Rate

FILE 25: Jejak Peluru

Mystery & Detective Series 649

    “AKU TAK percaya kembali ke sini,” gumam pria itu.
    Sudah berapa lama aku terjebak dalam bangunan pucat itu?
    Pria paro baya itu berhati-hati saat mengemudi VW-nya memasuki pelataran Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Melewati kendaraan lain yang bergegas keluar dari bangunan pucat itu. Guyuran air hujan nyaris menutupi kaca depan. Gerakan lambat wiper ke kanan dan ke kiri nyaris tak berguna. Bunyi ambulan sudah tidak terdengar lagi dari depannya. Mobil jenazah tiba lebih dulu di RSCM.
    Di balik tirai hujan, semuanya terdistorsi. Buram. Seperti alasan kenapa ia masih ada di tempat itu. Dari sekian banyak ahli forensik, kenapa dirinya yang ditunjuk? Di RSCM ada sebelas ahli forensik, tiga orang profesor dan delapan dokter spesialis forensik. Ia masih belum mengerti kenapa ia dipaksa kembali ke kantornya. Melalui pesan elektronik singkat alasan itu juga belum jelas.
    Di SMS yang diterimanya tertulis: Sore, babe harus segera ke RSPAD. Ada kasus penting menyangkut keamanan negara. Harus segera diperiksa. Penting dan peka. Tidak boleh diwakilkan. Oke?
    “Sok penting atau memang ada kepentingan lain…,” gumam pria itu. “Penting atau gak penting, seharusnya sekarang sudah waktunya istirahat.”
    Belum cukup SMS semenit kemudian telepon berdatangan. Mulai dari pejabat setingkat Letkol, Kolonel, hingga Komisaris Jenderal. Dua jam dari sejak kejadian penembakan. Sejak bertolak dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, suara tak enak itu masih terdengar.
    “Pokoknya Bapak harus segera ke RSPAD Gatot Subroto,” ujar suara itu penuh tekanan.
    “Tapi saya capek, biar rekan saya di RSCM yang ke sana, besok pagi-pagi saya akan ke sana,” sahut pria itu melalui ponselnya.
    “Tidak bisa, harus babe yang memeriksanya. Ini kasus penting.”
    “Siapa yang tewas?”
    “Ini seorang direktur PT. Putra Rajawali, Nazrudin Zulfikar. Perusahaan besar rekanan pemerintah yang ikut dalam beberapa proyek besar termasuk pengembangan pulau buatan di Kepulauan Seribu.”
    “Orang penting? Pejabat?”
    “Bukan pejabat—tapi ya, berhubungan dengan orang penting. Ini pengusaha berduit.”
    “Pengusaha ataupun bukan, berduit atau nggak, ya harus diselidiki dong.”
    “Utamakan yang ini dulu karena menyangkut keamanan negara. Nanti babe akan mengerti.”
    Mendengar demi ‘keamanan negara’ membuatnya berpikir dua kali. Bukan hanya penting, perlu perhatian dan kehati-hatian, namun juga beresiko. Ia benci terlibat dalam politik. Meski profesinya kerap bersinggungan dengan politik.
    Menurutnya politik lebih mudah ditebak, tidak ada misterinya. Ia lebih suka berada di labnya daripada di pengadilan. Mendengarkan cerita picisan dari masalah yang sudah jelas sangat membosankan.
    “Ya—ya, saya akan segera ke sana,” pungkas dr. Watsen. Pejabat tinggi itu lantas menutup sambungan ponselnya.
    Mendung menebal, langit makin gelap. Suasana temaram mengawali kejadian muram di hari itu: sebuah pembunuhan kembali terjadi, seolah tak pernah berhenti. Oya, ia teringat, iblis tak pernah tidur karena sudah berjanji untuk menggelincirkan seluruh umat manusia…
    Dirinya butuh istirahat, tidak seperti waktu muda dulu. Walau memiliki kecerdasan di atas rata-rata tubuhnya tetap menua seperti yang lain. Di usianya sekarang, ia harus kembali kepada profesinya, ahli forensik.
    Bukan sekedar ‘membongkar’ mayat dan mencatat setiap organ. Lebih kepada panggilan moral untuk menyusun kembali kepingan kebenaran, walau dari mayat yang telah membisu.
    Ya, sekali lagi. Ia tidak pernah setengah-tengah turun ke dalam kasus. Dokter Watsen Munim, pria berusia enam puluhan itu kerap enggan menulis gelar dokternya. Sosoknya kecil namun gesit dengan otak brilian. Jalannya agak timpang karena pernah mengalami kecelakaan saat tengah menyelidiki kasus berbau politik. Banyak yang mengira ia selalu lolos dari usaha pembunuhan, namun ia hanya menganggapnya musibah biasa.
    Ya, dr. Watsen Munim, namanya adalah jaminan bagi kebenaran hakiki di atas meja dingin forensik. Dari namanya, publik percaya kepada kejujuran dan ketenangan yang dianggap melawan arus. Ia tidak merasa melawan arus jika berjalan di jalur yang semestinya. Jadi, seperti hari itu, tidak heran jika ia didaulat menangani kasus-kasus skala besar. Sebagai ahli forensik terkemuka, berada di posisinya adalah sebuah tekanan luar biasa. Tentu saja, tak jarang ia mendapat getahnya. Seperti hari itu. Sore itu seharusnya ia sudah berada di dalam rumahnya yang hangat. Namun, sebuah telepon dari seorang pejabat menyeretnya kembali ke lab. forensik. Beban di pundaknya terasa makin sarat. Ia memang tidak tak dapat menghindari cengkeraman konstitusi. Dingin di luar dan dingin di dalam membuatnya menggigil. Jaket kulitnya seakan tak mampu mengusir rasa dingin yang melingkupi.
    Dingin yang berasal dari kematian di sekitarnya.
    Dokter Watsen mendorong pintu mobil lalu bergegas keluar. Meski cukup letih fisik dan pikiran, ia tetap gesit, seperti biasa. Ia membanting pintu mobil lalu berjalan ke teras, tidak memedulikan butir-butir air hujan yang membombardir tubuhnya. Jaket dan topinya basah kuyup. Ia melangkah menghindari genangan air di pelataran.
    Di sana sudah menunggu perawat yang berdiri mengawasinya sejak tadi. Sepertinya, ia juga diperintah agar memastikan dr. Watsen berada di jalurnya.
    “Sudah datang?” tanya dr. Watsen mengeluarkan notesnya. Ia tidak menulis apapun di sana, hanya sebagai jimat keberuntungan.
    “Pukul empat sore ini korban sudah sampai di lab,” sahut perawat itu. Mereka berjalan di lorong rumah sakit. Wajah pria yang berminyak itu mengilap tertimpa cahaya lampu koridor. “Dibawa dari rumah sakit Mayapada, Tangerang, lalu sempat dirawat di RSPAD Gatot Subroto baru ke sini.”
    “Ya, tadi dari RSPAD. Bagaimana dengan keluarga korban?”
    “Mereka sudah ditelepon.”
    “Sudah mendapat ijin otopsi?”
    “Keluarga korban menentang. Tapi akan kami akan jelaskan kembali.”
    Dokter Watsen melewati lobi dan masuk ke koridor rumah sakit. Ia melangkah cepat menuju ruang forensik dengan jaket basah kuyup. Tetes air hujan berjatuhan dari lidah topi kumalnya. Ia membuka jaket lalu mengenakan baju khusus.
    Dokter Watsen masih tercenung memandang mayat yang tergeletak di atas meja visum. Kekesalannya dari RSPAD masih belum hilang. Mayat dari TKP itu sudah dibersihkan, tanpa label catatan, tanpa pakaian yang menjadi barang bukti. Pintar atau ceroboh seharusnya pada mayat tercantum label sesuai KUHP 133 ayat C. Apalagi rambut kepala korban sudah digundul licin dan luka sudah dijahit. Seperti baru saja dikirimi sebuah paket parsel. Ia tidak dapat memeriksa jejak tembakan di rambut korban. Ketika ia menanyakan pakaian korban, perawat di UGD mengatakan bahwa pakaiannya sudah dibuang. Ia tersenyum geli seraya geleng-geleng kepala. Kesal.
    Apalagi setelah mengetahui bahwa mayat itu datang dari rumah sakit lain. Intuisinya berbisik bahwa ia tengah menghadapi kasus yang tidak biasa.
    Memang bukan kasus biasa.
    Ahli forensik kawakan itu berusaha menemukan petunjuk. Bahkan dari mayat sekalipun masih dapat berbicara padanya. Dari wajahnya tersirat kebingungan. Selain karena minimnya barang bukti juga karena barang bukti telah diacak-acak. Jika diteruskan memeriksa maka ia mengikuti jejak yang salah.
    Dokter Watsen belum menyentuh mayat itu. Ia hanya memerhatikan. Ia memasang kacamata yang tergantung di lehernya lalu mengenakan sarung tangan karet. Sesekali ia masih menggelengkan kepala. Tidak ada catatan yang lengkap membuatnya kerepotan. "Sungguh tidak profesional," gumamnya.
    Lalu, untuk apa dirinya memeriksa lagi jika sudah diotopsi?
    Apakah dirinya hanya mengukuhkan apa yang telah direkayasa sebelumnya?
    Ia menyalakan rekaman ponselnya lalu mulai berbicara.

    “Korban berusia sekitar empat puluhan. Dari perkiraan rigor mortis tubuh bagian perut sampai kaki sudah kaku, jadi korban tewas sekitar 5 sampai 6 jam. Tidak ada pakaian korban jadi tidak dapat memeriksa residu mesiu. Rambut kepala sudah dicukur licin sehingga ia tidak dapat memeriksa bekas tembakan. Seharusnya hanya di sekitar luka rambut dicukur…

    Kemudian ia mulai membuka jahitan luka di pelipis kiri, tepat di sebelah alis. Ia menemukan proyektil di dalam kepala korban. Ia memeriksa proyektil di bawah suryakanta. Keadaan proyektil mulus tidak ada goresan. Seharusnya jika melewati media kaca akan tampak goresan. Apalagi mayat sudah dibersihkan, rambut sudah dicukur bersih. Ia tidak menemukan serbuk pecahan kaca, atau debu yang menempel. Di bawah kuku-kuku jari korban juga bersih.
    Ada dua luka tembakan di kepala korban. Ia yakin salah satu proyektil peluru telah menembus kepala korban. Anehnya ia menemukan proyektil peluru di sana. Dia luka tembak yang mengakibatkan Nazrudin Zulfikar, direktur PT. Putra Rajawali, tewas seketika. Bukan. Luka tembakan pertama tidak menyebabkan kematian, namun luka kedua yang mengakhiri nyawa korban.
    Luka tembakan kedua yang mengakibatkan korban tewas seketika.
    Bayangan kejadian penembakan tampak buram dalam kepalanya. Ia seolah berada di tempat kejadian. Ruang lab. forensik seperti berubah menjadi TKP. Dokter Watsen seolah berada di sana, mengawasi kejadian penembakan dalam gerak lambat.
    Peluru pertama berputar di udara lalu menembus pelipis kanan sampai tembus ke pelipis kiri persis di bawah telinga. Harusnya proyektil berada di luar. Peluru kedua menembus pelipis kiri kali ini peluru bersarang di dalam tengkorak.
    Dokter Watsen kembali membandingkan dengan foto mobil korban. Hanya ada satu foto penembakan yaitu di jendela mobil, sedangkan keadaan jok dan kabin tidak diambil fotonya.
    Ada dua lubang tembakan di jendela. Pecahannya mengarah ke dalam. Benar, ada dua tembakan dari luar. Ia sadar tidak mudah menembak sasaran yang berada di dalam mobil, apalagi dengan jendela tertutup dan terhalang kabin...
    Kali ini dahi dr. Watsen berkerut.
    Dari mana datangnya luka tembakan di bawah telinga kiri jika korban sedang duduk di jok? Tembakan itu pasti terhalang kabin. Jadi hanya satu peluru yang benar-benar mengenai korban. Jika korban benar-benar berada di sana. Ia mengambil poster anatomi di dinding lalu menandai. Benar ada perbedaan antara foto tembak di TKP dan luka di jasad korban. Jika korban duduk di jok belakang, seharusnya luka tembak pertama korban terletak di ubun-ubun bukan di pelipis atas alis. Apalagi menurut supir korban roboh ke kanan jok.
    Ia menyadari keganjilan, apalagi setelah memeriksa plastik barang bukti berisi dua butir proyektil peluru. Menurutnya kedua pecahan peluru 9 mm itu ditembakkan dari pistol yang sama, kaliber 38. Tapi, keduanya memiliki berat yang berbeda karena satu proyektil telah rusak, lainnya masih utuh.
    Dokter Watsen sampai pada kesimpulan berikut:
    Peluru pertama ditembakkan dari jarak jauh, tepat dari arah depan korban, persis di pelipis kanan atas, luka berbentuk corong ke dalam hingga menembus kepala korban sampai ke bawah telinga. Mungkin ditembak ketika korban berada di dalam mobil atau di lapangan golf. Peluru yang bersarang di tengkorak sudah tidak utuh lagi.
    Jika ditembak dari arah dekat, pasti jejak mesiu melekat di pakaian korban. Anehnya, pakaian yang melekat di tubuh korban sudah raib. Bukti yang sangat penting, entah kenapa, bisa raib begitu mudah. Petugas di kepolisian dan rumah sakit tidak ceroboh, mereka tidak akan menghilangkan barang bukti. Kecuali disengaja.
    Peluru kedua dari jarak jauh, tepatnya di luar mobil. Peluru menembus kaca jendela hingga bentuknya tidak utuh lagi ketika menghantam kepala korban kemudian bersarang di pelipis kiri.
    Jadi, dari mana datangnya lubang kedua di jendela korban?
    Apakah ada peluru ketiga? Lalu di mana proyektilnya?
    Di tempat yang berbeda, Inspektur Anton juga tengah bergelut dengan barang bukti yang ditemukan di TKP. Dari berbagai kasus yang ditanganinya, rekan-rekannya meminta untuk fokus kepada kasus penembakan di Moderland.
    Jika nyawa bisa melayang dan hilang, berbeda dengan jejak forensik. Bahkan hantu pun memiliki jejak. Tak ada yang dapat lolos dari penyelidikan, bahkan kebaikan dan kejahatan sampai atom terkecil pun akan dipertanggung jawabkan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience