Rate

FILE 26: Pasangan Detektif

Mystery & Detective Series 649

   INSPEKTUR Anton masih memeriksa jok belakang mobil BMW silver di dalam garasi laboratorium forensik. Barang bukti proyektil yang ditemukan dua rekannya dari reserse malah membingungkannya. Proyektil peluru ditemukan dengan mudah di bawah jok. Namun, mereka melupakan lubang peluru yang membekas di jok belakang. Malam itu, ia hanya seorang diri di dalam ruang forensik.
    Kaca belakang mobil tertutup boneka mainan yang digantung di kaca jendela. Apalagi kaca film mobil jenis spectrum stell yang tidak mudah dilihat dari luar karena memantulkan cahaya. Jadi tidak mudah pelaku penembakan dapat mengawasi korban dari luar.
    Tadi inspektur polisi itu melihat bekas tembakan di bingkai jendela, bekas penyok dan terbakar warna coklat gelap. Bukti bahwa revolver ditekan ke jendela karena pelaku kesulitan melihat korban. Keberuntungan saja tidak cukup untuk dapat menembak tepat sasaran. Membutuhkan latihan berkali-kali dan kecermatan yang tepat. Apalagi objek bergerak akan lebih sulit ditembak.
    Inspektur Anton melihat sekali lagi dua lubang peluru di jendela mobil dari dalam kabin. Kemudian mengukur dengan jarak ke jok menggunakan meteran. Ia menemukan peluru agak melenceng menghantam sandaran jok. Di dalam sandaran jok itu pasti masih tersimpan proyektil peluru. Untuk mengambil proyektil, ia perlu membongkar busa jok itu.
    Lalu dari mana rekannya menemukan proyektil jika masih ada di dalam jok? Apakah proyektil lain yang ditemukan di dalam mobil? Inspektur Anton bertanya-tanya dalam batin. Ia tengah berpikir keras ketika sebuah suara terdengar dari belakangnya.
    “Inspektur masih lembur? Hey, sudahlah jangan diforsir. Barang bukti udah diambil,” tegur rekannya dari kesatuan lain.
    “Kalau butuh kopi atau katering bisa saya belikan," ujar rekan yang lain.
    “Ya, terima kasih.” Namun, Inspektur Anton masih tak keluar dari dalam kabin. Ia masih melanjutkan pemeriksaan di dalam kabin mobil. “Masih ada yang kurang lengkap. Aku akan istirahat setelah jok belakang difoto.”
    Teman-temannya tertawa pendek. “Begitu kalau gak kebagian.”
    Inspektur Anton masih belum mengerti apa yang mereka katakan.
    “Kau boleh menginap di dalam mobil karena akan segera disegel dan jadi pajangan,” canda rekannya sebelum pergi. Terdengar tawa mereka.
    Inspektur Anton mendengus. Kali ini ia merasa berhadapan dengan jajarannya sendiri. Walau hanya beberapa oknum di dalam kepolisian, namun dapat menjadi nila yang merusak rekan-rekannya yang anti suap. Seringkali yang antisuap tanpa sadar ikut ke dalam pusaran sistem yang tak ada ujungnya, seperti simbol Uroborus; pusaran kehidupan yang terus berputar dalam keabadian.
    Ternyata lebih mudah menyelidiki bukti yang masih utuh daripada yang sudah direkayasa. Banyak petunjuk menyesatkan seperti labirin. Jika ia memasuki ruang yang salah maka akan semakin bertambah tersesat. Jika tidak cermat, ia bisa saja mengikuti jejak petunjuk yang salah hingga makin menyulitkan kecuali mengulang lagi penyelidikan dari awal.
    Pengalamannya selama ini menjadi penyidik seolah ditantang. Tidak ada yang membayarnya untuk itu selain karena terpanggil oleh rasa keadilan semata.
    Ia memeriksa ponselnya dan menyadari telah menonaktifkan suaranya. Ada satu pesan dari Selfi. Isi pesannya agar ia tak memaksakan diri melakukan penyelidikan. Ia baru menyadarinya. Walau mereka sudah berjanji untuk tidak terlalu banyak mengontak selama melakukan pekerjaan masing-masing.
    Namun, dirinya tak seorang diri berkutat dengan kasus itu. Ada seorang lagi yang tengah lembur dalam kasus misteri penembakan itu. Di tempat lain seorang penyelidik juga masih lembur di ruang kerjanya.
***
    Bunyi ketokan di pintu membuyarkan pikiran dr. Watsen. Ia melirik jam, sudah larut malam. Tidak terasa waktu berjalan begitu saja dalam kantornya di dekat lab. forensik. Ia biasa tidak pernah mengunci pintu, jadi pintu mudah dibuka. Tiga orang pria dari petugas kepolisian masuk di ambang pintu. Hanya menengok sekilas dari balik kacamata kecilnya, dr. Watsen sudah mengerti mereka reserse.
    “Ada apa?” tanya dr. Watsen sedikit kaget melihat kedatangan petugas.
    “Sudah sampai mana, Pak?”
    “Oh, saya baru saja sampai. Ini baru menulis laporan visum.”
    “Bisa kami bawa? Proyektilnya?”
    “Besok saja. Belum uji balistik.”
    Tiga petugas itu tak menjawab. Mereka
masih berdiri di sana. Seolah hendak memaksakan kehendak mereka.
    “Kalau sekarang gimana?” tanya mereka sekali lagi seakan tidak paham atau berpura-pura tidak memahami prosedur.
    “Besok pagi saja, malam ini saya selesaikan laporannya,” ujar dr. Watsen. Kali ini dengan nada mengusir. Ia tidak suka diganggu. Ia pikir mereka sudah mengerti.
    Kedua petugas itu diam kembali beberapa lama. Watsen tidak memedulikan mereka lagi dan melanjutkan pemeriksaan. Ketika ia menengok ke ambang pintu, kedua petugas itu sudah tidak ada di sana.
    Dokter Watsen seperti melihat benang-benang tak kasat mata yang menggerakkan boneka-boneka hantu di sekitarnya. Ia tidak ingin menjadi salah satu dari mereka. Fakta dari meja forensik, harus ditulis apa adanya.
    Malam itu dr. Watsen berada di kantonya sampai hampir tengah malam. Setelah menulis beberapa catatan ia hendak pulang. Namun, ia mengingatkan dirinya lagi untuk menulis catatan laporan tambahan.

    Catatan dr. Watsen Munim, ahli forensik

    Jika kau membaca laporan ini, berarti telah terjadi sesuatu padaku. Aku yang membuat laporan ini menulis hasil visum pada pria bernama Nazrudin Zulfikar pada 24 Maret. Pada pria bernama Nazrudin Zulfikar berusia empat puluhan tewas akibat dua luka tembak di kepala. Satu luka menembus pelipis kanan. Satu luka akibat peluru yang ditembak dari jauh menembus pelipis kanan hingga tembus ke belakang kepala di bawah telinga dengan luka membentuk corong ke dalam, tidak ditemukan peluru.
    Peluru kedua menembus pelipis kiri korban di atas alis. Peluru yang bersarang di tengkorak korban sudah tidak utuh, berupa pecahan dari peluru 9 mm, diduga dari revolver kaliber 38.

    Note: Catatan ini masih dalam penyelidikan dan dapat berubah karena mayat sudah dibersihkan sewaktu divisum.

    Di pelataran parkir menuju mobilnya, ia merasakan tengah diawasi. Entah penglihatannya salah atau tidak, ia melihat dua orang pria yang bertampang mirip seperti petugas yang mendatanginya. Atau, kedua orang itu benar-benar mereka? Menunggu di dalam mobil dalam bayang-bayang kegelapan kabin?
    Dokter Watsen sudah biasa dikuntit. Dengan tenang ia masuk lalu mengemudikan mobil keluar dari pelataran RSCM. Ia yakin nyawanya masih aman. Setidaknya, mereka masih membutuhkan dirinya hidup-hidup untuk mendapat laporan peluru besok pagi.
    Mereka hanya memastikan bahwa dirinya masih hidup.
***
    “Bagaimana hasil olah TKP tadi?” tanya Selfi. Suaranya terdengar santai tidak ngotot seperti seorang jurnalis yang bertanya kepada penyelidik. Bahkan ia tak begitu serius bertanya hanya sekadar basa-basi saja. ia berusaha memisahkan antara pekerjaan dan kehidupannya yang sekarang.
    Sepulang siaran di Metropolis TV dari acara bincang-bincang tentang kisah dirinya di laboratorium rahasia itu, ia berusaha pulang ke apartemennya. Sesuai janjinya dan Inspektur Anton untuk setidaknya berusaha bertemu tatap muka sehari sekali.
    Seringkali Inspektur Anton yang pulang terlambat, seperti hari ini. Namun, ia berusaha mengerti dan menunggu inspektur itu. Untuk memberi privasi, inspektur Anton menyewa kamar lain yang dijadikan ‘ruang kerja kedua’. Kamar inspektur polisi itu penuh dengan berkas-berkas, foto tempat kejadian dari berbagai kasus yang tengah ditangani. Makin hari kasus yang berdatangan dari kesatuan lain makin menumpuk. Sebagai detektif berbakat
    “Masih banyak keganjilan yang harus diungkap.” Inspektur Anton merebahkan diri ke sofa di apartemen Selfi. Ia pulang terlambat lagi. Namun, sudah saling mengerti.
    Selfi membuatkan teh hangat untuk tunangannya. Ia mendekati inspektur polisi itu yang memejamkan mata dan menyandarkan kepalanya ke sofa.
    “Hei, minum teh dulu biar hangat.”
    Inspektur Anton membuka mata. “Terima kasih.” Ia mengangkat kepalanya yang terasa berat dari sandaran sofa. Ia nampak masih canggung karena sekarang ada seorang gadis manis yang memerhatikannya. Kebahagiaan yang menghangatkan dadanya itu malah makin menyesakkan. Ia teringat ketika Selfi dibawa ke ibunya. Itu kali pertamanya ia bingung melihat ibunya menangis. Sebelumnya ia memang sering melihat ibunya menangis, namun waktu itu tangisnya berbeda. Tangis bahagia.
    “Loh, kok malah ngelamun.” Selfi mengamati wajah inspektur Anton dari dekat hingga hidungnya nyaris bersentuhan.
    Inspektur polisi itu nampak canggung dibuatnya.
    “Ngelamunin polwan cantik siapa hayoo?” goda Selfi.
    “Ya, namanya polwan dibilang cantik, bukan ganteng.” Inspektur Anton lantas menggenggam jemari Selfi yang mengenakan sarung tangan kulit. Akibat eksperimen evatoxin membuat keringat yang keluar dari kulit di jemarinya beracun. Ia memberi tanda agar gadis itu duduk di sofa di sampingnya.
    Selfi hanya tersenyum dan menurut saja.
    “Aku akan mengambil antitoksin adamin agar sisa racun evatoxin ditubuhmu bisa benar-benar bersih. Dosis yang tepat harus diberikan secara berkala.” Inspektur Anton tersenyum sekejap. Lalu wajahnya nampak cemas. “Aku melihat tidurmu gelisah. Aku tak mau melihatmu tak bisa tidur karena evatoxin di tubuhmu itu. Sekarang antitoksinnya dalam tahap diproduksi lebih banyak lagi. Walau penelitian dan pengembangan menjadi tersendat karena tidak ada Evangela. Oya, aku kenal beberapa ilmuwan yang tengah meneliti racun itu. Mungkin mereka bisa dibujuk untuk memberikan antitoksin itu.”
    Selfi terdiam untuk beberapa lama. Ia hanya menghela napas. Kemudian berkata, “Antitoxin adamin berusaha diproduksi lagi walau tanpa Evangela. Entah ilmuwan itu ada di mana sekarang. Tapi, untuk sekarang kan persediaannya untuk para korban yang masih diopname? Belum lagi jika ada racun itu muncul lagi sebagai wabah menular. Dan tindakan menyelundupkan antitoksin kan ilegal?”
    “Iya, aku hanya ingin melihat kau tidur dengan tenang.”
    “Tidurmu juga gak tenang kan inspektur? Kadang pindah ke sofa, kadang tertidur di ruang kerja karena lembur, kadang tidur di dalam mobil ... maklum karena sekarang kau menangani kasus besar lagi sejak kasus di hotel Merkuri.”
    “Kalau aku masih bisa menahan rasa sakit yang masih menyiksa dada… anehnya rasa sakit itu hilang sewaktu terkena hantaman benda keras.”
    Selfi memandang prihatin ke arah tunangannya. Ia berusaha tersenyum sembari mendekat lebih dekat. “Tapiii … kalau french kiss kayaknya gak bakal menular kok. Apalagi kau kan kebal? Mau coba?” Wajah Selfi menyiratkan antara serius dan setengah bercanda.
    Inspektur Anton hanya tersipu sembari mengusap ubun-ubun Selfi. Kemudian ia mencium dahi Selfi untuk beberapa lama. Gadis itu memejamkan mata ketika menerima kecupan di dahinya.
    Selfi yang tak tahan dengan kasih sayang yang meluap itu segera menyambutnya dengan pelukan erat. Ia menyandarkan kepalanya di dada Inspektur Anton. Memeluk tubuh inspektur Anton dengan erat seakan tak ingin berpisah lagi seperti ketika melihat pria itu koma sewaktu opname di rumah sakit.
    Entah kenapa air mata bergulir di pipinya. Ia tak paham perasaan yang campur aduk dalam batinnya. Awalnya ia hanyalah gadis selfish yang mengutamakan karir dan karir daripada orang-orang yang selama ini perhatian kepadanya. Ia tak menyadai bahwa inspektur polisi itu dari awal mengenali penyamarannya sebagai Agatha Casey Holmes. Berusaha melindunginya dengan memberikan teguran dan teguran agar tak mendekati mara bahaya.
    “Terima kasih … maafkan aku yang selama ini egois,” ujar Selfi lirih.
    Inspektur Anton mengusap-usap bahu tunangannya. Ia memberikan tanda agar tetap tenang. Kemudian bunyi perut inspektur polisi itu membuat Selfi menyadari sesuatu.
    “Eh, kau terlambat makan lagi? Kupesankan nasi goreng ya?”
    “Oya, aku baru ingat beli bahan-bahan untuk memasak. Ada di kulkas.”
    “Owh, kalau gitu biar kumasakkan sesuatu yang spesial ya. Tunggu di sini atau mau ikut ke dapur?” tanya Selfi sembari menarik tangan inspektur itu.
    Inspektur Anton hanya mengangguk sembari mengikuti kekasihnya ke dapur. Inspektur itu tau, sekarang ia tidak lagi sendiri, tidak bebas seperti dulu, ada belahan hatinya yang menjadi tambatan dermaga hatinya. Sekarang ia memiliki 'rumah' untuk pulang. Rumah yang sesungguhnya bersama keluarga barunya kelak.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience