Rate

FILE 31: False Flag

Mystery & Detective Series 649

  “TADI pagi kami baru mendapat surat dari seseorang tidak dikenal yang datang ke studio kami. Isi surat itu menyatakan bahwa dirinya adalah sniper yang telah menembak Direktur PT. Putra Rajawali, berikut isi suratnya:

    Demi Kebenaran dan Keadilan saya adalah seorang sniper yang telah menembak direktur PT. Putra Rajawali. Saya meminta maaf kepada semua pihak yang dirugikan. Saya akan menyerahkan diri saya dalam 2 x 24 jam jika Propam bersedia melindungi saya di tempat yang telah ditentukan.
    Saya akan menunjukkan jati diri saya di lapangan golf Modernland dua hari dari sekarang pada pukul 13.00. Tolong jangan bawa pasukan karena saya juga tidak akan bersenjata.
    Tertanda Ghost

    Atas datangnya surat itu, kami masih menghubungi pihak berwajib untuk penyelidikan lebih lanjut….”

    Berita surat ancaman dari sniper misterius itu diteruskan dari media ke media lain hingga menjadi viral yang menyebar dengan cepat. Menyiarkan tayangan yang sama dari TV pertama kali yang mengabarkannya. Bahkan sebelum adanya tersangka, stasiun TV Satu telah merekonstruksi kejadian penembakan.
    Inspektur Anton memperingatkan Selfi agar lebih berhati-hati dalam investigasi. Ia mulai membatasi Denara agar tidak membawa reporter itu ke tempat kejadian perkara, namun ia tak yakin Selfi menuruti kata-katanya.
    Ghost yang tak pernah merasa mengirim surat apapun ke media mulai waspada. Ia yakin pesan itu ditujukan kepadanya. Pemilihan lapangan golf karena kemarin ia nyaris tertangkap di sana. Pukul 13.00 adalah waktu penembakan yang di luar rencana semula. Nama yang tertulis dari si pengirim merujuk kepada nama sandinya: Ghost, merupakan umpan dari pengalihan kasus yang sebenarnya.
    Ancaman tersirat juga ada pada kalimat terakhir: Tolong jangan bawa pasukan karena saya juga tidak akan bersenjata. Pengirim surat itu seakan memberi pesan agar Ghost tidak membawa senjata, atau pengirim surat itu mengancam akan membawa pasukan jika Ghost membawa senjata. Ini semacam jebakan. Bahkan jika duel satu lawan satu pun akan memerlukan senjata. Kecuali jika hendak duel dengan tangan kosong.
    Pesan ancaman itu dikirim karena mereka tidak tahu posisinya berada. Ghost lega karena para pengejarnya putus asa sampai harus mengirim surat kaleng ke media, bukti bahwa mereka masih belum bisa melacak dirinya. Ia telah memisahkan barang-barang yang dipasang alat pelacak dengan yang tidak. Pesan itu juga sebagai bukti bahwa di tubuhnya tidak terdapat alat pelacak.
    Atau hanya sebagai pengalih perhatian? False flag?
    Surat kaleng itu tidak menguntungkan pengejarnya. Malah memberi informasi mengenai situasi yang dihadapi mereka. Namun, Ghost makin waspada. Ia tidak perlu menelepon siapapun bahkan rekannya, karena mereka dilatih untuk bergerak seorang diri ketika misi tidak berjalan mulus.
    Jika dirinya tidak tertangkap dalam 2 x 24 jam seperti surat itu, pasti rekan-rekannya lain yang ditangkap. Dan itu mudah karena mereka yang memberi perintah juga yang melakukan penangkapan. Ia akan mengetahuinya dalam dua hari ke depan, atau sebulan kemudian di media. Dan dugaannya benar, mereka pasti telah memiliki peta strategi dan melakukan penangkapan rekan-rekannya satu persatu.
***
    "Kalau gini, lebih baik dihabisi pakai pisau. Biar lebih jelas siapa pelakunya,” pria kurus itu kembali mengawasi jendela kamar indekos itu.
    “Bodoh kau, malah mereka akan lebih mudah menyalahkan kita,” sahut pria lain yang lebih gemuk, berada di sudut lantai. Di kamar tiga kali dua itu hanya ada kasur gulung dan lemari kecil. Mereka tidak pulang ke rumah setelah penembakan.
    Wajah kedua pria itu mirip sketsa pelaku penembakan. Bukan hanya mirip. Wajah yang dibuat oleh polisi memang wajah mereka tanpa mengenakan helm.
    “Sama saja kan? Kalau kita gak membunuh, kita yang akan dihabisi.”
    “Begitulah, mereka ingin cuci tangan dalam masalah ini. Mereka akan mudah menghabisi kita sebagai pembunuh bayaran.”
    Kedua pria itu terdiam. Disatukan nasib dan keadaan mereka pasrah. Apalagi ketika salah satu rekan mereka yang lain datang.
    “Siapa di luar?” tanya pria gemuk itu.
    Terdengar bunyi ketokan pintu tiga kali. Lalu terdengar suara. “Ada koran pagi nih!”
    Waktu itu sudah hampir tengah malam. Koran pagi berarti kabar buruk. Kata sandi dalam tim mereka. Pria gemuk itu bergegas membuka kunci pintu.
    “Ada apa?” tanya pria gemuk dari ambang pintu.
    “Kita bicara di dalam mobil saja.”
    Mereka bergegas keluar kamar, mengunci pintu dan mendekati mobil yang berad di luar rumah kos itu. Dalam perjalanan rekan mereka mulai berbicara. “Rumah kalian sudah digerebek. Sepeda motor Yamaha Scorpio dan Avanza sudah dibawa kembali. Kalian juga harus menyerahkan revolver itu.”
    “Revolver yang mana? Yang ini milik mereka. Kami hanya punya pisau dan pistol rakitan.”
    “Kalau gitu, mereka pasti sudah menyiapkan yang lain.”
    “Kita menuju ke mana sekarang?”
    “Ya, ke kantor. Lebih baik menyerahkan diri daripada lenyap satu per satu.”
    Kemudian di dalam mobil itu sunyi. Hanya dalam benak mereka terbayang sekompi pasukan khusus yang mendobrak masuk ke rumah tempat tinggal mereka.
***
    Inspektur Anton berada di luar pelataran rumah pelaku penembakan ketika tim pasukan khusus mendobrak pintu dan menyerbu masuk. Bukan salah pasukan itu jika keahlian mereka justru dipermainkan. Perintah datang dari atas juga beserta info intel yang cukup jelas: tangkap pelaku penembakan bersenjata yang berbahaya di alamat ini dan itu. Padahal kedua pelaku itu sudah diamankan di tempat lain juga berkat info dari intelijen yang sama.
    Ketika rumah itu diobrak-abrik, justru pelaku sudah aman di kantor polisi. Dalam kurun waktu hanya sekitar sebulan lebih, pihak berwajib sudah menangkap sembilan tersangka yang diduga terlibat dalam kasus penembakan direktur PT. Putra Rajawali. Tidak seperti ratusan kasus-kasus lain yang butuh waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun atau malah tak terpecahkan.
    Kasus penembakan Nazrudin termasuk rekor tercepat pemecahan kasus-kasus kriminal. Bahkan berita acara sudah disusun sebelum penyidikan tuntas dilakukan.
    Ketika pasukan khusus begitu mudah menangkap para tersangka, tidak sama halnya dengan Ghost. Sniper misterius itu justru bergerak bagai hantu.
    Ghost berusaha mengumpulkan bukti-bukti untuk mengetahui kejadian yang sebenarnya, termasuk pelaku penembakan yang sebenarnya.
***
    Dua hari setelah surat kaleng misterius dari seseorang yang mengaku sniper. Polisi disiagakan di sekitar lapangan golf. Apalagi setelah adanya laporan bahwa pasukan khusus berhasil dilumpuhkan oleh pelaku penembakan yang telah berada di lapangan golf maut itu. Bukti-bukti bekas tembakan di pepohonan, selongsong peluru dan dua korban pasukan khusus membuktikan seolah-olah kejadian itu baru terjadi.
    Namun, Inspektur Anton sudah mengetahui dari jejak yang ada bahwa kejadian tembak-menembak di lapangan golf itu sudah terjadi beberapa hari lalu. Aroma mesiu sudah menghilang, jejak darah sudah mengering dan jahitan luka di leher pasukan khusus itu sudah mengering.
    Rekan-rekannya kasak-kusuk bahwa mereka sudah menjaga lapangan golf itu jauh sebelum kejadian tembak-menembak itu. Bahkan jauh sebelum hari penembakan direktur Nazrudin. Seolah mereka sudah mengendus apa yang terjadi di tempat itu. Atau malah mengetahui yang sebenarnya apa yang terjadi di sana. Dalam hal ini, Inspektur Anton hanya percaya kepada bukti-bukti yang tengah di selidikinya.
    “Sniper itu memiliki nama sandi Ghost,” ujar seorang wanita berparas cantik dan bertubuh tinggi semampai itu. Ia mendekati Inspektur Anton yang berada di sekitar tempat kejadian tembak-menembak. Langkahnya tanpa suara membuat inspektur polisi itu tak menyadari kedatangannya.
    “Anda siapa?” tanya Inspektur Anton beranjak dari jejak darah di lapangan golf yang telah mengering.
    “Nama sandi saya, Srikandi. Saya anggota pasukan khusus sniper. Seperti Ghost, hanya beda kesatuan saja.” Wanita bernama sandi Srikandi itu nampak anggun dengan kaos dan leging hitam yang ketat. Tatapan mata di bawah bayangan lidah topinya nampak selalu waspada. Ia membawa tongkat golf seolah itu adalah senjatanya.
    “Jadi, Ghost terlibat dalam aksi tingkat tinggi ini?”
“Awalnya, ia hanya sebagai cadangan saja. Tapi, ternyata ia memiliki rencana lain.”
    “Sebagai pembunuh bayaran?”
    “Dari bukti yang ada tepatnya seperti itu. Belati yang melukai pasukan khusus sama seperti yang kami miliki.”
    “Jadi apakah Ghost yang menembak Nazrudin? Seperti surat kaleng itu?”
    “Apakah Anda pikir begitu?”
    “Peluru yang membunuh korban ditembakkan revolver, bukan dari sniper.”
    “Plan C. Tentu rekan-rekan Ghost akan merahasiakan itu.”
    “Jadi Ghost tidak bekerja sendiri?”
    “Saya yakin Anda polisi yang bersih. Intel kami pernah memberi info bahwa Anda yang mengajukan diri untuk menyelidiki kasus penembak misterius di Modernland.”
    “Ya, tapi sebelum tiba di TKP, korban sudah dibawa ke RS Mayapada yang hanya berjarak dua ratus meter. Saya belum sempat melihat keadaan korban.”
    “Ghost merupakan anggota yang terlatih dan berprestasi, karena itu ia berbahaya. Saya harap Anda berhati-hati karena ia memiliki kemampuan memanfaatkan situasi dan menguasai timnya seperti memainkan boneka. Anda, bisa saja tanpa sadar telah dimanfaatkan.”
    “Ya, saya akan berhati-hati.” Inspektur Anton mengangguk. Ia melangkah menjauhi wanita bernama sandi Srikandi yang terus mengawasinya. Ia masih menyisir area sekitar TKP tembak-menembak. Menurutnya, Ghost tidak menyerang langsung dan malah bersembunyi. Rentetan tembakan datang dari lapangan golf. Bekas lubang peluru tampak di batang pohon yang menghadap ke luar. Jadi, bukan Ghost yang menyerang, tapi para pasukan khusus itu yang datang menyerang. Apalagi lebih mudah menembak daripada melempar belati. Tidak ada luka tembakan pada pasukan khusus. Waktu itu, tepatnya beberapa hari yang lalu, Ghost datang ke lapangan golf tanpa membawa senjata. Tapi untuk apa? Untuk apa Ghost datang ke tempat yang sudah jelas akan mudah terkepung oleh detasemen polisi dan akan membuatnya mudah tertangkap?
    Inspektur Anton makin yakin bahwa Ghost sebenarnya juga tengah menyelidiki masalah ini, sama seperti dirinya. Pikirannya makin terbuka ketika menyisir pasir kuarsa di dalam bungker. Di sana ia menemukan peluru bius yang masih utuh. Berarti ada beberapa peluru bius yang ditembakkan. Salah satunya tepat mengenai korban. Lalu noda coklat di pasir kuarsa? Ia makin yakin korban dibius di bungker itu, lalu dihabisi dan dibawa ke dalam mobil. Lalu dari mana asal mesiu yang ditemukan di dalam mobil? Apakah berasal dari pakaian korban? Atau korban dihabisi di dalam mobil? Tapi jika dihabisi di dalam mobil, jok pasti akan dipenuhi bercak darah.
    Apakah korban dihabisi di bungker dengan tembakan kedua dari jarak dekat? Untuk memastikan itu, ia harus mengetahui hasil visum. Bekas memar di sekitar luka tembakan dapat memberikan jawabannya.
    Dan dr. Watsen Munim yang mengetahui kondisi korban Nazrudin.
***
    “Maaf, barusan mayat sudah dibawa oleh keluarga korban,” ujar dr. Watsen. Ia masih berada di kantornya sore hari itu. Ia tampak kebingungan sama seperti Inspektur Anton yang datang ke tempat itu.
    “Saya hanya ingin mengetahui hasil visumnya,” ujar Inspektur Anton bersikeras.
    “Oh, boleh, silakan, Ini.”
    “Apa ada bekas memar di sekitar kepala korban?”
    “Ya, jelas dari tembakan jarak dekat.”
    “Saya yakin korban dieksekusi di tempat lain lalu dibawa ke dalam mobil.”
    “Di mana tepatnya?”
    “Lapangan golf?”
    “Ah, itu akan membuat darah banyak tercecer. Terlalu ceroboh. Atau memang tak ada opsi lain yang lebih baik?”
    “Anehnya di dalam mobil tidak banyak bercak darah.”
    “Anda memotretnya?”
    “Jejak luminol itu? Ya. Ini. Bekas ketiga peluru juga saya tandai.”
    “Tiga peluru? Padahal ada satu luka tembak tembus dan satu luka tembak tetap.” Dokter Watsen mengambil suryakanta lalu memeriksa foto itu di bawah kaca pembesar.
    “Jejak darah di sandaran kursi sebelah kiri seperti berusaha dihapus?”
    “Ya, saya pikir juga begitu."
    “GSR di sebelah kanan atas itu … itu tempat sopir kan? Kau sudah menginterogasi sopir itu?”
    “Rekan saya yang menginterogasi sopir itu di tempat yang aman.”
    “Ada orang lain yang duduk di kursi sopir. Mengarahkan pistol ke kepala Nazrudin dan menembaknya. Atau … sopir itu pelaku penembakannya?”
    “Dan mungkin pistol itu masih ada di dasbor mobil,” pungkas Inspektur Anton seraya bergegas keluar dari RSCM. Ia harus segera mengecek dasbor sebelum mobil itu disegel. Dokter Watsen ikut bersamanya.
    Jika barang bukti dari kunci kasus itu masih ada di mobil korban, berarti rekan-rekannya telah melewati sesuatu yang penting. Atau rekan-rekannya sengaja melewatkannya karena telah mengetahui kebenarannya atau malah tak mengetahuinya?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience