Rate

FILE 5: Tato Uroborus

Mystery & Detective Series 649

  INSPEKTUR Anton hanya berdua bersama seorang rekannya yang dapat giliran piket. Rekan-rekannya yang lain telah pulang di tengah malam itu. Mereka berjanji meneruskan menyelidiki rekaman CCTV dan barang bukti lain esok pagi. Mereka telah melakukan usaha terbaik. Namun, hanya beberapa yang bersedia bekerja non stop nyaris dua puluh empat jam.
    Lagi-lagi Inspektur Anton harus lembur. Di koridor rumah sakit itu nampak hening. Namun, berbagai suara-suara samar masih mengganggunya. Suara-suara dari penghuni tak kasa mata di rumah sakit itu....
    Penyidik yang diandalkan oleh kesatuannya itu sedang menyimak penjelasan ahli forensik senior yang juga seorang dokter berdedikasi, dr. Morga Kusuma, tepat di depan pintu kamar otopsi.
    “Adakah hal yang unik atau tanda yang tak biasa di tubuh korban dari hasil otopsi ini?” tanya Inspektur Anton.
    “Ya—ya, ada beberapa keanehan. Karena yang kita hadapi ini bukan racun biasa melainkan virus mematikan. Oya, yang paling mencolok adalah korban memiliki tato bergambar ular di tubuhnya.” Suara dr. Morga terdengar cepat jadi harus mendengar baik-baik atau tertinggal. Proses otopsi baru saja selesai, dr. Morga sudah berganti pakaian. Pakaian terusan sekali pakai dan masker yang dikenakan selama otopsi harus dimusnahkan agar tidak menularkan penyakit dari tubuh korban. Percikan darah dan cairan dari tubuh cukup untuk menularkan penyakit misterius itu. Petugas medis yang hendak masuk dan keluar dari kamar isolasi harus disemprot gas disinfektan di ruangan khusus. Seluruh barang elektronik yang terpaksa di bawa ke dalam seperti ponsel, tablet atau laptop harus dibungkus plastik sekali pakai.
    Hanya petugas medis berpakaian khusus yang berwenang yang boleh memasuki kamar isolasi. Kamar yang pernah digunakan untuk mengisolasi pasien korban flu burung dan antraks mempunya dua lapis ruangan. Ruang pertama untuk sterilisasi tubuh petugas yang hendak masuk ataupun keluar kamar isolasi. Pakaian terusan sekali pakai disediakan di sana. Ketika sudah keluar, sepatu dan peralatan medis disemprot klorin.
    Dokter Morga melepaskan masker dan penutup rambut yang menutupi kepalanya. Inspektur Anton dapat melihatnya keluar melalui ruangan berlapis kaca tebal.
    Pria paruh baya berumur empat puluhan itu masih terlihat enerjik. Rambutnya dibiarkan memutih. Kumis dan jambang di dagunya berantakan. Kecerdasannya terlihat ketika mulai berbicara. Caranya berbicara jelas dan sorot matanya tajam, namun teduh.
    Dokter Morga memperlihatkan foto-foto otopsi tubuh korban di layar tabetnya.
    “Ya, saya pernah melihatnya sewaktu menangkap orang-orang dari kelompok mereka,” timpal Inspektur Anton sembari mengamati foto di layar tablet dr. Morga. Ia agak merunduk karena tubuh dr. Morga lebih pendek darinya. Ingatannya tentang kejadian penguburan hidup-hidup dirinya kembali mengusiknya.
    “Tato kepala ular memakan ekor yang tergambar di dadanya.” Dokter Morga menggerakkan foto di layar tabletnya. Memutar dan memperbesarnya.
    “Ular yang memakan tubuhnya sendiri … Uroborus?” Inspektur Anton mengingat-ingat. “Boleh saya minta foto tato di badan korban itu? Kirim ke tablet saya.”
    “Ya, silakan.” Dokter Morga menyalakan jaringan dan mengirimkan foto tato itu. “Ah, ya, Uroborus. Ah itu hanya dongeng.” Dokter Morga berdeham. “Tim Anda apakah sudah mengenali wajah korban?”
    “Belum, tapi kami sudah memotret wajah korban. Meski sulit dikenali karena sudah rusak akibat membusuk,” ujar Inspektur Anton. “Masih dalam proses rekonstruksi wajah digital yang dilakukan rekan kami dari cyber forensik. Menurut ingatan saya, wajah korban mirip salah satu DPO geng King Kobra. Ia termasuk anggota organisasi pembunuh bayaran yang dicari karena kasus pembunuhan di Medan. Satu kelompok dengan gembong narkoba yang pernah saya tangkap waktu lalu. Mereka gak seorang diri kalau beraksi.” Inspektur Anton nampak gelisah mengingat kejadian penggerebakan gembong narkoba itu. Kemudian ia berusaha mengalihkan topik. “Oh ya, jam kematian korban?”
    “Agak sulit diperkirakan. Kemungkinan korban tewas tengah malam sekitar pukul 01.11.” Dokter Morga membuka file foto-foto lain. “Pembusukan akibat racun mengaburkan rigor mortis. Kekakuan mayat sulit dikenali karena organnya ‘meleleh’.”
    “Itu … mengerikan.” Rekan inspektur itu mengusap keringat di dahinya.
    “Penyebab kematian?” tanya Inspektur Anton.
    “Kami menemukan sel vegetatif mirip antraks yang sudah bermutasi. Spesies baru. Jenis penyakit baru dari virus baru. Gejala dan akibatnya berbeda dengan antraks. Apalagi dapat menular ke manusia,” jabar dr. Morga. “Nggak ditemukan luka lain yang menjadi sebab kematian di tubuhnya. Bekas luka melepuh baru seperti bekas terbakar berada di tengkuknya. Mungkin akibat reaksi penyakitnya. Luka-luka suntikan di lengan korban menandakan pecandu narkoba. Namun, luka suntikan itu sudah lama. Tidak ada luka suntikan baru.
    Organ tubuh korban hancur. Dari paru-paru, lambung, ginjal hingga kelenjar prostat. Darah keluar dari sembilan lubang di tubuhnya. Namun, pendarahan akut terjadi di alat kelaminnya. Darah mengucur deras karena pendarahan hebat.
    Suhu tubuh korban meningkat drastis seakan terpanggang hidup-hidup. Toksikologinya masih belum jelas karena bahan kimia atau virus baru jenis apa, tapi dalam darahnya mengandung obat bius. Kemungkinan korban dibius sebelum tertular penyakit aneh itu.”
    “Ya, seperti dugaan kami. Pelakunya membuang sisa obat bius ke wastafel. Ada sisa-sisa obat bius di kamar hotel itu,” timpal Inspektur Anton. “Apa racun itu juga
dimasukkan ke minuman korban? Atau terhirup melalui udara?”
    “Di kerongkongan dan tenggorokan korban gak ditemukan racun. Hanya darah hitam kental. Penyakit itu merusak keping sel darah korban.”
    “Lalu dari mana penyakit itu menular?”
    Dokter Morga berpikir sejenak. “Mungkin dari sentuhan kulit atau hubungan intim. Tiga kali lebih ganas dari virus ebola atau AIDS.”
    “Pelakunya juga terjangkit?”
    “Nggak mungkin karena akan tewas seketika.”
    “Jadi pelakunya dapat membawa penyakit itu tanpa kontak langsung.”
    “Jenis spora antraks yang sudah bermutasi. Harus berhati-hati membawanya.”
    “Korban dilumpuhkan memakai obat bius agar nggak melawan. Mungkin semacam tes, jika racun itu gagal. Setelah korban gak berdaya baru diracuni,” asumsi Inspektur Anton. “Bagaimana nasib penghuni hotel yang tertular penyakit dari korban.”
    “Korban pria gak tertolong, sedangkan korban wanita masih kritis. Tapi anehnya korban wanita yang terpapar virus ini tak separah korban pria.” Dokter Morga memperlihatkan file foto-foto korban yang tertular ‘Kutukan Ancol’ di layar tabletnya.
    “Seharusnya aku berada di sana lebih awal. Harusnya ada larangan bagi siapa saja yang masuk ke koridor itu.” Inspektur Anton mengepalkan jemarinya.
    “Mereka terlalu lama menghirup racun yang menyebar ke udara,” imbuh dr. Morga. “Racun di darah korban mudah menguap. Dan sama kuatnya ketika membunuh korban untuk pertama kalinya. Untung saksi mata berada agak jauh dari korban.”
    “Mereka yang pertama kali masuk memerika ke kamar korban.” Inspektur Anton terlihat menyesal. “Rasa penasaran memang seperti pisau bermata dua.”
    “Itu sudah nasib mereka,” timpal rekan polisi yang lain.
    “Sampel darah korban sudah saya kirim ke laboratorium untuk diteliti lebih lanjut. Mungkin mereka menemukan zat lain. Dokter spesialis juga angkat tangan. Mereka tidak mengerti penyakit apa yang menewaskan korban dalam semalam.” dr. Morga sibuk mencari-cari file di dalam tabletnya. “Saat ini ilmuwan biokimia, Evangela Eliza, gadis berusia dua puluh sembilan tahun, mulai menyelidikinya.”
    “Evangela?” Inspektur Anton mengingat-ingat. “Ya, saya pernah membaca risetnya di surat kabar.”
    “Nah, ini dia foto orangnya. Tetap low profile meskipun mempunyai segudang prestasi. Dunia ilmuwan memang jauh dari glamor. Artikelnya sering diterbitkan di jurnal ilmiah luar negeri, sedangkan foto dan orangnya jarang ditampilkan. Hanya pernah sekali masuk TV.” Dokter Morga memperlihatkan foto dan berkas profil di layar tabletnya. “Penemu anti radiasi. Kita menaruh harapan besar pada ilmuwan negeri berbakat ini.”
    Inspektur Anton memerhatikan catatan profil Evangela. “Bisa Anda kirim file profilnya ke email?”
    “Ya, tentu saja. Tadi ia keluar dari ruangan ini lima belas menit sebelum Anda. Nanti saya akan pertemukan Anda dengannya.”
    Rekan Inspektur Anton kembali berkicau. “Di kawasan Ancol sering terjadi kasus kriminal yang mengerikan. Mutilasi tiga belas, bunuh diri, dan penampakan ‘hantu’ legenda Si Manis Jembatan Ancol. Dan sekarang … kutukan Ancol?”
    “Anda percaya? Kutukan Ancol?!” Inspektur Anton tergelak. “Bukan.” Wajahnya kembali serius. “Nampaknya ini kasus pembunuhan berencana.”
    Rekannya terdiam.
    “Pelakunya sangat cerdik,” imbuh Inspektur Anton. “Pergunakan akal sehat kalian agar pelakunya segera tertangkap. Jangan sampai terkecoh kutukan Ancol, itu hanya sensasi media. Saya ingin tau siapa yang memulai menamakan kasus ini sebagai kutukan Ancol, bagian cyber forensik akan memeriksa jaringan internet.”
    Inspektur Anton dan rekan segera meninggalkan kamar isolasi. Rasa penasarannya makin menjadi. Ia hendak menyelidiki barang bukti lain yang telah diambil dari TKP. Ia ingin mengetahui hasil penelitian rekaman CCTV yang telah dilakukan rekan-rekannya yang lain. Dan ia baru bisa mengetahui hasilnya besok. Walau ia tak akan ikut bicara banyak. Seperti yang udah-sudah, ia hanya akan memberikan laporan kepada atasannya yang akan mulai memberikan informasi di jumpa pers besok. Kutukan Ancol? Terdengar menggelikan memang. Namun, mereka akan segera menghadapi mimpi buruk. Bagi Inspektur Anton mimpi buruknya bukan hanya di dunia nyata, tapi juga dalam mimpinya. Rasa trauma akibat dikubur hidup-hidup terus saja menghantuinya.
    “Malam ini Anda menginap di jalan lagi? Hotel?” tanya rekannya ketika membawa mobil itu bergerak di jalanan yang lengang. “Saya merasa Anda masih trauma dengan kejadian penguburan itu. Apa tidak ada rasa cemas ketika kembali ke jalanan lagi?”
    “Trauma tentu masih ada. Seringkali muncul sebagai mimpi buruk. Tapi, setelah kejadian itu aku dapat pelajaran berharga bahwa maut haruslah dihadapi. Karena kalau tidak, ketakutan itu akan makin menjadi-jadi,” ujar Inspektur Anton.
    “Jadi, itu sebabnya Anda jarang ke kantor untuk menghadapi kecemasan di lapangan.” Rekan inspektur itu berusaha menebak.
    “Ya begitulah. Oya, sudah lama aku tak menginap di kantor. Aku mau merekonstruksi kasus langka ini.” Inspektur Anton memeriksa kembali foto-foto hasil otopsi di layar tabletnya. Ketika foto tato Uroborus itu ia mengamatinya dengan saksama. Ia mencari data di mesin pencari. “Apa yang kau ketahui tentang tato Uroborus? Simbol medis juga berupa ular bukan?”
    “Uroborus … ular yang memakan bagian tubuhnya sendiri. Setahu saya itu simbol keabadian atau terlahir kembali.”
    “Uroboros atau Ouroboros. Ular yang memakan tubuhnya sendiri seperti King Cobra yang dapat menelan ular lain. Bisa juga simbol tak terhingga, atau simbol keberuntungan seperti angka delapan? Mirip seperti legenda Finiks yang terlahir kembali dari api, ya ... terlahir kembali, berulang kali dan lagi. Mati berkali-kali dalam keabadian. Terulang kembali...."
    “Ya, nampaknya begitu.”
    “Jadi, apakah itu petunjuk? Atau pesan?” Rekan inspektur itu mengerutkan kening.
    “Bisa jadi. Pesan dari pembunuhnya. Korban ditengarai mengenal pelakunya. Bahkan bisa dibilang sangat dekat. Kalau pelakunya merencanakan mentato korbannya sebelum dibunuh. Pelaku kali ini nampaknya tak bisa bisa diremehkan. Pelakunya dengan tenang dan lihai mempersiapkan segalanya, sebelum melakukan aksinya.” Inspektur Anton mengetuk-ngetuk dasbor tanda sedang berpikir keras.
    “Malam ini lebih baik jika Anda istirahat dulu. Kalau terlalu diforsir kami tak mau kehilangan penyidik andalan. Simpan tenaga untuk besok.” Rekan inspektur itu memberi saran.
    Inspektur Anton hanya mengangguk. Namun, gerigi di otaknya masih berputar. Kepalanya masih terasa panas serta dengung seperti lebah yang masih terdengar.
    Pesan apa yang ada dalam simbol Uroborus?
    Virus macam apa yang dengan begitu cepat membunuh korbannya?
    Mobil yang dikendarai Inspektur Anton dan rekannya melewati jalan yang lengang. Rekan inspektur itu hendak bertanya sesuatu, namun diurungkan karena sebuah mobil tiba-tiba menyalip ke arah depannya. Mobil sedan itu beberapa kali berbelok tak tentu arah. Bunyi decit ban terdengar di badan jalan. Kemudian sedan silver itu menepi di dekat trotoar.
    Tiba-tiba bunyi seperti lebah terdengar kembali di telinga Inspektur Anton. Ia mendengar suara-suara pertengkaran yang tumpang tindih lalu lenyap.
    “Kau dengar suara pertengkaran itu?” tanya Inspektur Anton.
    “Suara apa?”
    “Hei—tolong, menepi di depan mobil silver itu.” Inspektur Anton memberi tanda dengan tangannya. “Mobil ini bukan mobil polisi, jadi mereka tak akan menyadarinya.”
    “Entah kita beruntung atau tidak. Anehnya kalau mengendarai mobil polisi malah jarang bertemu kejahatan mendadak. Enggak begini.” Rekan Inspektur itu menghela napas. “Tapi ini sudah hampir subuh. Mungkin hanya pengendara ngantuk?”
    “Kejahatan tak pernah tidur.” Inspektur itu mengamati mobil silver yang menepi tidak jauh di belakang mobilnya. “Aku merasa ada yang tidak beres.”
    "Sebaiknya kita tidak ikut campur. Kalau hanya masalah pribadi," ujar rekan inspektur itu.
    Inspektur Anton terdiam, ia menimbang-nimbang ucapan rekannya itu.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience