Rate

FILE 11: Halusinogen

Mystery & Detective Series 649

 INSPEKTUR Anton tidak percaya ketika mendengar bahwa ijin memasuki TKP turun langsung dari atasannya sendiri. Pihak kepolisian seakan tidak berdaya menghadapi tekanan dari media massa yang berpengaruh, termasuk Metropolis TV milik salah satu petinggi partai berpengaruh yang duduk di DPR. Kerja sama simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Kepolisian mendapat pencitraan positif, bonusnya promosi. Sedangkan media massa memperoleh berita aktual dalam waktu relatif singkat. Media saling bersaing meraih rating, menyajikan berita yang menyita atensi publik.
    Rekan-rekan Selfi masih memenuhi koridor. Salah satu rekannya yang kesurupan masih terbaring lemas di atas kursi ruang tunggu di lobi hotel Merkuri. Jadwal syuting program Fakta dan Kriminal diundur.
    Rapat dadakan diadakan di tempat itu demi menentukan langkah berikutnya.
    Sehabis rapat, Denara segera datang bersama manajer stasiun televisi ke lokasi. Mereka tengah berada di kantor stasiun televisi ketika kejadian pada petang hari itu terjadi.
    Denara yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Karena ia meminta ijin dari atasan kepolisian yang anak buahnya tengah melakukan penyelidikan.
    “Kalian dilarang memasuki TKP,” ujar Inspektur Anton. “Kamar itu masih dalam proses penyelidikan tim forensik. Kamar itu diduga masih terkontaminasi penyakit.”
    “Saya kira kepolisian sudah memberi ijin,” ujar Denara. Ia menunjukkan surat ijin bermaterai. Tembusan Ajudan Komisaris Polisi Jakarta Pusat, atasan Inspektur Anton.
    “Maaf, itu bukan urusan saya.” Inspektur Anton menolak surat yang disodorkan Denara. “Saya melarang Anda atau siapapun merusak TKP. Saya yang bertanggung jawab penuh di tempat ini.” Ia mengerutkan dahinya mengamati Tiara yang sudah siuman dari pingsannya.
    “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Inspektur Anton. “Apakah gadis yang pingsan itu belum makan atau apa? Kenapa bisa pingsan di tempat kejadian?”
    “Maaf, saya nggak berada di tempat kejadian,” ujar Denara. Waktu itu kebetulan saya sedang mengetik di lobi.
    Selfi yang mendengar pembicaraan menoleh. Ia beranjak dari samping rekannya yang masih nampak lemas. Ia melangkah mendekati Denara dan menyela, “Rekan kami tiba-tiba kesurupan.”
    “Kesurupan?” Inspektur Anton heran. Sebelumnya ia mengira karena terkena sisa racun yang masih melekat di dalam kamar.
    “Ya, saat pengambilan adegan di dalam kamar.”
    “Bukankah itu sebagian dari skenario kalian? Para penebar sensasi?”
    Telinga Selfi memerah. “Maaf, tapi kami bukan pembohong! Lagian itu bukan setingan. Saya melihat dengan mata kepala sendiri kejadian di dalam kamar!”
    “Kamu percaya hal mistis di hotel ini?” tanya Inspektur Anton.
    Selfi terdiam. Ia menyadari sesuatu. Berbagai suara terdengar dalam pikirannya. Bisa saja produsernya, Denara, dan rekan-rekannya diam-diam membuat ‘skenario’ lain. Setingan yang membuat acara di TV itu semakin menebar sensasi. Ia teringat ketika kameramen masih terus merekam bukannya menolong rekan mereka yang kesurupan. Ia hanya dapat bertanya-tanya dalam batin.
    Kesurupan disengaja? Tapi untuk apa?
    Atau memang hotel ini angker?
    Penghuni gaibnya berusaha memperingatkan kami?
    Mereka tidak perlu melakukannya jika rating Fakta dan Kriminal bagus. Bukan program acara penampakan picisan. Jika kejadian kesurupan itu ikut disiarkan maka acara itu nampak sebagai acara mistis picisan.
    “Entahlah,” sahut Selfi tidak habis pikir. “Saya nggak percaya hal-hal mistis. Namun, kemarin malam saya melihat sendiri coretan aneh di dinding kamar itu. Setelah bermimpi buruk.”
    “Jadi, Anda penghuni kamar 222 di lantai tiga?” Inspektur
Anton menatap Selfi. “Saksi mata mengatakan Anda menjerit kemarin malam?”
    “Ya, mungkin karena saya kelelahan. Kemarin saya baru saja bertolak dari selesai meliput di Surabaya. Kemudian datang kasus itu yang memaksa saya untuk kembali ke Jakarta.” Selfi melirik Denara yang ikut mendengarkan percakapan itu. Wajah Denara nampak ikut menyesal.
    “Kemari. Ikut saya. Saya butuh beberapa informasi terkait coretan di dinding itu. Kebetulan Anda sedang ada di sini.” Inspektur Anton melambaikan tangan agar Selfi mengikutinya.
    Denara terdiam. Ia melangkah di samping Selfi. Mereka berjalan ke tangga menuju lantai tiga. Kamar nomor 222 tidak jauh dari tangga. Di koridor itu tak ada tanda peringatan dari polisi karena tak termasuk area yang terjangkit. Satu-satunya tanda hanya garis polisi yang melintang di depan kamar nomor 222.
    “Kami tengah melakukan penyelidikan di kamar nomor 222.” Inspektur Anton membuka garis polisi yang menutupi kamar itu.
    “Ya, itu kamar tempat pertama kali saya menginap.”
    Selfi dan Denara melangkah di belakang Inspektur Anton. Koridor lantai tiga terang benderang, semua lampu di koridor dinyalakan. Sesampai di depan kamar nomor 222, garis polisi telah terpasang di depan pintu kamar itu. Kamar Denara berada di sampingnya, kamar nomor 223.
    “Jangan menyentuh apapun di dalam kamar ini.”
    Inspektur Anton membuka pintu kamar. Lampu di dalam kamar menyala terang. Ia mendekati saklar yang berada di tembok dekat pintu masuk. Sebelum menekan saklar, ia berkata, “Lihatlah baik-baik. Apa yang akan terjadi.”
    Lampu di dalam kamar padam. Kegelapan menutupi ruangan.
    Selfi dan Denara kaget. Mereka terheran-heran.
    Seluruh tembok kamar dipenuhi coretan warna hijau benderang. Coretan angka 2 dan kata loro tumpang tindih di tembok hingga ke langit-langit kamar.
    “Ini—ini … seperti kemarin malam.” Kedua mata Selfi tidak
berkedip. Bayangan kejadian malam berkelebat dalam kepalanya. Coretan-coretan di tembok kamar semakin jelas.
    “Resorsinolftalein… atau fluoresen,” papar Inspektur Anton. “Zat yang mempunyai sifat memancarkan cahaya.” Ia nampak berlagak sok pintar karena Selfi memerhatikannya.
    “Pelakunya mencoret dinding ini dengan fluoresen?” Selfi segera mengerti.
    “Ya, namun ada campuran zat lain.” Inspektur Anton kembali menyalakan lampu. “Zat halusinogen yang mudah menguap jika terkena intensitas cahaya dalam waktu lama. Indikator kimia mendeteksi zat halusinogen dari udara. Hasil laboratorium baru keluar tadi pagi. Cahaya lampu di dalam kamar ini mampu menyebabkan zat itu menguap.”
    “Halusinasi?” Denara menimpali. “Persis seperti dugaanku kemarin.”
    “Dalam waktu setengah jam, penghuni kamar ini akan mengalami halusinasi.”
    “Siapa saja?”
    “Ya, siapa saja. Lebih efektif jika ia tengah tertidur.”
    “Benarkah? Jadi, yang aku lihat kemarin malam itu ….”
    “Apa yang kau lihat?”
    “Ah, hanya mimpi … mimpi buruk.” Untuk beberapa saat Selfi sangsi. Kemudian ia menceritakan kejadian kemarin malam. “Saat itu aku kelelahan. Nyaris tertidur di atas ranjang ketika bunyi itu membuatku terjaga. Bunyi benda diseret di atas lantai. Samar-samar bayangan sosok perempuan terlihat tepat di depan ranjang. Ia tengah menyeret sesuatu. Ketika saya beranjak untuk melihatnya, sesosok mayat pria yang tercekik gesper tengah diseret ke arah jendela.”
    Jemari Selfi menunjuk ke arah jendela.
    Inspektur Anton terhenyak. Ia terlihat berpikir keras. “Pelakunya sengaja memilih kamar ini. Karena di sini pernah terjadi kasus pembunuhan.”
    “Siapa saja bisa mengalami halusinasi semacam itu,” sahut Denara.
    “Seorang perempuan membunuh pria selingkuhannya. Lalu melemparkan mayatnya melalui jendela. Perempuan itu kemudian menyusul melompat, bunuh diri. Kejadiannya persis seperti yang Anda ceritakan,” papar Inspektur Anton.
    Untuk beberapa lama ruangan itu sunyi. Mereka terdiam.
    Kemudian suara Denara memecah kebisuan. “Ya, saya pernah mendengar kasus itu. Perempuan itu sakit hati karena kekasihnya urung menikahinya.”
    “Sakit hati…? ya—ya, sakit hati berarti loro atau lara dalam bahasa Jawa,” timpal Inspektur Anton. “Itu pesan coret-coretan itu.”
    “Hai, bisa juga berarti angka dua … loro atau dua.” Selfi ikut mengerutkan dahi. “Apakah akan terjadi pembunuhan kedua? Coretan ini sebuah petunjuk. Siapa saja dapat menemukan petunjuk ini. Kebetulan kemarin malam saya yang menginap.”
    “Hah, jangan terhasut. Pelakunya hendak mengaitkan dengan legenda Nyi Rara Kidul. Banyak yang menyebutkan Nyi Rara Kidul atau Nyi Loro Kidul,” ujar Denara. “Ratu yang identik dengan warna hijau … seperti warna coretan itu.”
    “Semua mulai berkaitan. Roro atau rara berarti ratu … loro atau lara bisa berarti dua atau sakit hati. Rara juga berarti perawan … belum menikah.” Selfi seperti berkata kepada dirinya sendiri. “Bunyi pesan itu kira-kira begini ‘Ratu kedua yang masih perawan hendak membalas dendam atas sakit hatinya’.”
    “Hmmm, ya kurang lebih. Mungkin pelakunya hendak mengatakan pesan seperti itu,” pungkas Inspektur Anton. Ia melambaikan tangan agar mereka segera keluar dari dalam kamar. Ia menutup kamar rapat-rapat lalu kembali memasang garis polisi.
    Keraguan menyelimuti hati mereka.
    Antara percaya dan tidak, mereka bertanya-tanya: apakah Nyi Rara Kidul telah kembali?
***
    Selfi bersama Denara kembali ke kamar mereka. Mereka hendak berpisah dengan Inspektur Anton di depan pintu kamar. Inspektur itu seperti hendak mengatakan sesuatu, namun diurungkan. Jika tidak karena Selfi yang membuka topik.
    “Kalau ada bahaya kami harus menghubungi siapa?” tanya Selfi.
    “Oh, bisa langsung ke nomerku.” Inspektur itu mengeluarkan ponselnya. “Berapa nomor ponselmu?”
    Selfi nampak berhati-hati ketika mengucapkan nomer ponselnya. Kemudian ponselnya berbunyi.
    “Itu nomerku. Jika perlu bantuan panggil saja.” Inspektur Anton bergegas kembali ke koridor. “Tunggu informasi dariku atau rekanku tentang perkembangan kasus ini. Tugas menyelidiki kasus ini adalah tugas polisi. Kalian hanya perlu mengklarifikasi setelah kami mengadakan konferensi pers.”
    Denara hanya mengangguk, namun dalam kepalanya ia memikirkan langkah selanjutnya. Jejak di kamar nomor 222 memberi mereka bonus berita yang menarik. Berharap memberi titik terang bagi kasus yang tengah mereka hadapi.
    “Ini bisa jadi awal berita bagus.” Denara tampak bersemangat. “Setidaknya kita tahu apa tujuan pelaku yang sebenarnya.”
    “Dan aku berada di sana. Menyaksikan dengan mata kepala sendiri.”
    “Simpan itu. Ini penting nggak penting.”
    “Anehnya, legenda ternyata dapat masuk akal seperti ini.”
    “Belum semua.”
    “Ini program Fakta dan Kriminal.”
    “Kita harus mengantongi ijin untuk merekam keadaan kamar itu.” Denara menatap lekat-lekat ke arah Selfi.
    “Apa?” Perasaan Selfi tidak nyaman.
    “Aku berharap padamu.” Mata Denara mengatakan sesuatu.
    Selfi mengerti. “Ng—nggak, aku gak ingin merayu seorang Inspektur polisi lagi! Untuk kedua kalinya.”
    “Ayolah. Apa salahnya…? Ini untuk kita.”
    “Aku….”
    Dering ponsel Selfi memotong pembicaraan itu. Save by the bell. Ia buru-buru meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Panggilan dari ibunya.
    “Ya, haloo….”
    Beberapa menit tidak ada suara. Selfi hanya mendengarkan suara ibunya di dalam ponselnya. Tubuhnya membeku. Hanya kedua matanya yang bergerak-gerak. Kemudian suaranya mendatar, “Ya, ya … aku di Jakarta. Belum bisa pulang. Maaf, Bu. Semoga di sana lancar.” Selfi hanya mengiyakan perlahan kemudian mengakhiri pembicaraan itu.
    Selfi tanpa ekspresi. Ia duduk di tepi ranjang.
    “Ada apa?” tanya Denara. Namun, Selfi memandang kosong.
    “Selfi… ?” desak Denara. Sedikit meninggikan suaranya.
    Selfi tersentak ketika menyadari Denara berbicara di dekatnya. “Keluargaku hendak mengenalkanku ke cowok. Lagi, ini sudah keberapa kali aku gak ingat lagi."
    “Cowok yang mana?”
    “Ya, gitu setiap ada acara keluarga, aku biasanya dikenalkan ke cowok yang mereka pikir baik untukku. Dan Ibuku berceramah seperti biasa.”
    “Kau menyerah sekarang?”
    “Tentu saja nggak!” Selfi mendengus.
    “Mau mendekati Inspektur Anton?” Denara kembali tersenyum.
    “Pleaseee jangan paksa aku.” Namun, Selfi tak nampak sungguh-sungguh dalam berkata. Wajahnya bersemu merah.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience