Rate

FILE 79: Jejak Masa Silam

Mystery & Detective Series 649

Kekuatan wanita memang terletak pada lidahnya, menyebar isu memang keahliannya.
Sudah hukum alam sejak zaman Adam dan Hawa.

    SUARA percakapan di ruang kelas kosong itu sayup-sayup terdengar keluar. Seorang reserse kembali menginterogasi Reni sepulang dari sekolah. Karena Reni beralasan tak dapat ke kantor polisi. Jadi reserse itu mendatangi ruang kelas Reni demi mendapatkan informasi lain. Karena kasus sebelumnya belum terpecahkan, jadi polisi kembali menyelidiki dari awal.
    “Apa lagi yang kau ketahui tentang Andrey? Korban pertama kasus ini.”
    “Kan sudah kubilang sewaktu pertama kali diinterogasi.” Reni berkata dengan ketus.
    “Iya, tapi waktu itu bukan saya yang jadi petugasnya. Sekarang kasus ini berusaha dilimpahkan ke tim lain.”
    “Ya, silakan tanyakan lagi. Saya mau pulang,” ujar Reni membetulkan letak tas yang sudah siap disandangnya.
    “Apa Andrey memegang buku harian itu?” tanya reserse itu.
    “Ya, Andrey diam-diam mengawasi Erin. Aku juga gak percaya cowok keren itu bisa tertarik ke Erin si ulat bulu.”

79 A.jpg
1000x709 85.3 KB
    Percakapan itu diam-diam didengar oleh Ghost. Ia telah mengawasi reserse itu sejak masuk ke pintu gerbang sekolah. Menunggu sampai ruang kelas bubar sebelum menghadang Reni dan menginterogasi di ruang kelasnya.
    “Kau juga mengawasi Andrey?” tanya reserse itu.
    “Ya, siapa yang gak penasaran kalau ternyata cowok populer di sekolah internasional ini ternyata juga tertarik kepada Erin? Padahal ia sudah punya pacar loh.”

79 B.jpg
1000x465 27.9 KB
    “Bukannya Andrey malah mengganggu Erin?” tanya reserse itu heran.
    “Ya, memang benar … tapi tetap saja yang lain jadi cemburu.”
    Reserse itu hanya dapat geleng-geleng kepala. Kelakuan remaja di sekolah itu membuatnya tak habis pikir. Standar internasional tak menjamin siswanya juga memiliki kepribadian yang bagus. Pasti ada yang akan berbuat onar.
    Setelah reserse itu selesai menginterogasi Reni, ia begegas keluar ruangan.
    Ghost yang berada di dekat jendela berbalik sembari menyapukan tongkat kain pelnya. Setidaknya ia harus mencari informasi tentang para korban. Untungnya ia tak perlu sampai menunggu besok karena nanti sore Dila akan datang ke sekolah untuk mengikuti les sore.
***
    Ghost mengamati foto siswa yang ditunjukkan oleh Dila di layar ponselnya. Siswa berambut pirang itu nampak tak sadar telah difoto. Dengan latar lapangan basket yang biasa menjadi tempat berkumpul para cowok ketika istirahat untuk bermain basket.
    “Namanya Andrey, cowok populer di sekolah,” wajah Dila nampak bersemu lalu pandangannya meredup. Harusnya ia sudah pulang setelah les di sore hari itu. Namun, ketika Ghost memanggilnya ia menurut saja.
    “Kau naksir Andrey?” tanya Ghost mengamati raut wajah Dila. “Foto ini seperti diambil sembunyi-sembunyi.”
    “Eh, enggak kok….” Dila nampak tersipu. “Em, iya, tapi itu dulu waktu belum tau sifat aslinya. Banyak juga yang naksir dia. Termasuk Reni. Karena itu ia begitu cemburu ketika tau bahwa Andrey ikut menggoda Erin."
    “Emang sifat aslinya gimana?” tanya Ghost.
    “Andrey playboy … katanya gitu sih gitu dari banyak pengakuan ceweknya.” Dila merasa malu menceritakannya karena itu ia mengalihkan topik. “Oya, aku bawa bekal. Hanya nasi goreng sama seperti kemarin.”
    “Wah, nasi goreng buatanmu enak loh.” Ghost tersenyum simpul. “Aku udah bersyukur banget dibuatkan nasi goreng. Jadi, gak sering beli di kantin yang mahal itu.”
    “Yah, namanya juga kantin standar internasional gitu loh.” Dila terkekeh.
    “Eh, sudah hampir petang nih. Mungkin Faril sedang mencarimu,” ujar Ghost.
    Dila mengangguk tanda mengerti. Ia bergegas meninggalkan Ghost yang masih duduk di atas trotoar yang mengelilingi taman di depan sekolah. Untuk beberapa saat ia mengawasi Dila yang pergi keluar gerbang melewati pos sekuriti.
    Hari sudah hampir petang, sekuriti di sekolah itu juga bersiap untuk pulang.
    Berbeda dengan Ghost yang masih harus membersihkan lantai sebelum petang menjelang. Sekarang kelelahan menggelayut pundaknya. Dirinya seperti melihat sosok yang berkelebat di antara pohon cemara yang mengelilingi sekolah internasional itu.
    Akhir-akhir ini ia menjadi sulit tidur. Masih merasa letih walau sudah melebihkan jam tidurnya. Padahal ia pernah menyamar menjadi kuli bangunan yang mengangkut batu dan pasir. Ia menyadari bahwa usianya juga tak semuda dulu. Apalagi luka akibat makhluk eksperimen di tubuhnya masih terasa mengganggu ototnya.
    Walau dirinya merupakan pria teguh yang tak mudah goyah keyakinannya dan memiliki disiplin dalam bertugas, namun ia tetap manusia biasa.
    Harusnya ia keluar dari Pulau Badai setelah kejadian di bungker itu. Seharusnya ia menikmati masa-masa damai sebelum mencari pekerjaan lain. Selain sebagai pembunuh bayaran yang penuh resiko. Meski tak pernah terbersit sebuah hubungan khusus dan tak ingin terikat dalam status pernikahan.
    Namun, ia masih membutuhkan seseorang yang dapat mendengarkan keluh kesahnya. Membagi beban yang memberati pundaknya. Impiannya adalah kembali ke kampung halaman tempat dirinya dibesarkan dalam rumah yatim piatu. Meski ia tak berharap bertemu dengan keluarga angkatnya. Iya yakin keluarga angkatnya tak akan lagi mengenali dirinya yang sekarang. Walau rumah yatim yang membesarkannya nampak sangat sederhana. Namun, ia dapat menemukan teman-teman yang tulus ikhlas. Teman-teman yang asli tanpa kepentingan apapun. Ia memiliki satu dua teman tulus di pasukan khusus. Walau kebanyakan ia memiliki teman yang lebih sering memperalat dirinya.
    Membayangkan rumah panti asuhan membuat dadanya sesak. Penuh kenangan yang tak dapat lagi diingatnya. Kadang butir air matanya jatuh ketika mengingatnya. Tempat di mana ia pertama kali dibesarkan setelah dibuang oleh kedua orang tua aslinya akibat hubungan gelap mereka. Tempat yang sama ketika pertama kali ia bertemu dengan orang tua angkatnya.
    Setahun berlalu sejak ia diam-diam pergi dari rumah orang tua angkatnya. Dan ikut pelatihan militer. Ia tak lagi mendengar kabar orang tua angkatnya. Dan setelah pelarian itu, orang tua angkatnya sudah tak peduli lagi. Tak ada pencarian yang dilakukan oleh orang tua angkatnya. Sama-sama terluka karena merasa kehilangan membuat mereka berusaha saling melupakan satu dengan yang lain.
    Ghost juga tak ingin mengetahui nasib kedua orang tua angkatnya. Berusaha agar tak menambah kesedihannya dalam pelarian panjang. Karena ia tak ingin lagi merepotkan siapapun. Walau bayangan ingatan masa kecilnya seringkali menyeruak dan menggangu tidurnya yang tak nyenyak.
    Walau sangat sederhana, ia merasa rumah panti asuhan adalah rumah yang dapat membuatnya lebih damai dan tenang. Apalagi dirinya tak pernah sendirian karena banyak temannya yang mengalami nasib serupa, bahkan lebih malang dari dirinya. Masa kecil di panti membuatnya menjadi anak yang mandiri sekaligus tegar. Bersama teman-temannya ia sering berjualan keliling untuk menambah uang saku. Modalnya dari sumbangan yang diberikan para dermawan. Karena itu, ia dapat membeli barang-barang kesukaannya seperti radio saku dan buku-buku cerita tentang perang.
    Setelah diambil anak angkat oleh keluarga berada, ia tak lagi merasakan tantangan seperti dulu. Apa saja tinggal minta membuatnya menjadi sering merasa cemas. Karena tak ingin mati kebosanan di sangkar emas lebih baik ia ikut pelatihan militer.
    Namun, tak ada yang dapat meramal nasib. Setelah menjadi anak emas di kesatuan pasukan khusus, ia dibuang seperti sepah. Padahal ia telah mengikuti aturan dan tak pernah melanggar hukum. Prestasinya juga tak pernah menurun. Terlebih lagi, ia tak pernah menuntut melebihi apa yang telah menjadi haknya. Ia mudah berteman dengan siapa saja waktu bertugas. Termasuk menarik hati kaum hawa.
    Ghost memiliki wajah yang teguh dan menarik. Pandangannya tajam, namun bijak. Kesan cerdas, penyabar dan santun itulah yang membuatnya mampu menyamar dan bergaul dengan siapa saja. Dari mulai kalangan pejabat sampai anak-anak jalanan, ia mampu berbaur.
    Potongan sosok tegap ala militer dengan wajah menarik membuat para gadis mudah jatuh hati padanya. Apalagi ia seorang gentleman tak pernah mempermainkan wanita demi hasrat sekejap. Ia hanya menjadi pendengar yang baik untuk mereka. Mudah saja baginya untuk mempermainkan wanita, apalagi ia memiliki banyak aset dan identitas yang disediakan atasannya.
    Walau seringkali, ia merasakan pil pahit karena menjadi pria baik-baik yang memegang teguh prinsip. Kelemahan yang sering ditampakkan dalam bentuk kasih dan kepedulian, seringkali menerima balasan prasangka buruk.
    Kesalahan yang sering dilakukannya adalah terlalu setia dengan tugas-tugas yang diberikan. Seolah tak ada waktu untuk membuat nyaman dirinya sendiri. Seperti kejadian buruk yang akan menimpanya jika berbuat kebaikan. Ia menganggap kendala adalah ujian, bukan sebagai hukuman. Seperti yang akan terjadi di malam hari itu.
    Bunyi klakson dari sepeda motor listrik terdengar dari luar gerbang sekolah. Tiga orang siswa berusaha naik ke pagar yang mengelilingi sekolah internasional itu.
    Ghost yang berada di gudang sayup-sayup mendengar bunyi klakson itu. Ia bergegas keluar dari gudang demi memeriksa gerbang depan sekolah. Meskipun sekuriti telah pulang, namun ia memiliki kunci melewati pintu gerbang yang lain.
    Ketika Ghost menyadari siswa yang masuk ke pelataran berniat buruk. Ia nampak waspada.
    “Hei, ada apa malam-malam ke sekolah?” tanya Ghost.
    “Nah, lu yang kita cari!” seru salah satu siswa itu. Ia mengacungkan tongkat besi berlistrik.
    “Ada apa?” tanya Ghost sembari memasang kuda-kuda. “Ada urusan apa kalian denganku?”
    “Lebih baik jauhi Dila. Jangan deket-deket kayak pacaran aja.”
    “Memang ada apa dengan Dila?” tanya Ghost heran.
    “Pura-pura gak tau lagi … jika sampai ada kasus pelecehan lagi. Kami tak segan mengebiri lu!”
    Ghost mulai mengerti duduk perkaranya. Meski ia belum mengetahui tentang kasus pelecehan yang terjadi di sekolah internasional itu.
    “Sori, nampaknya kalian salah paham. Aku telah menganggap Dila dan Fari satu keluarga…,” timpal Ghost membela diri.
    “Udah deh jangan banyak alasan. Kalau Dila cewek temen gue ini sampai nangis atau ngadu. Maka tanggung sendiri akibatnya!”
    “Memang ada apa dengan kasus pelecehan di sekolah ini?” tanya Ghost.
    “Kami ingatkan lagi, ya. Jangan sampai terjadi lagi kasus pelecehan yang menimpa Erin … Walau berusaha ditutupi oleh pihak sekolah, kami gak takut ke anak-anak dari keluarga kaya di sekolah ini.”
    “Erin mengalami pelecehan seperti apa?” tanya Ghost heran.
    “Lu tau takn petugas kebersihan sebelumnya ke mana? Dia telah mencoba memerkosa Erin ketika gadis itu berada di tempat sepi. Lalu akibatnya apa? Petugas kebersihan itu merasakan akibat dari perbuatannya sendiri. Ia tewas setelah kabar pelecehan itu.”
    “Apakah kalian melihat sendiri pelecehan itu? Siapa yang bercerita pertama kali?” tanya Ghost masih berusaha berpikir jernih.
    “Reni yang menceritakannya!” seru yang siswa yang lain nampak geram.
    Ghost tercenung. Dalam benaknya ada tanda tanya besar tentang Reni. Kekuatan wanita memang terletak pada lidahnya, menyebar isu memang keahlian seorang wanita. Dan kelemahan laki-laki memang mudah terpancing oleh ucapan wanita. Sudah hukum alam sejak zaman Adam dan Hawa. Apalagi, Ghost belum sempat mencari data lebih banyak tentang gadis bernama Reni itu.
    Apa yang sebenarnya terjadi dengan petugas kebersihan sebelumnya? Benarkah tuduhan pelecehan itu yang menjadi sebab petugas kebersihan itu menghilang? Berapa banyak isu yang disebar untuk menutupi kasus yang sebenarnya?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience