Rate

FILE 39: Ground Zero

Mystery & Detective Series 649

 MOBIL polisi yang dikendarai Inspektur Anton tidak menyalakan sirine. Inspektur polisi itu melambatkan laju mobilnya. Menyusuri sepanjang trotoar di jalan Hartono Raya. Sesekali ia menengok arlojinya, hampir pukul 13.00, tapi tidak terlihat orang dengan ciri-ciri yang dikatakan Ghost. Orang yang mengenakan topi merah pasti akan mudah dikenali.
    Inspektur Anton kembali menyusuri trotoar.
    Pukul 13.13. Ia melihat seseorang yang mengenakan topi merah dan jas hitam duduk di dekat pedagang kaki lima. Sedari tadi orang itu duduk di sana, namun baru kali ini ia memakai topi merah itu. Apakah orang itu benar-benar Ghost?
    Inspektur Anton keluar dari mobilnya. Sebelah tangannya sudah siap mencabut revolver dari sarung. Ia perlahan melangkah mendekati Ghost.
    Namun, tiba-tiba desing peluru terdengar. Seorang sniper telah menembak Ghost tepat di kepalanya. Sontak Inspektur Anton berlari mendekati Ghost. Ia makin kaget setelah kepala Ghost terlepas dari tubuhnya! Kemudian kepala lain keluar dari dadanya.
    “Trik sulap kepala jatuh?!” seru Inspektur Anton terperangah menyadari apa yang terjadi.
    “Hey, sniper itu ada di sini! Arah jam 12! Waspada!” Ghost memberi tanda agar berhati-hati. Ia bangkit lalu membuang jas hitam yang digunakan untuk trik sulapnya. Ia bergegas berlari ke bangunan kosong tempat arah tembakan itu berasal. Ia dapat melihat arah tembakan dari lubang peluru di kepala palsu yang diletakkannya di atas jas hitam itu.
    Inspektur Anton mencabut revolvernya dan mengikuti arah lari Ghost.
***
    “Sial!!” Srikandi mengamati dari teleskop snipernya: Ghost berlari ke arahnya diikuti polisi itu. Ia tidak percaya Ghost telah menipunya dengan trik sulap murahan. Sedari tadi ia berada di sana satu jam sebelum polisi itu datang, namun Ghost ternyata telah mendahuluinya. Ia tidak menyangka targetnya telah berada di sana jauh sebelum ia mempersiapkan snipernya. Tidak ada waktu untuk membongkar snipernya. Ia berdiri lalu mencabut pistolnya.
    Bunyi tembakan dan sebuah peluru menerjang jendela ruangan tempat Srikandi berada. Ghost menembaknya dari bawah gedung. Ia sudah berada di depan gedung itu, tidak lama ia akan bertemu dengannya.
    Srikandi keluar melewati pintu belakang gedung. Ia tidak berpaling ketika Ghost mengejarnya memutari gedung itu. Bunyi tembakan terdengar lagi. Sebuah peluru mengenai punggung Srikandi. Namun, wanita tangguh itu itu terus berlari kesetanan menuju sepeda motor trailnya. Ternyata rompi anti peluru menyelamatkannya.
    Ghost memberikan tembakan beruntun lagi, namun meleset.
    Sepeda motor trail Srikandi sudah menghilang ke lorong gedung.
    “Kita kejar pakai mobil!” seru Inspektur Anton bersemangat.
    “Kau kejar dia. Aku periksa senapan runduk yang ditinggalkan di dalam gedung.”
    Kemudian Inspektur Anton mengurungkan niatnya. “Ia memakai sepeda motor, tidak mungkin bisa dikejar mobil apalagi di keramaian. Aku ikut kamu.”
    Inspektur Anton mengikuti Ghost ke dalam gedung. Di sana mereka menemukan senapan sniper yang masih berada di posisinya. “Kita periksa sidik jari dan uji balistik senapan sniper ini.” Inspektur polisi itu mengambil alih penyelidikan. Tanpa tim Labfor, ia bekerja sendirian.
***
    “Dari pengakuan para saksi Anda bertemu dengan tim berapa kali?” tanya seorang polisi itu. Kali ini ia membaca pertanyaan keseratus yang diketik rapi di atas kertas. Selama beberapa jam itu polisi memeriksa Ananta. Kuasa hukumnya Takdir Ismail juga berada di sana.
    “Tim siapa?” tanya Ananta dalam pemeriksaan itu.
    “Tim yang terdiri dari Sigit Haryono dan petinggi polisi. Setelah Nazrudin menangkap basah Anda dan Reni di hotel Mahakam. Dan setelah saudara Nazrudin mengancam dan meneror Anda. Maka Anda membalas dengan aksi penggerebakan di hotel di Kendari. Karena hendak membuktikan status saudara Reni dan Nazrudin.”
    “Saya diperkenalkan kepada tim itu dan diceritakan Sigit Haryono.”
    “Betul Anda memohon perlindungan dari reserse?”
    “Ya. Waktu itu saya cerita tentang beberapa orang yang meneror saya selaku ketua KPKN, bukan hanya Nazrudin. Lumrah jika saya meminta perlindungan. Setelah itu reserse yang membentuk tim. Dari sana saya mengenal Sigit Haryono.”
    “Betul Anda membentuk tim setelah mendapat teror dari Nazrudin?”
    “Ya. Saya meminta agar Nazrudin diawasi agar tidak mengganggu keluarga saya dan kepentingan lain untuk menjegal saya sebagai ketua KPKN.”
    “Apa yang dikatakan Nazrudin dalam teror dan ancamannya?”
    “Nazrudin bilang akan membeberkan kejadian di Hotel Mahakam. Ia bahkan bilang berani mati untuk menyeret saya.”
    “Sebelumnya bagaimana hubungan Anda dengan Nazrudin?”
    “Nazrudin teman main golf saya. Ia juga sering memberikan laporan tentang kasus korupsi di perusahaan lain yang juga bergerak di bidang medis. Apalagi kasus tentang laboratorium itu informasinya tersimpan rapat.”
    “Apakah Anda juga mengetahui masalah di perusahaan Nazrudin?”
    “Tak terkecuali. Nampaknya Nazrudin melaporkan kasus korupsi itu.”
    “Apakah Anda menanggapi laporan korupsi dari Nazrudin?”
    “Sebagian iya. Lainnya masih belum sempat diperiksa.”
    “Apakah pernah adu mulut tentang laporan korupsi itu? Bertengkar tentang rahasia di laboratorium pulau buatan?”
    “Tidak ada. Tapi saya pernah menolak laporannya.”
    “Kenapa?”
    “Karena ada yang direkayasa.”
    “Apakah saudara Nazrudin kecewa dengan itu?”
    “Ya, sejak itu, Nazrudin tidak pernah memberi laporan itu.”
    “Jadi Anda berniat membuka rekayasa yang dilakukan Nazrudin?”
    “Dalam waktu dekat iya.”
    “Jadi, apakah Anda kecewa setelah Nazrudin berbalik membenci Anda?”
    “Saya tidak tahu kalau saudara Nazrudin membenci saya. Tapi dari jebakan, tuduhan dan teror yang dilakukannya, sepertinya dia kecewa.”
    “Anda juga kecewa dengan berbaliknya Nazrudin menjadi musuh Anda?”
    “Ya. Pasti itu.”
    Seorang petugas lain datang kemudian berbisik kepada petugas lain.
    Ananta merasa seorang diri di ruang interogasi.
    “Sekarang Bapak resmi menjadi tahanan Polda Metro.” Petugas itu beranjak dari kursinya. “Mari ikut saya.”
    Pukul 17.30 Ananta dibawa ke ruang tahanan narkoba Polda Metro. Didampingi dua orang reserse. Ketika wartawan bertanya padanya, ia hanya bungkam.
    “Buka sepatu dan kaos kakinya, Pak.” Petugas itu membuka ruang tahanan.
    Ananta menuruti saja perintah petugas itu. Apalagi setelah dinonaktifkan dari ketua KPKN, ia tidak memiliki daya apapun lagi.
    “Ikat pinggang, baju dan celana juga. Mencegah agar Anda gak menyakiti diri sendiri. Pakai celana pendek saja.”
    Waktu itu Ananta merasa harga dirinya dilucuti bersama pakaiannya. Jabatan yang pernah disandangnya seolah tidak dihormati lagi. Pembunuhan karakter telah
ditujukan padanya.
    Namun, Ananta masih beruntung jika dibandingkan dengan tersangka lain.
***
    “Kamu kenal dengan Ananta Azhar?” sergah petugas di ruang interogasi tertutup kepada terdakwa Dani Saban yang dituduh sebagai eksekutor.
    Petugas tidak memberikan foto karena mata terdakwa yang duduk di kursi itu ditutup sapu tangan dan kedua tangannya diborgol. Petugas tak ingin wajahnya dikenali karena takut terdakwa melawan atau balas dendam di lain hari.
    Terdakwa hanya dapat mendengar suara petugas di sekelilingnya. Cara penyiksaan model lama.
    “Belum pernah….”
    “Jawab yang benar!! Kamu kenal Ananta gak?”
    “Namanya saja belum pernah dengar.”
    “Bohong kamu!” Sebuah tamparan keras mendarat di pipi terdakwa.
    Terdengar suara terdakwa yang meringis kesakitan.
    “Begini jadinya kalau bohong!” sahut petugas lain.
    Suara mereka yang membentak tidak jauh berbeda.
    “Bener, Pak! Sumpah! Saya gak kenal Ananta!”
    Sebuah hantaman mendarat di bahu terdakwa. Seorang petugas mengerahkan pukulannya yang keras menghentak hingga tubuh terdakwa terhentak.
    “Terus aja bohong. Biar kamu dieksekusi di sini!”
***
    Di waktu berbeda di ruangan yang sama. Kali ini pengendara sepeda motor, terdakwa Hari Saban, diberi pertanyaan yang sama. Kedua matanya ditutup sapu tangan kedua tangannya diborgol.
    “Kamu kenal Ananta?”
    “Siapa?”
    “Yaelah, ya orang yang menyuruh kamu dodol!”
    Tendangan keras menghujam rusuk Hari.
    “Kalau resere Wizardi Wizard?! Kenal?!!”
    Terdakwa kesulitan bernapas. Dari mulutnya keluar sepercik darah.
    Terdengar suara teguran dari petugas lain. “Woy, santai bro. Heh, kalau dia sampai mati bisa kena perkara kita!”
    Petugas itu tidak menggubris rekannya, ia malah meraih rambut terdakwa dan menjambaknya. “Makanya ngaku aja deh! Kamu kenal Ananta beres urusan!”
***
    Cara interogasi yang agak berbeda dialami Edward alias Edi. Terdakwa yang dituduh memberi pesanan dan uang. Sebuah alat sitrum ditempelkan di tubuhnya.
    “Kau
kenal Ananta?”
    “Ananta? Siapa?”
    “Orang yang memberi kau perintah!”
    “Bukan. Bukan dia….”
    Seketika tubuh terdakwa tersentak beberapa kali karena arus listrik.
    “Masih belum mau ngaku?”
    “Buat apa saya bohong, Pak! Tolonglah Pak!”
    “Mengaku saja kalau Ananta yang berada di belakang ini!”
    “Kenapa Ananta? Siapa dia?”
    “Pokoke kamu bilang kenal sama Ananta!”
    “Ya, bilang saja begitu beres!” sahut petugas yang lain.
    “Ya—ya, baik Pak! Saya kenal Ananta!”
    Kedua petugas itu terkekeh.
    “Oh, jadi kamu anak buah Ananta toh! Bodoh kamu itu bisa diperalat Ananta!”
    Seorang petugas menendang kursi yang diduduki terdakwa hingga terjungkal. Tubuh terdakwa jatuh mencium lantai.
    “Jangan main-main sama aparat?” Petugas itu melanjutkan menanyakan hal lain yang tidak dipahami terdakwa. Karena takut kena setrum lagi, terdakwa hanya pasrah dan mengiyakan.
***
    Ghost berada di jok depan di sebelah Inspektur Anton dalam mobil polisi itu. Ia berniat menyerahkan diri karena telah memiliki cukup barang bukti yang dapat menghapus tuduhan yang diarahkan kepadanya: sebagai sniper eksekutor Nazrudin.
    Karena menyerahkan diri bukan sebagai tersangka tetapi sebagai saksi, Inspektur Anton tidak mengijinkan Ghost duduk di jok belakang.
    Setelah berada tidak jauh dari kantor polisi, sebuah mobil boks menghalangi sedan polisi itu. Setelah diklakson beberapa kali pintu boks itu sontak terbuka. Dari dalam beberapa orang yang mengenakan penutup wajah memberondong mobil polisi itu dari arah depan. Bunyi rentetan tembakan dari senapan serbu terdengar beruntun.
    Ghost yang tidak menduga serangan mendadak itu berusaha berlindung di bawah jok mobil. Ia berusaha mencabut pistolnya dan keluar dari pintu mobil.
    Namun, setelah Ghost melompat keluar dan berlindung di barikade beton, mobil boks itu bergegas pergi. Ia berusaha mengejarnya, namun ia sadar kalah senjata dan kalah jumlah. Ia menembakkan peluru dari pistolnya ke arah mobil boks yang tengah melaju pergi. Sampai amunisinya habis. Sasarannya adalah roda ban mobil, namun meleset. Pelurunya hanya menghantam lampu sein dan aspal jalan.
    Ghost menyadari tidak melihat Inspektur Anton keluar dari mobil. Juga tidak mendengar suaranya. Ketika ia memeriksa ke dalam kabin mobil yang penuh lubang peluru, di sana, tubuh Inspektur Anton nampak bersimbah darah. Inspektur polisi itu terlambat berlindung dan tidak sempat keluar dari pintu mobil. Namun, anehnya tak terdengar suara kesakitan dari mulutnya. Inspektur itu nampak tegar.
    Bahkan Inspektur Anton masih kuat menyetir mobil ke arah rumah sakit terdekat. Walau akhirnya pingsan di tempat parkir karena kehilangan banyak darah. Tiga tembakan di bahu dan dada membuatnya muntah darah.
    Terdengar bunyi sirine polisi dan ambulan yang datang mendekat. Ghost memilih untuk menghindar. Satu-satunya saksi kunci dari kepolisian sedang sekarat.
    Sekarang Ghost merasa seorang diri lagi.
    Apakah Inspektur Anton dapat selamat dari tembakan itu?
    Bisakah Ghost menyelesaikan kasus penembakan itu seorang diri?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience