Rate

FILE 24: The Assassins

Mystery & Detective Series 649

  PRIA itu agak membungkuk, mengendurkan kakinya, jemarinya memegang erat tongkat golf lalu diam bagai manekin di area rough. Pandangannya bergantian dari bola golf ke green ketiga belas yang ditandai dengan bendera putih di kejauhan. Lalu mengayunkan tongkat golfnya kuat-kuat. Udara terdengar berdesing di sekitar pemukul. Bola melesat ke udara.
    Meleset jauh dari harapannya.
    Bola jatuh di dalam bungker pasir. Namun, ia tidak begitu kecewa. Bibirnya tersenyum tipis mengingat koper itu telah berada di tangannya. Tepatnya dipegang salah satu caddy yang setia bersamanya.
    Ia melangkah tenang menuju cekungan bungker. Mendekati bolanya di atas pasir putih. Pikirannya bebas sekarang. Ia merasa berada di puncak kesuksesan. Hari-hari gemilang penuh kemenangan telah menunggunya.
    Ia kembali tak bergerak bagai patung di area bungker pasir.
    Pandangannya menyapu ke sekitarnya. Namun, ketika ia sadar tengah seorang diri di padang rumput hijau itu, sebuah gigitan tajam terasa di tengkuknya. Jemarinya meraba luka di lehernya. Ia melihat darah. Darah segar.
    Tubuhnya ambruk dan wajahnya menghantam pasir. Kemilau langit di atas menyilaukan matanya. Ia berusaha melihat siapa yang telah berkhianat, namun tidak ada seorang pun di tempat itu. Bahkan kekasih tercintanya.
    Perlahan kegelapan menyelimuti pikirannya.
    Seperti mendung kelabu yang mulai berarak menutupi kawasan itu. Nama yang tersemat di topi golfnya bertuliskan inisial NZ dari Nazrudin Zulfikar, tertutup bayangan kelabu orang-orang yang mendekati tempat itu.
    Kemudian bunyi tembakan tidak lagi terdengar olehnya.
***
    Udara lembab dipenuhi distorsi dari frekuensi radio dari earset radio dua arah di frekuensi aman yang berisi suara-suara komunikasi. Sesekali bunyi berkerisik. Memakai sandi operasi:
    343 menuju poin C.. C—Charlie … peti mati udah jalan.
    a 343 ditemani sebutir 99 … jangan diam aja di sana.
    441 lapor sudah di poin zero.
    Zero—zero siap Ndan.
    Lanjut … menuju zero.
    Serius penuh tekanan. Agak gugup, manusiawi, namun terlatih.
    Hanya mereka yang paham.
    Siang tengah hari itu tanggal 24 Maret, sepanjang jalan Hartono Raya kawasan Modernland, Tangerang, tampak seperti hari-hari biasa. Meski langit sedikit mendung dan udara berubah dingin. Lingkungan sekitar tampak asri berbalut prestise. Gedung-gedung yang berderet dalam sistem kepatuhan. Di balik keteraturan itu tersembunyi hasrat pemberontakan.
    Kendaraan yang berlalu-lalang sibuk dengan urusan masing-masing.
    Namun, hal itu tidak berlangsung lama.
    Mereka terlalu sibuk hingga tak menyadari kawanan yang datang ke tempat itu. Seperti hantu tak kasat mata. Mereka sudah berlatih berulang kali. Di sini, di sana dan di beberapa tempat berbeda. Sesuai plot. Mereka tampak sigap saat menempati posisi masing-masing. Rencana yang sudah dipersiapkan matang.
    Nah, sekarang saatnya. Mereka mulai menyetel ulang hitungan mundur. Tidak ada gerakan percuma. Diatur seperti ketukan jam mekanis. Namun, tetap bagai bola-bola liar. Seperti permainan bola biliar, meski telah diatur dan diprediksi, tidak ada telekinesis. Pasti ada bola ketiga dan keempat yang melenceng jauh dari jalurnya. Hanya masalah waktu.
    Puluhan pasang mata para aktor tidak berkedip. Mereka mengatur napas.
    Mobil BMW silver keluar dari kawasan lapangan golf, diikuti Avanza dan sepeda motor Yamaha. Di kejauhan mobil Panther dan Timor mulai muncul dengan tetap menjaga jarak. Mereka begitu mudah menghindari CCTV karena telah memiliki peta lokasi. Tim lain sudah berjaga di sepanjang trotoar, menyamar sebagai pejalan kaki. Antara satu tim dengan tim lain tidak mengetahui keberadaan masing-masing. Kecuali orang yang memberi perintah kepada mereka, bayangan kelabu di balik layar putih. Hanya menonton melalui kamera CCTV yang telah disusupi.
    Di dalam mobil BMW, seorang direktur diposisikan tetap bersandar di jok. Usianya sekitar empat puluhan. Dan tidak banyak bergerak. Satu setengah jam lalu ia masih menenteng koper penuh uang. Merasa telah berada di puncak dunia.
    Tapi, takdir berkata lain. Dan yang lain akan segera mengetahuinya.
    Sekitar pukul 13.00 WIB tiba-tiba dua kali bunyi tembakan pecah di antara keramaian jalanan. Menyita perhatian pengendara dan pejalan kaki di trotoar. Disusul bunyi raungan mesin sepeda motor serta decit bunyi ban. Sebuah mobil silver BMW tiba-tiba mengerem dan berhenti di tengah jalan. Kendaraan yang berada tidak jauh di belakangnya sontak ikut berhenti.
    Pengendara lain terkejut dan bertanya-tanya. Mereka menyaksikan Avanza silver dan sepeda motor motor Yamaha Scorpio biru mengebut bergegas menjauhi tempat itu. Deru debu dan kepulan asap putih dari sepeda motor meninggalkan jejak sekejap, lalu lenyap. Seperti misteri yang tiba-tiba melingkupi tempat itu bak hantu.
    Orang-orang di sekitar kejadian tidak mengetahui penumpang yang duduk di jok belakang mobil telah tewas. Luka tembak menjadi penyebabnya.
    Supir mobil, Suparman, melihat melalui spion pria bernama Nazrudin masih di posisinya semula. Tidak bergerak seperti manekin. Seharusnya ia telah terbiasa mendengar bunyi tembakan. Namun, ia tidak akan pernah terbiasa mendengarnya.
    Dari saking takutnya, ia akan bungkam. Bahkan ketika ia melihat keanehan atau mengetahui sesuatu, ia akan bungkam. Atau nyawanya juga ikut terancam karena terlibat pembunuhan. Keringat berjatuhan dan jemarinya gemetaran. Ia harus ikut dalam drama, mendramatisir. Namun, debaran jantungnya bukan drama. Ini nyata. Jadi ketika supir itu keluar dari mobil dan berteriak-teriak itu bukan drama. Bos yang setiap hari bersamanya; ke kantor, ke lapangan golf, ke hotel, telah ditembak orang. Bunyi tembakan dan teriakan supir itu menyita perhatian orang-orang di sekitarnya. Mereka berdatangan. Sebagian karena rasa penasaran, lainnya hendak memastikan keadaan korban. Di antara mereka ada tim penembakan yang ikut berbaur.
    Jika orang-orang di sekitar tempat kejadian kaget karena tidak tahu apapun, justru pria bernama sandi Ghost itu mengetahui lebih banyak. Bahkan ia pun belum mengetahui sepenuhnya.
    Sedari tadi ia mengawasi keadaan melalui tele snipernya. Seharusnya kaca jendela kanan mobil terbuka, sesuai rencana. Karena kaca mobil terbuat dari kaca film spektrum, tidak mungkin menembak dalam keadaan tertutup. Ia hendak protes melalui HT lalu diurungkan. Pura-pura tidak mengerti akan apa yang terjadi di depan mata adalah tindakan ceroboh.
    Hanya masalah waktu dirinya akan dijadikan tumbal.
    Sebagai gantinya terdengar suara rekan-rekannya yang lain. Mereka yang naik sepeda motor, berada di dalam mobil atau yang berada di trotoar.
    343 gak bisa lihat ke dalam peti nih Ndan … musti distop nih...
    343 apanya yang gak bisa? Udah beres gitu.
    Zero udah jatuh … zero udah jatuh.
    Zero belum jelas Ndan … lapor ulang statusnya.

    Melalui tele snipernya, ia melihat korban sudah tergeletak bersandar di jok belakang. Setelah itu terdengar bunyi dua kali tembakan disusul teriakan supir dari dalam mobil. Seorang pejalan kaki dengan mudah membuka pintu belakang sedan yang tidak dikunci.
    Ghost menyingkirkan tele dari wajahnya. Matanya terpicing demi melihat ke kejauhan, ke seberang jalan, ke dalam mobil, seolah lebih jelas daripada telenya. Lalu kembali mengintip telenya. Sekarang ia mulai mengerti ke mana arah skenario itu.
    Merasa telah dibodohi, ia menyadari korbannya telah tewas. Ia melihat luka tembak yang tertutup darah di kepala korban. Ia tidak dapat memastikan dari mana arah datangnya peluru lain itu. Ia bertanya-tanya apakah rekannya juga mengetahui?
    Pria itu bergegas membongkar senapannya. Senapan serbu jenis sniper dengan telekop canggih buatan Pindad. Lalu mengemasnya ke dalam tas khusus yang disamarkan dalam hitungan detik. Membuka pakaian ‘tukang kebun’ dan berganti kasual. Bahkan rekannya tidak tahu rencana penyamarannya. Ia lalu mengenakan topi dengan rambut palsu—ikal berombak, yang sudah menempel di dalam topi, menutupi rambut cepaknya. Sebelum keluar dari sana, ia menyembunyikan tasnya di dalam kotak es krim yang kosong di bagian belakang sepeda motornya.
    Pria itu mendekat ke tempat kejadian. Ia berbaur di antara keramaian. Namun tidak dapat lebih mendekat. Dua lubang peluru terlihat di jok dan jendela. Dan di sana, ia melihat korban yang duduk sudah meregang nyawa. Tubuhnya bersandar di jok. Di pakaiannya terdapat percikan darah.
    Kali ini, ia tak pernah merasakan kecemasan seperti itu.
    Bisa jadi peluru berikutnya mengarah kepadanya. Ia pernah melihat mereka melakukan apapun, ya apapun, untuk menutupi kedok mereka. Ia merasakan sniper lain tengah mengawasinya dari jauh. Instingnya sudah peka kepada muslihat seperti itu. Ia harus menemukan pelakunya, atau dirinya yang akan mendekam di penjara atau jika tidak beruntung, tewas di jalanan lalu lenyap dalam sejarah.
    Hujan mulai turun mengikis jejak mesiu dari penembakan yang terjadi di sana.
***
    “...Kita kembali di program acara Fakta dan Kriminal ... pemirsa ... penembakan yang terjadi di Modernland menjadi awal babak baru misteri pembunuhan direktur perusahaan yang ditengarai terlibat kasus misteri hotel Merkuri … Ikuti terus Fakta dan Kriminal.”
    Selfi keluar dari jangkauan kamera. Ia menuju ke arah Inspektur Anton yang sedari tadi mengawasinya. Inspektur polisi itu baru dua jam yang lalu selesai mengolah TKP. Sebelum para kru dari berbagai media cetak dan elektronik berdatangan ke tempat itu. Termasuk Denara yang segera mengendus berita baru untuk program acara Fakta dan Kriminal. Tak mau kalah langkah dengan stasiun TV lain.
    “Kita nampaknya kenal seorang yang terlibat operasi ini … pria dengan sandi Ghost yang menyelamatkan kita waktu itu dari laboratorium rahasia,” ujar Inspektur Anton sembari menyodorkan softdrink kepada Selfi. Karena eksperimen di laboratorium rahasia itu, kedua jemari tangan Selfi selalu tertutup sarung tangan demi menghindari kontaminasi ke sekitarnya. Ia berharap keadaan Selfi dapat segera membaik dan racun evatoxin akan berangsur-angsur lenyap dari dalam tubuhnya.
    “Terima kasih, tau banget aku haus.” Selfi hendak meraih minuman ringan itu sebelum Denara menegurnya.
    “Eh, eh, minum air mineral saja, Selfi masih belum kelar syuting,” tegur Denara yang juga berada di dekat Selfi. “Gimana kalau di bersendawa pas syuting?”
    Selfi hanya dapat menghela napas, sedangkan Inspektur Anton hanya dapat tersenyum-senyum melihatnya.
    “Yee ... mentang-mentang udah tunangan nih, jadi makin perhatian dan mesra nih. Bikin ngiri aja, huh!” Denara memasang tampang manyun, kemudian tertawa.
    “Iya, terima kasih Den. Kita bisa jodoh juga berkat kamu. Jadinya kita bisa ketemuan. Coba kalau waktu itu aku jadi pulang ke Situbondo waktu itu?” Selfi mengedipkan mata sebelah matanya.
    “Kalau gitu carikan dong buatku … aku gak mau jadi perawan tua.” Kemudian Denara tertawa.
    Selfi memutar bola matanya.
    “Ada rekan saya yang masih bujang kalau mau dikenalin,” ujar Inspektur Anton terdengar serius.
    “Eh, enggak kok cuman bercanda. Haha ... biasa ngurangin depresi akibat kejar tayang.” Tawa Denara makin nyaring hingga menyita perhatian para kru TV yang berada di sektiar TKP.
    “Kalau perempuan ketawa itu tandanya dia gak ngerti situasi dan kondisi atau melepas rasa depresinya?” tanya Inspektur Anton.
    “Dua-duanya bener….” Denara berusaha menahan tawanya, namun tak bisa.
    Selfi dan Inspektur Anton jadi ikut terhibur melihat tingkah Denara yang mampu mencairkan suasana.
    Lain di bibir, lain di hati. Walau nampak riang gembira, namun sebenarnya Denara merasa frustasi dengan jadwal tayang program acara Fakta dan Kriminal. Belum lagi investigasi yang harus dilakukan bersama Selfi. Beruntung sekarang Inspektur Anton berpihak kepada mereka. Bonusnya Selfi mendapat perlindungan dari inspektur polisi itu.
    Bisakah mereka memecahkan kasus kali ini?
    Bahaya apa yang akan mereka hadapi dalam investigasi nanti?
    Berbagai pertanyaan tanpa jawaban berkelebat dalam benak Denara.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience