Rate

BAGIAN PERTAMA MISTERI HOTEL MERKURI FILE 1: Misteri Hotel Merkuri

Mystery & Detective Series 649

     PELATARAN hotel Merkuri di Jakarta Utara yang terletak di kawasan Ancol siang itu penuh sesak kerumunan. Para warga dan jurnalis berkerumun berjejalan. Sekuriti hotel tidak dapat berbuat banyak, hanya mengawasi dari lobi. Beberapa polisi yang mengatur kerumunan nampak kewalahan.
    Gerimis tipis yang menyelimuti kota Jakarta Utara sejak pagi tidak menyurutkan animo warga di sekitar Ancol. Rasa penasaran dari berita yang beredar santer di media jejaring sosial dan ponsel: seorang pria tewas mengenaskan akibat kutukan Ancol! Kali ini berita kutukan Ancol disertai foto-foto heboh. Sebagian disensor, sebagian tanpa sensor. Sensasi 'Kutukan Ancol' pun terlahir dari media.
    Kutukan Ancol, tulis media, segera menjadi topik hangat di jejaring sosial. Penghuni hotel yang menyebarkan berita dan foto-foto mayat korban. Foto-foto korban yang diambil salah seorang penghuni hotel yang menjadi saksi. Foto-foto yang mendirikan bulu tengkuk bagai mimpi buruk.
    Warga segera menghubungkan dengan hal mistis.
    Benarkah karena kutukan di Ancol?
    Siapa yang tidak mengenal hotel Merkuri? Hotel di kawasan Ancol itu terkenal karena angker. Hotel yang awalnya bernama hotel Harrison itu berganti nama menjadi Merkuri demi ‘buang sial’, namun kesialan seakan masih melekat di sana. Bekas salah satu vila gubernur Hindia Belanda abad ke-17 itu direnovasi tahun 1997 dan diperluas menjadi gedung hotel yang terdiri dari 444 kamar. Renovasi berakhir dua tahun kemudian.
    Fisik gedung yang ramping menjulang terdiri dari empat lantai. Seringkali terjadi kejadian mistis. Termasuk penampakan hantu wanita cantik legendaris yang terkenal sebagai Si Manis Jembatan Ancol. Dari kasus mutilasi hingga kasus bunuh diri dengan cara melompat dari balkon kamar lantai tiga pernah terjadi di hotel itu. Pemilik hotel menutup beberapa kamar yang sering terjadi kasus serupa, bahkan mengubah nama hotel dan manajemen. Namun, hotel yang memiliki restoran, bar, tempat fitnes, lapangan tenis dan gedung serba guna itu tidak pernah sepi pengunjung. Pengunjung yang datang justru karena ingin mengetahui kebenaran kisah gaib itu. Turis Belanda sering berkunjung. Lukisan-lukisan keluarga gubernur dan gaya bangunan dipertahankan dari aslinya menarik minat mereka. Namun, keangkeran hotel Merkuri menjadi daya tarik sendiri bagi sebagian orang. Dan merupakan kisah yang diburu beberapa media tertentu.
    Petugas hotel yang pertama kali menemukan mayat korban. Ia membuka pintu kamar korban memakai kunci cadangan. Dari ambang pintu ia melihat sesosok mayat yang terlentang di atas ranjang. Ia segera menghubungi polisi memakai ponselnya.
    Sebelum polisi datang, beberapa penghuni hotel menguji nyali mereka. Terdorong rasa penasaran, mereka berkerumun di depan kamar korban. Beberapa diantaranya bahkan masuk ke dalam kamar. Petugas hotel tidak berdaya mencegah mereka. Warga dan jurnalis yang berdatangan bahkan rela berdesakan demi mengetahui kejadian yang sesungguhnya. Mereka mendapat informasi dari penghuni hotel.
    Mendung tipis menggelayut di atas langit. Menambah suram siang itu.
    Hari itu seperti awal dari sebuah mimpi buruk yang beranjak nyata. Seorang pria ditemukan tewas mengenaskan di lantai satu kamar hotel nomor 96.
    Kematian yang tidak wajar karena mayat korban mengering. Penghuni hotel yang baru itu ditemukan telah membusuk hanya semalam. Kulitnya melepuh dan memucat, dehidrasi, kehabisan cairan tubuh. Darah yang keluar dari sembilan lubang di tubuhnya beraroma tidak sedap. Darah hitam merembes ke celana korban. Membasahi sprei ranjang dan menetes ke lantai yang tertutup karpet di bawahnya. Membentuk genangan besar seperti jurang gelap di samping ranjang.
    Aroma kematian menyesakkan udara di dalam kamar. Seakan terperangkap untuk selamanya. Memenuhi ruang koridor dan menyusup ke kamar-kamar di sebelahnya.
    Salah seorang penghuni hotel yang pertama melapor. Pria Prancis, Jean Pierre. Pria berumur tiga puluhan itu mengendus aroma tidak sedap ketika melewati depan pintu kamar korban. Kamarnya berada di tepat sebelah korban, nomor 97. Ia segera melapor ke meja resepsionis. Bau bangkai manusia, berbau lebih menyengat.
    Laporan lain datang pada waktu yang bersamaan dari seorang penghuni wanita berpenampilan kantoran, Claudita. Kamarnya tepat berada di depan kamar korban, kamar nomor 46. Wanita berumur sekitar dua puluhan itu mengeluhkan aroma tidak sedap di dalam kamarnya. Namun, ia tidak tahu dari mana datangnya. Ia menelepon resepsionis memakai telepon di kamar hotelnya.
    Dini hari kedua pelapor itu segera check out dari hotel. Padahal baru semalam mereka menginap. Manajer hotel Merkuri mengembalikan uang muka yang telah mereka bayar dan meminta maaf sembari menyerahkan kembali KTP dan paspor mereka.
    Polisi beserta tim forensik tiba lima belas menit setelah petugas hotel melaporkan kejadian itu. Mereka terlambat tiba di lokasi yang telah dijejali warga dan jurnalis dari berbagai media. Sebuah sedan patroli polisi mengawal mobil bertuliskan huruf kapital forensik. Mereka bergerak perlahan di antara kerumunan warga yang tumpah-ruah di pelataran hotel.
    Polisi anti huru-hara diterjunkan untuk menutup akses ke dalam hotel. Perlahan-lahan kerumunan warga mulai terurai.
    Polisi melarang warga dan jurnalis berada di dalam hotel. Karena akan mengganggu jalannya proses evakuasi dan identifikasi. Bersama petugas hotel dan manajer hotel mereka melangkah panjang-panjang menuju kamar korban. Langkah kaki mereka berderap-derap di lantai koridor hotel.
    “Lewat sini, Pak!” Roomboy menunjukkan kamar korban sembari menutup hidung dengan jemari. “Kamar nomor 96 di ujung. Dekat tangga.”
    Pintu kamar korban terbuka lebar. Dari depan ambang pintu kamar dapat terlihat keadaan di dalam kamar. Polisi pertama hendak masuk, namun tiba-tiba ia membeku di depan ambang pintu. Sesaat kemudian polisi itu berbalik. “Mundur … jangan mendekat!”
    Polisi itu mengurungkan niat masuk ke dalam kamar. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan saputangan lalu membekap hidungnya. Namun, aroma kematian terlanjur terhirup masuk ke dalam pernapasannya. Ia merasakan belakang kepalanya terasa berat. Wajahnya memucat. Perutnya bergolak. Ia tidak berani mendekati mayat. Seumur hidupnya ia tidak pernah melihat kejadian mengerikan semacam itu. Tangannya melambai kepada rekannya agar tidak masuk ke dalam kamar. Suaranya bergetar, “Aduh, mengerikan….”
    “Ada apa?!!” sergah rekan polisi itu heran. Ia melangkah mendahului rekannya. Ia tidak percaya sebelum melihat dengan mata kepala sendiri. Setelah melongok ke dalam kamar, akhirnya polisi kedua juga melangkah mundur. Kini wajahnya sepucat rekannya.
    Keadaan mayat mengenaskan. Ditambah bau busuk yang menyengat hanya dalam semalam!
    Sekuriti hotel yang mengawal polisi tiba-tiba ambruk di lantai koridor. Beberapa penghuni hotel yang berada di belakang ikut ambruk. Ponsel yang digunakan untuk mengambil gambar dan merekam kejadian itu terlempar jatuh ke lantai berkarpet.
    Gejala yang sama nampak ketika hidung mereka berdarah dan wajah memucat. Rasa penasaran yang harus dibayar mahal.
    Resepsionis yang mengantar polisi menjerit ketakutan. Ia terjatuh terduduk di lantai. Lengannya bertumpu pada tembok. Manajer hotel, seorang wanita muda, bahkan lari ketakutan ke tangga, padahal ia belum melihat mayat korban secara langsung, hanya dari foto yang diperlihatkan di media jejaring.
    “Jangan mendekat!!” Polisi yang berada di depan terlihat waspada. Ia menyadari sesuatu. Ia berlari ke ujung koridor lalu merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselnya. “Segera kirim pakaian pelindung dan masker, Pak! Diduga mayat korban menularkan penyakit….” Kemudian polisi itu merasakan cairan keluar dari hidungnya. Ia menyadari cairan itu adalah darah.
    Polisi segera mengevakuasi penghuni hotel yang berada di sepanjang koridor. Hari itu kamar di lantai satu hanya berisi beberapa penghuni. Mereka dimintai keterangan di lobi. Polisi memperingatkan agar mereka pindah ke kamar di lantai dua.
    Roomboy hotel nampak lemas di sudut koridor. Hidungnya mimisan, cairan darah mengalir ke bibirnya. Jemarinya menyentuh cairan di bibirnya. Wajahnya memucat ketika melihat darah di jemarinya. “Kutukan Ancol… kutukan Ancol!” racaunya. Pandangannya kosong. Remaja berusia belasan tahun bernama Heri itu baru tiga minggu magang di hotel Merkuri. Ia sedang menunggu pergantian shif ketika kasus itu terjadi.
    Beberapa penghuni hotel yang berada di dekat kamar korban merasa pusing dan mual. Mereka mengusap dada mereka yang sesak.
    Suara-suara panik orang-orang terdengar dari sekitarnya:
    “Segera panggil ambulan!!”
    “Telat!! Bawa ke rumah sakit!!”
    “Pakai mobil gue!”
    “Hei, hati-hati kalian bisa tertular!”
    Seluruh penghuni kamar di sepanjang koridor lantai satu telah meninggalkan kamar hotel. Mereka tidak ingin tertular penyakit misterius dari mayat korban.
    Ditengarai mayat korban menularkan penyakit infeksi ke manusia dan hewan di sekitarnya. Masih belum jelas kematian yang menimpa korban. Korban yang tertular satu per satu dibawa ke rumah sakit terdekat.
    Karena masih misteri, mereka menamakannya ‘Kutukan Ancol'. Mistis adalah sebuah jalan pintas yang mudah untuk melewati hal yang masih misterius; yang belum mampu dijangkau nalar.
    Kabar kematian yang tidak wajar itu segera beredar dari satu ponsel ke ponsel lain. Media televisi menyiarkan secara live kehebohan di depan hotel. Garis polisi mulai dipasang di koridor lantai pertama untuk mencegah agar tak ada kru media atau penghuni hotel yang nekat menerobos masuk. Apalagi yang sekadar penasaran atau berfoto di dekat garis polisi.
    Sementara menunggu pakaian pelindung dan masker datang dari rumah sakit terdekat, tim dari kepolisian mengorek informasi dari saksi mata dan resepsionis hotel. Namun, tak banyak informasi yang bisa disampaikan.
    Lima menit kemudian, ambulan membawa beberapa set pakaian pelindung dan masker. Pakaian terusan sekali pakai berbahan plastik sekali pakai.
    Petugas forensik yang berada di lokasi mulai mengenakan pakaian pelindung dan masker. Plastik bening menutup sepatu mereka dan sarung tangan karet melindungi kontak dengan kulit jemari mereka.
    Mereka memperingatkan petugas lain agar mengenakan masker dan pakaian pelindung sebelum memasuki kamar korban.
    Petugas forensik membalikkan tubuh korban yang terlentang di ranjang. Mereka membungkus mayat korban dengan terpal plastik lalu memasukkan korban ke dalam kantong mayat. Sebuah label tanda peringatan ditempel di kantong mayat. Sepatu dan peralatan petugas yang keluar dari koridor disemprot klorin.
    Pakaian pelindung sekali pakai dan masker dimasukkan ke kantong khusus untuk dimusnahkan agar tak menularkan penyakit. Rekan mereka yang lain membawa korban ke ruang isolasi di rumah sakit. Derum mesin mobil diiringi decit ban meninggalkan pelataran hotel. Perlahan menerobos kerumunan warga dan kru media yang masih berkerumun.
    Polisi anti huru-hara membuat barikade pagar betis di pelataran hotel. Mereka mencegah agar warga dan jurnalis tidak mengambil gambar di dalam hotel. Reporter TV dan media cetak hanya dapat mengambil gambar dari depan pelataran hotel sampai di ujung koridor dekat garis polisi.
    Aroma kematian dari bau menyengat memenuhi koridor lantai pertama. Tim labfor membuka lebar-lebar pintu kamar dan jendela. Namun, aroma kematian seakan enggan keluar dari kamar. Masih melekat dan enggan keluar dari dalam kamar.
    Kematian misterius yang akan mengawali kematian lainnya.
    Setelah mengeluarkan mayat dari dalam kamar, tim forensik segera menyelidiki tempat kejadian perkara. Mereka mengolah TKP secara saksama dan memeriksa seluruh benda di atas ranjang. Mereka berhati-hati agar tidak tertular penyakit misterius yang telah membunuh korban hanya dalam waktu semalam. Dan telah menular ke korban lain hanya dalam hitungan menit.
    Tim forensik curiga penyakit di tubuh korban telah menyebar melalui udara. Karena itu mereka menyemprot gas antibiotik ke seluruh ruang koridor dan kamar korban.
    Mereka menutup pintu yang terhubung dengan koridor dan membuka jendela yang mengarah ke laut. Sekujur tubuh para petugas forensik dari ujung rambut hingga kaki, tertutup pakaian pelindung terusan. Suara mereka terhalang masker.
    “Kematian yang tidak wajar….”
    “Hei, tumben nggak melihat orang itu? Ke mana dia?”
    Petugas forensik segera mengerti. “Oh, spesialis kasus hotel Merkuri itu?”
    “Ya, inspektur polisi itu….”
    “Kita akan meminta ia datang. Segera.”
    Tim forensik meminta tim polisi yang berada di luar untuk menelepon inspektur itu. Namun, panggilan mereka tak terjawab. Polisi mencoba menghubungi melalui radio yang ada di dalam mobil polisi.
    Bukan hanya polisi yang sibuk. Orang-orang dari media juga tengah memasang mata dan telinga atas kasus misterius di hotel Merkuri. Di tempat lain seorang produser acara kriminal di Metropolis TV juga tengah bersiap memburu berita. Ia menyiapkan tim, namun seorang reporter belum kembali bersama timnya. Ia sibuk menelepon dari satu orang ke orang lain demi menyiapkan tema baru di program TV yang dijalankannya.
    “Loh, anak itu ke mana sih?”
    “Dia pisah di Juanda tadi.” Terdengar suara dari sambungan ponsel itu.
    Produser itu bergegas menekan nomer ponsel sang reporter. Namun, hanya nada sambung yang terdengar.
    Bisakah mereka mengungkap kasus yang meneror Ancol?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience