Rate

FILE 9: Dua Hati

Mystery & Detective Series 649

“Hi, sunshine … kau bukan seperti Selfi yang kukenal.”
    SELFI mengenal suara itu. Terdengar begitu dekat di sampingnya. Ia mengerjap-ngerjapkan mata. Silau. Dahinya berkerut. Cahaya matahari menyiram sekujur tubuhnya dari jendela besar yang berada di tembok kamar. Gorden terbuka lebar-lebar. Kaca jendela dengan butiran-butiran debu nampak kusam. Matahari pagi menerobos pucuk-pucuk pohon cemara yang mengelilingi hotel Merkuri.
    “Apa maksudmu?” tanya Selfi. Ia mencari suara yang dikenalnya itu berada tepat di sampingnya. Dan mendapati seraut wajah Denara di sana. Ia buru-buru beranjak dari atas ranjang ketika mendapati produsernya tengah berbaring tidak jauh di sampingnya. Jemarinya menari di atas tombol laptop.
    “Hah? Apa?” tanya Selfi tak mengerti pertanyaan Denara.
    “Kau yang sekarang jadi penakut,” sindir Denara.
    “Jika kau mengalami apa yang kualami kau juga akan pingsan!” Selfi berusaha membela diri. “Baru pertama kali ini melihat hal supranatural seperti itu.”
    Denara terdiam. Ia masih nampak sibuk mengetik. Dari wajahnya ia nampak tak percaya, namun ada keraguan di sana.
    Selfi berusaha mengingat-ingat kejadian semalam. Namun, ia nyaris tidak dapat mengingat apapun. Seperti terkena amnesia sekejap. Entah kenapa, mungkin karena kejadian semalam susah dicerna akal sehat. Dan Selfi masih syok. Serasa kepalanya terikat benang-benang yang tak tampak yang terus membuat otaknya berdenyut-denyut. Rasa sakit karena jatuh saat pingsan masih terasa dari kepala hingga ke bahunya.
    “Ini kamarmu ya, Den,” ujar Selfi meyakinkan dirinya sendiri. Matanya terpicing mengamati arloji di pergelangan tangannya. Pukul 07.56. Ia menghela napas panjang lalu melirik ke arah cermin. Bengkak yang menghiasi pelipisnya sudah nampak menipis. Ia meringis menahan sengatan rasa nyeri. Ingatan ketika terjatuh ke atas lantai kamar hotel menyeruak dalam kepalanya. Coretan-coretan cahaya hijau di dinding perlahan tergambar jelas dalam kepalanya.     “Coretan … ada banyak coretan … di dinding.” Selfi mengingat-ingat.
    “Coretan apa? Jeritanmu membangunkan seluruh penghuni hotel.” Denara memperhatikan Selfi dengan prihatin.
    “A—aku menjerit keras banget ya?” Selfi sangsi. Ia memandang heran ke arah Denara.
    “Ya, jeritanmu itu loh, siapa lagi. Hahhhh … pokoknya heboh, deh.”
    Keduanya terdiam sesaat. Tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.
    Denara berniat mencairkan suasana. “Menurutku, jeritanmu terdengar begitu seksi.”
    Selfi mendengus. “Nggak lucu.” Ia melompat dari atas
ranjang.
    “Ini pertama kalinya aku mendengar kau menjerit, loh.” Denara tersenyum. “Karena aku tak pernah mendengarmu menjerit ketika bertemu masalah.”
    “Lupakan.”
    “Kau kesurupan?”
    “Sudahlah.”
    “Kerasukan hantu?”
    Selfi memutar bola matanya. “Yaelah.”
    Ia grogi karena disebut penakut. Karena selama ini, ia dikenal paling rasional dan pemberani diantara rekan-rekannya. Mungkin karena selama ini yang dihadapinya adalah bahaya yang nyata, benar-benar bisa diendus dan nampak di depannya. Namun, sekarang yang dihadapinya sesuatu yang beraroma supranatural! Sesuatu yang kasat mata dan tak dapat diendus dengan panca indera biasa. Sesuatu yang tak dapat dijangkau akal sehat seringkali membuat ketakutan tanpa alasan. Ketakutan yang biasanya muncul dalam mimpi buruk dan halusinasi. Namun, ia merasa kejadian semalam bukan hanya halusinasinya semata.
    Ia memerhatikan sekelilingnya. Interior kamar kelas menengah hotel Merkuri sama, tentu saja. Ia duduk di kursi dekat jendela. Memandang suasana pagi di luar kamar. Interior kamar yang mirip membutnya linglung. Pemandangan di luar jendela itu sama seperti di kamarnya. Namun, ia tak melihat angka-angka coretan misterius itu di dindingnya. “Eh, ini kamarmu atau kamarku?”
    “Ini kamarku," jawab Denara. Tepat di sebelah kamarmu, nomor 223. Kamarmu sudah disegel polisi.”
    “Siapa yang memindahku kemari?”
    “Room boy dan rekan kita. Termasuk aku.” Denara tersenyum. “Heh, kecil-kecil tubuhmu berat juga, ya.”
    “Apa yang terjadi semalam?” Selfi masih kebingungan.
    Denara berhenti mengetik. Ia memijit-mijit dahinya dengan jemarinya lalu menoleh ke arah Selfi. “Bukankah aku yang seharusnya bertanya.” Ia menatap Selfi lekat-lekat. “Apa yang terjadi semalam?”
    Selfi terdiam. Samar-samar ia mencium aroma kopi. Ia menyadari di atas meja kecil di dekatnya sudah terhidang secangkir kopi.
    “Hei!!” Denara protes di atas ranjang. Laptopnya nyaris melompat. “Itu kopiku!!”
    Terlambat. Selfi telah menyesap secangkir kecil kopi yang ada di meja kecil dekat jendela. “Ups, maaf.” Ia mengibas-ngibas bibirnya yang kepanasan. “Nanti aku pesan lagi, deh!”
    “Huh, dasar! Itu kan masih panas, aku masih mengangin-anginkannya.”
    Kafein membuat kepala Selfi kembali normal. Setidaknya untuk sementara. Kopi di pagi hari banyak manfaatnya asal tidak berlebihan. Ia mulai dapat berpikir jernih.
    “Mimpi buruk. Semalam aku bermimpi buruk.”
    “Jadi, itu kesimpulanmu?”
    “Ya, apalagi?” Selfi mengangkat bahu.
    “Mandi dulu. Dinginkan kepalamu sebelum menghadapi kasus ini.”
    Selfi tidak menimpali. Ia hanya mengangguk pelan.
    Denara menunjukkan letak tas ransel miliknya yang telah dipindah semalam. Tas ranselnya menyandar ke kaki bufet. Ia membongkar tas ranselnya mengambil perlengkapan mandinya. Kemudian segera melangkah ke kamar mandi.
***
    Selfi masih berendam di baththub—hal yang jarang dilakukan dan akhirnya ia bisa berendam di dalam air hangat ketika terdengar sayup-sayup suara tepat di depan pintu kamar mandi. Suara-suara yang tidak dikenalnya. Ia menajamkan telinganya sembari beranjak dari bak mandi. Kamar mandi dalam terletak di sebelah pintu kamar hotel.
    Selfi perlahan meraih handuk lalu melilit tubuhnya. Kulitnya yang masih basah dan licin mengilap tersapu cahaya lampu. Ia berhati-hati melangkah di lantai kamar mandi yang licin. Setelah berada di dekat pintu kamar mandi, ia memasang telinganya.
    Suara-suara dari luar mulai terdengar jelas. Meski ia hanya dapat mendengar sepotong-sepotong suara dari percakapan itu.
    “…ya, saya Inspektur Anton Alam. Kami tengah menyelidiki kasus di hotel ini….”
    “…saya Denara … kami baru datang kemarin ….”
    “…yang menginap di kamar 222 … ada beberapa pertanyaan. Bisa saya bertemu Selfi?”
    “…Selfi kelelahan … mungkin ia berhalusinasi.”
    “…menulis coretan di dinding…?”
    “…hah, pekerjaan orang iseng….”
    “…kami terpaksa menutup kamar 222….”
    “…nggak masalah….”
    Mendengar namanya disebut-sebut, Selfi memutar otak. Ia menyadari sesuatu dan mendapat ide!” Ia sengaja mengeraskan suaranya. “Denara!! Tolong ambilkan pakaianku, dong. Maaf, aku lupa!!”
    Mendadak pembicaraan di luar terhenti. Keadaan kembali sunyi. Selfi yang mulai kedinginan sudah tidak sabar menunggu. Ia masih memasang telinganya.
    Tidak sampai semenit kemudian bunyi ketukan terdengar di pintu kamar mandi.
    Selfi membuka sedikit pintu kamar mandi. Ia meraih pakaian yang disodorkan Denara. Lalu segera mengenakan pakaian di dalam kamar mandi.
    Setelah berpakaian Selfi bergegas keluar dari kamar
mandi. Ia melongok ke kanan-kiri. Tidak ada seorang pun di dalam kamar selain Denara seorang.
    “Aku tadi mendengar suara pria.” Selfi mendekati sembari mengeringkan rambut basahnya memakai handuk. “Kau bicara dengan siapa?”
    Denara hanya menoleh sekilas lalu kembali berbaring di atas ranjang. Kembali ke laptopnya yang masih menyala. Ia berkata tanpa melepas pandangannya dari layar laptop, “Nggak ada siapapun. Mungkin kau salah dengar.” Ia tersenyum sinis.
    “Atau di kamar ini ada penghuninya?”
    “Jangan bohong, Den.”
    “Lebih baik kita jaga jarak dari polisi di lapangan. Oke?”
    “Jadi, barusan polisi yang datang ke sini?" tanya Selfi.
    “Ya, polisi bisa mengusir kita dari hotel ini.” Denara terlihat kesal. “Lihat saja, mereka menutup kamarmu. Untuk sementara kau bersamaku di sini.”
    “Tapi, informasi dari mereka bisa jadi materi, kan?”
    “Iya, mereka akan kita wawancarai. Tapi, nanti … kalau sudah waktunya.”
    “Kau menunjukkan identitas kita? Mereka tahu kita jurnalis.”
    “Tentu saja mereka tahu. Mungkin mereka salah satu penggemarmu. Wajahmu kan yang paling sering nongol di televisi.” Denara meraih
ponselnya. Ia mencari-cari sesuatu. “Kita harus berurusan dengan polisi yang tepat.”
    “Lalu, bagaimana kita meriset kasus sebelumnya.” Selfi melemparkan handuk ke sandaran kursi. “Ini kasus ke sekian kalinya.”
    “Kita punya narasumber di kepolisian. Kau tahu itu.” Denara menempelkan ponsel ke telinganya. Selama sambungan ponsel masih berjalan, ia berkata. “Pangkatnya lebih tinggi. Semua laporan dari anak buahnya akhirnya berada di atas mejanya. Termasuk laporan dari polisi tadi.”
    Selfi urung menimpali ketika sambungan ponsel Denara diangkat.
    “Iya. Kami butuh informasi perkembangan kasus di hotel Merkuri….” Denara mengangguk-angguk mendengar suara penjelasan di sambungan ponselnya. “Oh, jadi kami harus menghubungi inspektur itu….? Ya… ya, terima kasih atas waktunya.”
    “Inspektur siapa?” tanya Selfi penasaran.
    “Inspektur Anton Alam … dia tadi yang ke sini. Dia yang menyegel kamarmu. Dia juga yang melarang kita menyelidiki kasus ini lebih jauh. Dia juga … masih lajang loh, Fi.” Denara tersenyum dan berkedip-kedip.
    “Emang apa salahnya melajang? Seperti apa wajahnya? Ganteng nggak?” Kemudian ia mulai mengingat-ingat. “Oh, iya—iya, pernah denger namanya. Reserse yang pernah dikubur hidup-hidup karena menyelidiki mafia narkoba itu kan? Duh, orangnya memang sulit untuk diendus media. Dia menolakku lewat telepon ketika mau mewawancara. Dia termasuk polisi yang low profile tapi berprestasi. Aku nyaris mengecohnya ketika menyamar sebagai agen polisi asing. Mungkin dia juga sedikit pemalu bertemu gadis secantik aku.” Selfi mengerjap-ngerjapkan mata genit ke arah Denara, menggodanya.
    “Kamu mulai centil ya, Fi. Lihat aja nanti kalau ketemu. Kamu pasti ketemu dengan polisi terlalu rajin itu. Orang-orang yang melajang demi karir itu menyebalkan juga… mereka terlalu serius menekuni karirnya dan biasanya sangat disiplin.” Denara menepuk bahu Selfi.
    “Termasuk kita kan? Kita juga sering jadi menyebalkan karena karir!” Selfi mengingatkan.
    “Enggak juga sih, justru karena itu. Jika kita bisa memakmurkan diri sendiri maka kita juga bisa menolong orang lain juga kan,” sanggah Denara membela diri.
    Denara hanya dapat menghela napas panjang. Kemudian entah kenapa tiba-tiba sesungging senyum tergambar di wajahnya. “Nah, aku dapat ide bagus nih. Gimana kalau kamu saja yang melobi Inspektur Anton? Kalian kan sama-sama masih muda?”
    “Wait what...? Maksudnya melobi itu memanfaatkan aku untuk mencari informasi kan? Bukannya berniat jodohin aku dengan inspektur itu?”
    “Yah, bisa saja kan sambil menyelam minum air!” Denara
melirik dari sudut matanya.
    “Hei? Menyelam sambil minum air? Haha emang lumba-lumba!” Selfi tertawa. “Enggaklah. Aku gak tertarik dengan inspektur atau segala yang berbau polisi gitu. Terlalu kaku dan banyak aturan.”
    “Emang kamu pernah pacaran ama polisi apa? Banyak gadis yang suka kepada hal-hal berbau prajurit gitu.”
    “Belum, eh, enggak pernah. Kan tiap orang beda-beda sis.”
    “Ya gak bisa menjustifikasi gitu dong.”
    “Orang juga gak bisa jodoh-jodohin begitu.”
    “Ya, liat saja nanti. Toh nanti kamu yang merasakan dan memutuskannya.”
    “Kalau urusan melobi bisa saja, tapi ini bukan ajang perjodohan iya kan? Kamu sendiri yang menyuruhku untuk fokus … fokus Selfi ... fokus…,” ujar Selfi menirukan gaya Denara. Lengkap dengan gestur dan intonasi khas Denara.
    Pagi itu dipenuhi gelak tawa, seakan mereka tak mengerti bahaya apa yang akan dihadapi dalam kasus virus Ancol kali ini.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience