Rate

FILE 30: Sang Srikandi

Mystery & Detective Series 649

   “YA, saya kenal Reni, orangnya cantik tapi pilih-pilih teman,” ujar caddy di sebelah Ghost.
    Ghost sedang menyamar sebagai pengunjung di lapangan golf. Wajahnya tertutup bayangan lidah topi golfnya. Ia berancang-ancang memukul dari teebox sembari berusaha mengorek keterangan. Karena siapa saja dapat mendaftar sebagai pemain golf di Modernland, asal memiliki biaya yang cukup. Ia bertanya seputar Reni, Nazrudin dan Ananta di tempat itu. Karena hanya obrolan seraya bermain golf, caddy yang bersamanya tidak curiga. Apalagi topik itu tengah hangat di media cetak dan TV.
    “Jadi Reni orangnya pilih-pilih teman?” Ghost masih belum memukul. Ia mengulur waktu. Bersikap seperti pegolf profesional.
    “Ya, Reni sukanya kalangan atas aja, pejabat, anak orang kaya.”
    “Tiga hari lalu lihat Pak Naz main di mana?”
    “Waktu itu saya sif malam. Tapi sepertinya dari siang ada yang booking Reni. Teman saya yang cerita,” beber caddy itu.
    “Apa ada yang hal aneh atau tingkah tak biasa yang dilakukan Nazrudin di hari naas itu?” tanya Ghost.
    Untuk beberapa lama caddy itu mengingat-ingat. “Katanya Pak Nazrudin sempat pingsan karena kecapean.”
    “Kecapean?”
    “Ya, gak biasanya minggu kemarin sering merumput.”
    “Apa ada pejabat lain yang datang?”
    “Waktu itu nggak ada, tapi biasanya mereka merumput bareng pengusaha lain atau pejabat negara.”
    “Oh,” Ghost mengayunkan tongkatnya. Bola melenceng jauh.
    Ketika ia melihat ke sekeliling, sebuah kilatan cahaya terlihat di kejauhan. Ia makin waspada karena seseorang tengah mengawasinya melalui teropong medan atau ... tele dari senjata sniper! Bisa jadi alat penyadap juga dipasang di tongkat golf hingga para pengawasnya dapat mendengar dari jauh. Ia tak melihat tanda-tanda bahwa caddy itu ikut terlibat. Wanita itu nampak polos dan tingkahnya tak dibuat-buat.
    Caddy itu berjalan lambat, jauh tertinggal di belakang Ghost. Caddy itu itu masih tak menyadari bahwa mereka tengah diawasi.
    Ghost sudah berada di tengah lapangan golf seorang diri. Ketika ia berjongkok di dekat bola, sebuah bunyi desing terdengar di belakang kepalanya. Refleks ia tiarap di lapangan rumput. Lalu berguling-guling ke bungker pasir terdekat. Ia mengingat-ingat posisi kilatan cahaya itu dan menunggu waktu yang tepat untuk bergerak.
    Caddy yang mengikuti dari kejauhan nampak kebingungan melihat Ghost tiarap di dalam bungker pasir. Ia hanya mematung saja dari kejauhan, memandang heran.
    Ceruk bungker itu tidak bisa digunakan untuk bersembunyi. Jika sniper berada di tempat yang lebih tinggi maka ia akan mudah terlihat. Ia masih berguling-guling acak untuk mengecoh snipernya. Namun, jika penembak jitu yang mengejarnya memakai senapan buru dengan teleskop, maka pilihannya adalah mundur berlindung di balik pepohonan yang mengelilingi lapangan golf itu. Atau bergerak maju menghadapi secara frontal para penyerangnya. Kedua cara itu juga bisa menyelamatkan seorang caddy yang tak berdosa itu. Jika ia menjauh maka wanita itu akan aman dari area tembakan. Atau bergerak maju dan melindungi wanita itu ke tempat aman agar tak terkena peluru nyasar.
    Lapangan golf menjadi tempat yang mudah untuk melakukan penyerangan, dan dirinya bisa menjadi sasaran empuk. Ia harus memutuskan. Atau kalau tidak, waktu yang akan menghabisinya.
    Nasibnya akan ditentukan oleh keputusannya.

    Maju mengejar penyerang.

    Atau berlindung ke balik pepohonan.

***

    Ghost melompat keluar dari bungker pasir. Kemudian berlari zigzag ke arah pepohonan yang mengelilingi lapangan golf itu. Ia memutuskan untuk mundur ke balik pepohonan. Kali ini rentetan peluru membuat debu pasir berterbangan. Ia mendengar bunyi mesin kendaraan golf cart mendekat. Sebelum lari jauh, ia mengenali jejak darah di atas rumput. Jejak darah yang menuju salah satu bungker. Ia berlari mengikuti jejak darah itu sampai ke sebuah bungker lain. Ia masuk merunduk dan menghempas pasir di sana. Di balik pasir itu ia melihat bekas noda warna kecoklatan. Ia menggenggam pasir itu dan menaruh di saku celananya.
    Bunyi mesin mobil golf makin mendekat.
    Ghost berlindung di antara batang pepohonan ketika bunyi rentetan tembakan makin gencar. Kulit batang pohon dan dedaunan dari dahan ranting yang rendah koyak tercabik peluru. Sekilas ia melihat pengejarnya memakai topong dan seragam seperti pasukan detasemen khusus.
    Karena kesulitan menembak dari luar pepohonan, dua orang pasukan khusus melompat turun dari mobil golf. Mereka masuk ke dalam deretan pepohonan demi mengejar Ghost. Bunyi senapan serbu sesekali menyalak. Namun, peluru tajam hanya menghantam batang pohon. Mereka tidak tahu bahwa Ghost diam-diam sudah naik ke atas pohon. Ketika salah satu pasukan khusus menyadari, Ghost melompat turun dan melempar belatinya tepat ke leher pasukan khusus. Ia meninggalkannya dan kembali bersembunyi di antara batang pohon. Ketika rekan pasukan khusus itu datang hendak memeriksa temannya, Ghost membekuk dari belakang dan membuatnya pingsan.
    Ghost menginterogasi pasukan khusus yang tengah kesakitan. Belati yang dilempar Ghost melukai lehernya, namun tidak fatal.
    “Siapa yang menyuruhmu?” sergah Ghost.
    Pasukan khusus itu masih merintih. Ghost menekan lukanya hingga terdengar erangan dari pasukan itu.
    “Katakan siapa yang memberi perintah?” ulang Ghost lagi.
    “S—Srikandi….”
    Ghost terkejut. “Sungguh?!” imbuh Ghost lagi lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.
    Pasukan khusus itu berusaha mengangguk walau agak kesulitan.
    Bunyi sirine mulai terdengar dari kejauhan. Ghost merampas senapan buru salah satu pasukan khusus lalu bergegas meninggalkan tempat itu.
    Pikirannya berkecamuk. Pasukan khusus berkode sandi Srikandi adalah anggota yang dikenalnya ketika dalam operasi Hiu Putih. Srikandi merupakan satu-satunya wanita dan juga satu-satunya sniper dalam kesatuan itu. Ia tak mengetahui bagaimana wajah Srikandi karena selalu tertutup masker.
    Srikandi merupakan nama sandi dari seorang anggota pasukan khusus yang mengevakuasi reporter Selfi Lena yang dijadikan kelinci percobaan di pulau buatan. Ghost dan Srikandi yang menjaga pasukan khusus itu dengan menggunakan senapan snipernya. Hanya itu yang diketahuinya. Di antara pasukan khusus Rajawali tak ada yang saling kenal.
    Sewaktu operasi Hiu Putih, Srikandi nampak pendiam, tak banyak bicara. Hanya bicara bila benar-benar penting saja. Atau hanya memberi tanda. Karena sikapnya yang dingin itu, Ghost kesulitan membaca pikirannya. Kemampuan yang sudah dibekali kepada Srikandi sejak di pelatihan.
    Jika Srikandi merupakan ketua tim pasukan yang hendak memburunya, maka mau tak mau ia harus berhadapan dengan sesama sniper.
    Ghost memandang ke sekitar tempat itu. Ia merasakan seorang sniper masih mengawasinya. Menunggunya keluar dari balik pepohonan. Menunggunya lengah.
    Karena itu Ghost keluar dari lapangan golf melalui jalur pepohonan yang mengelilingi tempat itu. Bayangan pepohonan menutupi tubuhnya yang bergerak hati-hati menyusuri areal pepohonan itu.
    Polisi mulai berdatangan. Caddy yang berada di lapangan yang melaporkan pertama kali adanya bunyi rentetan tembakan.
    Sniper misterius dengan kode sandi: Srikandi yang mengawasi Ghost juga bergegas turun dari persembunyiannya di atap gedung yang menghadap lapangan golf itu. Misinya di hari itu gagal. Ia mengemasi senapannya, membuka pakaiannya dan berganti pakaian di atas atap sebelum turun dan berbaur.
***
    Dokter Watsen Munim kembali mengeluarkan mayat Nazrudin untuk diperiksa. Apalagi setelah ada orang yang membuka kamar ruang pendingin tanpa ijin. Namun, tidak ada yang diotak-atik, mayat seperti waktu pertama kali diterimanya, kecuali sekarang tubuh mayat sudah benar-benar lemas dan menuju ke proses pembusukan. Aroma tak sedap mulai tercium. Karena itu ia buru-buru memeriksa mayat sekali lagi sebelum dikubur oleh keluarganya.
    Pada pemeriksaan lanjutan ini, dr. Watsen menemukan luka kecil di tengkuk korban. Jika disesuaikan dengan hasil pemeriksaan bahan kimia di tubuh korban ia menemukan kadar anestesi yang berlebihan. Jika bukan dari obat bius di rumah sakit maka ia menduga korban telah ditembak menggunakan peluru bius.
    Dokter Watsen menggunting celana korban. Ia memeriksa di bawah mikroskop. Terdapat butir pasir kuarsa yang mengandung silika atau silikon berwarna putih di serat pakaiannya. Mungkin pasir itu didapat ketika korban bermain golf. Namun, ketika memeriksa lubang telinga dan hidung korban, ia juga menemukan butir pasir kuarsa. Menurutnya korban terjatuh di area bungker lapangan golf karena dibius, sebelum diseret keluar dari bungker pasir. Mungkin menggunakan golf cart?.

***
    “...Kasus penembak misterius di Modernland belum terpecahkan … terjadi kasus lagi … seorang caddy melaporkan adanya suara tembakan dan pasukan tak dikenal yang berada di lapangan golf … Anehnya tanpa sasaran yang jelas … Dari saksi seorang caddy yang tak mau disebutkan namanya, bunyi tembakan terdengar ketika ia tengah menemani seorang pengunjung pada siang tengah hari itu … Polisi menduga pengunjung yang identitasnya masih dirahasiakan itu merupakan kunci dari kasus penembakan yang terjadi di lapangan golf … Apakah kasus penembakan di lapangan golf memiliki mata rantai yang sama dengan penembakan di Modern Land…? Ikuti terus program acara Fakta dan Kriminal pada waktu dan jam yang sama… Saya Selfi Lena dari studio tiga Metropolis TV … selamat siang dan sampai jumpa.”

    Selfi menghela napas ketika Denara memberi tanda bahwa jadwal di hari itu sudah selesai. Namun, episode kali ini belum selesai. Masih ada rentetan investigasi dan jadwal lain yang sudah siap menunggunya.
    Selfi duduk di sofa dan meraih botol air mineral yang disodorkan Denara.
    “Kamu akhir-akhir ini kok keliatan lemah lesu sih?” tanya Denara. “Apa karena inspektur polisi itu?”
    “Hush, kita masih tunangan, belum merit, Den … jangan ngeres.” Selfi agak kesal. Ia lelah karena jadwal kerjanya. Ditambah karena efek evatoxin yang masih tersisa di dalam tubuhnya membuatnya tak dapat tidur nyenyak.
    “Eh, maksudnya apa kalian sibuk menyiapkan acara pernikahan? Honey moon?” Denara mengedipkan mata.
    “Oya, acara pernikahan … acara pernikahan ya….” Selfi mengingat-ingat lagi apa yang telah dibicarakannya dengan Inspektur Anton. “Entahlah … rencananya kita akan menikah di Situbondo … dan bulan madu mungkin di tempat wisata dalam negeri saja. Eh, tumben kau tanya? Apa sudah mengijinkan untuk cuti?”
    “Nah, karena itu, kau harus ijin lebih awal untuk cuti agar aku bisa mengatur jadwal acaranya. Oke?”
    “Oh, iya … betul. Ntar deh kita bicarakan lagi.”
    “Eh, eh, panjang umur ... tuh kekasihmu dateng.” Denara menujuk Inspektur Anton yang mengenakan pakaian santai masuk ke dalam studio.
    Selfi menoleh ke arah yang ditunjuk Denara. Di ambang pintu studio sudah menunggu Inspektur Anton yang melambaikan tangan kepadanya.
    Selfi membalas lambaian itu lalu bergegas menuju kekasihnya.
    “Den, aku cabut dulu ya. Aku kabarin deh kalau mau ambil cuti.”
    “Okay, oya, jangan lupa undangannya ya.”
    “Belum Den, Sip.” Selfi memberi tanda dengan lambaian tangannya, kemudian melangkah mendekati Inspektur Anton. Ia mencari-cari kata yang tepat tentang rencana pernikahan mereka.
    “Eh, iya, sebelum lupa lagi, tadi Denara tanya tentang rencana acara pernikahan kita.”
    “Ya, sepertinya kita harus secepatnya melangsungkan pernikahan. Agar kau tak lagi terlibat jauh dalam kasus penembak misterius kali ini.” Inspektur Anton menatap Selfi. “Aku akan membawamu ke Situbondo. Kita akan mengadakan acara pernikahan di sana.”
    “Kapan?” tanya Selfi.
    “Aku masih mencari tanggal yang tepat. Nanti kita diskusikan dulu dengan keluarga kita. Tapi, ya, secepatnya....”
    Selfi hanya mengangguk-angguk, namun wajahnya menyiratkan kebimbangan.
    Apakah ia akan melepaskan karirnya? Berhenti di tengah-tengah investigasinya?
    Namun, yang pasti, ia tau bahwa inspektur itu hendak melindunginya. Ya, sekali lagi.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience