Rate

FILE 4: Dengungan Lebah

Mystery & Detective Series 649

    SESAMPAI di hotel Merkuri, Inspektur Anton segera mengenakan pakaian pelindung di salah satu kamar hotel. Ia tepat waktu. Kemudian bergabung bersama tim forensik. Ia telah disambut tim forensik yang telah menunggu kedatangannya. Koridor yang dilewatinya lebih panjang dari biasanya. Beberapa pasang mata dari tim yang berkumpul di ujung koridor mengawasinya. Namun, ia juga merasakan sesuatu yang tak nampak yang juga mengawasinya. Ia mengamati CCTV yang berada di koridor itu. Seseorang … atau sesuatu tengah mengawasi gerak-geriknya. Di arah kamera pengawas itu berada.
    Pendengarannya sudah mendengar suara-suara bisikan sejak masuk dari pintu belakang hotel. Suara-suara itu datang silih berganti, kadang saling menumpuk lalu lenyap begitu saja. Suara yang itu makin jelas ketika berada di tempat yang sunyi bersamaan dengan bunyi denging panjang yang disebutnya sebagai dengungan lebah.
    Inspektur Anton Alam adalah polisi berprestasi yang telah memecahkan beberapa kasus sebelumnya di hotel Merkuri. Dari kasus pencurian sampai kasus kematian yang terjadi di hotel angker itu. Seolah tak diberi kesempatan untuk menarik napas, ia baru saja menyelesaikan kasus di ruang baca tertutup ketika dipanggil mendadak ke hotel Merkuri. Dari satu kasus ke kasus lain. Resiko seorang polisi yang diandalkan di kesatuannya.
    Rambut panjangnya yang berombak tertutup kanopi pakaian pelindung. Suaranya terhalang masker di wajahnya. “Waktu kematian?”
    “Sulit memperkirakan.” Rekannya menimpali pertanyaannya. “Pembusukan di tubuh korban gak normal. Lebih cepat dari biasanya. Ini menyebabkan waktu kematian korban menjadi samar.”
    “Menurut resepsionis, korban check in sekitar pukul 21.30 semalam.” Tim yang lain menunjukkan catatan yang telah dikumpulkannya.
    “Mayat baru ditemukan pukul tiga dini hari atas laporan penghuni hotel.”
    “Kematian beberapa jam gak mungkin menyebabkan pembusukan.” Inspektur Anton nampak berpikir. "Apakah sengaja mengacaukan rigor mortis, jadi waktu kematian sulit ditentukan."
    “Beberapa organ di dalam tubuhnya hancur. Keping darahnya rusak, keruh kental menghitam. Penyakit aneh telah menjangkiti mayat ini, Let!!” ujar salah satu ahli forensik. Suaranya teredam masker. Setelah memotret genangan darah dan ceceran darah di ranjang, ia berhati-hati ketika memeriksa barang-barang korban. Tangannya tertutup sarung tangan karet. Darah hitam menetes di sprei ranjang meninggalkan noda di lantai.
    “Selaput mata korban menghitam dan mengeluarkan darah.” Seorang rekannya menunjukkan foto korban yang tersimpan di kameranya.
    “Menangis darah? Apakah korban segera dievakuasi ke ruang isolasi?”
    “Ya, mayat sudah dievakuasi dari kamar ini. Karena ditengarai menular.”
    “Otopsi sedang dilakukan di kamar isolasi agar nggak menular,” timpal tim forensik lain.
    “Ya nanti kita lihat hasil otopsinya.” Ia memeriksa jaket korban yang tertinggal di kamar hotel. Mencari identitas dan petunjuk post mortem lain. Ia menemukan pisau lipat di saku jaketnya, tiket kereta api, sekotak rokok dan pemantik. Di dalam dompet korban tidak ditemukan identitas lain hanya kartu kredit dan dua lembar lima puluh ribu.
    Inspektur Anton dan rekan-rekannya segera mengolah TKP. Memeriksa setiap sudut ranjang dan kamar. Mencari sidik jari. Memotret dan memasukkan barang bukti ke dalam kantong plastik bening. Menandai posisi barang bukti dengan nomor. Mereka menemukan jejak sol sepatu wanita di atas karpet di dekat ambang pintu masuk. Kemudian jejak itu menghilang ke dalam kamar. Blitz kamera sekejap menerangi ruangan. Rekan-rekannya mengambil foto keadaan ruangan.
    “Kematian yang nggak wajar.”
    “Terjadi di hotel Merkuri lagi.”
    “Kutukan Ancol? Terdengar konyol, hah.”
    Inspektur Anton tidak berkomentar. Hanya menyimak. Ia menyimpulkan sesuatu. Ia sedang memeriksa sebuah gelas dari atas meja di dekat ranjang. Tangannya tertutup sarung tangan karet. Jemarinya menari melacak sidik jari memakai serbuk dan kuas pelacak sidik jari. Di sebelah gelas itu terdapat botol minuman keras yang telah kosong. Ia hanya menemukan sebuah sidik jari. Kemungkinan sidik jari milik korban. Ia seperti berbicara kepada dirinya sendiri. “Salah satu gelas terisi setengahnya, sedangkan tiga gelas lain tidak terpakai. Anehnya, dari ketiga gelas itu, hanya satu gelas yang tidak terdapat setitik pun debu. Kemungkinan satu gelas itu baru saja dicuci untuk menghilangkan jejak.”
    “Korban minum bersama seseorang?”
    “Mungkin tamunya meracuninya.”
    “Kasus pembunuhan berencana.” Inspektur Anton tidak menimpali. Ia mendekati wastafel. Setelah melepas masker di wajahnya, ia mengendus wastafel. “Aroma minuman keras masih samar-samar. Isi dalam botol itu telah dibuang ke dalam wastafel. Semuanya.”
    “Minuman bermerek mahal.”
    “Mungkin karena berisi obat bius. Atau berisi racun yang telah membunuh korban.”
    Inspektur Anton menarik sepotong tisu toilet lalu mengusap dinding wastafel kemudian memasukkannya ke dalam plastik barang bukti. Ia mengambil sampel cairan untuk diteliti di laboratorium.
    “Jadi ini pembunuhan berencana.”
    “Ya, pelakunya sangat rapi.”
    “Benar, pelakunya sangat rapi dan cerdik,” timpal Inspektur Anton. Ia memeriksa isi bak sampah. Kosong. “Ia bahkan sempat membuang isi bak sampah agar kita tak dapat menyelidiki jejaknya.”
    Rekan-rekannya memperhatikan sembari berdiskusi.
    “Menurut resepsionis pria itu datang seorang diri.”
    “Ia membayar tarif menginap hanya untuk semalam.”
    “Janjian dengan seseorang? Wanita panggilan mungkin?”
    “KTP korban palsu setelah dicek di komputer. Nomornya nggak terdaftar.”
    “Kita akan memeriksa rekaman CCTV di koridor dan daftar tamu malam kemarin,” ujar Inspektur Anton. “Bisa jadi pelakunya juga menginap di salah satu kamar hotel. Pria itu mengadakan pertemuan dengan seseorang. Seorang pembunuh.” Ia beranjak dari dekat bak sampah. Memeriksa sudut-sudut ruang di belakang perabotan.
    “Kamar ini akan disterilisasi dan diisolasi agar bersih dari bahan beracun,” ujar rekannya.
    “Kita harus bergegas.”
    “Sudah memeriksa kloset?” tanya Inspektur Anton.
    “Belum.”
    Inspektur Anton menuju ke kamar mandi. Rekan-rekannya mengikuti dari belakang. Mereka memeriksa kloset. Sisa-sisa sobekan tisu yang telah hancur mengambang di air. “Tisu yang digunakan untuk membersihkan obat bius di dalam gelas.”
    “Sudah terlarut dalam air. Hancur.”
    “Kita nggak bisa mengangkatnya.”
    Kedua rekan Inspektur Anton mengambil botol dan keempat gelas dari dalam hotel. Mereka memasukkannya ke dalam plastik berukuran lebih besar. Mereka menandai posisi barang bukti. Kemudian membawa barang bukti keluar dari dalam kamar untuk diteliti di laboratorium.
    Garis polisi mulai direntangkan di depan kamar. Garis polisi juga dipasang di ujung koridor. Kamar-kamar di sepanjang koridor juga diperiksa. Namun, polisi tidak menemukan apapun.
    Inspektur Anton dan rekan-rekannya melepas pakaian pelindung di salah satu kamar hotel. Mereka memasukkan pakaian pelindung yang telah dipakai ke dalam kantong plastik. Pakaian pelindung sekali pakai itu akan dimusnahkan. Mencegah penularan penyakit yang telah melekat di pakaian itu.
    Koridor telah disterilisasi. Penghuni kamar hotel telah dievakuasi. Ruang kamar hotel di sepanjang koridor telah kosong.
    Polisi masih menahan warga dan wartawan di lobi hotel. Reporter TV dan wartawan memaksa untuk masuk. Perwakilan dari mereka bernegoisasi dengan polisi. Namun, polisi masih tidak mengijinkan mereka masuk.
    Manajer hotel memilih pulang ke rumahnya karena syok.
    Di ruang lobi hotel Merkuri, Inspektur Anton hanya bertemu resepsionis, wanita berumur dua puluhan itu terlihat cemas. Jemarinya menggenggam erat sapu tangan
hingga buku-buku jarinya memutih. Wajahnya memerah dan berkeringat.
    “Jam berapa Anda terakhir kali bertemu dengan korban?” tanya Inspektur Anton.
    “Hanya waktu check in tadi malam sekitar pukul 21.30. Ia seperti terburu-buru. Saya sudah mengatakannya kepada petugas polisi lain.” Suara resepsionis itu terdengar sedikit bergetar. Ia bermata kaca. Keringat bergulir dari dahinya. Rekannya, seorang pria petugas hotel berusaha menenangkannya. Mereka bertugas dari kemarin malam.
    “Ada hal yang mencurigakan?”
    “Pria itu bersikeras meminta kamar nomor 96. Padahal kamar itu baru saja dipakai. Kami perlu merapikannya terlebih dulu. Pria itu bersedia menunggu hingga setengah jam.”
    “Apa seluruh kamar di lantai satu terisi penuh?”
    “Ya, dari kemarin seluruh kamar di lantai satu terisi penuh.” Tersirat kekecewaan di wajahnya. “Setelah kasus kematian ini, seluruh penghuni kamar memilih untuk pindah. Mereka membatalan penginapan mereka.”
    “Siapa yang pertama melapor?”
    “Dua orang. Nyaris bersamaan. Seorang pria Prancis bernama Jean Pierre dan wanita karir bernama Claudita. Mereka mengeluhkan bau menyengat. Mereka tidak dapat tidur. Keduanya langsung membatalkan penginapan mereka.”
    “Malam itu juga?”
    “Ya, malam itu juga.”
    “Anda sudah mencek KTP atau paspor mereka?”
    “Belum. Keduanya keburu check out.”
    Anda pernah melihatnya sebelumnya? KTP korban?”
    “KTP korban palsu. Butuh waktu untuk mengecek nomor KTP. Ia hanya menginap semalam untuk pertama kalinya. Korban bukan pelanggan kami.”
    “Kenapa berita ini sampai bocor ke publik?”
    “Petugas hotel, rekan saya, yang pertama kali melapor ke polisi. Ia membuka pintu kamar hingga penghuni hotel lain berdatangan. Mereka merekam memakai ponsel.”
    “Anda nggak mendekati korban?”
    “Saya hanya mengawasi dari ujung koridor. Nggak berani mendekat.”
    “Anda memiliki rekaman CCTV di koridor lantai satu?”
    Rekan resepsionis wanita itu mengeluarkan memory card dari bawah meja. Ia telah menyiapkan rekaman CCTV sesuai permintaan petugas polisi sebelumnya. “Ruang monitor CCTV ada di ujung lantai satu. Ini rekaman CCTV dari sore hingga malam kemarin.”
    “Boleh kami pinjam buku tamu kemarin malam?”
    “Ambil saja. Kami akan menggantinya.”
    Setelah mendapat rekaman CCTV dan buku tamu dari resepsionis mereka segera meluncur ke kamar isolasi di rumah sakit Medikal Ancol untuk mengetahui proses otopsi korban. Inspektur Anton berada di jok belakang mobil polisi. Untuk sejenak ia merebahkan diri ke jok mobil.
    “Anda bisa istirahat di dalam mobil sementara proses otopsi berlangsung. Kalau sudah ada kabar kami akan menelepon.” Rekan inspektur itu berkata sembari
berhati-hati mengemudi.
    “Ya, tolong bangunkan aku kalau sudah keluar hasil otopsinya.”
    Inspektur Anton berusaha untuk memejamkan mata. Butuh waktu beberapa menit untuk meredakan rasa letih dan pikiran kalut di dalam kepalanya. Kabin mobil bukan tempat yang nyaman untuk tidur nyenyak. Sesekali suara-suara dan bunyi derum mesin mobil masih terdengar. Rasa letih dan beban dalam pikiran membuatnya bermimpi yang sama. Mimpi buruk yang sama.
    Dalam mimpinya Inspektur Anton berada di dalam jurang dalam. Berbagai suara terdengar dari atas jurang. Kemudian ia merasakan tanah yang dilemparkan kepadanya. Orang-orang yang berada di atas jurang berusaha menguburnya hidup-hidup!
    Inspektur Anton berusaha keluar dari dalam jurang. Ia mencakar-cakar dinding jurang yang membuat dinding tanah itu makin longsor. Tanah sudah sampai ke batas dadanya. Membuatnya sesak. Ia tak bisa bernapas!
    Bunyi pintu mobil yang ditutup membuat Inspektur Anton terjaga dari mimpi buruknya.
    “Anda bisa istirahat di dalam mobil sementar kami mengawasi proses otopsi.”
    Inspektur Anton hanya mengangguk. Butir-butir keringat membasahi dahinya. “Tolong bawakan aku kopi. Aku tak bisa tidur di dalam mobil tapi akan kucoba untuk istirahat sejenak.”
    “Siap.” Rekannya segera mencarikan segelas kopi hangat.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience