Rate

FILE 46: Game On

Mystery & Detective Series 649

“Hah, penembakan yang meniru game online?” tanya Inspektur Anton. Apa benar penembakan itu terinspirasi game? Atau bisa jadùi sebuah petunjuk lain?

    PAGI itu kesibukan tak biasa nampak di depan laboratorium. Badai sudah berlalu dini hari tadi. Sekarang tinggal jejak kekacauan yang ditinggalkan. Beberapa pekerja nampak membersihkan ranting-ranting yang berserakan di pelataran instalasi. Teknisi juga membetulkan peralatan di beberapa titik yang terhantam angin.
    Karena kesibukan itu, ilmuwan piranti lunak, Arnes memilih untuk masuk lebih pagi untuk membantu memperbaiki peralatan yang rusak di beberapa titik di Pulau Badai. Rumahnya terletak di Perumahan Kristal yang serba modern di dekat pesisir pantai Pulau Badai yang eksotik. Awalnya ia hanya anak dari keluarga miskin yang mengalami titik balik ketika memenangkan kompetisi robotika di Amerika tahun silam yang diadakan setiap dua tahun. Ia menjadi kandidat yang terpilih dari beberapa provinsi dan lolos seleksi di Jakarta mewakili Indonesia dari Asia Tenggara. Dengan uang hadiah juara dua itu, Arnes memilih untuk mengembangkan eksperimen sendiri berbasis robotik untuk penderita tuna daksa. Ia mendapat Habibie Award dan direkrut untuk bergabung dalam tim ilmuwan di Pulau Badai. Dengan kerja kerasnya yang pantang menyerah, akhirnya ia menjadi ilmuwan muda berprestasi.
    Awalnya semua berjalan lancar tanpa kendala. Sampai suatu ketika ia tak sadar terlibat dalam proyek pulau buatan. Sebagai perancang sistem keamanan ia mengetahui segala seluk beluk dan peta rahasia pulau buatan itu.
    Termasuk tempat rahasia penyimpanan cadangan virus evatoxin yang masih ada di pulau rahasia itu.
    Arnes kembali teringat dengan telepon berisi peringatan kepadanya. Setidaknya ia harus lebih waspada. Apalagi kabarnya seorang inspektur polisi tengah berada di Pulau Badai. Walau dengan alasan piknik bersama tunangannya, ia yakin inspektur itu memiliki tujuan lain.
    Apa tujuan sebenarnya inspektur itu datang ke pulau ini? Arnes membatin.
***
    Inspektur Anton berusaha menahan kantuk. Ia baru dapat terlelap dini hari tadi. Rasa letih yang menggelayut masih membuatnya tak tenang. Sesekali ia masih dapat mendengar suara-suara dari frekuensi radio.
    Gelombang radio Aurora FM masih dapat ditangkap di frekuensi yang sama dengan modulasi gelombang medium, walau terganggu distorsi akibat sisa awan badai yang masih menggelayut di langit. Medan elektromagnetik yang terjadi di dalam awan sedikit mengganggu komunikasi. Begitu pula jaringan nirkabel dan koneksi internet.
    Tempat game online Nebula satu-satunya di Pulau Badai yang memiliki fasilitas mutakhir nampak belum buka. Letaknya berada di tengah-tengah kawasan perumahan modern itu. Di sana nampak seorang remaja yang berjalan malas menyusuri pelataran yang dipenuhi sampah dan ranting pohon akibat badai semalam. Faril, penjaga tempat game online itu masih berstatus mahasiswa berusia dua puluh tahun dari fakultas psikologi semester akhir. Kawasan pendidikan dengan berbagai jenjang yang ada di Pulau Badai menyediakan fasilitas terbaik berskala internasional. Anak-anak dari keluarga ilmuwan bersekolah di kawasan itu.
    Faril harus bersabar karena akibat badai semalam ia harus membersihkan teras yang dipenuhi sampah. Seluruh pengorbanan itu demi membantu mencukupi biaya kuliahnya. Ia membetulkan letak earset yang menyumpal telinganya. Rambutnya yang lurus menutupi telinganya. Kulitnya nampak pucat karena jarang berada di luar ruangan.
    Ia mengambil kain lap dan membersihkan kaca depan tempat itu. Poster-poster game online yang dipasang di sana nampak penuh warna. Apalagi poster game yang lagi digandrungi Blizzard nampak berpendar terkena cahaya matahari pagi. Lambang petir dan tengkorak menjadi ikon yang menjadi ciri khas game itu. Sebuah tanda kemenangan atau … sebuah kematian bagi yang kalah.
    Tidak ada yang menduga, tanda itu menginspirasi seseorang untuk melakukan sebuah aksi tingkat tinggi.
***
    Ella Yunita, atau biasa di panggil Ela, gadis yang tengah piket jaga di ruang laboratorium masih merasa cemas padahal ia berjaga bersama Arnes. Tidak seperti Arnes yang bekerja lebih lama di laboratorium itu. Ia berharap jadwalnya di hari itu segera selesai. Ela baru tiga bulan bertugas sebagai teknisi, kadang juga mengisi sebagai operator panel sistem. Paras wajahnya sudah menampakkan kecerdasannya. Garis wajahnya yang lebih lembut menggambarkan tipikal gadis yang penyabar. Tidak banyak sapuan make up di wajahnya yang segar. Terlalu banyak memakai kosmetik malah akan memudarkan kecantikan alaminya.
    Butir-butir air hujan mulai berjatuhan dari atas langit. Membentuk tirai hujan yang nampak melalui jendela kaca tinggi di ruang laboratorium itu. Bunyi gemuruh mulai terdengar.
    Kendaraan yang berlalu lalang mulai berkurang. Namun, sebuah mobil sedan hitam berhenti cukup lama di belakang gedung laboratorium itu. Seluruh penumpang di dalam mobil memakai pakaian khusus sehingga dapat menerobos tirai hujan tanpa kebasahan.
    “Kamu berjaga di dalam mobil. Beri tanda dengan klakson.”
    Suara itu tenggelam dalam deras hujan. Tak jelas apakah suara wanita atau pria.
    “Oke waspada sekuritinya bukan manusia tapi mesin sistem keamanan. Dan kalian sudah dilatih untuk melumpuhkannya.”
    Menyusul suara dengusan yang terdengar.
    Bayangan itu berkelebat keluar dari dalam mobil. Mereka masuk melalui pagar besi di halaman belakang gedung laboratorium. Mereka memotong pagar besi dengan las. Bunyi pagar besi yang berderak patah terdengar. Pasukan itu menerobos kegelapan di halaman belakang gedung.
    Seseorang yang berada di belakang kemudi menunggu dengan cemas. Hampir setengah jam kemudian, sosok itu kembali masuk ke dalam mobil. Ia berkata dengan suara penuh penekanan pada seseorang di belakang kemudi.
    “Udah beres. Cabut!” seru seorang pasukan khusus.
    Mobil menderum, bergerak perlahan dan mulai menghilang kembali dalam badai.
    Gumpalan awan lain yang bermuatan tinggi dari arah berbeda menutup langit sebelah barat. Angin membawanya berlari lebih cepat dari awan lain karena ketinggiannya jauh lebih rendah di atas bumi. Awan berkecepatan lima puluh kilometer itu berjarak cukup dekat dengan gedung-gedung di sekitar laboratorium itu. Ujung-ujung listrik statis berwarna biru terang terlihat samar ketika turun ke permukaan tanah. Membuka jalan bagi ledakan listrik utama yang tampak berwarna biru terang. Dengan kecepatan seperatusan detik menyambar apa saja di permukaan bumi yang memiliki muatan berlawanan dengannya. Bumi membalas menghantarkan listrik ke atas langit. Perang menggunakan senjata utama listrik statik tegangan tinggi antara langit dan bumi menambah riuh redam badai di malam itu.
    Setelah terdengar nada panggilan di ponsel milik Ela, ia menyadari dirinya seorang diri di ruang operator laboratorium. Sebuah panggilan datang dari Arnes, namun anehnya tak terdengar suara apapun di sana.
    Ela mengerutkan dahi. Kenapa Arnes memanggilnya melalui ponsel? Padahal ia tengah berada di dapur menyiapkan kopi tidak jauh dari ruang operator.
    “Halooo Ar … ada apa?”
    Namun, tak terdengar suara balasan. Anehnya Arnes masih tak mematikan sambungan ponselnya.
    “Jangan bercanda ah, gak lucu!”
    Kemudian perhatian Ela teralihkan ketika sayup-sayup mendengar bunyi alarm. Bunyi deras hujan menutupi bunyi alarm itu. Apa yang telah terjadi?
    Wajah Ela terlihat makin pucat pasi, namun ia berusaha menenangkan diri. Ia mulai beranjak dari tempatnya demi memeriksa bunyi alarm itu.
    Sebulan yang lalu petir menyambar tower laboratorium. Menyebabkan sistem keamanan harus diperbaiki. Alarm berbunyi semalaman karena terjadi arus pendek.
    Bunyi guruh yang terdengar dari kejauhan mulai perlahan mendekat. Disusul ledalan petir yang membuat gendang telinga hendak pecah. Ledakan-ledakan petir semakin mendekat seakan berada tepat di atas kepala.
    Ela mengurungkan memeriksa alarm yang berada agak jauh dari ruang operator. Entah kenapa tiba-tiba wajah Arnes terbayang di benaknya.
    Ia memutar haluan demi menuju ke ruang dapur. Sebelum sampai ke ruang dapur, ia melihat kejadian mengerikan di koridor. Tubuh Arnes yang bersimbah darah terkapar di lantai. Dahinya terkena tembakan dengan telak. Bekas lubang peluru di kepalanya mengalirkan darah segar.
    Seketika itu juga Ela menjerit dan pandangannya mulai buram. Tubuhnya yang terasa ringan terjatuh berdebam membentur lantai.
***
    “Pagi tadi ada kabar duka dari laboratorium … seorang ilmuwan bernama Arnes ditemukan terkapar bersimbah darah….”
    Suara frekuensi radio itu terdengar sayup-sayup dalam kepala Inspektur Anton. Pagi itu ia sudah berada di ruang koridor dalam laboratorium.
    Berita mengenai penembakan itu diterimanya pagi itu dari rekan korban.
    Korban terkapar di koridor dengan luka tembakan tepat di dahi. Bekas lubang peluru mengeluarkan darah yang telah mengering. Dari rigor mortis ditemukan bahwa korban sudah meninggal tengah malam kemarin. Dari jejak-jejak yang ditemukan terjadi pembobolan sistem keamanan di laboratorium itu.
    “Pelakunya memiliki pengetahuan untuk melumpuhkan sistem keamanan canggih di laboratorium ini,” ujar Inspektur Anton. “Ada keterlibatan orang dalam.”
    “Saya pikir juga begitu. Jika sistem keamanan diterobos secara paksa maka akan terkunci rapat dengan sendirinya. Ada pintu kedua yang membuat laboratorium terkunci otomatis dari dalam.” Seorang polisi wilayah itu juga berpikiran yang sama.
    “Apa ada petunjuk dari kamera CCTV?”
    “Ketika korban ditembak keadaan koridor gelap. Lampu di koridor dipadamkan oleh pelaku. Sekitar setengah jam kemudian menyala.”
    “Pelakunya dilengkapi dengan alat night vision. Dan tidak seorang diri.”
    “Ya, mereka tak seorang diri, berkelompok dalam tim yang sudah terlatih.”
    “Kapan tim Labfor dari pusat akan datang?”
    “Mungkin tiga jam lagi … mengingat angin kencang di laut utara. Ombak naik. Penerbangan juga berbahaya. Ya, bisa jadi mereka menunda keberangkatan.”
    Untuk beberapa menit tak ada berbicara. Inspektur Anton melihat jejak-jejak darah dan ponsel korban yang masih belum disentuh siapapun. Ia tak mau merusak TKP sebelum petugas Labfor datang. Tapi, setidaknya ia bisa mengumpulkan data-data.
    Tiba-tiba dengungan lebah terdengar kembali di telinga Inspektur Anton. Ia mendengar suara napas memburu lalu kemudian tercekat … kemudian bunyi desing peluru yang keluar dari peredam. Beberapa saat kemudian ia mendengar bunyi seperti tombol ponsel yang ditekan … ada suara-suara seperti perempuan yang menjerit panik.
    “Apakah ada saksi di sekitar TKP?” tanya Inspektur Anton.
    “Ya, seorang ilmuwan bernama Ela, dia bersama korban ketika mendapat giliran piket jaga di ruang operator. Mengawasi tingkat tegangan listrik yang terjadi agar tak kelebihan muatan di pembangkit listrik.”
    “Apa yang terjadi kepadanya?”
    “Dia pingsan. Ketika kami mengecek ke rumahnya kondisinya masih syok dan tak dapat berkata apapun. Sesekali menangis.”
    Inspektur Anton nampak prihatin. Kemudian sudut matanya melihat bagian potongan gambar yang tertutup genangan darah. Ia bergegas mengambil kartu nama dari dompetnya dan menyingkirkan genangan darah yang menutupi gambar itu.
    “Hei, pelaku penembakan itu rupanya meninggalkan tandanya,” ujar Inspektur Anton. Ia mengamati sebuah gambar stempel berbentuk tengkorak yang diapit dua petir tercetak di lantai itu.
    “Anda pernah melihat simbol ini?” tanya Inspektur Anton.
    Polisi itu mendekat demi melihat cap stempel di lantai. Kemudian ia mengangguk. “Oh, itu dari permainan game online … Blizzard sekarang ngetrend di sini.”
    “Game online?”
    “Ya, game perang-perangan begitu. Anak saya juga kecanduan. Biasanya kalau menembak tepat di kepala mendapat poin lebih. Setelah berhasil mengalahkan tim lain, maka akan meninggalkan jejak simbol itu.”
    “Hah, penembakan yang meniru game online?” tanya Inspektur Anton.
    Polisi itu hanya mengangkat bahu.
    Apa benar penembakan itu terinspirasi game? Atau bisa jadi sebuah petunjuk lain?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience