Rate

FILE 56: Artificial Intelligence

Mystery & Detective Series 649

Ia tak yakin ada hantu di dalam game. Apakah ada kesalahan sistem dari file game yang baru diunduh?

    FARIL merasa sesuatu tengah mengawasinya dari sebuah titik di dinding poligon tiga dimensi dalam game Blizzard. Entah apa dan siapa yang mengawasinya. Ia merasakan sistem game mulai tak seperti biasanya. Ada glitch seperti kena bugs atau data yang korup. Renderingnya seperti berkedip dalam frame per rate yang menurun dan poligon karakternya ada yang menjadi wireframe. Ia yakin tidak ada virus di komputernya. Apalagi ada bayangan karakter yang berkelebat di sekitarnya. Jadi siapa yang dilihatnya di dalam game kemudian lenyap? Apakah ada pemain yang menggunakan cheat engine? Ataukah dari file game sebelumnya? Tidak mungkin hantu masuk ke dalam game! Apakah Ghost yang melakukannya ataukah Hogst? Atau anggota King Cobra yang mencoba meretas sistem game itu.
    Faril tengah bertanding dengan timnya di dalam game Blizzard. Karakternya memiliki kemampuan bergerak cepat dengan senjata senapan serbu.
    Ketika terpisah ia seorang diri. Ia melihat anggota tim lain yang mengejarnya. Karena itu ia masuk ke dalam bangunan. Ia melongok keluar jendela, melangkah dengan perlahan seakan tak diburu waktu. Namun, anehnya sosok yang mengejarnya sekejap lenyap. Tak ada tanda-tanda tim yang keluar dari game. Tak ada peringatan bahwa anggota tim musuh berkurang. Jumlah anggota timnya tetap sama. Ia tak yakin ada hantu di dalam game. Apakah ada kesalahan sistem dari file game yang baru diunduh?
    Apa yang terjadi sebenarnya?
    Apakah game itu telah disusupi bugs atau virus?
    Untungnya permainan kali ini diseting dengan waktu tanpa batas sampai salah satu tim menyelesaikan misinya: memasang simbol kemenangan di area musuh.
    Faril seakan memiliki banyak waktu di dunia tiga dimensi itu. Seolah ia bisa terbebas dari waktu di dunia nyata. Seolah ia berada di dalam game itu. Jika mati ia dapat mengulang lagi dari awal. Jadi di dalam game jangan harap dapat bertemu Sang Pencipta dan memprotes nasib buruk yang digariskan untuknya di lapisan dimensi itu. Kecuali ia dapat mengikuti kode-kode yang diciptakan pengembang game itu untuk mengikuti misi-misi tertentu. Misi yang dapat membawanya kepada sejarah dan informasi mengenai pembuatan game itu.
    Dengan game manusia berusaha meniru ciptaan Tuhan. Tidak. Ruang dimensi Tuhan bahkan berada di luar jutaan dimensi waktu lain yang sangat berbeda satu dengan lainnya, tak terdefenisi oleh perhitungan apapun dan tak dapat dijangkau oleh imajinasi. Untuk mengetahui tentang dimensi waktu saja manusia membutuhkan lima belas abad, lebih. Memang tak banyak yang dapat mengerti dan menjelaskan tentang multi dimensi yang tidak bisa menjelaskan tentang waktu yang paradoks dan tak terdefenisikan itu.
    Meskipun Faril masih dapat membedakan dunia nyata dan dunia di dalam game, namun ia melihat kesamaan di sana. Seringkali ia terpukau melihat sistem yang dibuat oleh programer, membuat artificial intelligence kecerdasan buatan yang menopang sistem di dalam game sehingga mirip dunia nyata. Hanya tinggal menciptakan kesadaran buatan agar sebuah AI dapat menyadari bahwa dirinya eksis di dunianya. Belum lagi kualitas grafis yang makin nyata dan makin mirip aslinya seperti di dunia nyata. Reality mean quality. Makin mendekati kenyataan makin berkualitas. Bahkan game mulai mengembangkan virtual reality yang memberikan pengalaman interaksi dengan dunia maya. Apakah dunia nyata belum cukup sempurna sehingga harus dilengkapi oleh sistem di dalam game?
    Kota-kota yang dibangun di dalam game, dunia yang dikembangkan di dalamnya dihuni oleh makhluk abadi yang lebih sempurna daripada di dunia nyata. Jika mati mereka dapat kembali lagi dan mengulang misi dari awal. Sesuatu yang tak ada di dunia nyata.
    Lihatlah, pikirnya, padahal kita berada di satu tempat yang sama, pikirnya. Sejak umur lima tahun, ia belum pernah merasa kesepian meski ibunya sering meninggalkannnya bersama ayahnya yang kerap keluar kota demi karir. Karena itu Faril sering menghabiskan waktu dengan bermain game. Ia seakan telah menjadi bagian dan hidup di dalam game itu. Ia dapat mengubah dunia di dalam game, menatanya, menambah atau menguranginya. Dan ia percaya Tuhan juga tengah bermain game dengan kode-kode tak nampak yang ada di alam semesta. Ya, alam semesta tidak lain adalah program dengan software hukum alam yang terus menjalankan sistem keabadian dengan energi yang tak berawal dan tak akan berakhir. Energi tak dapat diciptakan dan tak dapat dimusnahkan. Bagai menjalankan sebuah piringan hitam gramofon yang berputar terus-menerus dalam kebadian. Bagai keping data, file sistem, yang terus bekerja otomatis dalam ukuran partikel Tuhan, memiliki kapasitas tak terbatas yang tak bisa dihitung dalam ukuran terabyte dalam dunia tujuh dimensi ke atas.
    Di dalam game. Faril berjalan berhati-hati di dalam gedung itu. Suara-suara dari timnya masih terdengar dari radio dua arah. Mereka juga masih saling mencari dan bersembunyi untuk memenangkan misi itu. Ia melewati koridor lalu naik ke ruang ventilasi demi mencapai atap. Ia tersenyum ketika melihat genangan darah—perkiraannya kali ini tak meleset, ia yakin tadi telah berhasil menembak tepat ke bahu musuh. Jejak darah dari anggota tim musuh yang terluka itu baru saja melewati atap. Game itu memberikan detil yang mengesankan mengenai jejak sepatu, jejak darah, dan bahkan aroma yang baru saja tercium di sana. Ia memeriksa pendeteksi aroma dan menemukan campuran bahan kimia mesiu dan darah. Mesiu dan darah dari musuhnya yang terluka dan bersenjata.
    Faril yakin musuhnya berada di atap sekitar lima belas menit lalu. Kemudian, ia berjalan terus ke atap gedung lain sembari tetap mengawasi keadaan. Ia turun dari balkon menuju ruang tamu, memeriksa setiap kamar dan membukat pintunya lebar-lebar. Mencari tempat persembunyian dari musuhnya.
    Kemudian terjadi keanehan lagi. Di balik pintu kamar ia melihat bayangan seseorang yang baru saja lewat di sana. Transparan seperti hantu.
    Tunggu apakah itu rekaman dari misi sebelumnya?
    Ia tak pernah mengingat menyimpan rekamannya di misi kali ini. Atau ia lupa. Kemudian ia melihat seseorang yang harusnya tidak ada di dalam game itu. Karakter pasukan khusus dengan memakai pakaian serba hitam itu tak dilihatnya berasal dari tim musuh.
    Karena penasaran Faril mengikuti sosok misterius itu. Ia menyiapkan bidikan senapan serbunya sembari mengejar orang itu. Tak sia-sia usahanya mengejar sosok itu ketika sudah berada dalam jarak tembak ia melepas tembakan. Namun, anehnya peluru dari senapan serbunya hanya menghantam tembok! Lubang-lubang peluru nampak menghiasi dinding tembok. Ada apa sebenarnya? Kenapa peluru tak bisa mengenai tubuhnya?
    Sosok misterius itu berhenti berlari. Ia menatap ke arah Faril.
    Sosok itu memakai pakaian serba hitam seperti pasukan khusus. Di tangannya tergenggam senapan runduk. Ia nampak tertawa namun tak ada suara yang terdengar. Kenapa suaranya tak ada?
    Kemudian kamera berputar ke segala arah di luar kendali. Seakan ada program lain yang mengendalikan game itu. Tembok dan gedung-gedung di sekitar Faril mulai nampak tembus pandang seperti sekat-sekat setipis papan yang digunakan untuk seting sebuah film.
    Faril menekan tombol kendali, namun karakternya tak nampak lagi di layar monitor. Jika keluar dari game sekarang ia akan ditegur teman-temannya yang sedang menyelesaikan misi. Namun, ia tak bisa menyelesaikan misi dengan seting game yang kacau seperti itu. Gravitasi seperti lenyap dan karakter milik Faril menjadi hantu yang dapat menembus dinding di setiap gedung.
    Apakah komputerku terkena virus? Tanya Faril membatin.
    Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari headset. Gendang telinganya berdenging sekali lagi, saluran dalam telinganya seakan dipenuhi lebah yang beterbangan kesana-kemari. Darahnya seakan hendak keluar dari telinganya. Telinganya terasa sakit, organ keseimbangannya terganggu. Gelombang kejut dari suara itu tak sampai lima belas detik, karena kini ia bisa mengatur napasnya kembali dengan normal. Walau keringat dingin mulai membasahi keningnya. Otaknya serasa berpusar, perutnya mual dan kepalanya terasa pusing. Ia tak pernah merasakan hal seperti itu sebelumnya. Ia pernah pusing dan sakit perut hanya karena lupa makan dan bermain game non stop.
    Tak ada waktu untuk menikmati game. Di layar monitornya kini nampak spektrum cahaya yang memiliki perbendaharaan warna tiga juta kali lebih banyak. Warna gedung dan langit di dalam game berubah.
    Ia buru-buru keluar dari game dan mematikan komputernya. Ia menyeka keringat dingin di dahinya denga punggung telapak tangannya. Memang terlalu lama bermain game membuatnya pusing. Biasanya ia sudah terbiasa bermain game non stop.
    Ia melangkah ke sofa kemudian berbaring di sana. Rasanya dunia masih berputar di sekelilingnya. Ia tak mungkin terkena vertigo. Ia berusaha mengatur napas dan memejamkan mata untuk mengatur alat keseimbangan yang berada di telinganya.
    “Hei, kau baik-baik saja?” tanya Selfi. Ia menyadari Faril tidak berada di depan gamenya. Sedari tadi ia mengetik laporan untuk Denara yang telah menunggu mengenai perkembangan kasus di Pulau Badai.
    “Hah? Oya, aku agak sedikit pusing.”
    “Lah, gimana gak pusing dari tadi pagi sampai sore main game online terus.”
    “Iya, gak kerasa kalau main game.”
    “Oya, gimana kuliahmu? Aku gak ngeliat kamu masuk kuliah?” Selfi menyeduh teh dan menyiapkan segelas untuknya dan untuk Faril.
    “Kalau kondisi di Pulau Badai gak aman, ya lebih baik pindah.”
    Selfi terdiam. Perkataan Faril ada benarnya. Jika kondisi terus menerus tak aman maka kemungkinan penghuni Pulau Badai pun akan lari keluar pulau.
    “Ya, kalau gitu istirahat saja dulu,” ujar Selfi.
    “Terima kasih Tante.”
    “Eh, Tante? Panggil aja Mbak.”
    “Oya, Mbak.”
    Selfi geleng-geleng kepala melihat tingkah Faril. Selama ini ia tak pernah melihat Faril keluar atau melihat teman-temannya. Karena ia menduga teman-temannya berada di dalam game. Ya, teman-teman tak kasat mata yang hanya bisa ditemui di dalam game.
    Sekarang ganti Inspektur Anton yang dicemaskan Selfi karena belum pulang. Padahal hari sudah beranjak petang. Ia tak mau bersikap terlalu posesif dan mengekang karena inspektur polisi itu juga berdedikasi dengan profesinya. Tapi, setidaknya inspektur itu mengirimkan pesan teks agar ia tidak cemas. Karena itulah ia terpaksa mengingatkan lagi inspektur itu. Ia meraih ponselnya dan menekan nomer Inspektur Anton.
    “Halooo, lagi ada di mana inspektur?”
    “Oya, sori nih, lagi ada di rumah sakit.”
    “Emang siapa lagi yang sakit?”
    “Ini lagi menyusun laporan untuk dr. Watsen Munim.”
    “Dokter itu jadi berangkat ke pulau ini?”
    “Enggak, dokter Watsen masih belum fit. Jadi aku mengirimnya data-data dan foto-foto korban berikut keadaan sekitarnya. Kami sedang ngobrol via chat webcam sekarang.”
    “Oke inspektur, ditunggu perkembangan kasusnya ya?”
    “Ya, tapi sepertinya pemerintah menekan media agar tak mengulas panjang lebar kasus ini. Ya, karena ada hubungannya dengan kasus lalu yang telah dipeti eskan.”
    “Oh, gitu. Ya, biar Denara nanti yang memutuskan, setidaknya aku masih dapat honor karena memberikan laporan.”
    “Oya, Faril ada di sana?”
    “Ya, nampaknya ia pusing karena terlalu banyak bermain game.”
    “Baguslah, tolong jaga anak itu agar jangan keluyuran. Karena ia kunci dari kasus ini.”
    “Bagaimana dengan Ghost? Apakah ia sudah bertemu denganmu?”
    “Belum. Nampaknya Ghost mengubah strategi. Mengingat kekuatan King Cobra. Jadi lebih baik berpencar. Karena jika berada dalam satu tempat maka lebih mudah untuk dilacak oleh King Cobra. Setidaknya kita bisa selamat bersama. atau kalau terpaksa, salah seorang dari kita harus bisa selamat.”
    Selfi terdiam untuk beberapa lama. Kemudian ia mengakhiri percakapan itu.
    “Oke, jaga dirimu juga ya. Aku tunggu….”
    Bisakah mereka mengungkap kasus di Pulau Badai?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience