Rate

FILE 27: Femme Fatale

Mystery & Detective Series 649

   RENI JULIANA memandang ke arah ponselnya di atas ranjang. Entah sudah berapa kali. Ia tengah menunggu berita penting. Namun, sepenting apapun ia sudah tahu. Ia bukan tipe wanita bebal yang hanya bertampang cantik.
    Kedua tangannya bersedekap. Sesekali mondar-mandir di dalam ruang kamar. Lalu menengok keluar melalui jendela apartemennya. Gedung-gedung lain tampak terlihat dari sana. Seolah ia tengah diawasi setiap waktu. Bergegas ia menarik gorden jendela dan menutupnya. Ruangan itu menjadi temaram.
    Di dalam ruangan yang temaram, ia jadi risau. Ia berubah pikiran lantas kembali menyalakan lampu kamar. Wajahnya menegang, meski begitu tetap cantik. Wanita berumur dua puluhan itu sudah seharian mendekam di dalam kamar. Sudah seminggu ia tidak masuk kantor. Ia kaya raya sekarang, merasa tak perlu kerja keras lagi seperti dulu. Bahkan ia telah berencana mengundurkan diri sebagai caddy. Menikmati masa-masa gemilangnya dan berfoya-foya bersama lelaki barunya.
    Karena hanya seorang diri, ia mengenakan kaos hijau tanpa lengan dan celana pendek yang menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya. Aroma asap rokok dari pria yang datang semalam ke kamarnya masih melekat di tengkuknya.
    Ia tidak akan keluar kamar sebelum datang perintah.
    Kulitnya yang putih tampak kontras di dalam kamar yang temaram.
    Bunyi dering ponsel berbunyi. Ia merenggut ponsel dari ranjangnya. Walau sudah dapat menebak isi panggilan itu. Suara pria di dalam ponsel terdengar santai.
    “Sudah beres. Jangan cemas,”
    “Lalu gimana, Pap?” suara Rani terdengar bergetar.
    “Loh—ya, seperti rencana semalam. Pulang dan bersiap pindah.”
    “Yakin sudah aman?”
    “Aman dari siapa? Wartawan? Polisi? Paparazi? Jangan khawatir.”
    “Ya, terima kasih.”
    “Jangan cemas, Nduk.” Kemudian pria di sambungan itu menutup ponselnya.
    Reni merasa debaran jantungnya mulai teratur. Ia mengenakan jaket menutupi kaosnya. Ia mengikat rambut panjangnya lalu mengenakan topi. Sebelum membuka pintu ia merendahkan lidah topinya.
    Wajahnya tersembunyi dalam bayangan lidah topinya.
    Reni keluar dari lobi apartemen dengan wajah tersembunyi. Tidak ada yang tahu bahwa wanita simpanan seorang direktur berada di sana.
    Di luar sudah ada seorang pria tegap yang menunggunya di sebelah mobil hitam. Berdiri di pintu yang terbuka. Di dalamnya seorang pria yang tadi meneleponnya. Dari luar mobil wajahnya tak tampak. Setelah masuk ke dalam kabin wajahnya baru terlihat.
    Wajahnya sangat familiar di TV. Setelah Reni berada di dalam kabin, pria itu membuka koper. Di dalam koper tampak setumpuk uang dolar ratusan dan rupiah dalam dalam dua pecahan, ratusan dan lima puluhan. Itu kedua kalinya ia melihat isi kopor itu. Pertama ketika dipegang suami sirinya, Nazrudin. Sekarang Reni beranjak ke bahtera lain setelah menyadari bahtera yang ditumpanginya mulai oleng di tengah ombak besar.
    Namun, kenangan bersama mantan suaminya yang telah tiada itu kembali berkelebat. Bahkan ia tidak dapat menghapus kejadian manis sebelum hari menjelang penembakan itu. Ia cukup terlatih memendam perih di hatinya. Ia sudah berpengalaman bagaimana agar jeritan hatinya tak sampai membuat bibirnya ikut menjerit.
    Kenangan masa silam itu menyeruak kembali dalam ingatannya.
***
    Beberapa hari yang lalu

    “Posisimu begini bareng Azhar,” ujar Nazrudin bergerak ke sofa. Memberi arahan. “Hanya merapat saja. Ingat, gak boleh lebih dari instruksi ini apalagi sampai intim. Soalnya ada yang akan cemburu di sini … dan cemburuku bisa benar-benar buta!”
    “Loh kenapa gak boleh? Ananta orangnya gagah juga kan, Pap? Ketua PKPN lagi.” Reni mengedipkan mata. Bulu matanya nampak lentik.
    “Coba aja. Atau kamu kupecat!”
    “Bercanda, Pap. Serius amat.”
    “Ya, harus serius dong. Ini serius … Nanti dibereskan di berita acara.” Nazrudin mengetahui berbagai informasi tentang situasi waktu itu. Istilahnya hendak mengail di air keruh. Setidaknya ada dua kubu yang sedang bertarung, perang urat syaraf, penyadapan ilegal, dan intrik politik. Seperti permainan catur, namun ia tidak berada di pihak putih atau hitam. Ia berada di kubunya sendiri; uang, wanita dan kedudukan. Meski bergelut dengan politik, namun ia tidak suka berada di sana terlalu lama. Ia lebih suka memukul bola di lapangan golf atau mengencani beberapa teman wanitanya.
    Nama pria yang disebutnya adalah Ananta Azhar. Ia biasa bertemu Azhar di lapangan golf atau di kantor sebagai penyidik kasus korupsi. Azhar adalah ketua di KPKN, Komisi Pemberantasan Korupsi Nasional. Awalnya mereka saling membantu memberikan informasi seputar bisnis dan korupsi bersama pejabat dan kepolisian. Mereka biasa bertemu di lapangan golf Moderland. Azhar juga memiliki kepentingan bekerja sama dengan nara sumber pelaku bisnis dan intelijen di kepolisian.
    Namun, hubungan mereka berbalik ketika Azhar tidak menggubris laporan korupsi yang diajukannya. Laporan korupsi untuk menjerat lawan bisnisnya. Azhar pun mengetahui perusahaan Nazrudin juga tidak bersih dari tindak korupsi. Bahkan salah satu kasus terlibat dalam pendanaan racun evatoxin.
    “Papa gak cemburu kan?” Reni memagut bahu Nazrudin. Manja. Kakinya disilangkan hingga blusnya terangkat. Kulitnya yang kuning langsat selaras dengan warna blusnya. Sekilas kulitnya nampak polos, namun jika diperhatikan ada bekas tato kecil bergambar kupu-kupu yang berusaha dihapus.
    “Cemburu pasti. Dan itu bukti cinta.” Nazrudin membalas pelukan Reni.
    “Gombal, ah. Emang cinta masih ada?”
    “Kau menyebutnya apa? Uang? Perhiasan? Dasar cewek matre.”
    “Idih, cowok juga matree kok….” Reni menggoda pria itu.
    Naluri primitif Nazrudin makin mendesir. Namun, kilatan tidak biasa di mata Reni membuatnya menghindar. Tidak seperti malam-malam biasanya. Di kedalaman mata gadis itu kini lebih bercahaya dari sebelumnya. Apalagi senyum tipisnya…
    “Kenapa? Capek?” tanya Reni kembali menarik-narik kemeja Nazrudin.
    “Istirahat saja, karena besok kau akan bertemu Ananta.”
    “Kalau udah bosen bilang…,” sindir Reni datar. “Apa ada caddy lain yang lebih hot dari saya?”
    Nazrudin melayangkan jemarinya menampar Reni. Wajah Reni tertunduk lesu tertutup rambutnya yang tergerai panjang sebahu. Namun, hal itu hanya ada dalam bayangan Nazrudin. Jemarinya terkepal menahan emosi dalam dadanya. Ia tidak ingin mengacaukan rencana yang telah lama diatur hanya demi luapan emosi sekejap. “Kau harus pintar kalau ngomong. Apalagi di hadapan Azhar.” Kali ini Nazrudin kembali serius.
    Reni dapat melihat perubahan raut wajah Nazrudin. Ia mundur lalu merapikan blusnya. “Ya—udah Reni ngerti … ngerti Pap. Besok di kamar hotel 803 Grand Mahakam. Aman dari evatoxin kan? Oya, bagaimana dengan sopirnya?”
***
    Reni menyadari dirinya tengah berada di kabin mobil. Ia masih mengenang masa-masa bersama mantan suaminya yang telah tiada.
    "Hey, ngelamun saja."
    “Oya, bagaimana dengan sopirnya?” tanya Reni.
    “Sopir siapa?”
    “Sopir Pak Naz?”
    “Sudah diperiksa di kantor. Gak usah cemas.”
    “Orang yang terlalu banyak tahu itu berbahaya,” ujar Reni. Ucapannya seperti ditujukan untuk dirinya sendiri dan orang yang duduk di sampingnya.
    “Sudah ngerti kau cerdas. Orang yang banyak tahu memang berbahaya. Seperti Nazrudin, kau—aku. Tapi hanya yang beruntung yang bisa selamat.”
    “Kita beruntung?”
    “Ya, udah jelas, situasinya mendukung.”
    “Menurut saya Anda yang lebih beruntung.”
    “Terserahlah. Yang penting kamu jadi primadona dalam cerita ini. Wanita cantik pemikat bos-bos besar harus ada. Seperti film James Bond!” Pria itu terkekeh.
    “Ah, bapak bisa aja.”
    “Chercez la femme,” pungkas pria itu berbahasa Prancis. “Cari wanitanya.”
    “Iya, udah tau. Tapi saya udah di sini, Pak. Gak usah jelalatan ke mana-mana.” Reni berusaha mencairkan suasana dengan bercanda.
    Pria itu hanya terkekeh. Selain cantik, wanita di sampingnya juga cerdas.
***
    “Cari wanitanya. Maka kau akan dapatkan motifnya,” ujar pria itu sembari mengayunkan tongkat golfnya seraya memberikan arahan. Desingan udara terdengar ketika tongkat golf membelah udara.
    Di dekat pria itu seorang caddy mengerutkan dahi, tidak mengerti apa yang dibicarakan. Ia hanya tertarik dengan tips yang akan diberikan padanya setelah permainan selesai. Tipsnya tergantung kemampuannya memasang tampang polos, senyum manis dengan gincu merah merona di bibir. Ia juga lebih pandai menggerakkan tubuhnya seperti peragawati di panggung catwalk daripada memahami tentang seluk-beluk hal berbau politik yang didengarnya di tempat itu.
    Satu jam lalu ia adalah pejabat tinggi negara dengan seragam dan pangkatnya. Namun, kini ia telah berganti mengenakan baju yang lebih santai. Tiga anak buahnya mengikuti ke mana langkahnya. Sebelumnya mereka pernah mendengar kata-kata itu. Namun, kali ini berbeda karena tidak jauh dari tempat itu telah terjadi pembunuhan. Pria itu sudah sedikit santai karena semua kartu sudah berada di tangannya, juga kopor uangnya.
    Ketiga anak buahnya kembali ke lapangan golf setelah menuntaskan tugas mereka. Sekarang giliran tim lain yang bergerak. Seperti efek domino. Yang lain akan otomatis bergerak tanpa diperintah dan tanpa mengetahui siapa yang memulainya.
    “Nanti malam kalian datangi keluarga korban. Buatlah jadi dendam pribadi antar keluarga. Habislah Ananta.”
    “Siap Ndan.” Gila benar…, batin salah satu anak buahnya. Hanya berani membatin. Tugas satu belum kelar sudah datang tugas lain. Suka atau tidak suka, perintah harus dijalankan atau tak mendapat bayaran. Jam tiga dini hari itu, mereka mendatangi rumah Nazrudin. Setelah mengawasi rumah dr. Watsen Munim dan Ananta. Mereka bertemu dengan adik Nazrudin, Adi Zulfikar. Kemudian menunjukkan foto-foto kematian kakaknya yang menjadi korban penembakan.
    Mereka mengatakan korban Nazrudin terlibat cinta segitiga dengan Reni dan Ananta. Detailnya mereka simpan untuk nanti di pengadilan. Biarlah tim lain yang melakukan penyidikan mendalam, yang mereka butuhkan hanya sebuah cerita seperti novel picisan di berita acara. Namun, berita acara tanpa penyidikan adalah konyol. Lima belas jam setelah penembakan, motif pembunuhan berencana telah ditemukan. Mengalahkan rekor pemecahan kasus manapun di dunia.
    Namun, ketiga pria itu tidak sadar bahwa mereka tengah diawasi.
    Mereka lengah karena sibuk mengawasi target. Malah tidak sadar mereka juga tengah dikuntit. Pria bernama sandi Ghost telah menguntit mereka sejak dari RSCM. Helm yang dikenakan Ghost menyamarkan wajahnya. Apalagi ia menyewa sepeda motor dengan nama samaran sehingga akan cukup sulit melacaknya. Ia juga memiliki identitas ganda dari aset yang memang disediakan untuknya secara rahasia dan hanya dirinya saja yang bisa menggunakan beberapa identitas itu.
    Lima belas jam sejak penembak misterius menggantikan dirinya. Sniper misterius yang seharusnya tidak ada dalam plan A dan B. Dan ia baru mengetahui bahwa ada plan C yang tak pernah diketahuinya. Jika harus terpaksa ia sudah siap menghadapi rekan-rekannya sendiri. Apalagi ia cukup mengenal cara kerja dan sistem masing-masing unit yang bergerak di bawah tanah.
    Dan sekarang, ia makin bertekad menggantikan mereka sebagai umpan hidup! Ia merencanakan pembalasan yang setimpal karena telah menjadikan dirinya sebagai DPO; sebagai buronan polisi.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience