Rate

FILE 16: Bayangan di Bawah Hujan

Mystery & Detective Series 649

  SELANG tiga hari dari sejak penemuan mayat Maria. Mayat yang mati secara misterius kembali menggegerkan warga kawasan Ancol.
    Inspektur Anton datang ke TKP setelah garis polisi telah terpasang di sekitar trotoar di depan pertokoan kawasan Ancol. Mayat pria kedua yang mati secara misterius kali ini ditemukan di dalam selokan. Tubuhnya terjengkang di dalam selokan seperti habis terpeleset jatuh. Polisi mencurigai mayat dilempar ke dalam selokan dari dalam mobil. Namun, korban tengah memegang botol minuman keras. Dugaan lain korban terjatuh dan tewas seketika di dalam selokan.
    Tubuh mayat pria yang mati mengering sama dengan tubuh mayat pertama yang ditemukan tewas di dalam hotel Merkuri. Warga dihimbau agar tidak mendekati tempat ditemukannya mayat korban agar terhindar dari penyakit menular.
    “Ada bekas ban mobil di jalan beraspal. Sepertinya masih baru,” Inspektur Anton dan tim labfor segera mengadakan olah TKP. Warga menyaksikan dari jarak beberapa meter.
    “Kuat dugaan korban dibunuh sebelum dilemparkan ke dalam selokan,” ujar Faris, dari tim labfor. “Anehnya, jemarinya masih menggenggam botol yang masih utuh.”
    “Bagaimana kalau korban nggak dilemparkan, tetapi terperosok sendiri ke dalam selokan.”
    “Ada sedikit obat bius di dalam botol minumannya, Let.” Faris hati-hati ketika mengambil sampel cairan dari dalam botol. Ia segera menganalisanya di tempat kejadian. Ia membawa kopor kecil yang berisi perkakas laboratorium forensik.
    “Sama seperti kasus sebelumnya.”
    “Ya, tubuh mereka kering kehabisan cairan tubuh.”
    “Seperti tertular penyakit misterius. Efek racun gak akan seperti ini.”
    “Atau terkena kutukan Ancol?!!”
    Keraguan menyelimuti Tim Labfor dan Inspektur Anton ketika mengolah tempat kejadian perkara. Hanya inspektur polisi itu yang mengetahui tentang Evatoxin.
***
    “Sama. Kematian korban kedua identik dengan korban pertama.”
    Inspektur Anton mendengarkan penjelasan dr. Morga, ahli otopsi, di depan pintu ruang isolasi Rumah Sakit Medical Ancol.
    “Virus itu lagi?”
    “Ya, seperti terkena kutukan. Sampai saat ini kami masih belum mengirim sampel darah dari tubuh korban. Virus yang membunuhnya dalam semalam. Kami akan segera mengirim sampel ke laboratorium untuk diperiksa secepatnya. Mereka usahakan hari ini juga hasilnya sudah dapat diketahui.”
    “Apa ada bekas luka lain?” tanya Inspektur Anton.
    “Lengan korban lecet. Dan kepalanya retak akibat menghantam beton selokan ketika terbentur dan terjatuh ke dalam selokan.”
    “Terjatuh atau dilempar?”
    “Kalau dilempar lukanya pasti tambah parah.” Kedua tangan dr. Morga bergerak-gerak menggambarkan jika korban dilempar ke selokan.
    “Jadi menurut Anda?” tanya Inspektur Anton.
    “Korban berjalan di trotoar ketika virus itu membuatnya kehilangan kesadaran dan terjatuh ke selokan.”
    “Oya, kami juga menemukan jejak ban nggak jauh dari korban.” Inspektur Anton menunjukkan foto jejak ban mobil di dekat trotoar.
    “Ya, bisa jadi pelakunya membuntuti korban. Kemudian menulari korban dengan virus itu... Evatoxin.” Dokter Morga nampak prihatin.
    “Atau korban yang berada di dalam mobil? Lalu keluar mobil demi mendatangi pelakunya yang berada di trotoar?” Inspektur Anton seperti bertanya kepada dirinya sendiri.
    “Bisa jadi kronologinya seperti itu," Dokter Morga mengangguk tanda setuju.
    “Ya, bisa jadi korban berada di dalam mobil lalu menghentikan mobilnya di dekat trotoar. Demi menjemput seseorang.”
    “Seseorang yang berjalan sendirian tengah malam di trotoar? Siapa? Apakah mereka janjian?” tanya dr. Morga.
    “Kemungkinan seorang PSK jika mangkal di trotoar. Pelaku kita kali ini seorang wanita. Jadi korban keluar dari mobil karena tertarik untuk mendekati wanita itu." Inspektur Anton nampak berpikir keras.
    “Si Manis Jembatan Ancol.” Dokter Morga tersenyum.
    Inspektur Anton tersenyum getir. “Bukan. Jangan bercanda. Tim cyber sudah melacak bahwa isu itu sengaja disebarkan oleh beberapa media tertentu yang mendapat pesanan dari seseorang untuk menyebarkannya, kemungkinan si pelaku yang sama yang menyebarkan virus itu. Untuk mengecoh polisi.”
    Mereka terdiam. Kemudian satu persatu bubar. Mengakhiri obrolan di hari itu. Mereka berpisah dan kembali pekerjaan masing-masing.
    Benarkah kali ini mereka berhadapan dengan hantu? Benarkah Si Manis Jembatan Ancol datang kembali berkat dukungan dari Ratu Pantai Selatan?
***
    Segala sesuatu di bawah deras hujan siang itu terlihat terdistorsi. Jalanan kawasan Ancol Jakarta Utara tergenang air hujan. Badai tengah mengamuk di kota Jakarta. Air laut di pesisir Ancol pasang. Namun, arus kendaraan yang nekat menerobos derasnya hujan memenuhi badan jalan. Mereka yang terjebak derasnya hujan.
    Sebuah kendaraan taksi melaju menembus derasnya hujan. Kemudian menepi ke trotoar di depan sebuah pertokoan. Seseorang telah menunggu taksi itu di sana. Ia melindungi kepalanya dari deras hujan dengan jaketnya. Kemudian masuk ke dalam taksi.
    Taksi itu tidak pergi jauh. Satu kilometer kemudian taksi itu berhenti. Bayangan dua sosok keluar dari dalam taksi. Meninggalkan taksi di pinggir jalan dengan pintu depan dan belakang terbuka lebar. Air hujan masuk dan membasahi jok mobil.
    Tidak berapa lama seorang pengendara yang melintas melewati taksi menaruh kecurigaan. Ketika melihat darah yang mengalir dari jok belakang ia segera melapor ke kepolisian terdekat.
    Tim labfor bergegas datang ke lokasi.
    Mayat pria ketiga yang mati secara misterius ditemukan telah mati mengering di dalam taksi. Darah yang telah membusuk dari dalam tubuhnya membasahi jok kursi belakang taksi. Mengalir ke jalan beraspal. Air hujan menghanyutkan darah yang mengalir dari dalam taksi. Melumuri jalanan dengan warna merah darah.
    Kemacetan panjang selama proses olah TKP terjadi selama kurang lebih dua jam. Para pengendara yang melihat proses olah TKP, menambah parah kemacetan.
    Setelah polisi membawa taksi ke kantor polisi, arus kendaraan kembali normal.
***
    Inspektur Anton kembali berada di kamar isolasi Rumah Sakit Medical Ancol. Kali ini ia berada di dekat mayat. Ia mengenakan pakaian khusus dan masker agar terhindar dari penyakit yang dibawa mayat.
    Penemuan mayat ketiga semakin membuat polisi meningkatkan penyidikan. Mayat ketiga ditemukan di dalam taksi yang ditemukan terparkir di pinggir jalan.
    Dokter Morga, ahli otopsi itu menunjukkan kesamaan yang ada di tubuh ketiga mayat. Ketiga tubuh mayat yang dibungkus plastik dijejerkan di atas meja bedah. “Darah mengalir dari sembilan lubang di tubuh mereka.”
    “Sembilan lubang … ya, virus yang sama.” Wajah Inspektur Anton nampak geram.
    “Ya, penyakit yang sama. Merusak pembuluh darah mereka dan menghancurkan organ dalam seketika. Kami masih mengirim sampel untuk diperiksa di Lab. Kita semua dibuat sibuk oleh kasus kematian dan virus itu.”
    “Nggak ditemukan luka-luka lain di tubuh mereka?” tanya Inspektur Anton.
    “Kemungkinan virus itu menular melalui udara atau air.”
    “Saksi mata melihat pria ini masuk ke dalam taksi. Nggak berapa lama, taksi itu berhenti dan dua orang bergegas keluar. Derasnya hujan menutupi sosok mereka. Sekarang kita mendapat kepastian bahwa pelakunya dua orang. Entah pria atau wanita.”
    “Dan reaksi virus yang menyerang korban sangat cepat. Gak sampai satu menit. Lebih ganas dari bisa ular.”
    “Virus yang sama seperti di hotel Merkuri, Evatoxin.”
    “Ya, tapi, siapa yang telah membawa dan menyebarkan virus itu masih belum kami ketahui. Kami juga tengah menyelidiki beberapa sampel Evatoxin yang hilang dari laboratorium.” Dokter Morga tampak menyesal. “Anda sudah menemukan hubungan ketiga korban? Kami menemukan gambar tato yang sama di tubuh korban. Uroborus." Dokter itu menunjukkan foto di dalam tabletnya.
    “Ya, tato bergambar ular Uroborus itu sudah kami kenali. Dan ketiganya termasuk dalam sindikat mafia narkoba dan pembunuh bayaran, King Cobra. Mereka adalah rekan seprofesi. Setahun lalu, ketiganya terlibat kasus pembunuhan pengusaha di Medan, kasus penyelundupan narkoba dan traficking. Mereka menggunakan senjata api dalam tiap aksinya. Dan menggunakan nama samaran atau julukan. Korban pertama bernama Hendra ZR alias Kalong.”
    “Lalu, siapa dua orang yang keluar dari dalam taksi sesaat setelah korban tewas?”
    “Saksi mata nggak melihat dengan jelas karena deras hujan yang mengguyur. Tapi mereka melihat dua sosok di dalam deras hujan."
    “Jadi belum jelas apakah sosok pelakunya seorang wanita atau pria?”
    “Kemungkinan dua orang wanita. Ya, dari gerak-gerik mereka, saksi mata menduga keduanya seorang wanita.”
    “Jadi, pelaku penyebar virus mematikan itu adalah seorang wanita?”
    “Belum ada cukup bukti. Kaitan antara korban dengan pelaku juga belum jelas.”
    “Mungkin ketiganya terlibat penculikan Maria.” Dokter Morga menemukan satu mata rantai.
    Inspektur Anton terenyak. Ia teringat pesan ponsel yang terakhir dikirim Maria. “Dalam pesan ponsel dari Maria menyebutkan ‘tiga pria’ bertato ular … ya, kemungkinan Uroborus ... dan tiga pria penculikan itu menjadi korban virus Ancol! Wah, Anda seharusnya menjadi penyelidik polisi.”
    “Bukankah saya juga penyelidik.” Dokter Morga merasa tersanjung. “Penyelidik forensik.”
    Inspektur Anton tersenyum sebelum buru-buru meninggalkan kamar isolasi. Ia hendak memastikan satu hal. Namun, di dalam hatinya sudah ada keyakinan. Titik terang itu membuatnya membatin.
    Ini bukan perbuatan Si Manis Jembatan Ancol!
    Juga bukan karena Nyi Lara Kidul!
***
    “... ular … banyak … tiga pria besar ... sebentar lagi mereka akan memindahkanku lagi … tolong….”
    Suara-suara bergema di dalam ruang kantor Inspektur Anton. Suara dari rekaman ponsel Maria. Ia nyaris tidak menyadari bunyi ketukan di pintu ruang kantornya. Ia buru-buru membuka pintu dan menemukan wajah yang tidak asing lagi. Nyaris saja ia menolak kehadiran Selfi, kalau saja jurnalis itu tidak segera bersuara. “Aku punya berita menarik!”
    Selfi buru-buru masuk ke dalam ruangan. Ia menangkap kesan bahwa Inspektur Anton terganggu oleh kedatangannya. Ia berusaha agar dapat menarik perhatiannya. Selfi datang untuk kesekian kalinya. Ia hendak mengetahui perkembangan dari kasus yang tengah berlangsung.
    “Aku juga sedang meneliti sesuatu.” Inspektur Anton tidak dapat berbuat banyak ketika Selfi nyelonong masuk ke dalam ruang kantornya. Padahal ia hendak menjaga jarak dari media. Apalagi dari Selfi, ia tak ingin gadis itu terlibat mara bahaya terlalu jauh.
    “Pelakunya dua orang wanita. Salah satu saksi mata mengenal salah satu dari kedua wanita itu adalah Maria.”
    Inspektur Anton mengerutkan dahinya. “Kau punya buktinya?”
    “Saksi mata itu nggak sengaja memotret menggunakan ponselnya.” Selfi melangkah mendekat dan menunjukkan layar ponselnya. “Saksi mata gak ingin namanya disebut. Ia tengah berteduh di depan pertokoan ketika kedua wanita itu keluar dari dalam taksi. Ia tengah memotret arus kendaraan yang terjebak badai di Jakarta.”
    Inspektur Anton meraih ponsel Selfi. Ia memperhatikan foto yang berada di layar ponsel. Lalu memperbesarnya beberapa kali. Foto-foto yang didapat sedikit buram karena tertutup derasnya hujan, namun kualitas foto cukup tajam.
    “Anda lihat dua sosok yang baru keluar dari dalam taksi. Keduanya keluar dari pintu yang berbeda. Satunya melalui pintu depan, satunya melewati pintu belakang. Keduanya berambut panjang dan mengenakan jas hujan.”
    “Kemarin saya enggak menemukan saksi mata lain di tempat itu.” Inspektur Anton merasakan keanehan. Namun, ia tidak dapat mengetahuinya.
    “Anda polisi. Nggak dapat berbaur seperti saya. Saksi mata adalah pelanggan di toko yang tepat berada di tempat kejadian.”
    “Seorang wanita?”
    “Ya, pelakunya dua orang ... dan mereka wanita….”
    “Maksud saya, saksi mata itu.” potong Inspektur Anton.
    “Ya, seorang wanita.”
    “Pelapor di hotel Merkuri juga seorang wanita … sampai saat ini identitasnya masih belum jelas. KTP-nya ternyata palsu.”
    “Saya masih belum paham maksud Anda.”
    Inspektur Anton terdiam. Naluri penyelidiknya merasakan adanya keganjilan. Namun, ia masih belum mengetahuinya.
    “Apa yang Anda dapat?” Selfi memandang ke sekeliling ruangan. Ia memandang berkas-berkas kasus Ancol yang bertebaran di atas meja. Laptop di atas meja tengah menganalisa file suara yang diambil dari ponsel Maria. Grafik frekuensi suara nampak di layar laptop.
    “Dari rekaman suara itu … kuat dugaan Maria melihat tato bergambar ular... bukan ular betulan, tapi hanya gambar. Karea pada waktu itu Mari tengah panik.”
    “Tato?” Selfi merasa baru menyadarinya. “Ya, aku ingat sekarang. Dalam rekaman itu….”
    “Ya, ketiga pelaku memiliki kesamaan tato di lengannya.” Inspektur Anton memperdengarkan lagi suara rekaman Maria. “Ia menyebutkan kata ‘ular’ … maksudnya adalah tato ular … karena suaranya bergetar dan rekaman itu tidak terlalu jelas. Ia berusaha menggambarkan pelaku yang telah menculiknya.”
    “Apakah ini balas dendam dari Maria? Karena pelaku penyebar virus di Ancol juga seorang wanita.”
    “Nggak mungkin karena Maria telah tewas.” Inspektur Anton nampak ragu.
    “Mungkin perbuatan orang lain? Wanita lain?”
    “Bisa jadi. Setidaknya kita mempunyai sembilan fakta.”
    “Lagi-lagi sembilan? Kenapa harus sembilan? Sembilan lubang, sembilan bukti....” Dahi Selfi berkerut.
    Inspektur Anton tidak menjawab pertanyaan Selfi yang terakhir. Ia memperlihatkan catatannya di layar laptopnya. Di sana tertulis:
    Sembilan fakta:
    1. Pelakunya menggunakan virus baru, Evatoxin
    2. Pelakunya lebih dari satu orang
    3. Ketiga korban memiliki gambar tato Uroborus di tubuhnya
    4. Maria menghilang di atas Jembatan Ancol
    5. Tubuh Maria ditemukan tewas
    6. Tidak ada luka di tubuh korban
    7. Ketiga korban adalah anggota King Cobra
    8. Ketiga korban terlibat dalam penculikan Maria
    9. Ketiga korban tewas dengan cara yang sama

    Keduanya terdiam untuk beberapa lama. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kemudian suara Inspektur Anton memecah kesunyian.
    “Kita masih belum dapat memastikan sesuatu.” Inspektur Anton mengirim gambar dari ponsel Selfi ke dalam laptopnya. “Sebelum mengetahui pasti wajah kedua pelaku.”
    “Menurut Anda siapa kedua wanita yang jadi penyebar virus Ancol?” tanya Selfi.
    “Yang jelas bukan Si Manis Jembatan Ancol dan Nyi Roro Kidul," timpal Inspektur Anton.
    Keraguan masih menyelimuti hati kedua orang itu. Senyum sesaat di wajah mereka segera lenyap. Sembilan fakta, hanya itu yang mereka miliki.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience