Rate

FILE 54: Username Code: HOGSTS

Mystery & Detective Series 649

Siapa sebenarnya player bernama Hogst? Apakah itu benar-benar Ghost yang menyamar di chat online atau seorang dari komplotan King Cobra yang hendak memasang perangkap?

    INSPEKTUR Anton tak menyia-nyiakan waktu, ia meraih granat itu kemudian kembali melemparkannya keluar dari lemari pendingin. Kemudian ia meraih pintu lemari pendingin dan menutupnya kembali.
    Ledakan granat membuat tuli sekejap telinga Inspektur Anton. Ratusan bunyi berdentang terdengar ketika ratusan debris menghantam apa saja yang dilewatinya.
    Hempasan ledakan granat itu menggetarkan lemari pendingin bagai kaleng biskuit yang dijatuhkan ke lantai. Lemari pendingin di sebelah inspektur polisi itu jebol terkena pecahan granat. Menghasilkan lubang-lubang akibat pecahan dari granat.
    Beruntung Inspektur Anton bersembunyi dari kepala lebih dulu. Hingga kedua kakinya yang berada di dekat pintu. Ia merasakan gigitan kecil di betisnya. Hanya itu. Ia tak merasakan sakit ketika pecahan granat bersarang di betisnya setelah menembus pintu lemari pendingin.
    Setelah ledakan granat itu, Inspektur Anton beringsut keluar dari lemari pendingin. Ia masih memegang revolvernya demi mengawasi keadaan. Asap memenuhi ruang penyimpanan mayat itu. Dari balik asap, di sudut ruangan nampak seseorang yang terkapar bersimbah darah. Kakinya hancur terkena pecahan granat. Tewas seketika. Di belakangnya dinding ruang penyimpanan mayat nampak berlubang karena terkena pecahan granat.
    Inspektur Anton pergi memeriksa barang bukti yang terlindung di balik dinding ruangan penyimpanan mayat itu. Barang-barang yang tengah diselidikinya masih utuh di sana.
    “A—apa yang terjadi di sini?”
    “Kami kira ledakan petir!”
    “Ya, kami kira ledakan mesin yang kelebihan daya!”
    “Kau baik-baik saja inspektur?”
    Sebuah suara terdengar dari ambang pintu. Nampak perawat dan dokter yang berdatangan demi memeriksa keadaan.
    “Ya, aku baik-baik saja.”
    “Hei, kaki Anda berdarah?!” seru perawat yang mengamati gerak kaki inspektur itu.
    “Telepon polisi!” seru perawat yang lain.
    “Bukankah orang ini adalah polisi?” tanya dokter yang memeriksa luka di kaki Inspektur Anton.
    “Kami akan melakukan operasi keci. Jadi, Anda harus berbaring di kamar rawat inap.
    “Oh, ini….” Inspektur Anton kembali menyadari luka di betisnya. “Aku bisa mengambil pecahan granat itu sendiri.”
    “Pendarahannya harus dihentikan dan lukanya harus dicuci agar tidak infeksi.” Dokter itu memeriksa luka akibat pecahan granat di betis Inspektur Anton. “Harus segera diangkat agar tak berbahaya.”
    “Oke, baiklah,” ujar Inspektur Anton akhirnya menurut menuju kamar rawat inap. “Aku perlu mendinginkan kepala untuk sejenak.”
***
    Selfi tak dapat memejamkan mata malam itu. Beberapa kali ia menelepon Inspektur Anton namun tak diangkat. Pesan teksnya juga tak dijawab.
    Apa yang sebenarnya terjadi? Selfi berdoa dalam hati agar tidak terjadi hal buruk. Ia berharap inspektur itu akan selalu mendapat perlindungan.
    Kemudian ponselnya berbunyi. Ia bergegas meraihnya. Di layar ponselnya tertera nama tunangannya.
    “Halooo.”
    “Aku pikir kau sudah tewas inspektur!” seru Selfi. “Telepon tak diangkat, pesan teks gak dibalas … aku pikir….”
    “Hey ... hey, aku baik-baik saja … dan malam ini menginap di rumah sakit.”
    “Menginap di mana?” Dada Selfi berdebar-debar.
    “Ada yang harus kuurus di rumah sakit. Mengolah barang bukti.”
    “Apa gak bisa besok?” Kemudian Selfi mendengar suara-suara ramai di sekitar inspektur itu. “Di rumah sakit kok kayaknya rame banget ya.”
    “Iya, di sini sedang banyak kesibukan. Akibat badai.”
    “Aku tau suaramu saat berbohong inspektur!”
    “Terus aku harus ngomong apa agar buatmu tenang?”
    “Aku tau ada yang tak beres di sana. Karena itu pula kau tak bisa pulang cepat seperti biasanya.”
    “Iya, maaf, masih ada urusan yang harus diselesaikan.”
    “Oke, jika kau tak datang … aku akan pulang!”
    “Aku usahakan pulang lebih cepat … tenang aja aku gak selingkuh kok.”
    “Oke … aku tunggu inspektur … jangan bikin aku cemas lagi.”
    Inspektur Anton tertawa pelan.“Iya, iya … maaf … besok aku usahakan kembali.”
    Selfi mengucap salam kemudian mengakhiri sambungan ponsel itu. Ia sedikit tenang setelah mengomel kepada inspektur itu. Memang terlalu banyak cinta akan menyiksa sampai benar-benar membunuh … dan cintanya kepada inspektur itu makin lama makin bertambah. Tapi, jika bisa memilih, lebih baik tak pernah mengenal inspektur itu jika harus disiksa oleh rasa cinta yang meluap-luap. Mendengar suara inspektur itu saja dapat membuatnya lebih tenang.
***
    Inspektur Anton menghela napas setelah menelepon Selfi. Ia tengah berbaring di ranjang kamar rawat inap. Kaki kirinya dibalut perban setelah pecahan granat berhasil dikeluarkan. Penyembuhan lebih cepat dari biasanya. Kulitnya yang melepuh perlahan normal kembali. Ia beranjak dari ranjang dan melangkah normal kembali.
    “Loh, Anda udah baikan?” tanya perawat yang hendak mengantar selimut.
    “Iya, udah baikan. Terima kasih bantuannya ya.”
    Perawat itu hanya dapat melongo melihat Inspektur Anton kembali berjalan normal menuju ke koridor.
    “Anda mau pulang?”
    “Enggak, masih mau periksa mayat korban.”
    “Tadi ada yang menjemput mayat pelaku peledakan itu.”
    “Hah? Siapa yang menjemput?”
    “Entahlah. Katanya akan diperiksa oleh kepolisian.”
    Inspektur Anton melangkah panjang-panjang, kemudian setengah berlari menuju kamar mayat. Ia tak menemukan mayat pelaku yang melempar granat itu. Di sudut dinding hanya tinggal lubang-lubang bekas hantaman pecahan granat. Barang-barang bukti yang telah susah payah dikumpulkan juga telah lenyap dari meja.
    Ia tak menduga ketika tengah dioperasi, ada tim yang membereskan kekacauan itu dan berusaha menutupi kasus yang sebenarnya.
    Inspektur Anton seperti kehilangan arah. Terpaksa ia kembali ke penginapan. Ia tak berharap Selfi memasang muka cemberut ketika melihatnya kembali di tengah malam itu. Sisa badai masih menyisakan angin dan gerimis tipis. Ia memilih untuk naik kendaraan umum daripada naik mobil sewaan yang terparkir di rumah sakit.
***
    Ghost ikut khawatir ketika Inspektur Anton belum kembali dari penyelidikannya. Badai sudah mereda dan ia masih memantau frekuensi radio polisi yang disadapnya. Ia menemukan frekuensi yang mengabarkan tentang ledakan di rumah sakit dan seorang inspektur yang tengah menyelidiki kasus itu. Namun, kecemasannya sirna ketika melihat sosok Inspektur Anton dalam kameranya. Inspektur itu pulang dalam keadaan selamat tanpa satupun yang kurang.
    Sembari mengawasi kamar hotel yang dihuni Inspektur Anton dan tunangannya, Ghost kembali bermain game online Blizzard. Bukan untuk bermain game, namun menyelidiki identitas setiap para pemain yang tengah online. Ia menggunakan nama player berbeda agar tak mudah diketahui, namun nama samaran itu merupakan petunjuk kehadirannya.
***
    “Berubah pikiran inspektur?” tanya Selfi ketika melihat Inspektur Anton pulang larut malam itu.
    “Ya, ada yang mengacaukan investigasi ini.”
    “Bukankah setiap penyidikan memang menemukan kekacauan?”
    “Barang bukti lenyap, dicuri, mayat pelaku dipindahkan.”
    “Apa kau tak memiliki data lain? Maksudku apa kau tak memotretnya?”
    Inspektur Anton seolah mendapat pencerahan. Ia merogoh ponselnya dan kembali memeriksa foto-foto dari barang bukti yang sedianya akan ditunjukkan ke dr. Watsen. Termasuk luka tembak di tubuh teknisi itu sehingga bisa dianalisa. Di layar ponselnya tergambar foto-foto TKP dan berang bukti dari sejak rentetan kasus itu.
    “Di mana Faril?” tanya Inspektur Anton.
    “Biasa tuh, main game.”
    “Mungkin dia sedang menyelidiki sesuatu.”
    “Hei, penampilanmu nampak kusut. Ganti baju dan tidur.” Selfi menyadari noda darah di celana inspektur itu. “Kau berdarah?”
    “Oh, ini, ya tadi ada kecelakaan kecil.”
    Selfi memeriksa celana itu dan menggulungnya. Ia melihat bekas jahitan di kulit yang nampak memerah. “Kau kena tembak di kaki?”
    “Bukan tembakan, tepatnya pecahan granat.”
    Selfi terheran-heran. “Granat? Woah apalagi sekarang? Setelah bom mobil itu? Sebaiknya kita tak perlu terlibat dalam bahaya sejauh ini.”
    “Justru itu. Kasus ini harus diselesaikan di sini atau tidak sama sekali.”
    Selfi menggelengkan kepala. Tak habis pikir.
    “Hei, tenang saja, aku kan superman.”
    “Hah, kau … bukan superman inspektur. Lagian ini bukan cerita komik atau film superhero. Bukan! Siapa yang akan melindungimu? Kau bisa saja tewas karena kehabisan darah. Kau bukan kebal, hanya tak merasakan sakit. Itu berbeda jauh! Tubuhmu bisa hancur terkena ledakan!” Mata Selfi nampak berkaca-kaca.
    “Oke, kita lanjutkan diskusi superhero ini besok. Aku mau mandi dan istirahat.”
    Selfi menghena napas. “Aku akan menyiapkan air hangat dan makan malam. Kau belum makan sejak sore tadi.”
    “Ya, terima kasih.” Inspektur Anton menoleh untuk sekejap. “Hei, tak perlu cemas. Aku akan baik-baik saja.”
    Selfi hanya mengangguk.
***
    “...Masih di stasiun TV lokal kesayangan kita Palapa TV ... pemirsa kami akan mengabarkan berita sekilas ... kasus penembakan terjadi lagi pada waktu badai semalam. Dalam seminggu terakhir ini setidaknya ada seorang ilmuwan dan dua orang teknisi yang tewas di tempat yang berbeda … Ditambah serangan granat yang nyaris menewaskan inspektur polisi Anton Alam yang sedang tidak bertugas … Sebelumnya inspektur polisi itu juga nyari tewas dalam bom mobil … diduga keterlibatan inspektur polisi itu dalam penyelidikan rentetan kasus di Pulau Badai yang menjadi sebabnya … siapakah yang melakukan teror di Pulau Badai yang sebelumnya aman dan tenang?"

    “Dua orang teknisi?” tanya Inspektur Anton bergumam. Pagi itu ia tengah membantu menyiapkan sarapan bersama Selfi di dapur sembari mendengarkan berita pagi dari stasiun TV lokal.
    “Kita perlu bantuan pasukan dari pusat untuk menangani teror ini.”
    Namun, Inspektur Anton tak menjawab. Ia seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri.
    “Hey, ada apa?” tanya Selfi heran.
    “Berarti semalam terjadi lagi penembakan … pelakunya memanfaatkan badai yang terjadi semalam sebagai pengalih perhatian.”
    “Hei, sarapan dulu yuk,” ujar Selfi sembari menyiapkan piring.
    Faril yang sudah nampak segar dan rapi ikut bergabung di meja makan.
    Selama sarapan itu, Inspektur Anton tetap membahas kasus yang tengah ditanganinya.
    “Aku menemukan kertas alumunium di saku kemeja korban. Menurut kalian apa kira-kira fungsinya?” tanya Inspektur Anton sembari menghabiskan sarapannya.
    “Hei, inspektur ... bisakah kita membahasnya lain kali? Setelah sarapan?” Selfi mendengus tak senang.
    “Kasus ini membuat selera makanku bertambah loh.. karen itu aku membahasnya di atas meja makan,” timpal Inspektur Anton bersikeras.
    “Ya, terserah kaulah inspektur.” Selfi terdiam sembari menghabiskan sarapannya. Wajahnya nampak bersungut-sungut.
    “Apa lagi yang Anda temukan inspektur?” tanya Faril.
    “Ponsel dan kertas alumunium….”
    “Oh, cara itu ada di dalam game Blizzard ... Biasanya kertas alumunium seperti itu untuk memperkuat gelombang atau malah menutupnya sehingga tak dapat dilacak.” Faril menjelaskan sembari menandaskan sarapannya. “Bisa jadi kertas alumunium foil itu untuk menghindari alat pelacak yang ditaruh di ponsel korban.”
    “Berarti si korban sudah tau bahwa pelaku akan mengejarnya … karena itu ia hendak bersembunyi di ruang perakitan yang terkunci rapat.” Inspektur Anton memberi tanda jempol ke arah Faril.
    “Kemungkinan korban kenal dengan si pelaku, karena itu korban nampak cemas dan memilih untuk bersembunyi.”
    “Oya, kemarin malam di chat game Blizzard ada yang membahas tentang kasus itu. Dan seorang yang sepertinya terlalu banyak tau tentang kasus itu.”
    “Username-nya siapa?”
    “Hogst.”
    “Hogst?” tanya Inspektur Anton heran. Siapa sebenarnya player bernama Hogst? Apakah itu benar-benar Ghost yang menyamar di chat online atau seorang dari komplotan King Cobra yang hendak memasang perangkap? Demi mengorek informasi posisi dan perkembangan kasus yang tak diketahui mereka?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience