Rate

FILE 13: Evatoxin

Mystery & Detective Series 649

    DOKTER Morga dengan senang hati mengantarkan tamu istimewa Inspektur Anton ke laboratorium biokimia rahasia milik pemerintah. Demi penyelidikan tentang virus x yang meneror Ancol.
    Inspektur Anton nampak menyesal ikut dengan tim itu. Kunjungan pertama—dan ia berharap yang terakhir. Meski ia tamu istimewa karena biasanya tamu lainnya akan ditutup matanya. Seharian makan angin melewati pulau terpencil di Kepulauan Seribu. Hingga sampai di sebuah pulau buatan yang tak terdeteksi satelit. Melewati arus ombak di atas perahu motor. Melewati jalur berbeda yang sulit dijangkau karena berarus deras.
    Laboratorium yang terletak di pulau buatan itu tertutup bagi media dan publik. Hanya orang-orang ‘penting’ dengan ijin khusus saja yang mendapatkan akses.
    Setelah diambil alih dari pihak ilmuwan dari Amerika, ilmuwan Indonesia mulai mengembangkan penelitian secara mandiri. Laboratorium yang sedianya dibangun untuk penelitian virus flu burung itu didanai kedua negara. Pemerintah berhasil memenangkan klaim karena memiliki kontribusi paling banyak. Gedung laboratorium disamarkan sebagai bukit yang ditumbuhi rerumputan dan pepohonan. Lorong-lorong rahasia di dalam bukit menghubungkan ruang laboratorium yang berada di bawah pulau. Hasil penelitian berupa vaksin dari virus H1N1 dan H5N1 juga proyek pengembangan bioteknologi ramah lingkungan. Sebagai alternatif energi nasional dan penyelidikan program nuklir yang telah dimulai tahun 2012 lalu.
    Inspektur Anton terpana ketika memasuki ruang depan laboratorium. Daftar agenda penelitian, kegiatan, instalasi laboratorium dalam 3D, hasil penelitian dan rancangan pembangkit listrik tenaga biokimia terpajang di sana. Dalam monitor layar datar yang menempel di tembok. Di sisi lain terdapat tembok berkaca tebal. Melalui tembok kaca itu terlihat aktivitas di ruang utama laboratorium. Spesimen biologi dan sampel bahan kimia lengkap dengan kode berderet rapi di rak khusus. Indonesia memiliki kekayaan hayati yang selama ini diteliti ilmuwan asing. Sekarang beberapa diantaranya mulai diteliti ilmuwan dalam negeri.
    “Perkenalkan … ini Inspektur Anton.” Dokter Morga memperkenalkan polisi itu.
    “Ini di luar bayangan saya,” ungkap Inspektur Anton. Ia menyodorkan tangan untuk bersalaman dengan wanita anggun di depannya. Ia merasakan genggaman wanita itu kuat menandakan pribadi yang teguh pendirian dan suka mendominasi. Tangannya yang kurus menandakan bahwa ia pekerja keras dan sering mengabaikan kesehatannya demi karirnya. Aroma disinfektan tercium samar-samar dari parfumnya. Tipe orang yang mengutamakan karir, rapi, berkelas dan higienis.
    “Terima kasih, tapi ini belum seberapa.” Evangela menyambut hangat kedatangan inspektur polisi itu polisi di laboratoriumnya. Kemejanya tertutup jas laboratorium putih tulang. Rambutnya yang pendek sebahu memperlihatkan satu dua uban yang memutih. Meski begitu tak mengurangi daya tariknya. Penampilannya begitu bersahaja sebagai orang yang mendapat penghasilan tinggi. Wanita jenius berusia dua puluh sembilan tahun memiliki suara jernih dan meyakinkan. Rasa bangga terpancar dari raut wajahnya. “Akses satu masih bisa dikunjungi orang luar.”
    “Anda harus mengenakan pakaian khusus kalau ingin mengetahui lebih jauh,” ujar dr. Morga. “Di sini hanya ruang pertemuan.”
    “Ini sedikit merepotkan. Ah, kejadian di hotel Merkuri sudah cukup merepotkan.” Inspektur Anton tak membayangkan dirinya memakai pakaian pelindung seperti ketika berada di hotel Merkuri.
    “Sebenarnya dr. Morga bisa kapan saja datang ke tempat ini. Ia gak perlu meminta ijin untuk setiap kedatanganya kemari.” Evangela memberi tanda ke mana mereka harus melangkah. Sebuah koridor panjang yang dilapisi alumunium anti karat nampak putih berseri dengan panel-panel kaca yang menampakkan ruang laboratorium.
    “Dokter Morga sering datang kemari?” tanya Inspektur Anton sembari melihat ke dalam panel kaca. Deretan rak-rak yang berisi botol-botol kaca memenuhi ruangan itu. Di sisi lain nampak staf laboratorium yang tengah sibuk dengan mikroskop, sedangkan staf yang lain memasukkan cairan dari selang dengan pipet. Tak ada yang bicara karena wajah mereka tertutup masker. Komunikasi disampaikan melalui mikrofon yang melekat di dalam masker itu.
    “Oh, jadi beliau belum memberi tahu Anda?” Evangela tersenyum. “Ia kepala salah satu proyek. Ilmuwan multitalenta yang berjasa atas karir saya di sini.”
    “Ia pintar merendah,” timpal Inspektur Anton menatap dr. Morga.
    “Saya berniat merahasiakannya,” ujar dr. Morga. Wajahnya terlihat tidak senang. “Saya lupa berpesan atau Anda sengaja?”
    “Mungkin Inspektur bisa membantu kasus pencurian beberapa spesimen di dalam laboratorium,” ungkap Evangela. “Inspektur harus tahu kliennya, bukan?”
    “Saya masih gak setuju Anda mengungkap identitas saya.” Dokter Morga tampak tidak senang. “Nanti kita bicarakan lagi.”
    “Oh, ya, Anda datang kemari karena kutukan Ancol?” tanya Evangela. “Saya sempat membaca berita yang ditulis media.”
    “Kutukan Ancol, ya. Haha, jangan percaya,” Inspektur Anton tergelak.
    “Sebenarnya ada benarnya, sih. Disebut ‘kutukan’ karena akibatnya memang begitu mengerikan. Awalnya saya mengira akibat virus sejenis ebola yang dibawa turis manca.” Evangela mempersilakan kedua tamunya duduk. Meja berbentuk elips di tengah ruangan dengan empat kursi. Ia membuka laptop yang telah menyala di atas meja.
    “Saya ingin tau apakah virus ini diciptakan oleh alam atau akibat ulah manusia. Kebetulan saya telah memberinya nama.” Evangela tersenyum.
    “Seharusnya penemunya yang memberi nama,” ujar Inspektur Anton. “Seperti Edmund Halley yang menemukan komet. Anda menemukan virus baru.”
    Evangela hanya berdeham dan tersenyum.
    Inspektur Anton nampak salah tingkah karena berlagak sok tau. Ia berusaha memperbaikinya, namun malah membuatnya makin nampak tak mengerti apapun. "Ya, seperti Darwin yang menemukan teori evolusi."
    Kali ini Evangela tak dapat menahan tawanya. Suara tawanya terdengar renyah dan merdu. Namun, kemudian ia kembali nampak serius.
    “Bagaimana perkembangan antitoksinnya?” tanya dr. Morga. “Sudah memberi nama?”
    “Kabar baiknya, ya. Huh—saya harus meninggalkan proyek lain untuk menciptakan antitoksin. Dan kabar buruknya, antitoksin itu harus diberikan sesaat setelah korban terkena atau tertular penyakit itu. Atau….” Evangela menatap bergantian
ke arah pendengarnya.
    “Atau?” sela Inspektur Anton.
    “Atau … korban tak tertolong.”
    “Sekejap? Berapa waktunya yang tepat?” Inspektur Anton terhenyak.
    “Virus ini dapat membunuh dalam hitungan detik. Tepatnya 19,7 detik setelah merusak jaringan kulit, merusak keping darah dan menghentikan denyut jantung. Nggak bisa nggak, antitoksin harus disuntikkan kurang dari semenit.” Evangela mengamati grafik di layar laptopnya. “Antitoksin terus disempurnakan. Penelitian belum final. Tapi ini adalah usaha terbaik kami.”
    “Bagaimana mencegahnya?” Inspektur Anton mengamati rangkaian kode kimia di layar laptop. Ia tidak mengerti. Namun, otaknya terus bekerja. “Bagaimana agar tubuh kebal terhadap serangan evatoxin?”
    “Pertanyaan bagus. Itulah yang dikerjakan kami yaitu cara mengebalkan tubuh pria dan wanita dari virus itu.” Evangela membuka arsip-arsp foto korban yang terkena penyakit kutukan Ancol. Ia meringis melihat tubuh korban yang ‘terpanggang’ dan hanya melihatnya sekilas. Anehnya … resiko kematian terjadi hanya pada korban pria. Sedangkan korban wanita memiliki
peluang untuk selamat. Enggak nol persen.”
    “Maksud Anda?” tanya Inspektur Anton dan dr. Morga nyaris bersamaan.
    “Uniknya, penyakit ini seperti sengaja diciptakan hanya untuk menyerang kaum Adam. Karena itu aku memberi virus itu nama Evatoxin. Filosofinya, Eva atau Hawa konon adalah wanita pertama dan satu-satunya yang berhasil membujuk Adam. Meski aku tidak setuju kalau semua kesalahan ada pada Hawa karena Tuhan-lah yang menciptakan Hawa … Oke, kalau dibahas aku bisa menulis buku tebal tentang itu….” Evangela tersenyum sambil memandang bergantian Inspektur Anton dan dr. Morga. Dengan pandangan angkuh, namun anggun.
    Wajah keduanya tanpa ekspresi. Saat itu mereka tampak lebih serius ketimbang dirinya. Ia berdeham lalu kembali ke topik. “Dan antitoksinnya, aku beri nama Adamin dari Adam.” Lambang kimia untuk racun dari penyakit infeksi tergambar di layar monitor laptop. “Akan segera saya patenkan. Setidaknya harus mengajukan klaim lebih cepat daripada penciptanya. Tentu saja kalau Inspektur Anton berhasil menangkap pelakunya.”
    Dokter Morga dan Inspektur Anton hanya saling pandang. Mereka mengamati simbol yang tertera di layar monitor laptop.
    Simbol kematian bagi kaum mereka. Evatoxin.
***
    Terpaan angin dan ombak yang meninggi di pantai utara pulau Jawa tidak menciutkan nyali penumpang perahu motor untuk meraih daratan. Jalur yang tidak biasa harus mereka lewati untuk mengalihkan perhatian orang luar.
    Dokter Morga terdiam di buritan perahu. Meringkuk kedinginan berselimut jas hujan. Jemarinya memegang erat koper kecil aluminium berisi lima botol anti virus, Antitoxin Adamin. Inspektur Anton tidak dapat menebak apa yang dipikirkannya. Tidak biasanya dokter Morga terdiam tanpa ekspresi. Ia masih kesal karena identitasnya diungkap orang lain.
    Inspektur Anton memandang ke arah horison. Memandang deretan pulau di Kepulauan Seribu yang serasa masih jauh. Pikirannya berkecamuk. Ia meraba flashdisk yang tergantung di lehernya, memastikannya tidak terlempar ke gulungan ombak. Ketakutan yang berlebihan. Ia telah membawa data-data mengenai Evatoxin. Ia tidak menyangka dr. Morga juga seorang ilmuwan di laboratorium rahasia itu. Ia baru mengetahuinya karena selana ini nyaris tak ada rahasia diantara mereka. Ia tak menyangka sebagai penyidik senior tak tau apapun tentang pulau rahasia itu.
    Evangela mengawasi mereka dari dermaga yang tersembunyi di sisi lain pulau buatan itu. Jas laboratoriumnya berkibar tertiup angin. Ia memberikan salam terakhir dengan lambaian tangannya. Sosok ilmuwan wanita itu perlahan sirna dari pandangan. Seolah tenggelam bersama pulau buatan di garis horison.
    Kecantikan yang eksotik, wajah Evangela masih bercokol di dalam kepalanya. Tidak mudah lenyap. Daya tarik seorang wanita muda. Wanita berdarah Sunda-Rusia itu adalah kakak artis yang tengah naik daun, Maria Eliza.
    Artis yang dikabarkan telah menghilang dan meninggal itu masih misteri. Tim lain di kesatuan lain tengah melakukan penyelidikan.
    “Wajahnya mungkin lebih cantik dari Ratu Pantai Selatan,” gumam Inspektur Anton. Ratu Pantai Selatan? Batinnya. Kemudian, sekelebat fakta memberikannya pertanyaan yang bisa jadi menjadi titik terang dan kunci dari kasus ini. “Ratu Pantai Selatan berada di laut bagian selatan … sedangkan Ancol menghadap laut di bagian utara … apa yang menghubungkan keduanya?” Keningnya berkerut tanda berpikir keras. Apa hubungannya legenda di pantai utara dengan pantai selatan? Apakah pelaku hendak mengecoh polisi dengan cara menyebarkan isu demi mengaburkan fakta yang sesungguhnya? Apakah si pelaku juga memakai media sebagai skenarionya?
    Berbagai pertanyaan memenuhi benak inspektur polisi itu. Seolah berdiri di atas lautan tak bertepi dengan jawaban yang tak pasti. Ia merasa kecil berada di tengah-tengah lautan ilmu pengetahuan tanpa batas.
    Tanpa terasa speed boat itu telah sampai di daratan. Mobil yang sudah menunggu sudah bersiap untuk mengantarkan mereka kembali ke tempat masing-masing. Rekan Inspektur Anton dengan sabar menunggu dengan wajah cemas.
    “Ada apa?” tanya Inspektur Anton menyadari rekannya nampak cemas.
    “Sedari tadi ada panggilan dari markas, yang lainnya dari tim lain. Saya cemas karena sedari tadi ponsel inspektur berada di luar jangkauan sinyal.”
    “Ya, memang sinyal ponsel melemah ketika berada di tengah laut. Panggilan dari mana saja?”
    “Satunya kasus ledakan semacam bom rakitan. Satunya lagi masih ada kaitan dengan kasus Ancol, pencurian bahan kimia di laboratorium.”
    “Ya, kita selesaikan satu per satu dulu.”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience