Rate

FILE 6: King Kobra

Mystery & Detective Series 649

CAHAYA dari lampu kendaraan melesat cepat di jalan lengang itu. Namun, kegelapan menyelubungi kabin mobil itu. Untuk beberapa lama Inspektur Anton hanya mengawasi dari kaca spion. Ia memasang telinga demi mendengar suara-suara samar di depannya. Kendaraan lain yang melewati jalan itu berlalu lalang tanpa menyadari adanya kejadian itu. Atau mereka tak peduli?
    Kemudian suara-suara pertengkaran dari dalam mobil itu makin nyaring. Ketika mobil sedan silver itu terbuka, bunyi pintu mobil yang dibanting keras terdengar. Seorang wanita muda yang baru saja turun dari mobil terduduk di trotoar. Ia seperti kesakitan sembari menutupi wajahnya.
    Kemudian sedan silver itu hendak bergerak pergi meninggalkan wanita itu sendirian di trotoar jalan. Mobil sedan yang menelantarkan wanita itu mulai menggelinding perlahan ke tengah jalan.
    Apa yang terjadi dengan wanita itu tengah malam begini?
    Kenapa wanita itu diturunkan di tengah jalan?
    “Belok terus halangi mobilnya,” desak Inspektur Anton.
    “Tapi …? Okelah, siap.” Rekan inspektur itu segera membanting setir sembari memindah kopling. Mobil itu bergerak ke samping menghalangi sedan itu.
    Bunyi klakson nyaring terdengar dari sedan silver itu. Nyaris saja mobilnya beradu. “Hei, kalau lecet gimana!” seru pengemudi itu.
    Inspektur Anton bergegas membuka pintu mobil. Ia membawa lencana polisinya sembari mendekati mobil itu. Ia mengetuk kaca jendala pintu sedan silver itu sembari menunjukkan lencana polisinya. “Turun!” seru Inspektur Anton.
    Untuk beberapa lama pengemudi itu tak bergerak juga tak bersuara. Ia nampak meraih ponselnya lalu mengetik sesuatu di sana.
    Inspektur kembali mengetuk jendela pintu mobil. Kali ini pengemudi menurunkan kaca jendela pintu mobilnya.
    “Saya punya kenalan … kalau kalian gadungan akan saya telepon polisi!”
    “Ya, coba saja telepon. Bilang kalau Inspektur Anton Alam ada di sini. Atau mari ke kantor bareng.”
    Pengemudi itu akhirnya keluar dari mobil. “Maaf, ada apa sebenarnya ini? Apa saya melanggar lalu lintas?”
    “Saya tadi melihat Anda menurunkan wanita itu? Anda bawa SIM?.”
    “Ini salah paham, Pak. Tadi wanita itu mengamuk di dalam mobil. Dia mabuk! Lalu menyambar setir saya. Bisa celaka!” Pria itu merogoh dompetnya lalu menunjukkan SIM miliknya.
    “Lalu kenapa wanita itu bersama Anda?”
    “Iya, tadi wanita itu memaksa ikut. Katanya tinggal di apartemen sekitar sini.”
    “Kalau gitu mari ikut.”
    Pria itu agak ragu ketika Inspektur Anton membawanya ke tempat wanita itu.
    Wanita muda itu nampak duduk di trotoar sembari memegangi kepalanya. Inspektur Anton dengan perlahan mendekatinya. Rekan Inspektur itu ikut keluar dari mobil.
    “Kau sudah mencatat nomer plat sedan itu?” tanya Inspektur Anton kepada rekannya.
    “Oya.” Rekan Inspektur itu mengambil ponselnya lalu mencatat plat nomer di ponsel digitalnya.
    “Kau tunggu di dekat mobil sedan itu.” Inspektur Anton melangkah perlahan di atas trotoar menuju wanita muda itu.
    “Hei, ada apa?” tanya Inspektur Anton mengamati wanita muda itu.
    Untuk beberapa lama wanita itu terdiam dan tampak syok. Ia memandang bergantian ke arah Inspektur Anton dan pria yang menelantarkannya. Wanita itu masih memegangi kepalanya. Duduknya mulai gelisah di atas trotoar itu. Suara isak tangis terdengar. Jaket kulit menutupi pakaian minim yang dikenakannya. Bibirnya nampak berdarah. Ia meremas tisu dan berusaha merapikan rambut lurusnya yang panjang sebahu. Tampaknya ia telah dipukuli di pelipis dan bibir hingga berdarah. Darah menetes dari bibirnya yang memakai lipstik merah menyala.
    “A—anda polisi beneran?” tanya wanita muda itu. Usianya sekitar dua puluhan. Suaranya sedikit serak dan bergetar. Ia tak percaya sosok seperti seniman jalanan itu adalah inspektur polisi.
    “Ya, Anda memiliki KTP?” tanya Inspektur Anton.
    Wanita itu agak kesulitan ketika membuka dompetnya. Isi dompetnya hanya berisi beberapa uang puluhan ribu dan kartu-kartu nama. Beberapa uang receh berjatuhan dan wanita itu memungutnya dengan gusar.
    “Ya, bisa ceritakan apa yang terjadi tadi?” tanya Inspektur Anton sembari menunjukkan lencananya. Kemudian ia memeriksa KTP yang disodorkan wanita itu.
    Wanita muda itu masih terdiam. Matanya nanar mengamati pria yang tadi memukulnya. Wajahnya nampak ragu dan tersirat ketakutan di sana.
    “Jangan takut. Ceritakan saja dengan jujur.” Inspektur Anton ikut duduk di trotoar dan tetap menjaga jarak. Ia berusaha santai agar wanita itu tidak nampak makin tegang.
    Wanita muda itu masih memandang bergantian ke arah inspektur dan pria itu. Ia nampak kebingungan untuk bercerita, kemudian ia berkata. “Dia mengajak saya ke hotel Merkuri….”
    “Bohong!” seru pria itu. Ia menunjuk-nunjuk sembari mengucap sumpah serapah. “Dia yang….”
    Inspektur Anton memberi tanda dengan tangannya agar pria itu diam.
    “Saya sudah hendak pulang dari shif kerja di diskotek …pria itu sudah beberapa kali ke bar. Dia mengatakan bersedia mengantar saya pulang ke apartemen. Tapi, dia berbelok arah dan saya bertanya tak dijawabnya hendak ke mana….”
    “Hah, pinter banget berbohong!” celetuk pria itu.
    “Karena itu saya memaksa untuk diturunkan di jalan. Tapi, dia malah menampar dan memukul saya.” Wanita muda itu terisak.
    Inspektur Anton mengendus aroma parfum yang kuat. Dan ia mengendus aroma minuman keras. Mengingat tempat wanita itu bekerja.
    “Pria itu menuduh Anda yang menyambar setir kemudi hingga mobil oleng?”
    “Saya berusaha menghindari pukulannya … karena main pukul, dia kehilangan konsentrasi ke kemudi hingga mobil oleng.”
    “Bohong itu … tadi dia mencakar tangan saya. Ini buktinya.” Pria itu menunjuk luka gores di lengannya. Ia menggulung lengan kaosnya. Sebuah potongan gambar tato berbentuk sabit tergambar di lengannya.
    Inspektur Anton mengenal potongan tato di lengan pria itu. Kemudian ia memerhatikan wajah wanita itu. Mata wanita itu nampak kemerahan dan sembap karena menangis. Make up yang dipakainya luntur.
    “Saya Inspektur Anton … yang di sana itu rekan saya. Jika ada masalah katakan saja.” Inspektur itu beranjak dari trotoar sembari mengulurkan tangannya.
    Wanita muda itu awalnya ragu kemudian menyambut uluran tangan inspektur itu. “Saya Jessy….”
    Inspektur Anton merasakan jemari tangan wanita itu sedikit bergetar. Ketika berdiri wanita itu agak sempoyongan.
    “Anda yakin tidak apa-apa?” tanya Inspektur Anton.
    “Ya … saya agak demam dan mabuk kendaraan,” ujar Jessy.
    “Tolong panggilkan taksi. Saya mau pulang….”
    “Tidak. Anda dan pria itu akan dibawa ke kantor.”
    “Kantor? Kantor polisi? Ta—tapi apa salah saya, Pak?" Suara Jessy bergetar.
    “Karena bekerja sama dengan bandar narkoba….”
    “Tunggu apa maksudnya ini?” protes pria itu.
    “Dilihat dari kondisinya, wanita ini baru saja memakai obat-obatan terlarang. Mata merah, jemari bergetar, aroma miras yang berusaha ditutupi dengan parfum dan berjalan sempoyongan. Dan ketika ia meminta obat terlarang itu lagi, kali ini tak bisa membayarnya. Di dompetnya hanya ada beberapa lembar uang. Ia telah menghabiskan gajinya di awal bulan ini untuk membeli narkoba. Karena itu kau mengajaknya ikut serta. Agar ia bisa menurut dan dikendalikan sebagai anggota baru, ikut menjadi pengedar, diperalat sebagai budak. Ah, aku hafal modus operandi kalian.”
    Pria di belakang Inspektur Anton tiba-tiba mencabut benda berkilat dari balik kaosnya. Rekan inspektur itu menyadari bahwa benda itu adalah revolver.
    “Dia bawa pistol!” seru rekan inspektur itu.
    Inspektur Anton segera bereaksi melakukan tendangan terbalik ke arah belakang tubuhnya. Tendangannya inspektur itu telak mengenai perut pria itu. Suara rintihan terdengar. Ketika pria itu lengah, inspektur itu memelintir tangannya yang memegang pistol. Terdengar bunyi berderak ketika revolver itu terjatuh ke aspal jalan.
    “Kau anggota King Cobra! Jawab!” seru Inspektur Anton.
    Pria itu hanya meringis kesakitan ketika kuncian inspektur makin kencang.
    “Bukan….”
    “Lantas tato apa di lenganmu itu? Uroborus!”
    “Saya … saya hanya meniru saja … saya bukan anggota King Cobra!”
    “Lantas kenapa wanita itu memakai narkoba?”
    “Ya, jelas-jelas dia dapat di diskotek….”
    “Bohong!” seru wanita itu. “Ya, saya mengakui mendapatkan barang itu dari dia!”
    “Ya, lebih baik jelaskan di kantor," ujar Inspektur Anton.
    Rekan inspektur Anton memborgol pria itu masuk ke mobilnya bersama wanita malang itu. Inspektur Anton memungut revolver yang terjatuh kemudian masuk ke dalam mobil silver milik pria itu dan mengendarainya. Ia mengikuti mobil rekannya yang menuju ke kantor Polres Metro.
    Dalam perjalanan sebuah letusan senjata api terdengar. Tiga sepeda motor yang datang dari arah belakang menembakkan peluru ke belakang mobil yang dikendarai Inspektur Anton. Terpaksa inspektur itu membanting setirnya menuju ke tempat yang sepi. Anehnya ketiga pengendara sepeda motor itu hanya mengejar mobil yang dikendarainya.
    Supir truk yang kebetulan melihat kejadian itu hanya beberapa saat menghentikan truknya kemudian melaju kembali karena tak ingin terlibat.
    Peluru nyasar bisa saja mengenai kendaraan yang masih melintas di pagi buta itu.
    Inspektur polisi itu mempercepat laju mobilnya. Pistolnya tertinggal di mobil satunya. Untung ia membawa revolver milik pria pengedar narkoba itu. Ia memegang revolver sembari terus mengendalikan kemudi.
    Tiga sepeda motor ikut menambah kecepatan. Ketika sampai di areal kosong inspektur itu menginjak rem. Sepeda motor yang mengikutinya menabrak bagasi mobil. Bunyi berderak terdengar nyaring. Makian dan seruan kemarahan terdengar.
    Inspektur Anton kembali menginjak gas kuat-kuat. Ia memutar kemudi karena tiba di areal buntuk yang hanya dijadikan tumpukan barang-barang bekas.
    Kali ini ban belakang menjadi sasaran tembakan.
    Mobil yang dikemudikan inspektur Anton berdecit ketika salah satu ban belakang terkena peluru. Bunyi letusan ban mobil terdengar. Mobil itu oleng dan tergelicir, berputar sembilan puluh derajat ketika inspektur polisi itu menekan rem kuat-kuat.
    Suara tembakan kembali terdengar beruntun. Kaca mobil bagian belakang pecah. Inspektur Anton memberi tembakan balasan melalui kaca jendela belakang yang pecah. Hanya dua kali tembakan, dan bunyi klik terdengar. Ternyata peluru di revolver itu hanya tinggal dua butir.
    Bunyi tembakan makin gencar. Penyerangnya memiliki senapan serbu. Wajah mereka tertutup helm, tak bisa dikenali.
    Inspektur Anton membuka kotak dasbor dan memeriksa isinya. Bukannya peluru yang ditemukannya, ia malah menemukan berbagai obat terlarang yang dibungkus plastik. Tidak hanya itu, ketika ia beringsut ke jok belakang, kotak-kotak kardus yang berada di jok belakang berisi barang haram yang sama.
    Dugaan inspektur polisi itu benar. Muatan di dalam mobil itu lebih penting dari pria yang telah ditangkapnya.
    Bunyi sirine terdengar dari kejauhan. Nampaknya rekan inspektur itu telah memanggil bantuan.
    Sebelum mobil polisi datang. Pengendara sepeda motor masih menembaki mobil itu. Untungnya inspektur polisi itu sudah bersembunyi di bawah jok belakang.
    Untuk beberapa detik inspektur polisi itu tak bersuara. Tembakan tak lagi terdengar ketika penyerang itu mendekati mobil.
    Ketika pengendara motor itu hendak membuka pintu mobil, inspektur Anton segera mendobrak pintu mobil. Kemudian ia masuk kembali ketika rentetan tembakan kembali diarahkan ke pintu mobil.
    Penyerang itu hendak mendekati mobil sekali lagi dengan senapan diarahkan ke tempat persembunyian inspektur polisi itu. Namun, bunyi sirine yang terdengar makin mendekat membuat seorang penyerang mundur. Mereka memberi tanda dengan siulan kepada penyerang yang lain, kemudian berpencar ke segala arah demi melarikan diri.
    Inspektur Anton dapat bernapas lega ketika penyerangnya bergegas pergi.
    Langit sudah beranjak terang. Inspektur itu hendak memejamkan mata. Namun, ia harus kembali ke kantornya dan membuat keterangan mengenai kasus malam itu. Bunyi sirine dan mesin mobil terdengar mengelilinginya. Ia beranjak dari tempatnya dan melihat rekan-rekannya yang berhamburan ke arahnya.
    “Anda baik-baik saja inspektur?” tanya polisi yang sudah tiba di lokasi penyerangan.
    Inspektur Anton hanya mengangguk.
    “Bersiap bertemu wartawan untuk temuan baru ini," ujar rekannya yang lain.
    Inspektur itu hanya menghela napas sembari mengamati banyaknya lubang peluru di mobil itu. Harga mobil itu tak sebanding dengan barang haram yang diangkutnya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience