Rate

FILE 48: Jejak Jelaga

Mystery & Detective Series 649

Kebakaran jenis C, api berasal dari hubungan arus pendek.

    SUARA-SUARA tumpang-tindih terdengar bagai gema yang memantul-mantul di dalam ruang gedung pusat game yang hanya tinggal puing-puing itu. Bunyi dan suara yang berseliweran di telinga Inspektur Anton saling berinterferensi. Datang silih berganti disertai bunyi melengking dengan desau yang pendek-pendek. Sekejap menghilang dengan cepat, digantikan suara aneh lain yang berasal dari tempat yang jauh.

    “Seratus delapan poin delapan radio Aurora FM … turut berduka dengan bencana yang menimpa rekan kita Faril, operator baik hati di pusat game Nebula … ya, semoga Faril lekas lekas sembuh deh … dan bisa ngadain pertandingan game lagi … terpaksa main game online di rumah masing-masing nih sobat Aurora….”

    Inspektur Anton tidak tahan mendengar banyaknya suara yang memenuhi telinganya. Ia membuka mata dan memandang berkeliling. Menatap puing-puing bekas kebakaran di ruangan itu. Ia sampai tak menyadari ada polisi lain di tempat itu.
    Efek akibat rasa letih karena seharian dirinya memeriksa sudut demi sudut ruangan demi mencari penyebab kebakaran. Sementara rekannya yang lain memeriksa keadaan korban dan mengorek informasi dari pemilik pusat game itu.
    “Apa yang Anda dapat inspektur?” tanya polisi itu. Suaranya agak teredam masker yang dipakainya. Aroma menyengat dari kabel yang terbakar masih menguar di ruangan itu.
    “Kebakaran jenis C, api berasal dari hubungan arus pendek. Titik kebakaran ada di depan toilet karena di sana yang paling parah. Kemudian menjalar ke bangunan utama. Untungnya tidak menjalar sampai lantai atas. Saya menemukan stop kontak dan pengisi daya ponsel. Anehnya tak ada ponsel yang tersambung jadi pengisi daya itu dalam keadaan non aktif,” beber Inspektur Anton.
    “Ya, banyaknya bahan-bahan dari plastik dan fiber seperti figur, maskot dan peralatan berbahan plastik lain yang menyebabkan begitu api begitu cepat menyebar.”
“Selain Faril, siapa lagi karyawan yang lain?”
    “Dari info pemilik tempat ini. Ada dua operator lain, satu petugas kebersihan, dan seorang EO yang biasanya mengadakan even-even game. Kebetulan Faril yang mendapat shif bertepatan dengan kejadian kebakaran itu. Seharusnya ia sudah pulang tapi masih menunggu operator lain yang belum datang.”
    “Sayangnya kamera CCTV juga ikut terbakar, jadi tidak ada petunjuk rekaman kejadian sebelum kebakaran ini terjadi.” Inspektur Anton mengamati letak kamera CCTV yang dipasang di sudut langit-langit ruangan. Jejak jelaga membuat langit-langit menjadi sehitam malam. Kemudian sebuah banner yang separo terbakar menyita perhatian inspektur itu.
    “Oya, lihat spanduk itu … sepertinya akan ada acara kompetisi pertandingan game online di tempat ini … dari tanggalnya masih minggu depan.” Inspektur Anton menyalakan kamera kemudian memotret spanduk separo terbakar yang menggantung di langit-langit.
    “Sejauh ini masih musibah biasa … tak ada motif pembakaran disengaja.”
    “Kalau persaingan bisnis?”
    “Sepertinya tidak mungkin karena pusat tempat ini satu-satunya di Pulau Badai. Dan game online itu juga bisa dimainkan di rumah melalui komputer pribadi.”
    “Aku tak paham tentang game-game begitu. Kalau bisa dimainkan di rumah untuk apa ada pusat game online?”
    “Ya, sama seperti permainan sepak bola, kan lebih seru bermain bersama-sama di tempat yang sama daripada main sendiri-sendiri di rumah.”
    “Oh, begitu.”
    “Jadi, apa yang membuat Anda begitu tertarik dengan kasus kebakaran ini? Saya lihat sedari tadi Anda belum pulang. Lagian di sini bukan wilayah Anda.”
    “Betul. Saya cuma membantu saja. Dan….” Inspektur Anton nampak enggan untuk mengatakannya. “Kejadian penembakan di laboratorium kemungkinan ada korelasi dengan game online di sini … apa namanya … oh, ya, Blizzard.” Inspektur itu melihat brosur game yang separo terbakar tentang even game yang akan berlangsung. Tulisan Blizzard dicetak dengan kapital dan tokoh game memegang senapan.
    “Oh, jadi Anda juga menyelidiki penembakan di laboratorium. Ah, kasus akan makin pelik jika berhubungan dengan pejabat.”
    “Betul.” Inspektur Anton mengiyakan. Ia membungkuk dan meraih brosur game yang luput dari jilatan api. “Oya, apakah Faril sudah bisa ditemui?”
    “Tadi kami menemuinya di rumah sakit. Mungkin besok ia sudah pulang dan berobat jalan. Lukanya tidak parah. Untung bisa diselamatkan tepat waktu. Anak itu bersikeras menyelamatkan seluruh komputer di ruangan ini.”
    “Jadi bisa antarkan saya ke rumah anak itu?”
    “Bisa. Ia indekos di dekat perumahan di Pulau Badai.”
    Inspektur Anton mengangguk sembari melangkah keluar dari ruangan itu. Ia masih merasakan adanya jejak petunjuk yang dilewatinya.
***
    Mata gadis itu nampak sembab, berkali-kali ia menyeka hidungnya dengan tisu, tak peduli dengan wajahnya yang dibasahi air mata. Inspektur Anton hanya terdiam melihat Faril yang dirawat oleh gadis itu. Inspektur polisi itu tengah mengunjungi tempat indekos operator itu yang berada di tengah-tengah pemukiman warga.
    “Perasaanku sudah tak enak di siang itu. Gak taunya Faril kena musibah begini.”
    “Eh, gak usah bersedih gitu, aku sudah sehat kok.” Faril mengusap air mata di pipi gadis itu. Mereka nampak mesra.
    “Kalian kakak adik dan keluarga kalian berada di luar pulau,” ujar Inspektur Anton.
    “Dari mana anda mengetahuinya?” gadis itu terheran-heran. “Padahal banyak yang mengira kami bukan saudara dan seperti pasangan kekasih. Karena itu sewaktu pertama kali datang ke indekos ini warga sempat menegur saya.”
    “Ya, itu lumrah karena wajah kalian tak terlalu mirip.”
    “Jadi, dari mana Anda mengetahuinya? Anda detektif?”
    “Mudah saja bertanya kepada warga sekitar tentang kalian. Tapi, saya mengetahui dari foto masa kecil kalian yang terpajang di dinding itu. Foto gadis berlesung pipi dan anak kecil yang memegang sepeda itu pasti kalian. Telinga Faril punya ciri khas. Dan kalian memakai jam tangan mainan yang sama di foto itu. Jadi seketika itu saya menyimpulkan bahwa kalian adalah saudara kandung.”
    “Jadi ada kepentingan apa detektif sekelas Anda datang ke sini?” tanya gadis itu.
    “Pasti tentang kasus kebakaran di tempat game ya,” ujar Faril.
    “Yup, itu tebakan mudah. Masalahnya, ada kasus lain yang lebih rumit.” Inspektur Anton menunjukkan foto di ponselnya. Foto lambang stempel dari game online Blizzard. Sebuah lambang tengkorak dengan dua petir di sisinya.
    Faril memicingkan mata demi melihat lambang itu. “Lambang kemenangan. Siapa saja bisa membeli stempel itu di toko saya. Apa yang terjadi?”
    “Lambang ini ada di dekat mayat Arnes. Ilmuwan muda yang ditembak tepat di kepala di dekat dapur dalam laboratorium.” Inspektur Anton menggelengkan kepala. “Saya tak habis pikir bagaimana pelaku penembakan itu sempat membuat lambang game di TKP. Saya kira ini sebuah petunjuk penting. Atau hanya lelucon belaka?”
    “Headshot. Ya, itu istilah untuk tembakan di kepala. Jika mendapat headshot lambang itu otomatis keluar.”
    Inspektur Anton berdeham. “Aku tak begitu paham tentang game. Jadi tak bisa mereka-reka ada petunjuk di sana.”
    “Kalau tentang lambang itu. Headshot akan mendapat satu lambang itu. Multiple Kill akan mendapat dua lambang. Dan Mass Kill akan mendapat tiga lambang itu.”
    “Ya bisa kau jelaskan satu persatu istilah itu.”
    “Multiple Kill biasanya sniper bisa membunuh dua atau tiga orang sekali tembak. Dan Mass Kill biasanya dipegang bomber yang ahli dalam melempar granat atau merakit bom.”
    Inspektur Anton tercenung beberapa lama. Kemudian ia berkata, “Saya pernah melihat perkembangan game yang makin mendekati visual sangat mirip dengan aslinya. Hanya saja sedikit heran kenapa game-game kekerasan seperti itu bisa menjadi trend?”
    Faril tersenyum. “Dunia game tidak sekeras dunia nyata. Tidak ada yang tersakiti di sana. Ya, walau ada beberapa fanatik yang membawa-bawa masalah game ke dunia nyata. Kenapa ngetrend? Saya ingin bertanya ... kenapa Anda memilih menjadi detektif?”
    “Pangkat saya sekarang inspektur.”
    “Oya inspektur … apa yang Anda hadapi sehari-hari?”
    “Kekejaman di dunia nyata.”
    “Nah, dan game hanyalah refleksi dari yang terjadi di dunia nyata. Seniman meniru dari alam. Game meniru dari kenyataan. Jadi kenapa ngetrend? Ya, karena manusia memang dilahirkan untuk hidup dengan kekerasan di tengah-tengah kejahatan.”
    Inspektur Anton menghela napas. “Baik. Oke. Jawaban yang bagus … sekarang kita kembali ke topik. Bisakah kau menceritakan tentang game ini. Maksudku, tentang teknik-teknik penembakan atau pembunuhan yang lain?”
    “Bagaimana kalau Anda mencobanya sendiri inspektur?” Faril beranjak dari sofa. Ia menyalakan TV layar datar yang dihubungkan dengan CPU komputer. Lalu mengeluarkan stik nirkabel dari bufet di bawah TV.
     “Anda akan mengerti jika melihat langsung game Blizzard itu seperti apa.”
    “Oke.” Inspektur Anton menurut saja. Ia merasa membuang-buang waktu dengan bermain game. Namun, tidak ada salahnya jika petunjuk itu ada di dalam game.
***
    “Gimana piknikmu?” Suara Denara terdengar dari ponsel milik Selfi. Ia tengah menunggu Inspektur Anton pulang sembari menyusun berita tentang kasus di Pulau Badai di laptopnya. Kemudian Denara menelepon sehingga Selfi kehilangan konsentrasi.
    “Sebenarnya kau ingin bertanya tentang perkembangan kasus kan?” Selfi meraih ponsel sembari membanting tubuhnya ke atas ranjang. Konsentrasinya untuk menyusun berita seketika buyar.
    “Nah, tau aja kamu. Menarik banget itu untuk episode program acara Fakta dan Kriminal yang berikutnya.”
    “Duh, kapan ya bisa benar-benar cuti tanpa semua kasus ini.”
    “Yakin kau bisa bersantai-santai?"
    “Ya, setidaknya….”
    “Hah, aku udah bisa nebak … udah tau watakmu seperti apa … kau gak akan tahan sehari saja tanpa membaca berita kasus … Itu yang sebenarnya. Kau lebih memilih hal menantang daripada hidup yang damai dan tenang….”
    “Iya, sih. Tapi kalau bisa gak kayak gini juga kali. Huh, terlalu banyak kasus juga merepotkan. Coba lihat, kasus satu belum selesai, muncul kasus berikutnya.”
    “Begitulah dunia yang dihuni trilyunan makhluk. Gak tau kalau di surga masih ada kasus atau kagak.”
    “Bercanda kau, Den. Sudah cukup kasus Hawa dan Adam yang mengambil buah pengetahuan sehingga mereka diturunkan ke bumi.”
    ”Nah, akhirnya di surga yang tenang dan damai juga ada kasusnya. Oya, kau tinggal sekamar dengan inspektur itu?”
    “Hayo ngeres lagi. Di Jakarta kita juga tinggal sekamar. Dan gak selalu bisa tidur berdua, karena ranjangnya pisah, Den. Kadang inspektur itu tidur di sofa, di ruang kerja, atau di mobil malah. Heran kenapa kau penasaran banget sih.”
    “Wah hebat dong kalau kalian masih bisa menjaga diri masing-masing sebelum akad nikah.”
    “Hebatlah, namanya juga pasangan detektif hahaha.” Tawa Selfi membuat suasana tak lagi menegangkan. “Entahlah … pikiran inspektur itu rumit banget….”
    “Ah, kamu aja yang gak nembak duluan.”
    “Huh, dasar. Udah deh. Lanjut besok lagi laporanya oke. Laporan selesai, Den.”
    “Oke say. Lanjut besok lagi ya. Kudoakan kalian selamat sampai kasus itu berhasil diungkap.”
    “Aminnn.” Setelah mengucap salam sambungan ponsel itu berakhir.
    Berbagai pikiran berkelebat dalam kepala Selfi. Termasuk sebuah pertanyaan: bisakah mereka, sekali lagi, dapat selamat dari kasus berbahaya di Pulau Badai? Dan keluar dari pulau itu dalam keadaan masih bernyawa?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience