Rate

FILE 50: Supersampler Lomografi

Mystery & Detective Series 649

"Ada benda yang berubah tempat.
Kalau tak salah ada tiga maskot setinggi orang dewasa yang terbuat dari styrofoam.”

    “Hei, bangun udah pagi! Nih kubuatin sarapan.”
    INSPEKTUR Anton mendengar suara Selfi yang berusaha membangunkannya. Ia mengerjap-ngerjapkan mata. Samar-samar nampak wajah Selfi yang tertimpa cahaya matahari pagi. Gadis itu membawakan semangkuk sereal dan segelas kopi hangat lalu menaruhnya di dekatnya. Ia meregangkan tubuhnya karena tertidur di atas karpet di depan TV. Di sebelahnya Faril juga nampak masih setengah mengantuk.
    Faril membawa PC mini yang disambungakan dengan monitor TV di ruang tamu itu. Dari semalaman ia menjelaskan tentang game Blizzard.
    Inspektur Anton beranjak dari karpet. Kemudian menyantap sarapan bersama Faril. Mengingatkan dirinya kepada keluarga kecil yang akan dibangunnya bersama Selfi kelak.
    “Oya, adikmu tinggal bersama siapa?”
    “Dia tinggal di mess di resor tempat kerjanya. Di dekat pesisir pantai.”
    “Kalian mandiri ya.”
    “Tapi setelah gedung pusat game Nebula terbakar. Entahlah, nunggu keputusan bos.” Pandangan Faril nampak kosong. Ia masih agak trauma ketika terjebak di dalam gedung yang terbakar itu.
    “Penyelidikan masih berjalan. Diduga karena arus pendek.”
    “Aku masih tak percaya gedung itu terbakar. Pertandingan game online tidak bisa dilaksanakan. Ya, akan dibatalkan.”
    “Apa kau melihat hal tak biasa sebelum kejadian kebakaran itu?”
    “Aku tak begitu memperhatikan karena banyaknya pengunjung menjelang even.”
    “Aku menemukan kabel daya yang terbakar di stop kontak dekat toilet. Apa kau melihat seseorang yang terakhir kali pergi ke toilet itu?”
    “Entahlah … waktu itu saya sibuk menerima formulir pendaftaran.”
    “Kalau gitu … kita akan periksa lagi tempat itu. Siapa tau ada sesuatu yang kau ingat. Gimana?”
    “Oke, baiklah.”
    “Tapi kita harus waspada.”
    Faril membantu menaruh piring bekas sarapan ke dapur. Inspektur Anton nampak menyiapkan pistolnya.
    “Eh, kalian mau ke mana pagi-pagi begini?” tanya Selfi ketika melihat Faril dan Inspektur Anton berkemas. Faril membawa peralatan elektroniknya.
    “Kami akan memeriksa ke tempat game center itu lagi,” ujar Inspektur Anton.
    “Eh, kalian kan belum mandi?” Selfi mengingatkan. “Mandi dulu gih. Wajah kalian nampak kucel.”
    Inspektur Anton menuruti perkataan tunangannya. “Kau duluan ya yang mandi,” ujarnya kepada Faril.
    “Oke.” Faril menaruh kembali ranselnya dan bergegas pergi ke kamar mandi.
    Ketika Faril berada di kamar mandi, Selfi berkata, “Aku tak keberatan kau membawa siapa saja ke kamar ini. Tapi harusnya bilang dululah.”
    “Iya, maaf, aku juga tak mau kerjaanmu terganggu.” Inspektur Anton duduk di dekat Selfi. “Gimana laporan beritanya? Denara masih mengontakmu kan?”
    “Badanmu bau kecut inspektur … tumben sampai lupa mandi. Apa karena game Blizzard itu. Aku lihat kau mulai kecanduan sampai tak menoleh sekalipun padaku semalam.”
    “Ah, ya, dua kasus yang nyaris bersamaan. Memang aku mengakui game itu adiktif banget. Nampak realistis dari mulai perakitan senjata, seting tempat bahkan dokumen-dokumen rahasia intelijen yang bocor ke publik. Gak heran jika game itu pernah digugat ke pengadilan oleh badan intelijen Amerika.”
    “Terus siapa yang menang?”
    “Akhirnya badan intelijen menarik sendiri gugatan mereka. Karena sadar diri bahwa perbuatan mereka malah akan membuktikan kelemahan sistem. Juga dengan gugatan itu game Blizzard malah bertambah terkenal.”
    “Aku tak tau apakah karena game kekerasan atau karena manusia memang identik dengan sifat primitif itu?”
    “Keduanya saling berkaitan. Game hanya media, sedangkan naluri primitif sudah ada di dalam diri manusia sejak jaman purba. Walau tak ada game pun, sejarah manusia tetap akan diwarnai dengan pepeperangan. Kehidupan inilah game yang sebenarnya. Seniman hanya meniru dari kenyataan.”
    “Tapi aku pernah baca tuh di berita ada anak yang melakukan kejahatan karena game.”
    “Itu faktor sekunder saja. Anak yang kelaparan atau haus kasih sayang yang ditelantarkan pun banyak yang melakukan kejahatan. Karena keterbatasan manusia sehingga memandang keseluruhan hal padahal yang sebenarnya adalah hanya sebagian, istilahnya totem pro parte.”
    Pembicaraan itu terhenti ketika Faril muncul dari kamar mandi. Ia membawa satu setel baju ganti. Wajahnya nampak segar setelah mandi.
    “Hei, udah selesai tuh. Giliranmu inspektur.”
    “Oke.” Inspektur Anton beranjak dari sofa lalu pergi ke kamar mandi.
    Sekarang giliran Selfi yang menginterogasi Faril.
    “Asalmu dari mana?” tanya Selfi
    “Bandung.”
    “Oh, orang Bandung ya. “
    “Iya, aku kemari karena mendapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah di sini. Impianku adalah bekerja di laboratorium canggih di pulau ini.”
    “Aku turut berduka tempat game di mana kau bekerja kena musibah.” Selfi nampak simpatik.
    “Ya, namanya juga untung tak bisa diraih, sial tak bisa dihindari.”
    Inspektur Anton sudah keluar dari kamar mandi. Penampilannya lebih bugar. “Sudah siap berangkat?”
    “Ayo.” Faril mengambil ranselnya dan bergegas mengikuti inspektur keluar dari kamar hotel itu.
***
    Ghost mengawasi gerak-gerik Inspektur Anton dan Faril yang baru saja keluar dari kamar hotel. Melalui jendela kamar hotel ia melihat inspektur itu tengah menuju ke tempat parkir.
    Sudah sejak pagi tadi Ghost menaruh kamera yang terhubung dengan layar TV. Jadi ia tak perlu menunggu setiap waktu di jendela. Sedari tadi ia berbaring sembari memikirkan rencana selanjutnya. Dari ranjangnya ia dapat melihat mengawasi keadaan kamar
inspektur yang direkam dari kameranya ke sambungan monitor TV. Beruntung posisi kamar inspektur Anton dekat dengan jendela besar yang mengelilingi sisi hotel itu.
    Ketika melihat pergerakan, ia segera beranjak dari ranjang dan meraih ranselnya. Di dalam ranselnya terdapat senapan runduk dan tiga magazen yang masih belum dirakit. Hanya butuh dua puluh detik baginya untuk merakit senapan runduk itu menjadi senjata mematikan yang siap digunakan.
    Tujuannya kali ini adalah melindungi Inspektur Anton dan mengantisipasi jika ada serangan dari King Cobra.
***
    Garis polisi nampak mengelilingi gedung pusat game itu. Keadaannya masih sama seperti pasca terjadinya kebakaran. Walau sudah tak nampak asap, namun debu sisa kebakaran masih berjatuhan diterbangkan angin.
    “Aku nyaris mati lemas di dalam sini,” ujar Faril. ”Bunyi berkeretak terdengar ketika sepatu ketsnya menginjak potongan kaca pintu yang pecah.
    “Katanya kau berusaha menyelamatkan komputer itu?”
    “Ya, karena komputer itu khusus untuk lomba yang akan diadakan seminggu lagi. Telah di-upgrade dibanding komputer lain. Karena itu harganya lumayan mahal.”
    “Nyawamu lebih berharga daripada komputer itu.” Inspektur Anton memandang dengan simpatik.
    “Iya, aku tau. Waktu itu didorong rasa panik.”
    Inspektur Anton menunjukkan bekas korsleting yang terjadi di ruangan toilet. Ruang itu nyaris tak dikenali lagi karena temboknya dipenuhi jelaga.
    “Ada orang yang menaruh pengisi daya ponsel di sini. Di sini titik api itu muncul karena itu keadaan di sini lebih parah.” Inspektur Anton menunjuk jejak api. Langit-langit ruangan yang jebol karena terbakar nampak jatuh ke lantai.
    “Aku tak tau siapa yang telah membawa pengisi daya di stop kontak di dekat toilet.” Faril menggelengkan kepala. “Waktu itu aku berada di meja operator sembari
menyortir formulir pendaftaran yang masuk di hari itu. Seperti biasa peserta yang ikut membludak.”
    “Sayangnya kamera CCTV meleleh karena panas api. Apa kau menghubungkan dengan komputer di meja operator?”
    “Iya. Data-datanya ada di komputer operator.” Faril memeriksa komputer yang berada di meja operator. Ia menghela napas karena meja yang separo terbakar itu juga telah mengakibatkan PC komputer meleleh.
    “Bagaimana?”
    “Hard disk-nya gosong. Tapi akan coba saya lihat apakah masih bisa diselamatkan datanya.”
    Faril mengeluarkan obeng dari kotak plastik perkakas elektroniknya. Kemudian membongkar PC itu. Ia merasa menyesal karena melupakan komputer di meja operator. Waktu itu ia tengah panik dan beberapa kali menabrak meja itu.
    Bayangan ketika ruangan itu terbakar mulai menghantui Faril. Rasa traumanya ketika terjebak di dalam ruangan itu muncul kembali. Apalagi ketika dirinya dibawa ke rumah sakit, bayangan pertama yang berkelebat dalam benaknya adalah wajah keluarga yang ada di luar pulau. Ia masih belum memberitahukan musibah itu kepada orang tuanya. Ia tak ingin mereka cemas dan memikirkn dirinya. Ia juga menyuruh agar adiknya tak menceritakan kejadian itu. Meski akhirnya toh kabar itu akan diberitakan oleh media.
    “Hei, ada apa? Wajahmu nampak kehilangan fokus?” tanya Inspektur Anton.
    “Iya, maaf. Aku teringat ketika terjebak di ruangan ini … bayangan kematian seperti menari-nari dalam asap beracun dari kabel yang terbakar.”
    “Bagaimana dengan ponselmu? Apakah tak terjatuh?”
    “Untungnya tidak. Tapi tabletku terjatuh sewaktu menyenggol meja ini. Hanya laptop yang bisa kuselamatkan.”
    Inspektu Anton terdiam untuk beberapa lama. Ia nampak berpikir. “Oya, apa kau termasuk orang yang suka selfie atau foto-foto narsis?”
    “Ya, siapa yang tidak? Anak jaman sekarang kan begitu.”
    “Apa waktu kejadian kau sempat memotret sesuatu?”
    Faril mengingat-ingat. “Hmm, ya ... waktu itu ada peserta cewek yang minta di foto bersama timnya di ruangan ini.” Ia merogoh ponsel lalu memeriksa foto yang diambil oleh kameranya.
    “Kau mengambil berapa foto sebelum kejadian itu?”
    “Ya, cukup banyak. Setiap tim yang mendaftar selalu meminta difoto. Aku juga memakai aplikasi efek foto supersamper lomografi sehingga nampak seperti foto yang berurutan.” Faril mengamati foto-foto di ponselnya, namun tak menemukan hal mencurigakan di sana.
    “Apa ada sesuatu yang mencurigakan.”
    Faril menggeleng. “Entahlah, coba lihat sendiri.” Ia menyodorkan ponselnya kepada inspektur polisi itu.
    Untuk beberapa lama inspektur polisi itu mengamati satu per satu foto. Ia hanya memeriksa latar ruangan yang ada di dalam foto itu. Orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar ruangan.
    “Adakah yang mencurigakan?” tanya Faril.
    “Mengamati memang butuh kejelian dan ingatan yang kuat.” Inspektur Anton masih menggeser-geser layar ponsel demi memeriksa foto itu satu per satu dan berulang kali. “Oya apa benda-benda dan pernak-pernik di ruangan ini baru dipasang atau sudah lama ada di ruangan ini?”
    “Sudah lama persiapannnya. Seperti spanduk, poster, spanduk dan maskot yang terbuat dari gabus menjadi ciri khas tempat ini.”
    Inspektur Anton kembali terdiam. Tidak berapa lama kemudian berkata, “Sepertinya aku menemukan sesuatu di foto itu.”
     “Kebetulan bukan aku yang memasang pernak-pernik di dalam ruangan ini. Ada Mas Erno bagian EO yang mengajak timnya untuk mempersiapkan even lomba itu,” imbuh Faril.
    Inspektur Anton menunjukkan layar ponsel milik Faril. “Coba kau lihat perbedaan kedua foto ini.”
    Untuk beberapa lama Faril memindah-mindahkan dua foto itu bergantian. “Ya, ada benda yang berubah tempat. Kalau tak salah ada tiga maskot setinggi orang dewasa yang terbuat dari styrofoam.”
    Inspektur Anton beranjak kembali menuju ke toilet itu. Ia memeriksa lantai di bawah pengisi daya. Ia mengorek-ngorek lapisan jelaga dan debu yang berjatuhan dari langit-langit. “Tidak salah lagi … sepertinya ini bekas lelehan maskot. Jadi pelaku sengaja memindahkan maskot itu ke dekat toilet dan membuat korsleting dari pengisi daya. Coba periksa foto lain, mungkin pelaku ini menampakkan wajahnya.”
    Faril kembali memeriksa foto-foto di ponselnya. Namun, tak tampak seorang pun yang keluar atau masuk ke toilet. “Ah, aku pasti melewatkan sesuatu.”
    Bisakah Inspektur Anton menemukan pelaku yang telah melakukan pembakaran itu?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience