Rate

FILE 32: Jejak Hemoglobin

Mystery & Detective Series 649

  DUGAAN Inspektur Anton benar. Senjata api jenis FN itu masih tersimpan di sana, di dalam laci dasbor, lengkap dengan peredam. Lalu kenapa sopir itu tidak membuang pistol itu? Atau merasa tenang bahwa mobil itu sudah tidak bertuan?
    Namun, Inspektur Anton menemukan kejutan lain. Setelah mencocokkan data sidik jari dan uji balistik gotri di sandaran kursi dengan ulir FN, cocok.
    “Kita beruntung menemukan sidik jari utuh. Namun, sidik jari ini….”
    “Milik korban Nazrudin?” potong dr. Watsen.
    “Entah dengan alasan apa korban menembak dari kursi sopir ke sandaran jok sendiri. Anehnya peluru ini mendekati utuh, itu berarti hanya menembak angin. Dan itu dilakukan sebelum hari penembakan dirinya.”
    “Atau model? Patung dari gabus atau semacamnya.” usul dr. Watsen.
    “Mungkin lebih tepatnya uji sasaran tembak. Nazrudin tidak menyangka gotri menembus sasaran tembak dan masuk ke sandaran kursi.”
    “Lalu, siapa yang menjadi sasaran tembaknya?”
    “Bisa saja teman yang berubah menjadi lawan. Mungkin teman politik, bisnis atau kencan.” Inspektur Anton mengingat-ingat. “Kalau dihubungkan dengan kasus korupsi di Depkes mungkin lebih masuk akal. Nazrudin melaporkan perusahaan lain atas kasus korupsi ke KPKN, jelas perusahaan saingan bisnis. Kebetulan Ananta sedang gencar-gencarnya membongkar kasus korupsi di Depkes waktu itu. Depkes juga ikut dalam pengembangan laboratorium yang akhirnya melahirkan evatoxin. Karena itu perusahaan Nazrudin juga tidak luput dari pemeriksaan KPKN.”
    “Jadi seharusnya yang terbunuh Ananta?” tanya dr. Watsen.
    “Tapi terlalu berisiko.”
    “Atau nara sumbernya? Orang yang menjadi mata-mata di perusahaannya? Bisa teman dekat … atau kekasihnya,” duga dr. Watsen lagi.
    “Reni Juliana? Saksi kunci kedua itu pun lenyap.”
    “Mungkin itu juga sebabnya, TKP hanya berjarak dua ratus meter dari rumah sakit. Para pelaku memilih posisi itu karena bisa segera membawa korban ke rumah sakit.”
    “Maksud Anda, pihak rumah sakit juga merekayasa kasus ini?”
    “Jelas, karena rambut kepala korban dicukur sampai licin, pakaian hilang dan tubuh korban sudah bersih mengilat. Kecuali di dalam rongga hidung dan telinga saya
masih menemukan butiran pasir kuarsa. Tentu memakai mikroskop.”
    “Kata perawat korban masih sekarat ketika tiba di UGD. Katanya meninggal dalam perawatan.”
    “Salah. Kekakuan mayat sudah mencapai perut ke kaki, itu berarti sudah sekitar enam jam korban meninggal. Jadi korban sudah tewas di TKP. Sebelum masuk ke UGD.”
    Kemudian kedua pria itu terdiam.
    Mereka seperti masuk ke dalam kasus kriminal seperti yang ada di film-film. Namun, kali ini yang mereka hadapi nyata.
***
    Beberapa hari sebelum penembakan

    “Kau suka James Bond?” tanya Nazrudin.
    “Kok bisa tau, Pap?” Rani Juliana menggeliat di sampingnya.
    “Saya kan James Bond, bisa tau apa saja.”
    “Huh, bisa aja Papa ini. Kalau gitu aku siapa?”
    “Cewek Bond, dong,” Reni menarik dasi Nazrudin.
    Obrolan hangat itu terganggu dengan bunyi dering ponsel. Nazrudin beranjak dari sofa lalu mengangkat sambungan itu.
    “Siapa, Pap? Cewek Bond lain ya?” Reni tampak kesal karena cumbuannya diinterupsi.
    “Bukan cewek lain ... nih kalo gak percaya.” Nazrudin menggunakan speaker agar Reni percaya bahwa ia sedang berbicara dengan pria. Suara dari ponsel terdengar keras di ruang kamar hotel itu. Suara seorang pria yang sarat ancaman:
    “Bapak harus paham, jika masalah korupsi ini sampai bocor ke KPKN, maka Bapak akan kami bunuh! Siapa yang akan melindungi?!”
    Sambungan ponsel itu kemudian mati. Lalu datang SMS dengan nada yang sama. Untuk beberapa lama tidak ada yang bersuara.
    “Siapa itu, Pap?” Reni beranjak dari ranjangnya. Ia mendekati Nazrudin yang mematung di tempatnya. Wajahnya tampak syok mendengar ancaman itu.
    Nazrudin hanya mendesah.
    “Lapor polisi aja, Pap.”
    “Mungkin harus lapor ke komisi III DPR.”
    “Masalahnya apa?”
    “Sa—saya belum siap mati.” Suara Nazrudin bergetar.
    Butir air mata jatuh di pipi Reni. Ia nampak baru sadar seberapa besar masalah itu. Bukan hanya telepon ancaman dari orang iseng. Ia merasa benar-benar akan ada pembunuhan. Setidaknya tidak lama lagi. Ia mengetahui sesuatu.
    Hari itu mereka keluar dari hotel dengan wajah murung, tidak seperti biasanya. Resepsionis mengira terjadi pertengkaran tapi ia tidak ingin ikut campur. Mereka naik taksi dan berpisah di tempat berbeda.
    Sesampai di rumah, Nazrudin tidak bercerita apapun kepada keluarganya. Ia tidak bisa tidur. Kemudian tengah malam, Nazrudin membuka brangkasnya kemudian mengeluarkan pistol berperedam.
    Berbeda dengan Reni. Ia bercerita kepada orang tuanya. Kadang perempuan tidak bisa menyimpan rahasia di hatinya. Kadang memang ada rahasia lain yang masih tersimpan rapi.

***

    Ghost mencuci butiran pasir kuarsa ke dalam gelas lalu mengambil airnya. Lalu mencampurnya dengan reagen atau pereaksi kimia berbahan hidrogen peroksida dan fenolftalein. Air dari butiran pasir berubah warna menjadi merah muda gelap. Hemoglobin yang mengandung oksigen bereaksi dengan reagen menghasilkan warna.
    Noda di butiran pasir itu memang dari darah. Apakah darah Nazrudin?
    Jika korban Nazrudin dihabisi di ceruk pasir itu pasti tidak mudah menyeret mayatnya masuk ke dalam mobil. Apakah dibawa menggunakan golf cart atau mobil BMW itu sudah berada di sana?
    Untuk memastikan Ghost harus kembali memeriksa mobil BMW itu. Namun, tidak mudah karena BMW itu masih berada di garasi kepolisian. Penyamaran sebagai wartawan Metro juga tidak bisa diulang dua kali. Ia harus bertemu dengan seorang polisi yang bersih sebelum oknum aparat lain menangkapnya. Memang tidak mudah bertemu perawan di sarang penyamun.

***

    Sejak pertemuan pertama kali itu, Inspektur Anton dan dr. Watsen Munim sering membuat perjanjian untuk bertemu. Pada pertemuan berikutnya dr. Watsen berkunjung ke kantor Inspektur Anton. Kali ini dr. Watsen hendak memeriksa sendiri mobil korban yang berada di garasi. Terutama posisi korban di jok belakang dan bekas peluru yang ada di jok dan jendela. Jejak luminol, GSR, dan laser di lubang tembakan menceritakan kisahnya.
    “Jika peluru itu masuk melalui bingkai belakang jendela, posisi korban yang telah tewas pasti merunduk. Karena itu darah menetes ke bawah jok.” Inspektur Anton menjelaskan sambil menunjuk seakan korban masih berada di sana.
    “Berarti sopir itu mengetahuinya?”
    “Ya, pasti, tapi sopir itu menghilang entah ke mana.”
    “Anda tidak ikut memeriksa sopir itu?”
    “Sudah ada petugas lain.”
    Dokter Watsen terdiam menyadari apa yang terjadi kepada rekan-rekan Inspektur Anton. Kemudian ia kembali fokus kepada barang bukti. Hanya melihat di dalam foto tidak sejelas melihat langsung di depan barang bukti. Sudah lama ia menyadari dua bekas lubang peluru di jendela berbeda.
    “Kedua lubang peluru ini ukurannya berbeda. Menurutmu gimana?”
    Inspektur Anton mengikuti telunjuk dr. Watsen ke arah dua lubang peluru itu. Ia memerhatikan bekas tembakan di kaca.
    “Peluru pertama ditembak dari jarak sangat dekat. Bahkan mungkin ujung laras revolver menempel di kaca. Mungkin karena pelaku kesulitan melihat dari luar karena kaca mobil memantulkan cahaya. Peluru kedua ditembak dari posisi agak jauh. Anehnya, jika pelaku sudah mempelajari kebiasaan korban, termasuk berhenti di dekat polisi tidur, kenapa mereka tidak
menyadari bahwa kaca mobil sulit dilihat dari luar?”
    “Mungkin sebelumnya korban naik mobil yang berbeda,” duga dr. Watsen. “Pelaku mengawasi mobil yang berbeda sebelum hari penembakan itu.”
    Untuk sekejap Inspektur Anton terdiam. “Anda mungkin benar. Ya, sebelumnya Nazrudin pergi ke lapangan golf memakai mobil lain. Dan kaca mobil itu bisa dilihat dari luar. Karena itu pelaku mengetahui kebiasaan korban yang duduk di jok belakang sebelah kiri. Atau … ada orang dalam yang mengetahui kebiasaan duduk korban, termasuk kebencian korban ketika mobilnya melintas di atas polisi tidur.”
    “Orang yang mengetahuinya sering duduk bersama korban di dalam mobil. Saya heran kenapa Nazrudin tidak mengganti kacanya dengan anti peluru. Apalagi dengan kasus sensitif yang tengah ditanganinya.”
    “Saksi sangat mungkin menjadi tersangka. Seperti sopir itu dan … kekasihnya yang bernama Reni Juliana. Katanya mereka sering berangkat dengan mobil pribadi ke lapangan golf atau hotel.”
    Kedua pria itu tengah berpikir keras ketika seorang petugas datang. Petugas itu memakai kacamata hitam dan topi polisinya masih dipakai ke dalam garasi.
    “Ada orang yang mau bertemu Inspektur Anton,” ujar petugas itu.
    “Siapa?”
    “Namanya Fadil wartawan Metropolis.”
    Sontak Inspektur Anton tersentak. “Di mana sekarang?”
    “Ia hanya meninggalkan pesan dan segera pergi.” Petugas itu menyerahkan kertas yang di dalamnya ada tulisan yang diketik komputer.

    Saya memiliki informasi penting mengenai kasus yang Anda selidiki. Temui saya di trotoar TKP jalan Hartono Raya. Seorang diri.

    “Ada kemungkinan orang ini adalah pasukan khusus yang memiliki nama sandi Ghost,” ujar Inspektur Anton.
    “Ghost? Hantu? Siapa itu?” tanya dr. Watsen mengerutkan kening.
    “Ghost, sniper yang berada di TKP, Anda dr. Watsen yang memeriksa mayat itu, dan saya yang memeriksa mobil ini. Kita bisa memecahkan misteri penembakan ini. Setidaknya beruntung kita bertiga bisa bertemu..”
    “Kita bertiga? Ya, baguslah. Tapi, kalau boleh saya tinggal di sini saja. Masih hendak memeriksa mobil.”
    “Ya, silakan babe.” Inspektur Anton bergegas meninggalkan garasi. Ia hendak menuju ke TKP di jalan Raya Hartono seperti isi dalam surat itu.
    Namun, dalam perjalanan Selfi meneleponnya. Ia tau Selfi terpaksa melakukannya karena dirinya lupa membalas pesan teks. Ia memang tak mengindahkan panggilan ponsel dari tunangannya. Ia tak mungkin mengatakan kepada Selfi tentang pertemuan beresiko itu dengan pria yang diduga sebagai Ghost. Karena itu kadang berbohong merupakan jalan terbaik untuk melindungi seseorang yang disayanginya.
    “Ya … haloo.” Inspektur Anton menerima sambungan ponsel itu.
    “Aku tau kamu sibuk … tapi gak kayak gini juga kan ya inspektur? Pesan gak dibales, ponsel gak diangkat.” Nada suara Selfi nampak penuh tekanan emosi.
    “Iya … maaf … maaf … Aku lagi….”
    Selfi memotong. “Setidaknya balas dong pesannya… walau satu kata saja? Jadi aku gak cemas mikirinnya…”
    “Iya, say … yang berikutnya saya janji akan balas … walau hanya satu kata okey?”
    “…ya aku juga minta maaf kalau ganggu … aku gak berniat mendikte atau posesif....”
    “Ya, wajarlah itu … maaf aku berusaha fokus ke kasus kali ini agar bisa cepat selesai. Dan kita bisa segera melangsungkan pernikahan.”
    “Kamu di mana sekarang?”
    “Lagi di luar menanyakan para saksi … kamu di mana?” Inspektur Anton tak mengatakan bahwa dirinya sedang menuju ke lapangan golf untuk bertemu informan yang ditengarai adalah pria bernama sandi: Ghost.
    “Aku udah pulang dari studio … mau istirahat … evatoxin bikin tubuhku lebih cepat lelah….”
    “Ya, istirahat yang cukup … jangan diforsir.”
    “Lah, kamu sendiri diforsir … inspektur?”
    Inspektur Anton tersenyum. “Doakan semoga lancar ya … aku janji pulang lebih cepat.”
    “Ya, kudoain agar lancar … pulang telat juga gak masalah kok.”
    Setelah mengucap salam, sambungan ponsel itu berakhir.
    Sekarang inspektur polisi itu berusaha fokus pada kasus yang tengah dihadapinya, walau wajah tunangannya masih saja berkelebat dalam benaknya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience