Rate

FILE 65: Misteri Labirin Bernyawa

Mystery & Detective Series 649

Para gamer menyebutnya labirin tujuh detik. Ada juga yang menjuluki Labirin Bernyawa. Inspektur Anton lantas terdiam membayangkan apa yang akan ditemuinya di level tujuh.

    INSPEKTUR Anton mulai cemas ketika memeriksa sudut demi sudut ruang di laboratorium. Namun, belum melihat batang hidung Selfi.
    “Apa masih ada ilmuwan yang berjaga?” tanya Inspektur Anton. Suaranya terdengar mulai cemas.
    “Ya, biasanya ada. Tenang inspektur, alarm dan sistem keamanan sudah ditingkatkan sejak pembobolan waktu itu.” Sekuriti itu berusaha menenangkan.
    Kemudian sebuah suara dari ujung koridor membuat inspektur polisi itu terheran-heran.
    “Hei, inspektur!” seru Selfi. Ia nampak bersama Ela yang melambaikan tangan.
    Inspektur Anton bergegas mendekati Selfi. Gadis itu nampak membawa tas-tas belanja. Wajahnya berbinar-binar ceria.
    “Eh, sori gak ijin karena inspektur asyik main game,” ujar Selfi terheran-heran melihat peluh di dahi inspektur itu. “Ada apa inspektur?”
    “Kupikir kau diculik King Cobra … harusnya kau ijin dulu,” sembur Inspektur Anton.
    “Aku udah kirim pesan teks … sori ya membuatmu cemas,” ujar Selfi dengan nada suara memohon.
    “Iya, tapi jangan diulangi lagi karena komplotan King Cobra masih berkeliaran di luar sana.” Inspektur Anton berusaha mengerti bahwa kejadian itu bukan sepenuhnya salah tunangannya.
    “Oh, pantes bisa keluar masuk laboratorium karena bareng Mbak Ela toh,” ujar sekuriti itu. “Nah, sekarang udah ketemu kan. Lebih baik kembali ke ruang penginapan. Kalau ada apa-apa saya masih berjaga-jaga di sini sampai pagi.”
    “Terima kasih banyak ya. Maaf ngerepotin,” ujar Inspektur Anton sembari mengembalikan senter milik sekuriti itu.
    “Ela emang belum pulang?” tanya Inspektur Anton ketika bersama-sama menuju ruang penginapan di sayap laboratorium.
    “Aku giliran jaga malam ini,” timpal Ela masih mengikuti Selfi.
    “Bolos?” tanya Inspektur Anton.
    “Sejak Arnes meninggal … entahlah, seperti ada perasaan campur aduk di sana. Sosok Arnes seperti masih mengikuti,” ujar Ela dengan suara datar.
    “Ilmuwan itu jadi hantu?” tanya Inspektur Anton.
    “Hush, bukan say. Ela masih agak sedih karena kehilangan sahabat dekatnya,” timpal Selfi menyikut lengan inspektur itu dan memberi tanda agar tak membahasnya lagi. Karena sesama cewek, Ela dapat lebih bebas curhat kepada Selfi. Gadis ilmuwan itu menceritakan betapa terpukulnya dirinya ketika mengetahui sahabat akrab yang juga gebetannya itu pergi dengan begitu tiba-tiba.
    “Jadi, Ela berencana menginap di sini malam ini?” tanya Inspektur Anton.
    “Iya,” jawab Ela pendek.
    “Jadi makin rame nih karena Faril juga lagi main game tuh,” imbuh Inspektur Anton.
    “Eh, Faril masih main game jam segini?” tanya Ela.
    “Iya, kalau kau main maen game silakan. Aku capek banget. Lagian kelamaan main game bikin kepala pusing dan perut mual.” Inspektur Anton beberapa kali menguap.
    “Kalau game FPS memang gitu. Kalau belum terbiasa bikin pusing. Kalau aku biasa bermain game Blizzard dengan Arnes selama jaga di laboratorium … jadi udah terbiasa,” ujar Ela suaranya mendatar. Setiap kali mengingat nama Arnes membuatnya nampak sedih.
    “Udah, deh, sekarang kan ada Faril, jadi sebaiknya deketin sana,” sahut Selfi berusaha menghibur sahabat barunya itu.
    “Iya, biar Selfi mijitin pundak aku yang sedari tadi sakit nih,” ujar Inspektur Anton setengah bercanda.
    “Yeee, suruh sapa maen game terus inspektur? Tapi kalau cuma mijitin pundak ya bolehlah.” ujar Selfi lantas terkekeh.
    “Iya nih pundakku sakit banget,” rajuk Inspektur Anton.
    “Iya deh, setelah itu gantian. Pundakku juga sakit banget habis masak, bersih-bersih dan belanja.” Selfi mengerlingkan mata kemudian tertawa.
    Ela yang mendengarnya ikut tertawa melihat tingkah pasangan itu. Suasana kembali mencair dan ceria. Apalagi ketika Faril bersedia mengikutkan Ela dalam tim dalam game Blizzard. Karena ternyata kemampuan Ela lebih baik daripada inspektur polisi itu dalam bermain game. Tentu saja karena Ela punya jam terbang main game yang lebih banyak daripada Inspektur Anton.
    “Kalau udah level tujuh bangunin aku ya,” ujar Inspektur Anton kepada Faril dan Ela yang tengah bekerja sama dalam satu tim di gama Blizzard.
    “Oke inspektur. Tidur aja yang nyenyak. Nanti setelah level enam aku save dulu. Mungkin besok baru lanjut lagi,” ujar Faril.
    “Ya, terima kasih,” timpal Inspektur Anton.
    Selfi bersedia memijit pundak inspektur polisi itu di sofa sembari menonton Ela dan Faril yang bahu-membahu bekerja sama dalam game. Sampai tak terasa Inspektur Anton tertidur di sofa karena kelelahan. Seperti biasa, Selfi menyelimuti inspektur itu dengan dua lapis selimut karena udara kamar yang dingin dari AC.
    Malam itu Inspektur Anton nampak tidur tak tenang. Ia bermimpi terjebak di dalam game Blizzard. Bukan sebagai player, tapi sebagai tokoh yang benar-benar terjun dalam peperangan yang nyata.
    Selfi yang hendak beranjak tidur di malam itu. Ia lebih dulu mengusap dahi Inspektur Anton demi menenangkannya.
***
    “Sudah bangun inspektur?” tanya Selfi.
    Suara itu seperti menggema dalam telinga Inspektur Anton yang masih setengah terjaga. Kesadarannya belum terkumpul sepenuhnya.
    Ia memandang ke sekeliling kamar. Cahaya matahari nampak mulai terbenam dari jendela kamar itu. Ia tak habis pikir bangun kesiangan atau bahkan kesorean. Ketika memeriksa jam di ponselnya, waktu sudah menunjukkan hampir petang.
    “Eh, aku tidur berapa jam ya?” gumam Inspektur Anton bertanya kepada dirinya sendiri. Ia beranjak dari sofa. Kepalanya terasa berat dan tubuhnya merasa demam. Ia mengerti ada waktunya sehat dan ada waktunya sakit. Namun, ia tak berharap sakit terlalu parah apalagi ketika sedang dalam masa pengungkapan kasus.
    Inspektur Anton memandang berkeliling. Di depan televisi ia melihat Faril masih asyik bermain game. Ia mulai menyadari seorang pria yang berada di samping Faril. Di mana Ela? Apakah sudah pulang? Ia bertanya-tanya dalam batin. Lalu merasakan ada hal yang aneh.
    Seorang pria di dekat Faril nampak kekar dan berpostur tinggi. Awalnya ia menduga Ghost. Namun, ketika melihat sebuah tato uroborus di lengan orang itu ia mulai waspada. Kenapa anggota King Cobra berada dalam kamar ini? Ia bergegas mencari-cari pistol namun tak menemukannya.
    “Kau mencari ini inspektur?” tanya pria tak dikenal yang berada di dekat Faril. Ia mengacungkan pistol revolver milik Inspektur Anton.
    Inspektur Anton tak sempat mengucapkan sepatah kata ketika bunyi tembakan terdengar. Rasa sakit menjalar di dadanya. Ketika ia meraba dadanya, jemarinya berlumuran darah. Darah segar.
    Kemudian bunyi kaca pecah terdengar. Lima orang pasukan khusus tiba-tiba terjun dari atap laboratorium, memberikan tembakan ke kaca jendela kamar lalu mendobraknya hingga pecah berkeping-keping.
    Sebelum menyadari apa yang terjadi, Inspektur Anton melihat Faril yang terkapar bersimbah darah di depan monitor yang masih menampakkan adegan di game Blizzard. Ia makin syok ketika menyadari tubuh Selfi terkapar di lantai tak jauh dari sofa.
    “Game over inspektur!” seru pasukan khusus itu dengan suara berat lalu terdengar rentetan tembakan mengerikan yang diarahkan kepada inspektur polisi itu. “Bravo King Cobra!” Namun, anehnya, seruan kemenangan itu perlahan menghilang. Berbarengan dengan kesadaran Inspektur Anton yang perlahan terkumpul. Ia mulai terjaga....
***
    Inspektur Anton terjaga dari sofa dengan tubuh bermandikan peluh. Napasnya terdengar memburu. Ia merasakan kepalanya berat dan pandangannya buram.
    Kemudian inspektur itu mengelus dada. Hanya mimpi buruk! Syukurlah hanya mimpi buruk! Serunya dalam batin berulang-ulang sembari istighfar.
    Pikiran pertama yang terlintas dalam benaknya adalah mencari penghuni kamar itu. Ia menemukan Faril yang masih tertidur pulas di depan TV. Ela mungkin sudah pulang pagi itu. Jam di dinding masih menunjukkan pukul enam pagi. Ia memastikan lagi dengan memeriksa jam di ponselnya.
    Ia bernapas lebih lega ketika mendengar suara-suara dari ruang dapur di sebelah. Nampaknya Selfi dan Ela sedang memasak sarapan di pagi itu.
    “Pagi inspektur…,” ujar Faril yang sudah beranjak bangun sembari mengusap-usap mata dengan punggung tangannya.
    “Udah sampai level berapa semalam?”
    “Hmmm … oh, ya … udah level enam.”
    “Wah cepet banget … jadi kapan ke level tujuh?”
    “Anak-anak janjian siang nanti … aku mau mandi dulu,” ujar Faril beranjak dari karpet di lantai.
    “Eh, punggungmu gak sakit tidur di karpet?” tanya Inspektur Anton dengan nada simpatik.
    “Itu tuh ada selimut dari kamar sebelah yang ditumpuk,” ujar Faril. “Ela yang ngambil.”
    Inspektur Anton tersenyum senang mendengar Ela mendapat sahabat baru yang juga memiliki hobi yang sama. Namun, dalam hati kecilnya merasakan kecemasan jika Faril nanti harus bernasib sama seperti Arnes. Ia akan berusaha agar tak terulang lagi. Ia akan berusaha untuk melindungi orang-orang di sekitarnya. Ia tak berharap mimpi buruknya tadi pagi menjadi nyata. Karena jika King Cobra menyerang ke kamar itu, ia harus bertanggung jawab melindungi Selfi, Ela dan Faril.
    Oya, bagaimana dengan Ghost? Apa yang dilakukannya sekarang? Inspektur Anton bertanya-tanya dalam batin.
***
    Ghost terbangun karena alarm ponsel yang berada di dasbor mobilnya. Kepalanya masih terasa berat karena semalam menghabiskan waktu sampai hampir dini hari demi bermain game Blizzard di laptopnya. Ia segera mengamati teleskop untuk memeriksa keadaan kamar di laboratorium yang dihuni Inspektur Anton. Tidak ada kejadian berarti di sana. Anggota keluarga itu masih lengkap.
    Setelah memastikan keadaan di sekitar laboratorium aman. Ghost beranjak keluar dari mobilnya. Ia meregangkan tubuh dan menghirup udara pagi di atas bukit hijau itu. Kabut tipis dari embun masih menyelimuti sekitar laboratorium. Seperti kebiasaan yang sudah-sudah, ia mulai pemanasan dengan olah raga ringan.
    Ghost menyelipkan pistolnya dan membawa teropong medan mini kemudian joging di sekitar perbukitan itu. Ia masih tetap waspada dan mengawasi keadaan di sekitar bukit dan areal di laboratorium demi berjaga-jaga dari pergerakan King Cobra.
    Dari arah yang berbeda Ghost meneropong lagi ke arah jendela kamar di laboratorium. Di sana nampak Inspektur Anton dan keluarga barunya tengah menikmati sarapan. Kemudian ia menyadari kode morse yang ditempel di jendela kamar. Titik-titik dan garis dari kode morse itu mengatakan sebuah pesan: DI SINI AMAN. LAPOR HOGST.
    Ghost tersenyum membaca angram dari nama Ghost yaitu Hogst. Berjaga-jaga jika pesan itu dibaca oleh orang lain.
    Ghost mulai bergerak kembali ke arah mobilnya yang tersembunyi di balik semak dan pepohonan rindang di atas bukit. Setelah membersihkan diri dengan handuk dan air mineral ia mengganjal perutnya dengan sepotong roti yang ditaburi bubuk kopi. Tenaga di tubuhnya perlahan pulih. Ia ingat siang nanti akan kembali online di game Blizzard untuk menuju ke level tujuh. Ia berharap mendapat petunjuk di sana seperti wasiat dari ilmuwan yang meninggal muda, Arnes.
    Setelah matahari naik. Ghost mulai memeriksa detektor laser yang dipasang bom berdaya ledak rendah untuk mengusir pengganggu yang memasuki areal di sekitar mobilnya. Dan untuk berjaga-jaga dari King Cobra jika datang ke tempat itu.
    Ghost menyalakan laptopnya yang sedari tadi diisi dengan daya menggunakan solar cell mini, pengisi daya tenaga matahari itu membantunya mengisi daya ponsel dan laptopnya. Ia mengenakan headset dan segera online di game Blizzard. Di private room nampak anggota tim yang dipimpin Faril sudah online termasuk Inspektur Anton yang semalam sempat digantikan Ela.
    “Ghost melapor inspektur … siap menuju level tujuh?” tanya Ghost berbicara melalui speaker headset.
    “Sip Ghost … oke ready!” timpal Inspektur Anton terdengar bersemangat.
    “Yap, siap ndan,” ujar Ela.
    “Ela menggantikan Mary yang gak bisa onlen karena ada acara kondangan katanya,” ujar Faril.
    “Oh, oke sip,” timpal anggota tim yang lain nyaris bersamaan.
    Sub misi game Blizzard mulai dijalankan. Data save dari level enam sudah diaktifkan.
    “Sekarang lebih sulit … karena di level tujuh tak ada lagi save zone,” ujar Faril.
    “Dan level delapan hanya dewa yang bisa ke sana … aku masih ingat ucapanmu,” timpal Inspektur Anton. "Apa yang sebenarnya ada di level tujuh?"
    "Para gamer menyebutnya ... labirin tujuh detik," jawab Faril. "Ada juga yang menjuluki Labirin Bernyawa."
    Inspektur Anton lantas terdiam membayangkan apa yang akan ditemuinya di level tujuh.
    Bisakah mereka sampai ke level tujuh? Melewati Labirin Bernyawa? Apa sebenarnya petunjuk yang berusaha disampaikan oleh ilmuwan bernama Arnes?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience