Rate

FILE 2: Jejak di Ruang Baca

Mystery & Detective Series 649

    INSPEKTUR dari Satreskrim Jakarta Pusat itu sedang mengamati keadaan di dalam ruang perpustakaan pribadi. Melihat apa yang tak terlihat oleh mata biasa. Mengendus aroma yang tak biasa di dalam ruangan pengap itu. Mendengar apa yang tak terdengar oleh pendengaran manusia biasa. Bakat dan kemampuan yang diasah dari pengalaman dan selebihnya adalah pemberian Tuhan.
    Rambutnya yang berombak dibiarkan memanjang sampai daun telinga. Perawakannya mirip seniman jalanan. Dengan jaket, kaos bergambar dan celana kargo. Cambangnya yang pendek-pendek dibiarkan tumbuh tak terurus. Membuat penampilannya lebih tua dari usianya sebenarnya, tiga puluhan. Penampilannya membantunya saat tugas sebagai reserse.
    Di balik jaket kulitnya nampak kaos bergambar lukisan seorang dewi keadilan yang menutup mata dengan secarik kain dan memegang neraca. Ia tengah berada di ruang baca sebuah rumah mewah. Rumah megah yang hanya dihuni empat orang: seorang janda tua bernama Agate yang tinggal di rumah warisan keluarganya, seorang wanita muda bernama Inggrit, adiknya bernama Irfan dan tunangan wanita muda itu bernama Irwan. Inspektur itu tengah menginterogasi tersangka kasus lain ketika mendapat panggilan tugas. Berbagai kasus-kasus yang belum terungkap masih memenuhi kepalanya. Menumpuk bagai berkas-berkas dalam laci di kantornya. Kantor yang jarang didatanginya karena ia lebih banyak berada di lapangan atau di jalanan menyelidiki kasus. Ingatannya yang kuat tentang detail kasusnya bagai seorang dengan bakat ingatan fotografis.
    Dari sekian banyak penyidik di jajaran kepolisian hanya dirinya yang paling banyak dipercaya untuk memecahkan kasus kriminal. Selain karena prestasinya, seringkali tanpa pamrih atau mengharap naik pangkat, ia juga dikenal karena memiliki bakat yang tak dimiliki penyidik lain. Ada yang bilang insting, ada yang bilang supranatural, ada yang bilang unik bahkan beberapa rekan menjulukinya seorang paranormal.
    Sekarang, ia berusaha fokus pada kasus yang berada di hadapannya.
    Inspektur itu berhati-hati ketika melangkah mengitari tubuh wanita paruh baya yang sudah tak bernyawa. Rekannya telah mengangkat rak buku yang menimpa wanita malang itu. Mayat itu tergeletak di lantai ruang baca seperti boneka kuno. Rambut pendeknya yang telah memutih mengilap bagai sutra. Kerut-kerut di wajahnya menampakkan garis usia. Pakaian terusannya berwarna krem keperakan. Ia memeriksa kacamata yang tertindih kepala mayat yang berdarah. Kacamata berlensa minus itu tidak rusak, masih utuh, lensanya tidak pecah dan gagangnya tidak patah. Luka ditemukan di pelipis kiri yang mengeluarkan darah. Nampaknya tulang tengkoraknya retak dan tewas seketika karena gegar otak. Ada sedikit lebam di lengan kanannya. Hidungnya patah dan berdarah seperti terhantam benda tumpul.
    Suara-suara mulai terdengar dalam kepala inspektur itu seolah dibisikkan di dekat telinga. Yang pertama kali didengarnya adalah suara jeritan pendek. Kemudian suara-suara bercakap-cakap seolah terperangkap di dalam ruangan itu. Suara bercakap-cakap seperti sedang merencanakan sesuatu.
    Inspektur itu tak menyentuh apapun selain melihat dengan matanya yang tajam. Gendang telinganya tak henti-hentinya berdengung kemudian terdengar suara-suara samar. Sejak terkubur hidup-hidup dalam keadaan koma ia mulai mendengar suara-suara dalam kepalanya. Suara-suara tak jelas seperti dengungan lebah. Ia pernah berada di ambang kematian, koma, karena pukulan benda tumpul di kepalanya oleh seorang preman ketika menyelidiki kasus seorang pejabat pemerintah. Untungnya nyawanya dapat tertolong ketika rekan-rekannya mengeluarkannya dari lubang kematian. Dirinya pernah menjadi incaran pembunuh bayaran. Karena itu rekan-rekannya di kepolisian menjaga sehari semalam selama ia dirawat di ruang ruang opname.
    Sejak mengalami koma, ia mulai mendengar bisikan-bisikan. Karena itu ia menyadari keanehan. Tidak ada suara pertengkaran? Hanya suara jeritan pendek dan orang bercakap-cakap? Apa yang sebenarnya mereka rencanakan? Ia membatin.
    Inspektur itu bertanya-tanya dalam batin. Ia memiringkan sedikit kepalanya agar suara-suara samar dalam telinganya lebih jelas, namun suara itu malah menghilang bersamaan dengan dengung panjang yang lama-lama reda dan lenyap.
    Lantai yang dipenuhi rak buku terlihat berantakan. Seakan ada perkelahian di ruangan itu. Buku-buku berserakan di sekitar mayat. Darah merembes dari pelipis wanita paro baya yang mengalami nasib malang itu. Darahnya menggenangi lantai yang ditutup karpet di sekitarnya. Dan merembes di buku-buku yang tergeletak di sekitarnya. Buku-buku berlumur darah.
    Aroma kematian menguar dari dalam perpustakaan pribadi itu.
    Inspektur itu memeriksa judul-judul buku yang bertebaran di lantai kemudian meneliti tulisan yang ada di setiap rak. “Buku botani … buku medis … buku ensiklopedi,” gumamnya kemudian berdeham. “Siapa yang terakhir kali berada di sini?” tanya inspektur itu.
    “Sa—saya melihat sendiri, adik saya membawa raket tenis berdarah itu,” ujar wanita muda itu sembari sesekali terisak. Air mata bergulir di pipinya. Pria di sebelahnya memeluknya, berusaha menenangkannya.
    “Ya—ya, ujung raketnya berdarah,” imbuh pria yang memeluk wanita kekasihnya itu. “Saya melihatnya sendiri. Ia melemparnya ke semak-semak di belakang rumah. Karena itu kami bergegas mengambil raket itu sebagai bukti!”
    “Kapan kalian mendengar keributan itu?” tanya inspektur itu dengan suara tenang.
    “Siang hari tadi sekitar pukul 11.45. Waktu itu saya dan Mas Irwan, calon tunangan saya baru pulang dari lapangan tenis. Awalnya kami bermain bersama adik saya yang bernama Irfan. Dia orangnya memang seenaknya sendiri dan sulit ditebak. Tadi Irfan pulang duluan dengan alasan tak jelas. Setelah kami tiba di rumah tiba-tiba terdengar suara pertengkaran dari dalam perpustakaan. Dari suaranya kami kami tau itu suara Irfan dan ibu yang sedang bertengkar. Kemudian … setelah kami periksa … ibu sudah terkapar di lantai dengan bersimbah darah … Dan kami melihat Irfan menghambur keluar kemudian melempar raket itu ke semak-semak di sisi rumah.” Wanita itu kembali terisak. Air mata bergulir di pipinya.
    “Ke mana Irfan sekarang? Apa kalian sudah menghubunginya?” Inspektur itu mengamati raut wajah lawan bicaranya.
    “Irfan jelas-jelas melarikan diri, Pak!! Kami tak tau kemana. Tadi kami sudah berusaha meneleponnya tapi tak diangkat. Orangnya memang susah kalau ditelepon. Silakan tangkap jika sudah berhasil menemukannya. Kami akan memberi petunjuk tempat yang biasa dikunjunginya. Dan sidik jarinya ada di raket ini. Coba saja periksa. Ya, pasti sidik jarinya tertinggal di sana.” Kekasih wanita itu menunjuk raket tenis berdarah di tangannya. Ia mengenakan sarung tangan karet yang biasa dipakai untuk bersih-bersih. “Kami nggak mengira, Irfan tega membunuh ibu demi warisan. Kami mendengar mereka bertengkar. Ia butuh uang untuk bengkelnya yang nyaris bangkrut!”
    “Bagaimana kalian yakin ada sidik jari? Apa kalian telah memeriksanya?” Inspektur itu merogoh sarung tangan dari sakunya lalu mengenakannya. Ia memeriksa buku-buku yang bertebaran di lantai.
    “Ya jelas saja karena Irfan yang memegang raket itu,” ujar pria kekasih wanita itu. “Sidik jarinya pasti tertinggal di sana. Coba saja periksa!”
    Namun, inspektur itu hanya mengamati raket berdarah dengan matanya yang tajam. Tanpa menyentuhnya. “Kalau kalian yang mengambil raket berdarah ini dari semak belukar. Maka sidik jari kalian pasti juga tertempel di sini. Atau kalian cukup berhati-hati agar sidik jari Irfan yang hanya ada di raket ini.”
    “Ya, ya ... betul. Saya memakai sarung tangan karet ketika mengambilnya dari semak belukar,” ujar wanita muda itu sembari menunjukkan tangannya yang tertutup sarung tangan karet.
    Bibir inspektur itu nampak tersenyum sekejap.
    “Sesuatu menghilang dari dalam ruangan ini.” Inspektur itu memindahkan buku-buku yang berserakan di bawah rak. Ia melihat goresan kelabu memanjang di tembok. “Apakah kalian memindahkan sesuatu? Atau menggeser sesuatu?”
    “Nggak. Ruangan ini sudah seperti ini ketika kami datang,” ujar wanita muda itu. Suaranya agak bergetar. Matanya berkejap-kejap meneteskan butir air mata.
    “Juga rak buku ini?” Polisi itu memperhatikan rak buku yang menyentuh langit-langit ruangan. Rak buku yang terbuat dari kayu mahoni. Buku-buku di rak sebagian berjatuhan, sebagian lain masih tertata rapi, namun, polisi itu menemukan keanehan. “Rak buku ini sengaja dijatuhkan. Menimpa ibu kalian. Ada beberapa buku yang berjatuhan dengan tema buku yang berbeda di rak baca. Pasti dipindahkan dari rak lain agar menambah berantakan seolah telah terjadi pergelutan di sini.”
    Kedua pasangan kekasih itu terdiam. Mereka hendak membantah, namun diurungkan.
    “Pasti ada tangga geser untuk naik ke atas rak ini.” Inspektur itu menunjuk bekas di tembok. Ia mengambil kursi baca lalu naik untuk menyentuh bekas akibat benda keras di tembok.
    “Tangga kayu itu … Ya, kami berencana membuat yang baru,” ujar kekasih wanita itu. “Tangga kayu itu ada di dalam gudang. Anda bisa periksa ke sana.”
    “Bukan tangga kayu … tapi tangga besi.” Inspektur itu mengusap bekas karat besi di jemarinya.
    “Dari mana Anda tau?” wanita muda itu heran.
    “Ada goresan karat besi di tembok … dari tangga besi yang telah membunuh wanita ini. Ia hendak naik mengambil buku ketika kakinya terpeleset dan jatuh.”
    “Ta—tapi kami mendengar suara keributan itu…,” kilah kekasih wanita itu.
    Tiba-tiba inspektur itu berteriak ke arah temannya yang sedang menunggu di luar jendela ruang perpustakaan. “Hei!!” serunya. Namun, temannya yang berada di luar nampak tak mendengar suaranya. “Dengar? Dinding ruang baca ini berperedam … tak mungkin suara dari dalam terdengar ke luar ruangan. Dan sebaliknya.”
    Kedua pasangan kekasih itu saling pandang. Wajah keduanya menegang.
    “Ini bukan pembunuhan. Tapi kecelakaan yang dibuat seolah-olah pembunuhan demi menuduh seseorang. Kalian kekurangan biaya untuk menikah? Pesta besar-besaran? Dan ibu kalian tak merestuinya.” sergah polisi itu. Sengaja memancing emosi mereka.
    “Berani sekali menuduh kami yang merencanakan ini!” seru wanita muda itu. “Kami bisa bayar pengacara!”
    Dan jebakan inspektur itu berhasil. Dengan tenang ia berkata. “Kejadiannya begini, kalian menemukan ibu ini terkapar karena terjatuh dari tangga besi, kemudian mendapat ide untuk menuduhkan pembunuhan kepada saudara anda untuk mendapatkan bagian warisannya. Karena jika dipenjara maka saudara Anda tak akan bisa mendapat warisan itu."
    “Anda gak perlu ikut campur!!” sembur Wanita muda itu. Wajahnya yang semula sedih kini berubah seratus delapan puluh derajat penuh amarah. Wajahnya memerah karena murka. Ia mengusap air mata dari pipinya dan tersenyum mengejek. Kedoknya terbuka. “Kami memiliki pengacara dan hakim. Dan bisa membayar kalian!”
    “Oke, selebihnya jelaskan di kantor polisi.” Inspektur itu memberi tanda kepada rekan-rekannya. Mereka bergerak untuk memborgol kedua pasangan kekasih itu.
    Inspektur polisi itu belum dapat menghela napas lega ketika terdengar bunyi ponsel. Bunyi nada dering ponsel miliknya. Nada instrumen musik klasik. Ia merogoh ponsel di saku jaketnya.
    “Ya, saya Inspektur Anton … oke siap, saya segera kesana.”
    “Ada apa?” tanya rekannya.
    “Hotel Merkuri berulah lagi.” Wajah Inspektur Anton tanpa ekspresi. Ia bergegas keluar dari ruang baca itu.
    Ketika sudah berada di dalam mobil polisi, panggilan dari radio dua arah menyita perhatian inspektur itu. “Ada apa?” tanya Inspektur Anton.
    “Ada laporan kejadian yang mirip kasus es kopi. Kebetulan arahnya searah ke hotel Merkuri. Sekarang tim lain meminta bantuan dan saran dari Anda” Seorang rekan mengatakan isi dari panggilan di radio dua arah itu.
    “Kasus copycat?” Inspektur itu berpikir sejenak, kemudian ia memutuskan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience