Rate

FILE 67: Rahasia di Level Tujuh

Mystery & Detective Series 649

Inspektur Anton mengingat-ingat peta labirin di pintu masuk tadi.
Kemudian memerhatikan baik-baik bekas tembakan di dinding.
Ia mendapat ide untuk menemukan jalan keluar.

    FARIL menghela napas untuk kesekian kalinya. “Granat habis,” ujarnya. “Kalian gak bawa roket pelontar granat?”
    “Enggak ada Ril, adanya ketapel,” ujar Akbar lantas terkekeh.
    “Gak lucu tau … dalam suasana genting begini masih bercanda aja lu,” timpal Andri.
    “Tapi lumayan kita udah melumpuhkan tiga droid,” ujar Leon menengahi.
    “Ya, sekarang sudah agak mending dinding ini bergeser tiap dua puluh satu detik, hampir setengah menit,” ujar Inspektur Anton. “Jadi kita punya waktu untuk mencari jalan keluar.”
    “Tapi nampaknya kita berputar-putar di ruangan yang sama
inspektur,” ujar Ela. “Lihat saja dindingnya banyak bekas tembakan.”
    Inspektur Anton mengingat-ingat peta labirin di pintu masuk tadi. Kemudian memerhatikan baik-baik bekas tembakan di dinding. Ia mendapat ide untuk menemukan jalan keluar. "Ya, bekas tembakan ini bisa jadi jalan kita untuk keluar. Kita akan menandai sisi kiri labirin dengan lubang tembakan. Aku ingat peta itu, jadi kita harus memilih jalan yang ditandai.”
    Cahaya dari lampu super LED yang berada jauh di atas langit-langit membuat ruang labirin itu terang benderang. Dinding labirin nampak tinggi menjulang, nyaris menyentuh langit-langit bungker itu. Tinggi dindingnya sekitar sepuluh meter tak mungkin bisa dijangkau tanpa alat bantu.
    “Kalau dinding betulan kita bisa buat lubang untuk memanjat ke atas,” ujar Andri.
    “Yaelah ya kalau bukan game aku bisa bawa tangga dari rumah,” kelakar Akbar.
    Bunyi dinding yang bergeser kembali terdengar. Tim itu masih tak bergerak karena menunggu aba-aba dari Inspektur Anton.
    “Gimana inspektur? Sudah ingat petanya?” tanya Faril.
    “Tunggu.” Inspektur Anton memasang telinga. “Aku mendengar bunyi mesin lagi mendekat ke mari.”
    “Amunisiku menipis nih … bagaimana kalian,” ujar Faril.
    “Sama bos … tinggal belati yang belum habis,” ujar Akbar.
    Inspektur Anton kembali mendapat akal. Ia mengambil belatinya.
    “Wih, inspektur ngeluarin belati buat lawan mesin?” tanya Andri.
    “Enggak. Cuma menguji kekuatan dinding ini.” Inspektur Anton menunggu sisi dinding yang akan bergeser menutup. Ia menaruh belati itu di celah dinding yang hendak menutup. Belati itu kalah, patah jadi dua, tak dapat menahan laju dinding yang menutup.
    “Belati ini diprogram untuk patah. Jadi, dinding ini memang akan menghancurkan apa saja yang dijepitnya.”
    “Ohh … begitu inspektur … cerdas!” seru Akbar.
    “Hus, bisa gak lu diem?” tegur Leon.
    “Jadi, apa rencananya inspektur?” tanya Faril.
    “Kita akan menghancurkan mesin itu dengan dinding yang menutup ini,” ujar Inspektur Anton.
    “Apa pernah dicoba sebelumnya?”
    “Belum pernah … tapi kalau karakter kita digencet dinding ini, ya remuk dan tewas,”
    “Oke, gak ada salahnya mencoba. Kita akan menjebak mesin itu.” Inspektur Anton mengganti senapan serbunya dengan pistol. Kemudian menembak ke udara untuk memancing mesin itu agar mendekat. “Saya yakin mesin itu dilengkapi dengan sensor suara.”
    Dugaan inspektur polisi itu benar. Bunyi mesin makin terdengar mendekat.
    “Kita akan masuk ke dinding manapun yang bergeser. Karena acak. Tapi, kita akan kembali ke jalur yang benar jika ada celah di dinding yang terganjal mesin itu. Lebih baik mencoba daripada tidak,”
    “Siap inspektur,” ujar Faril.
    Inspektur itu mulai berhitung. Bunyi dinding yang bergeser terdengar bersamaan dengan bunyi mesin yang terdengar bergerak mengelilingi ruangan itu.
    Ketika salah satu dinding bergeser. Inspektur Anton berkata, “Tunggu aba-aba dariku.”
    Ketika dinding yang lain terbuka. Nampak bola besi mengilat itu menggelinding ke arah tim itu. Lubang-lubang di bola itu mulai memuntahkan peluru. Puluhan peluru berdesing di sekitar tim itu tanpa tembakan balasan berarti. Hanya Akbar dan Leon yang memberikan satu dua tembakan balasan yang dipentalkan oleh bola besi itu.
    “Sekarang!” seru Inspektur Anton ketika bola besi sudah masuk ke ruangan itu.
    Satu per satu anggota tim masuk ke celah dinding yang sedang bergeser menutup. Inspektur Anton masuk paling akhir.
    Bola besi itu menggelinding lebih cepat demi menyusul tim itu. Namun, celah dinding telah membuat bola besi itu tergencet. Terdengar suara berderak ketika bola besi itu hancur nyaris separo. Menyisakan celah di dinding geser yang tak menutup sempurna.
    “Celahnya terlalu sempit inspektur … kita tak akan bisa kembali ke jalur semula,” ujar Faril.
    “Ya kalau gitu tandai dinding sebelah kiri dengan lubang tembakan. Kita akan melewati dinding sebelah kanan,” ujar Inspektur Anton.
    “Sudah empat bola besi … berarti dua puluh delapan detik,” ujar Faril.
    “Ya, dua puluh delapan detik cukup untuk mencari jalan keluar sebelum labirin ini berubah lagi,” ujar Inspektur Anton sembari mengingat-ingat peta labirin. “Ayo lari!”
    Seluruh anggota tim mengikuti aba-aba inspektur polisi itu. Mereka mengikuti setiap arah yang ditunjuknya. Setelah beberapa tikungan labirin dilewati. Mereka sampai ke tempat terbuka yang luas.
    “Horee … berhasil!” seru Akbar.
    “Hush! Berisik lagi lu … gue berondong pakai peluru
terakhir!” sembur Andri.
    “Sip sip,” ujar Leon.
    “Good job team,” ujar Faril. “Nah, itu super komputernya di tengah ruangan. Kali ini lebih mudah karena kita tinggal menghancurkannya. Ia hendak membidik ke arah super komputer ketika bunyi mesin terdengar mendekati mereka.
    Anggota tim lain bergegas membidik dan menembaki super komputer itu. Bahkan ketika peluru Akbar habis, ia mencabut pistol demi menghancurkan super komputer itu.
    Namun, bola besi masih memiliki tenaga untuk menggelinding ke arah mereka. Bunyi rentetan tembakan terdengar diikuti desingan peluru untuk menghalau tim.
    “Berlinding ke balik super komputer!” seru Ghost. Ia menembakkan senapan runduk tanpa membidik melalui teleskopnya.
    Bunyi dengung dan berkeretak terdengar ketika super komputer mulai korsleting. Percikan listrik seperti kembang api warna-warni yang berhamburan ke segala arah. Bola besi itu masih menggelinding mengejar anggota tim dan terus menembak dengan sengit.
    “Berpencar! Tapi terus tembaki super komputernya!” Faril bergerak menjauhi anggota tim lain untuk mengecoh bola mesin itu. Sembari terus memuntahkan peluru dari pistolnya ke arah super komputer.
    Bola besi itu makin menyerang dengan sengit. Bukan hanya tembakan. Namun, gelombong kejut yang menghempas apapun di sekitarnya.
    Gelombang kejut menghempas tubuh Akbar hingga menabrak dinding labirin. Begitu pula tubuh Ela dan Leon yang terpental karena berada dalam jarak yang dapat dijangkau gelombang kejut. Garis nyawa mereka makin menipis.
    “Sial! Gue balik lagi ke save point nih!” ujar Akbar. Setelah terkena serangan beruntun.
    “Ya, gitu kalau gak waspada,” ujar Andri. Ia lengah ketika terlambat menyelamatkan diri dari gelombang kejut ketiga.
    “Haha … lu juga balik lagi!” sembur Akbar. Sekarang karakter gamenya nampak kembali ke awal di level enam. Begitu pula Andri.
    “Yah yang penting udah sampai ke level tujuh,” ujar Andri lalu menghela napas.
    Ghost terkena sedikit dampak dari gelombang kejut karena berhasil berlari menghindar. Dari kejauhan ia dapat membidik melalui teleskop senapan runduknya demi menembak daerah vital di super komputer.
    Bunyi dengung makin nyaring bersamaan dengan jilatan api dari super komputer yang makin membesar. Pendeteksi panas yang berada di langit-langit bereaksi. Butiran air jatuh seperti gerimis tipis di atas super komputer itu. Namun, terlambat, mesin itu sudah tak aktif lagi. Bersamaan dengan itu, bola besi sudah menggelinding tak tentu arah seperti kelereng raksasa.
    “Akhirnya ... kita berhasil menyelesaikan misi di level tujuh,” ujar Faril menghela napas lega.
    “Setelah ini ke mana?” tanya Inspektur Anton.
    “Di bawah super komputer itu ada lorong ke bawah. Kita hanya harus memutarnya,” timpal Faril.
    “Udah dulu ah!” Andri menggerutu karena tak berhasil melewati level tujuh.
    “Ya, lanjut besok aja,” timpal Akbar melalui mikrofon.
    “Oke, terima kasih ya udah membantu ke level tujuh,” sahut Inspektur Anton.
    “Ya, sama-sama inspektur … kita juga jadi bisa mengetahui super komputer itu,” jawab Andri kemudian mengetik di layar chat: off dulu.
    Begitu pula Akbar yang tanpa pamit sudah offline dari layar chat.
    “Gimana inspektur?” tanya Faril. “Udah dapat petunjuk?”
    “Masih belum … justru penyelidikan ini baru akan dimulai. Kita belum mengetahui bungker di bawah pulau ini seperti apa.” Inspektur Anton melepas headset-nya. Kemudian meregangkan tubuh dan menghela napas.
    Ghost mengetik di layar chat: Bravo inspektur. Istirahat
dulu.
    Inspektur itu membalas chat: oke!
    Faril masih mengotak-atik game Blizzard dan meneruskan ke level delapan tanpa anggota tim yang lain. Kemudian ia menyimpan data ketika sudah sampai di awal misi menuju level delapan.
    “Gamer memang bisa non stop ya?” tanya Inspektur Anton.
    Faril hanya tersenyum mendengarnya.
    Sekarang yang menjadi pikiran inspektur polisi itu adalah, apakah bungker di bawah pulau lebih berbahaya daripada di dalam game? Setidaknya ia harus mencari jalan masuk ke terowongan air.
    “Udah selesai inspektur main gamenya?” tanya Selfi masuk ke kamar sembari membawa masakan. Aromanya menguar di dalam ruangan menggugah selera. “Makan malam dulu yuk.”
    “Eh, ini udah malem?” tanya Inspektur Anton nampak linglung karena kaca jendela berwarna gradasi menyamarkan suasana di luar ruangan.
    “Ini hampir tengah malam inspektur. Kalian tadi cuma makan siang aja.” Selfi menata piring di meja. “Aku gak mau ganggu jadi gak pernah negur.”
    “Eh, Faril, makan malam dulu gih. Biar gak kosong perutnya,” ujar Inspektur Anton mengingatkan Faril yang masih asyik mengotak-atik game.
    “Aku belum lapar inspektur,” ujar Faril berkata tanpa menoleh. Pandangannya masih tak lepas dari layar monitor.
    “Eh, ayo, makan dulu. Enggak baik menolak makanan,” ujar Selfi mulai memaksa agar Faril beranjak dari tempatnya. Ia menepuk bahu Faril agar berpindah dari posisinya.
    “Iya, Mbak … bentar lagi. Nanggung ini. Gak bisa ditinggal,” ujar Faril.
    Selfi menghela napas. Namun, ia tak habis akal. Ia menaruh makanan di piring lalu menaruh di dekat Faril yang tak bergeming dari depan game Blizzard.
    “Heran deh kalau ngadepin gamer,” keluh Selfi.
    Inspektur Anton tersenyum. “Kamu gak akan tau kalau gak nyoba main game. Aku aja yang bukan gamer akhirnya kecanduan.”
    “Game memang bikin adiktif … ya asalkan gak ke hal negatif yang lain saja.” timpal Selfi.
    Inspektur Anton makan malam sepiring berdua bersama Selfi. Untuk sejenak dunia serasa hanya milik mereka berdua. Untuk beberapa lama mereka bercanda sembari saling menyuapi makan malam.
    Ya, untuk sejenak inspektur polisi itu dapat melupakan kasusnya. Raut wajah dan sikap bersahaja Selfi mampu mengalihkan perhatinnya.
    Namun, hal itu tak akan lama.
    Karena pengungkapan kasus itu bahkan belum dimulai. Bisakah inspektur itu mengungkap petunjuk yang ada di dalam game dengan petunjuk di dunia nyata?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience