Baru beberapa bulan. Dan rencananya kita mau ambil cuti untuk mempersiapkan acara pernikahan. Eh, malah kesasar ke Pulau Badai.” Selfi kemudian balik bertanya. “Kau gimana? Udah punya pacar?”
    “Kalau gebetan ada beberapa sih.” Ela kemudian tertawa. Kemudian ia terdiam. Wajahnya berubah muram.
    “Arnes termasuk?” tanya Selfi dengan perlahan.
    Ela menghela napas. “Ya, semula sih, aku berharap Arnes bisa menyatakan perasaannya duluan.”
    “Aku turut berduka…,” ujar Selfi nampak menyesal telah menanyakannya.
    “Eh, bagaimana kalau akhir pekan kita ke pantai?” Ela nampak antusias. Ia berusaha melupakan kesedihannya.
    “Entahlah, apa aku bisa karena inspektur itu menyuruhku untuk tetap berada di laboratorium ini sebelum keadaan di luar benar-benar aman.”
    “Ya, kan gak akan terus-terusan gak aman … pasti suatu saat akan kembali aman.”
    “Baiklah. Gimana dengan Faril? Kau bisa mengajaknya karena nampaknya ia tak memiliki kerjaan lain selain bermain game. Iya kan Faril?” Selfi bertanya kepada Faril yang masih tak bergeming di depan gamenya.
    Faril tak memakai headset jadi pasti mendengar obrolan itu. Namun, wajahnya nampak serius.
    “Eh, Faril denger gak?” tanya Selfi sembari menepuk bahu Faril.
    “Hah, ada apa?” tanya Faril nampak linglung. Kemudian kembali mengalihkan wajahnya ke depan layar monitor.
    “Ela mengajakmu ke pantai tuh … kencan!” ujar Selfi berusaha membuat anak gamer itu kaget. Namun, nampaknya Faril tak memedulikannya.
    Ela yang merasa digoda angkat bicara. “Eh, Mbak sejak kapan ya jadi Mak Comblang … belum tentu juga Faril mau diajak ke pantai.”
    Faril tetap tak bergeming di depan layar monitornya. Jemarinya masih asyik memainkan stik game.
    Selfi dan Ela hanya dapat bertukar pandang.
    “Huh, dasar gamer!” seru Selfi.
    “Eh, ada stik lagi gak? Aku ikut main ya?” tanya Ela mendekati Faril yang mulai menyadari kehadiran gadis manis itu.
    Faril memandang heran ke arah Ela. “Emangnya kau bisa?”
    “Eh, Arnes yang mengajariku loh.”
    “Ohh … ya cobalah jadi satu tim.”
    Kemudian Ela dan Faril nampak lancar mengobrol seputar game. Seolah mereka ada di dalam dunia mereka sendiri.
    Selfi hanya tersenyum-senyum melihat kejadian aneh itu.
***
    “Sejauh ini … ini rekaman CCTV lalu lintas yang bisa kita kumpulkan inspektur,” ujar petugas lalu lintas itu kepada Inspektur Anton.
    “Ya, terima kasih. Saya akan memeriksanya satu per satu.” Inspektur Anton terpaksa menginap di kantor petugas lalu lintas itu.
    “Apa yang sebenarnya Anda cari inspektur?”
    “Oya, apa bisa CCTV di sini mendeteksi kendaraan atau orang?”
    “Ya, bisa, asalkan nampak plat nomernya.”
    “Tapi sepertinya van itu tak memiliki plat nomer. Tapi sempat terekam kamera.”
    “Ya, kalau begitu bisa dilacak dari model kendaraannya.”
    “Saya sangat berterima kasih jika Anda menemukan jalur yang digunakan mobil van itu.”
    Inspektur Anton terdengar memohon. “Mobil itu seperti menghilang ditelan bumi. Padahal pemeriksaan kendaraan dilakukan di beberapa titik sekaligus.”
    “Ya, kendaraan itu bisa bersembunyi di mana saja. Nah, ini dia ada beberapa CCTV yang menangkap bayangan mobil dengan ciri-ciri yang sama.” Petugas itu melacak keberadaan mobil dengan komputernya. Beberapa kamera CCTV yang terintegrasi di beberapa tempat menandai jalur lalu lintas di Pulau Badai. “Sepertinya mobil itu memang benar-benar ditelan bumi. Lihat jalurnya terputus di tempat ini.”
    "Apa mungkin van itu masuk ke jalur terowongan air dan bersembunyi di bungker di bawah Pulau Badai?" tanya Inspektur anton.
    "Hanya yang berwenang yang bisa ke sana. Lagian bungker itu berbentuk labirin demi mencegah penyusup," timpal petugas itu.
    Inspektur Anton mengamati peta digital di layar monitor itu. Ia hanya dapat bertanya-tanya dalam hati.
    Tidak mungkin kendaraan bisa lenyap begitu saja. Kompolotan King Cobra bukan hantu!
    Lantas menuju ke manakah jalur terputus itu?
    Apakah van hitam itu dapat melewati labirin di bawah Pulau Badai?
    Apakah labirin itu sama seperti di dalam game Blizzard?
    Bisakah seorang inspektur polisi, gamer dan assassin mengungkap misteri itu?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience