Rate

FILE 7: Sang Reporter

Mystery & Detective Series 649

SELFI LENA menghela napas lega ketika akhirnya duduk di jok depan bus. Ia berada di bus yang hendak berangkat dari terminal Bungurasih. Bus dengan rute pulang pergi Banyuwangi-Madura, itu sepi penumpang. Masih banyak kursi kosong. Tujuannya setelah melewati perbatasan kota Probolinggo, yaitu kota Situbondo. Setidaknya memakan waktu kurang lebih lima jam.
    Ia mendapat kabar bahwa adik sepupunya sedang akan melangsungkan acara pernikahan. Diam-diam ia hendak mengambil cuti dan akan mengabarkannya sewaktu dalam perjalanan nanti. Produsernya pasti tidak dapat berbuat apa-apa. Ia sudah memiliki alasan yang tepat. Ia mendapat peluang untuk mendapat cuti di tengah kesibukannya. Jika tidak begitu kapan lagi ia akan mendapat cuti di tengah kesibukan kerja di kota Jakarta. Lagipula ia tak mengarang alasan.
    Sepuluh menit lalu, ia memisahkan diri dari timnya. Ia bergegas turun dari mobil operasional dari stasiun televisinya untuk korespondensi antar daerah. Mobil berlogo stasiun Metropolis TV itu berangkat ke bandara tanpa dirinya. Timnya hendak segera bertolak ke Jakarta dengan pesawat. Mereka telah selesai meliput kasus penyelundupan narkoba di Surabaya. Narkoba yang diselundupkan ke dalam mesin-mesin impor di dalam peti kemas berhasil digagalkan polisi dan petugas bea cukai pelabuhan Perak, Surabaya. Liputan yang akan segera tayang di program Fakta & Kriminal di Metropolis TV. Reportasenya telah direkam dengan durasi setengah jam.
    Setelah meletakkan tas ranselnya di atas rak, ia duduk di jok terdepan. AC bus membuatnya menggigil. Udara panas di luar bergumul dengan udara dingin di dalam bus. Tubuhnya menggigil. Rasa letih membuatnya demam. Tidak biasanya tubuhnya lemah seperti itu. Karena sering berada di lapangan membuatnya kebal. Biasanya hanya demam dan dehidrasi selama dua-tiga hari. Ia pernah dehidrasi hingga diinfus di rumah sakit.
    Selfi memindahkan posisi AC yang berada tepat di atas kepalanya. Ia tidak suka dingin dari AC mobil. Dingin yang tidak alami. Ia membuka jendela bus lebar-lebar. Ia lebih suka merasakan hembusan angin dari jendela bus.
    Keringat dingin di tubuhnya terasa lembab. Di luar tadi, udara panas yang meliputi kota Surabaya membuatnya bermandikan keringat. Pakaiannya terasa lengket ke kulitnya. Terasa tidak nyaman. Rasanya ingin berlari di bawah guyuran air hujan.
    Selfi Lena, gadis lajang berumur dua puluhan adalah jurnalis muda berprestasi. Meski masih muda, ia telah meliput berita ke berbagai daerah. Dari sejak belia ia sudah dikenal sebagai gadis tomboy. Jika warga setempat mengungsi, ia justru mendatangi daerah rawan. Pengalamannya meliput berita teroris di Aceh, kasus konflik SARA di Filipina hingga perang saudara di Timur Tengah. Waktu itu ia nyaris tertangkap di bawah todongan senjata dari pemberontak Libya, akhirnya ia kembali dengan selamat ke tanah air. Nama dan raut wajahnya sudah menjadi jaminan sebuah acara berita yang berbobot dan cerdas. Wajahnya familiar di layar televisi. Reputasinya sudah dikenal khayalak luas. Selain cantik, dia juga memiliki otak yang brilian. Wajahnya yang mirip orang asing membuatnya sering menyamar dengan rambut wig palsu memakai nama samaran Agatha Casey Holmes dalam setiap investigasi berbahaya yang dilakukannya.
    Selfi bersama timnya dari Metropolis TV; dua orang juru kamera, seorang asisten produser—produsernya memonitor dari Jakarta, dan tiga orang koordinator peliputan. Mereka penggagas dan penggerak acara Fakta & Kriminal yang sudah tayang perdana sebulan kemarin. Acara tiga mingguan yang mendapat rating bagus. Program acara bergaya dokumenter yang berisi fakta di tempat kejadian berdurasi satu setengah jam. Mengupas kasus kriminal yang sudah atau belum terpecahkan kepolisian.
    Rambut panjang sebahunya diikat ekor kuda. Ia selalu mengenakan T-shirt warna hitam polos yang dipadu dengan rok karena panasnya udara Surabaya. Biasanya ia mengenakan celana kargo. Tas ransel dan kopor beroda yang dibawanya berisi perbekalan selama perjalanan. Aksesorisnya hanya arloji mekanik di pergelangan tangannya. Tidak ada kesan feminim dari penampilannya. Tubuh pendek dan proporsional membuatnya gesit. Orang tidak akan percaya ia telah pergi ke banyak tempat-tempat berbahaya. Kulitnya kecoklatan akibat sering terpapar sinar matahari. Ia mahir pencak silat dan berlatih memakai senjata api, walau belum memiliki ijin memakai senjata api.
    Bus yang ditumpangi Selfi masih ngetem di terminal Bungurasih. Sesekali ia mengamati arloji mekaniknya. Bosan menunggu, ia mencolokkan earset ke ponselnya lalu menyalakan musik favorit. Sebuah lagu jadul ringan dari The Coors berjudul Runaway. Ia menyandarkan tubuhnya ke jok kursi, berusaha menikmati lagu di ponselnya. Ketika hendak memejamkan mata karena terbawa irama, bunyi dering ponselnya menyela. Ia melirik ponselnya. Nama produsernya, Denara, tertera di layar ponselnya. Ia menghela napas kemudian segera mengangkat panggilan itu.
    “Yaa, halooo?!!” Suaranya terdengar serak.
    “Hihi, kau di mana?!! Kok, lemes banget, Fi!! Aku baru kontak rekanmu. Kok kamu enggak ikut ke Jakarta?” Suara produsernya terdengar dari sambungan ponsel itu.
    “Aku ada di dalam bus. Udah berangkat, nih.”
    Suara produsernya meninggi. “Turunn!! Kau harus ke Jakarta!!”
    “Duh, Den. Liputan udah selesai.”
    “Kau mau ke mana? Seenaknya saja nggak ijin.”
    “Ini aku baru akan ijin, uh, sebentar lagi. Aku mau menengok keluarga di Situbondo. Hanya tiga hari, nggak lebih. Janji deh, Den. Please....” Ia hendak menjelaskan bahwa adiknya hendak melangsungkan acara pernikahan. “Adikku akan menikah….”
    Denara memotong. “Tunda!! Kau harus segera ke Jakarta. Ada kasus menarik!!”
    “Tayang kapan?”
    “Kalau cepat, minggu ke depan.”
    “Lalu berita yang baru selesai diliput?”
    “Ya, juga akan segera tayang.”
    “Duh, aku minta cuti, deh. Tiga hari saja.”
    “Kau nggak baca atau nonton berita?”
    “Berita apaan?”
    “Seorang pria ditemukan tewas di dalam hotel Merkuri di kawasan Ancol.”
    “Ah, itu berita biasa … aku….”
    Denara memotong. “Tubuh korban mengering. Kehabisan darah. Membusuk hanya dalam semalam. Aneh kan? Anehnya lagi, nggak ditemukan satupun luka di tubuhnya.”
    Selfi tiba-tiba terdiam. Otaknya berputar. Naluri jurnalisnya bangkit.
    “Beneran, nih? Udah ada saksi mata?”
    “Oke, kalau gak bisa, aku bisa cari reporter lain … kalau….”
    “Oke deh, tunggu … tunggu aku di Jakarta!!”

***

    “Maaf, Bu. Aku masih belum bisa pulang.”
    “Belum bisa pulang gimana? Rena kan paling dekat denganmu. Walau sepupu dia itu sudah seperti adik kandungmu sendiri loh….”
    Suara ibunya terdengar dari sambungan telepon yang lain.
    “Iya, Bu … tapi ada tugas mendadak nih.” Keramaian di Juanda membuat Selfi harus menutupi ponselnya dengan jemarinya. Ia hendak menyusul rekan-rekannya yang berada di bandara.
    Telat selangkah, pesawatnya sudah take off semenit lalu. Ia harus menunggu pesawat berikutnya. Keterlambatan dan keruwetan jadwal penerbangan pesawat sudah menjadi hal biasa.
    “Iya—iya, semoga adik bisa berbahagia setelah menikah. Semoga keluarga di sana tetap sehat walafiat. Aku sudah transfer biaya untuk hadiah pernikahannya.”
    “Maksud ibu itu … kalau kau pulang dan mengikuti acara pernikahan adikmu, jadi kau bisa lebih bersemangat untuk menyusulnya … kebetulan keluarga dari teman-teman Ibu juga datang. Siapa tau ada yang berjodoh denganmu. Masa kau keduluan adikmu menikah… kamu kapan menyusul? Ingat usiamu, nanti kau susah sendiri. Kamu itu bukan anak laki-laki. Cewek punya batasan usia ketimbang cowok.”
    “Haduh Ibuuu … kayaknya udah ratusan kali deh bertanya begitu. Dan udah ratusan kali Selfi jawab kalau sudah bisa mandiri … baru cari suami. Sekarang ingin fokus ke karir dulu, Bu.”
    “Ya, udah, selesaikan dulu tugasmu, Nduk … kalau sudah longgar tengok adikmu itu ya.”
    “Iya, terima kasih pengertiannya, Bu. Wassalam.”
    Setelah terdengar salam dari ibunya, Selfi mematikan ponselnya. Ia tidak dapat membendung kesedihannya, namun ia berusaha agar tidak menangis di tengah keramaian. Bayangan wajah kedua orang tuanya seperti menari-nari di kerumunan keramaian bandara. Ia tau, niat ibunya baik begitu pun niatnya juga baik. Ia tak mau merepotkan siapapun termasuk kedua orang tuanya yang telah pensiun. Ia ingin mandiri ketika menemukan pasangannya nanti. Kali ini ia berusaha fokus. Nasihat ibunya selalu membuatnya gamang untuk meniti karir. Ia tak mau merepotkan siapapun, termasuk calon pasangannya nanti. Meski karena terlalu sibuk mengejar karir membuat Selfi tak memiliki waktu untuk menjalin hubungan yang serius. Meski sudah dua kali pinangan dari pria pilihan orang tuanya ditolak karena alasan belum mengenal dengan baik. Ia juga sulit menjaga hubungan jangka panjang dengan teman-teman yang sehati dengannya. Ia sempat pacaran dalam batas yang wajar dengan teman kuliahnya. Namun, hubungan itu berakhir, karena masing-masing lebih memilih karir.
    Ketika berada di dalam pesawat. Selfi masih belum dapat melenyapkan wajah adik sepupu dan keluarganya di sana. Permukaan awan kelabu bergulung-gulung di luar jendela pesawat. Hingga ia tertidur karena kelelahan. Tidurnya di dalam pesawat tidak sempurna.
    Tak terasa air mata bergulir di pipinya yang hangat.

***

    Pesawat terbang dari Surabaya mendarat mulus di Halim. Seraut wajah penuh harap sudah menunggunya di lobi bandara. Selfi tidak menyadari seseorang telah menunggunya di sana.
    “Hei!! Selfii!” seru seseorang dari arah belakang. Selfi menghentikan langkahnya sembari menoleh. Ia mendapati lambaian tangan produsernya diantara keramaian. Denara dari deretan kursi tunggu bandara.
    “Siniii!!”
    Selfi menggelengkan kepala sembari melangkah ke arah produsernya.
    Wahyu Denara, wanita berumur empat puluhan, seorang produser berita dari stasiun Metropolis TV. Meski umurnya sudah kepala empat, ia memilih melajang. Dan Selfi tidak pernah menanyakan atau mendengar tentang kehidupan pribadinya. Mungkin ia terinspirasi dari wanita teguh itu. Yang mampu mandiri tanpa pasangan di sisinya. Di sisi lain ia seringkali bertanya-tanya alasan Denara memilih untuk melajang. Alasan yang menjadi rahasia pribadi yang tak banyak orang bersedia mengungkapkannya.
    Ia produser profesional yang tetap menjaga jarak meski sudah lama bekerjasama. Potongan rambut pendek sebahu dan pakaian wanita kantoran selalu melekat pada dirinya. Ia mengenakan kemeja yang digulung di pergelangan tangan dan bawahan celana berbahan kain.
    Denara, mantan jurnalis senior, mengarahkan Selfi ke bidang jurnalis ketika baru lulus dari fakultas bahasa inggris. Mereka bertemu secara kebetulan di seminar jurnalistik yang diadakan di kampus Universitas Negeri Malang, tempat Selfi kuliah. Kemudian Selfi mengikuti pelatihan jurnalis selama tiga bulan di Jakarta. Karena cekatan dan memiliki nyali lebih, ia memulai karir meliput di daerah konflik.
    Meski belum genap lima tahun, keduanya sudah melalui banyak pengalaman mendebarkan. Mereka bekerja sama dalam satu tim untuk meliput berita di daerah konflik. Duet mereka menjadi penentu kualitas program acara televisi mingguan bertajuk Fakta & Kriminal. Bukan hanya sebagai host yang sudah kondang, namun mereka juga seperti pasangan detektif yang ikut menginvestigasi sebuah kasus hingga layak untuk diangkat ke televisi.
    “Maaf, menarikmu kembali ke belantara ini.”
    “Aku lelah….” Selfi membanting tubuhnya di kursi ruang tunggu. “Tapi memang kuakui rasa penasaran mengalahkan segalanya.”
    “Ayo!! Berangkat!!”
    “Duh….” Selfi menguap untuk kesekian kalinya.
    Denara menarik pergelangan tangannya. Keluar dari keramaian bandara.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience