Rate

FILE 66: Labirin Level Tujuh

Mystery & Detective Series 649

“Labirin itu tak memiliki pola tapi memiliki peta yang harus dihafal,” ujar Faril. Ia lantas menunjukkan peta yang terpajang di dinding bungker itu.

    LEVEL SEVEN no safe zone. Tertulis di monitor ketika mulai memasuki pintu lift berjeruji. Lift barang itu cukup luas bagi anggota tim yang dipimpin Faril.
    “Misi ini untuk mematikan super komputer yang ada di labirin. Labirin itu adalah sebuah pendingin raksasa yang….”
    “Tutorial lagi neh,” sahut Akbar.
    “Gue gak ngomong ke elu. Gue ngomong ke Inspektur Anton,” sembur Faril melalui mikrofonnya.
    “Waduh … lupa lagi Ril, sori,” kelakar Akbar lantas cekikikan. Ia menggunakan gestur konyol melalui karakter gamenya.
    “Kalau Faril sih pernah lewati level tujuh … lah kita,” ujar Leon.
    “Cuma yang beruntung yang bisa,” timpal Andri lantas menghela napas. Suara hembusan napasnya terdengar di headset.
    “Wih napas naga nih,” ujar Akbar lantas pura-pura batuk.
    “Emang napas lu itu,” ujar Andri.
    “Hei fokus … bentar lagi mulai nih,” ujar Faril. Lift mulai bergoncang.
    Opening scene di level tujuh menggambarkan lift yang ditembaki dari atas. Kemudian percikan api dari mesin membuat lift itu mulai terbakar. Lift meluncur ke bawah yang membuat anggota tim berpegangan ke teralis besi.
    Bunyi berdebam dan keritik listrik terdengar ketika lift jatuh ke dasar bungker. Sampai lebih cepat daripada biasanya.
    “Ready team …,” ujar Faril. “Siapkan senjata inspektur,”
    Ketika pintu lift terbuka sepasukan penjaga ruang masuk bungker sudah membidik. Baku tembak tak dapat dihindari. Bunyi rentetan tembakan dari arah luar dan dalam lift makin sengit. Faril melempar granat keluar demi menghalau pasukan penjaga bungker, setelah granat meledak di luar lift, satu per satu anggota tim keluar. Mereka saling melindungi satu dengan yang lainnya.
    Setelah baku tembak itu, pasukan penjaga pintu bungker berhasil dilumpuhkan. Walau beberapa anggota tim harus mengobati diri untuk beberapa waktu.
    Faril kembali memasang bom demi membuka pintu masuk ke bungker. Setelah bom meledak, pintu bungker hanya penyok dan terbuka sedikit. Karena itu anggota yang lain sudah bersiap dengan mengungkit pintu bungker agar terbuka.
    Inspektur Anton lantas terperangah melihat luasnya ruang bawah tanah itu. Langit-langit tinggi nampak kokoh. Setelah pintu pertama terbuka, ia menemukan tujuh pintu yang berhubungan dengan ruangan yang dapat bergerak dalam hitungan tujuh detik.
    “Yah, kita udah sampai di labirin … dindingnya dapat bergeser setiap tujuh detik. Jadi inspektur harus menghitung sampai tujuh baru masuk ke ruangan lain agar tak terhimpit dinding yang bergeser,” ujar Faril.
    “Oke,” ujar Inspektur Anton menelan ludah. Ini lebih sulit daripada yang dibayangkan. Namun, juga lebih mudah jika sudah beberapa kali ke tempat itu.
    “Oke Ril, sip,” ujar Akbar.
    “Bukan elu,” timpal Faril.
    “Akbar udah berapa kali lewat sini?” tanya Ela baru bersuara. Ia online dengan laptopnya. Kebetulan hari itu jadwalnya di laboratorium longgar jadi bisa ikut gabung dalam tim demi menyelesaikan misi di game Blizzard.
    “Udah gak kehitung mbak … tapi gak bisa nembus,” timpal Akbar lantas terkekeh.
    “Labirin itu tak memiliki pola tapi memiliki peta yang harus dihafal,” ujar Faril. Ia lantas menunjukkan peta yang terpajang di dinding bungker itu. “Silakan dihafal inspektur.”
    “Aku aja masih belum hafal kok,” celetuk Akbar.
    “Daya ingatmu memang kurang kuat,” timpal Andri.
    “Ribut lagi … dasar,” ujar Faril.
    “Oke, aku udah hafal,” ujar Inspektur Anton. Ia memiliki ingatan fotografis dari bakat sejak lahir.
    “Nah, sekarang tinggal mempertajam telinga, dengar dari arah mana dinding itu bergerak inspektur. Kali ini inspektur yang memimpin,” ujar Faril.
    “Duh, Faril aja kapok ke labirin,” ledek Akbar.
    “Akbar kalau ribut terus jadi pemimpin aja deh,” ujar Ela.
    “Ehm, iya Mbak … janji gak ribut lagi deh, suwerrr!” Akbar berdeham.
    Lantas terdengar suara tawa di headset dari anggota yang lain nyaris bersamaan.
    “Siap inspektur?” tanya Faril.
    “Oke ayo!” Inspektur Anton memimpin di depan. Ia memilih pintu pertama dari ketujuh pintu itu karena lebih dekat.
    Untuk beberapa lama inspektur polisi itu mengingat-ingat sembari berhitung. Tim itu berputar-putar mengelilingi ruangan kosong yang dindingnya kerap bergeser beberapa kali. Anggota tim mulai mengeluh dan mulai ragu mengikuti inspektur itu.
    Bunyi-bunyi mekanis seperti mesin terdengar mendekati mereka dari balik dinding yang bergeser. Seakan mengawasi dan menunggu mereka dari ruangan yang lain.
    “Gimana inspektur?” tanya Faril nampak cemas karena mereka belum jugar keluar dari labirin itu.
    “Pasti ada jalan keluarnya. Yang memutuskan adalah labirin ini. Suara-suara itu terdengar dari berbagai arah. Sistem ini memang sengaja menyesatkan penyusup yang tak memiliki ijin masuk.” Inspektur Anton memerhatikan dinding yang bergeser. Ia seperti melihat sesuatu yang mengilat dari celah dinding sebelum menutup. Meski makin ragu, inspektur itu tetap menghitung dan melangkah berhati-hati. Sesekali berhenti untuk mendengarkan suara-suara dinding yang bergerak dari arah seberang.
    Bunyi dengungan mesin itu makin dekat dari balik dinding.
    Inspektur Anton memerhatikan baik-baik mesin yang bergerak itu.
    “Ada mesin yang membuntuti kita sedari tadi?” tanya Inspektur Anton.
    “Ya, itu mesin perang inspektur, hati-hati kalau tak beruntung kita akan face to face dengan mesin itu,”
    “Yang penting jangan kabur … tetap dalam satu ruangan,” ujar Andri.
    “Ya, tim memang harus kompak,” ujar Akbar.
    “Kalau kita berhasil melumpuhkan mesin itu … maka gerakan dinding akan berkurang,” ujar Faril.
    “Maksudmu robot? Ada berapa kira-kira?” tanya Inspektur Anton.
    “Tapi bentuknya gak seperti robot … bentuknya seperti …,” Faril tak meneruskan kata-katanya. Ketika pintu bergeser, tiba-tiba kilatan cahaya nampak berpendar dari balik dinding itu. Ia bergegas membidik dan menarik pelatuk.
    Bunyi tembakan membuat anggota tim yang lain waspada. Mereka ikut membidik dan memuntahkan peluru ke benda di balik dinding yang mulai bergeser itu.
    Sebuah benda bulat yang nampak seperti bola besi setinggi pinggang orang dewasa memuntahkan peluru dari lubang di sisinya.
    “Kita menyebutnya bola bowling dari neraka,” ujar Akbar sembari menembak.
    Peluru-peluru yang dimuntahkan senjata dari tim itu dimentalkan begitu saja oleh bola besi itu.
    Inspektur Anton menembak sembari menghitung sampai tujuh detik. Ketika dinding di sebelah kanan dan belakang bergeser terbuka, ia segera bergerak berlindung ke ruangan lain di balik dinding yang terbuka itu. “Ke kanan!”
    Anggota tim yang lain satu per satu mengikuti Inspektur Anton. Beruntung dinding dapat menutup sehingga bola besi itu tak dapat membidik.
    Ketika celah dinding menutup, Inspektur Anton dapat bernapas lega. Ia mengamati anggota tim yang lain. Jumlah mereka masih utuh. Walau beberapa anggota tim nyaris kehabisan nyawa karena terkena peluru. Serangan telak.
    Faril nampak mengeluarkan granat, kemudian melempar ke ruangan yang tadi ditempati bola besi itu. “Lempar granat kalian ke ruangan itu.”
    Anggota tim yang lain mengikuti perkataan Faril. Mereka melempar granat ke ruangan di sebelah. Ledakan beruntun terdengar membahana. Beberapa sisi dinding yang terbuat dari logam nampak penyok namun tak berlubang. Bahan titanium padat berlapis yang menyebabkan dinding itu tak mudah dihancurkan.
    “Begitu caranya menghancurkan bola besi itu inspektur,” ujar Faril.
    “Ada berapa banyak?” tanya Inspektur Anton.
    “Tergantung keberuntungan juga. Aku gak tau pastinya. Kalau kemarin waktu berhasil melewati labirin ini ada sekitar tiga bola besi yang kuhancurkan,” jawab Faril.
    “Dan kau seorang yang belum tewas sehingga bisa melewati labirin ini,” timpal Andri.
    “Ya, anggota tim yang lain waktu itu kehabisan nyawa dan harus kembali ke titik awal,” ujar Faril. “Terpaksa aku melewati sisa labirin ini dengan berjuang sendirian.”
    “Oh, begitu,” ujar Inspektur Anton.
    “Lantas petunjuk apa yang ingin disampaikan Arnes? Inspektur?” tanya Ghost.
    “Entahlah, mungkin bungker di bawah Pulau Badai memiliki labirin serupa ini. Tapi kita tidak akan tau sebelum memeriksa ke sana,” ujar Inspektur Anton.     Untuk beberapa lama ia tak bergerak. Menunggu anggota tim yang lain memulihkan diri mereka. Nyawa mereka perlahan bertambah memenuhi garis bar sampai kembali penuh.
    Kemudian suasana kembali hening. Setelah ledakan granat tak terdengar lagi bunyi mesin. Yang terdengar hanya bunyi dinding yang mulai bergeser.
    Inspektur Anton nampak kembali menghitung. Ia menyadari ada sesuatu yang berubah. “Sekarang bukan tujuh detik lagi … tapi mundur menjadi empat belas detik. Kelipatannya.”
    “Ya, Anda benar. Jika ada bola besi yang hancur lagi, maka waktunya akan makin lama. Dinding itu akan makin lama bergeser. Nah, waktu itulah aku dapat menemukan jalan keluar ke pusat labirin ini …, ya, dan mematikan superkomputer itu. Misi level tujuh selesai. Lantas dilanjutkan ke level delapan.”
    “Dan hanya para dewa yang bisa ke sana,” sahut Akbar ikut-ikutan.
    “Apa yang ada di level delapan?” tanya Inspektur Anton.
    “Pembangkit listrik tenaga ombak … baling-baling raksasa itu tak mudah ditembus. Memakai hitungan yang rumit, tapi ada yang melewatinya walau tak bisa diikuti caranya karena hitungannya memiliki puluhan kemungkinan dan acak. Misinya mematikan tenaga ombak, jadi tenaga listrik di laboratorium itu bisa padam sehingga bisa membuka semua sistem keamanannya,” beber Faril. “Sampai di situ saja aku membaca dari pengalaman pemain yang pernah menembus level delapan. Dan aku belum berhasil … belum.”
    “Yang dikatakan Arnes adalah ia terinspirasi dari labirin ini … jadi level delapan tak ada hubungannya lagi,” ujar Ghost.
    “Oh, aku baru ingat … Arnes pernah menunjukkan gambar labirin cetak biru bungker di bawah Pulau Badai … tapi tak menjelaskan kalau terinspirasi dari game ini,” ujar Ela ikut menimpali.
    “Kau sempat melihat blue print buatan Arnes?” tanya Inspektur Anton kepada Ela.
    “Iya, inspektur … aku masih ingat kalau gak salah gambar
labirin itu mirip huruf-huruf,” imbuh Ela.
    “Oke, kita sudah mendapat petunjuk sekarang … terserah kalian mau lanjut atau tidak?” tanya Inspektur Anton.
    “Ya, lanjut dong inspektur … siapa tau ada petunjuk lain di superkomputer itu?”
    “Oke, kalau gitu kita lanjutkan,”
    Inspektur Anton mulai menghitung dan bergerak kembali mengikuti dinding yang membuka setiap empat belas detik.
    Bisakah Inspektur Anton menemukan petunjuk lainnya? Seperti apa labirin yang dibuat Arnes jika terinspirasi dari game Blizzard itu?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience