Rate

FILE 57: Para Penjaga Malam

Mystery & Detective Series 649

Ghost terpaksa melepas tembakan dari senapan runduk ketika menyadari komplotan King Cobra menyerang ke belakang hotel.

    INSPEKTUR Anton pulang larut malam ke hotel. Selfi masih menunggunya di ruang tamu sembari memeriksa berita-berita yang beredar di media tentang kasus di Pulau Badai.
    Inspektur polisi itu tak menyadari bahwa sedari tadi dirinya telah diawasi.
    Kali ini bukan hanya Ghost yang mengawasi inspektur itu, namun tim lain tengah mengawasinya melalui van yang memiliki kamera.
    Tim King Cobra yang telah sejak lama mengetahui tempat penginapan Inspektur Anton mulai menyusun rencana penyerangan. Dan waktunya sudah tiba.
***
    “Aku pulang dulu ya, Pak! Ada acara di rumah. Udah isi presensi tadi.” Reserse itu bergegas keluar dari pos tanpa menengok lagi.
    Sekuriti itu tidak menyahut. Ia hanya geleng-geleng kepala melihat rekannya yang bertugas hanya mengisi presensi kemudian pulang. Ia juga kadang tak mengeri kenapa seniornya masih memasukkan orang yang tak berdedikasi hanya karena uang pelicin untuk jadi sekuriti.
    Nama sekuriti itu Rahman tersemat memakai bordir di dada seragamnya.
    Malam itu ia terpaksa patroli seorang diri, lagi. Walau selama ini tak ada kejadian yang berarti di hotel di Pulau Badai itu. Ia bergegas memakai jaket yang digantung di balik pintu, meraih tongkat besinya, mengecek baterai senter ukuran sedang, pesawat radio dua arah handy talky lalu memakai kupluknya yang usang. Angin malam yang dingin menerobos ke dalam ruangan ketika ia membuka pintu lebar-lebar. Ia membiarkan pintu terbuka cukup lama. Membiarkan angin malam masuk ke dalam posnya yang pengap, satu-satunya ruangan yang tak ber-AC. Kipas angin satu-satunya dibawa oleh sekuriti yang tadi pulang lebih awal.
    Ketika berada di luar ruang posnya, Rahman dapat menghirup udara malam yang dingin namun terasa menyegarkan. Ia merasa beruntung telah keluar dari dalam posnya. Rasa kesalnya terobati. Aliran darah di betisnya semakin lancar ketika melangkahkan kaki di sepanjang pelataran hotel itu. Masih beberapa blok lagi. Ia menyumpal telingnya dengan earset dari ponselnya dan kembali mencari siaran radio kesukaannya. Bukannya lagu yang ia dapatkan melainkan suara berat yang terganggu distorsi. Terdengar seperti suara yang keluar dari dalam terowongan.
    Puma sudah siaga ndan ... lapor ganti….
    Frekuensimu perbaiki lagi itu belum aman….
    Siap … Ndan….
    Suara itu terdengar tegas dan penuh disiplin dengan nada penekanan. Seperti orang yang memberi perintah. Kemudian suara itu lenyap digantikan musik metal dari salah satu stasiun radio. Musik keras itu mengganggunya. Ia mengubah frekuensi ke lagu yang lain. Kemudian yang terdengar lagu instrumen biola dan piano yang membuatnya makin mengantuk, membuat kelopak matanya terasa berat. Ia mendesah pendek, dan melepas earset yang menyumpal telinganya. Ia berusaha berkonsentrasi untuk mengusir rasa kantuknya dengan melakukan sedikit peregangan pada lengan dan bahunya.
    Di atas langit tampak gelap, tak terlihat satupun bintang. Mendung mulai berarak di atas langit. Ia berharap tak menurunkan badai. Lampu-lampu penerang jalan tampak semuram langit malam itu. Tidak terlihat aktivitas warga, lampu-lampu di dalam rumah padam, yang menerangi halaman depan hanyalah lampu-lampu di teras dan lampu taman yang mengelilingi tiap-tiap rumah.
    Tidak ada kejadian berarti selama dua bulan tugasnya menjadi sekuriti di hotel itu. Hanya beberapa kasus ringan yang nyaris tidak berhubungan dengan tugasnya sebagai penjaga keamanan. Misalnya kasus barang yang tertukar atau tertinggal di kamar hotel itu, atau turis asing yang kesasar karena tak mengerti bahasa di sana. Tidak ada kasus yang berbahaya atau menantang. Apalagi ia sudah tidak lagi muda seperti dulu. Sewaktu masih muda ia memang tak akan betah di posnya.
    Bosan karena tak ada tantangan, ia menganggapnya hari seperti hari pensiun. Ia harusnya berada di rumah bersama anak cucunya. Ia bisa saja begitu kalau bukan karena anaknya yang sedang membutuhkan biaya rawat inap karena persalinannya yang sulit. Demi keluarganya ia berusaha betah berlama-lama dalam posnya yang pengap. Mendengar cerita-cerita heroik dari sekuriti lain yang kebanyakan dibuat-buat. Hanya kisah-kisah dramatis dan terkesan heroik yang selalu dikisahkan sekuriti lain ketika bertugas memang membuatnya bersemangat ketika pertama kali mendengarnya, sesudah itu ia bosan. Terakhir ia mulai bersemangat kembali ketika mendengar kisah seorang inspektur bernama Anton yang menginap bersama tunangannya Selfi di salah satu kamar di hotel itu. Kabarnya Inspektur Anton sering berhadapan dengan komplotan King Cobra dan baku tembak dengan mereka, namun inspektur itu selalu bersemangat bercerita seperti menyembunyikan traumanya ketika dikubur hidup-hidup oleh komplotan itu.
    Sekuriti itu berusaha melupakan kisah-kisah heroik yang masih diingatnya ketika sebuah bunyi dentang besi terdengar dari areal belakang hotel. Tidak salah lagi, ia yakin mendengar bunyi besi yang patah atau jatuh di pelataran belakang hotel. Kemudian ia mendengar suara-suara lelaki. Terdengar penuh perintah dan penekanan.
    “Siap bergerak….” Samar-samar terdengar bunyi derap langkah kaki di bagian belakang hotel. Lalu terdengar bunyi seperti senjata yang dikokang.
    Rahman menggigil, bukan karena dirinya tak bernyali. Ia tidak akan pernah takut hanya gara-gara mendengar suara tak jelas yang mungkin hanya terbawa angin dari tempat lain. Apalagi semacam hantu dan hal yang gaib-gaib yang tak kasat mata, ia tak percaya hal-hal mistik. Namun, yang dihadapinya kali ini adalah pasukan bersenjata. Ia yakin itu.
    Sebagai manusia normal, darah dalam pembuluh nadinya berdesir, pupil matanya membesar dan irama napasnya perlahan meningkat. Apalagi senjata satu-satunya adalah tongkat listrik.
    Sekuriti itu kenal dengan beberapa penghuni hotel yang merupakan anggota militer. Ia juga mengenal Inspektur Anton meski hanya beberapa kali bertemu dan sesekali mengobrol. Ia berharap inspektur itu membawa senajata untuk membela diri.
    Rahman dengan perlahan mendekat melewati beberapa pohon palem botol yang berjejer rapi. Berjalan di atas hamparan rumput yang tak terawat dengan perlahan. Ketika telah sampai di dekat pagar palang besi setinggi dada orang dewasa, ia menajamkan telinganya. Kedua matanya awas menatap ke kejauhan di belakang hotel.
    Terdengar bunyi benda keras, seperti besi yang dipukulkan ke kayu. Kemudian bunyi berderak ketika pintu belakang hotel berhasil didobrak.
    Rahman dapat membayangkan kejadian dalam kepalanya hanya melalui suara yang didengar saja. Lalu, terdengar suara memaki tertahan, derap langkah kaki yang berlarian di atas lantai marmer. Setelah itu tak terdengar bunyi atau suara apapun. Hening. Bahkan terlalu sunyi.
    Rahman berjalan menyusuri pagar palang besi, kedua matanya tidak lepas dari jendela-jendela di sisi hotel yang sebagian tertutup gorden tipis hingga ia dapat melihat keadaan di dalam ruangan koridor meskipun hanya bayangan samar.
    Ketika Rahman sampai di belakang hotel itu terdengar bunyi tembakan yang berasal dari seberang hotel. Ia menduga dari jendela di gedung lain. Disusul dengan bunyi kaca pecah. Tak lama kemudian tembakan balasan terdengar.
    Malam yang sunyi itu berubah drastis menjadi seperti malam festival. Bunyi tembakan beruntun terdengar saling berbalas. Bunyi tembakan terdengar bergantian dari gedung itu dan gedung di seberang.
    Rahman yang panik berusaha menghindar dengan masuk ke dalam gedung. Ia melewati lorong di belakang hotel kemudian menuju tangga menuju lantai dua. Dari lantai dua itulah tembakan berasal. Setelah melewati koridor ia berhenti di ujung kemudian berhati-hati melongok ke arah lorong koridor. Di sana ia melihat beberapa orang berpakaian hitam yang masih memberikan tembakan balasan. Ia menyadari sebuah pemandangan yang tak biasa mengalihkan perhatiannya. Ia melihat bercak darah di tembok koridor, kemudian di lantai koridor juga terdapat cipratan darah. Ia melihat jejak darah yang memanjang ke arah koridor lain. Seperti sebuah sapuan kuas cat lukis berwarna merah darah yang mengotori kain kanvas berwarna krem.
    Jantung sekuriti itu makin berdebar-debar. Nalurinya terpacu. Ia bergegas memutari koridor demi melihat apa yang terjadi. Tanpa berpikir panjang ia mengendap-endap menyusuri sepanjang koridor lain. Setelah itu ia melongok ke ujung koridor lain.
    Noda berwarna merah darah itu makin pekat terlihat dari jarak dekat. Bau amis hanya terkonsentrasi di dalam ruangan, tidak bergerak. Angin yang masuk melalui celah ventilasi di atas jendela hanya berputar-putar di dalam ruangan. Penciuman Rahman nyaris membaui aroma mesiu dan amis darah dari ruang koridor itu. Ia melihat seorang pasukan berpakaian hitam nampak terkapar dengan luka dibahu, napasnya masih terdengar satu-satu walau tubuhnya tak bergerak.
    Kemudian ia melihat lampu di ruang koridor lain mulai padam. Suara-suara panik dan langkah yang berderap mulai terdengar ketika penghuni kamar mulai berani keluar dan melarikan diri demi menyelamatkan nyawa mereka.
    Sekuriti itu mendengar suara mendekat. Suara yang dikenalnya. Ia mendapati wajah Inspektur Anton yang tengah mengendap-endap bersama orang yang tak dikenalnya. Mungkin penghuni kamar di koridor itu.
    “Anda sekarang aman. Jangan mencoba keluar dari kamar lagi. Bersembunyi di bawah kolong ranjang,” ujar Inspektur Anton menenangkan. Di tangannya nampak sebuah revolver.
    Wanita muda itu tak menjawab ketika kembali masuk ke dalam kamarnya.
    “Hei, Inspektur Anton!” seru sekuriti itu.
    “Hei, Anda seharusnya tak berada di sini. Anda tak bersenjata,” sergah inspektur itu. “Anda cepat pergi dari sini dan telepon polisi.”
    “Apa yang terjadi inspektur? Siapa pasukan itu?” tanya Rahman heran. “Di mana Mbak Selfi?”
    “Mereka King Cobra … dan hendak memburuku. Selfi dan Faril bersembunyi di tempat yang aman. Sekarang cepat cari jalan lain dan panggil polisi.”
    Rahman mengangguk yakin dan pergi dari tempat itu demi memanggil bantuan.
    Sekarang tinggal Inspektur Anton yang berada di sana.
    Namun, inspektur itu tidak sendirian. Ia diawasi oleh hantu. Ghost mengawasinya dari gedung seberang.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience