Rate

FILE 20: Alter Ego

Mystery & Detective Series 649

DI dalam mobil milik Denara, Selfi tengah melakukan pengintaian terhadap orang yang diduga menjadi dalang dibalik penculikan Maria. Lelaki yang lamarannya pernah ditolak oleh Maria. Ia memutuskan untuk menyamar sebagai Agatha demi berjaga-jaga jika bertemu inspektur polisi itu lagi. Denara akan kewalahan jika polisi kembali menegur seorang krunya. Dalam hatinya yang terdalam ia tak ingin membuat Inspektur Anton mencemaskannya.
    Agatha sudah lama tidak menyetir mobil. Selama ini ia lebih suka mengendarai sepeda motor. Selain lebih mudah masuk ke pelosok juga cukup mampu menghindari macet. Denara berbaik hati meminjamkan mobilnya. Produsernya itu sekarang tengah sibuk mempersiapkan acara lain setelah acara Fakta dan Kriminal mendapat banyak kendala dan investigasinya berjalan lambat.
    Tidak mudah membuntuti sedan di depannya. Sedan milik Tomi Grandin, anggota DPR yang merupakan putra seorang dewan partai, melaju dengan kecepatan tinggi. Tomi suka mengebut ketika mengendarai mobil. Ia lolos dari tuntutan tabrakan yang mengkibatkan kematian karena ugal-ugalan di jalan. Keluarga dari pemilik partai itu dapat mudah menyuap hakim dan polisi hingga dapat bebas di pengadilan. Walau wajahnya bersih, tampan dan jauh dari tampang kriminal, Tomi Grandin berkubang di kehidupan malam yang kelam dan suram di tengah-tengah dinasti keluarganya yang berada di gemilang. Bumi mamang terus berputar, apa yang berada di puncak tidak akan selamanya gemilang, pasti akan mengalami keruntuhan. Termasuk keturunan para pembesar yang terbuai oleh gemerlap dunia semu dan kemewahan.
    Agatha sering tertinggal di belakang sedan Tomi yang melaju kencang. Walau beberapa kali nyaris kehilangan jejak, ia harus menjaga jarak agar Tomi tidak menyadari dirinya telah dibuntuti.
    Namun, bukan hanya Agatha yang tengah membuntuti Tomi. Dari sisi jalan yang berbeda Inspektur Anton tengah berada di atas sepeda motornya. Ia tengah berada dalam penyamaran. Inspektur Anton mengenakan topi, kacamata, jaket dan membawa ransel seperti potongan mahasiswa. Ia dalam penyamaran.
    Bahkan Agatha sendiri belum menyadarinya.
    Kedua orang itu tidak menyadari bahwa mereka tengah sama-sama membuntuti sedan yang sama. Tomi yang menyetel musik keras-keras di dalam mobilnya juga tidak menyadari dirinya tengah dibuntuti dua orang. Satunya polisi dan seorang lagi jurnalis. Mereka sama-sama keras kepala.
    Jalanan yang merayap tidak memberi peluang bagi Tomi untuk lolos. Kedua pengintainya dapat leluasa mengikutinya tanpa kehilangan jejak.
    Setengah jam berputar-putar di kawasan Ancol, akhirnya tujuan Tomi diketahui. Ia berhenti di depan kafe demi menjemput seseorang. Dua orang wanita berambut panjang masuk bersamaan ke dalam mobilnya. Selanjutnya tujuan mereka selanjutnya adalah gedung hotel. Seakan tidak pernah jera dan menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin nasib telah digariskan padanya.
    Agatha memarkir mobilnya tidak jauh di depan mobil Tomi. Kesempatan yang langka itu tidak disia-siakannya. Ia segera meraih kameranya. Dari balik kaca jendela mobil, ia siap membidik Tomi dan kedua wanita kencannya. Menunggu mereka keluar dari dalam mobil.
    Dua menit berlalu. Pintu belakang mobil terbuka. Kedua wanita keluar bergantian dari dalam mobil. Rana kamera dengan cepat menangkap momen itu. Agatha membidik berkali-kali kedua wanita itu. Rambut mereka panjang dengan pakaian yang nyaris seragam, gaun pesta backless warna putih mengilap. Warna kulit mereka mirip, pucat, seperti saudara kembar. Untuk beberapa saat wajah kedua wanita itu tak nampak karena membelakangi kamera.
    Kemudian seorang dari mereka menoleh dan tertangkap kamera. Walau terdistorsi karena suasana di tempat parkir agak gelap.
    Kedua wanita itu segera masuk ke mobil lain yang terparkir tidak jauh dari mobil Tomi. Mobil kedua wanita itu keluar dari areal parkir.
    Lima belas menit menunggu. Agatha tidak melihat pergerakan di mobil Tomi. Perasaanya mulai tak nyaman. Ia mulai merasakan keganjilan. Buru-buru Agatha meraih ponsel di atas dasbor. Ia menelepon petugas hotel. Nomor telepon mereka tertera di papan reklame di depan hotel. “Tolong, periksa sedan warna merah di lapangan parkir utara. Hati-hati terkena racun mematikan,” ujar Agatha dengan logat asing. Ia tidak menunggu waktu lama karena, seorang petugas hotel segera datang ke lokasi. Ia tidak menyangka jeritan laki-laki lebih mengerikan.
    Di dalam mobil itu, Tomi telah ditemukan mengering bersimbah darah hitam. Nyawa telah meninggalkan tubuhnya yang terperangkap di dalam mobil mewah.
    Agatha terpaksa keluar dari mobil ketika melihat kerumunan warga yang datang hendak memeriksa mayat itu.
    “Hei, bahaya! Jangan mendekat!” seru Agatha.
    Warga masih belum mengerti tak mengindahkan peringatan Agatha.
    “Mayat itu terkena kutukan Ancol!” imbuh Agatha lagi. Kali ini peringatannya diindahkan. Ia kembali masuk ke dalam mobil dan mengawasi kerumunan warga yang menjaga jarak dengan mobil korban.
    Beberapa menit kemudian bunyi sirine mulai terdengar dari kejauhan.
    Polisi yang mulai berdatangan memasang garis polisi dengan menjaga jarak dari TKP agar tak terkena racun.
***
    “Agatha? Ngapain di sini?!” Suara yang familiar itu mengejutkan Agatha. Ia masih belum sadar ketika Inspektur Anton menyapanya.
    “Hah?!!” Agatha mengerutkan kening.
    Inspektur Anton melepas topinya. Ia tengah berada di dekat garis polisi. Ketika sadar bahwa Agatha berada di antara kerumunan orang di seberang garis polisi. Inspektur polisi itu merunduk keluar melewati garis polisi.
    “Anda? Sejak kapan...?” Agatha tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Di sisi lain ia dapat bernapas lega karena masih dalam penyamarannya. Ia tak menyadari sosok yang berpotongan seperti mahasiswa itu adalah Inspektur Anton. Apalagi kacamata dan topi itu membuat inspektur polisi itu nampak jauh berbeda.
    “Apa yang kau dapat?” Inspektur Anton melirik kamera yang berada di tangan Agatha. “Kau juga membuntuti orang ini?”
    “Sebaiknya kita bicara di tempat lain, nggak di sini,” ujar Agatha.
    “Oke, simpan fotonya sebelum aku melihatnya.”
    “Boleh kita bertemu di kantor?”
    “Ya, silakan. Foto itu harap disimpan dulu, jika polisi lain tau akan disita.” Inspektur Anton memperingatkan. Ia kembali ke TKP bergabung dengan tim Labfor yang berpakaian khusus. Kemudian, dari tempatnya sekarang ia menoleh mencari sosok Agatha di antara kerumunan, namun reporter itu telah menghilang di antara keramaian.
***
    “Kita tukar-menukar informasi. Cukup adil, bukan?” tanya Agatha. Ia berada di kantor inspektur polisi setelah mendapat panggilan dari Inspektur Anton. Dua jam setelah proses mengolah TKP selesai. Waktu itu Agatha tengah memproses foto digital yang didapatnya di dalam mobil. Foto resolusi tinggi itu harus diedit dan ditingkatkan cahayanya untuk memperjelas sosok yang terekam di sana. Di tempat parkir suasana agak gelap. Karena laptopnya tertempel stiker logo stasiun Metropolis TV, ia harus mengirim foto itu dengan jaringan nirkabel ke tabletnya.
    “Ya, silakan asalkan sepadan,” timpal Inspektur Anton. Bersiap mendengar informasi dari Agatha.
    “Apa yang Anda dapat di TKP?” tanya Agatha.
    “Aku duluan?” Inspektur Anton mengerutkan kening. “Oke, sama seperti kasus sebelumnya. Korban tewas akibat evatoxin. Racun yang menyebabkan penyakit infeksi menular. Dan Anda seharusnya sudah tahu siapa korban. Tomi Grandin, anggota DPR yang suka begadang di diskotek itu akhirnya tewas mengenaskan. Untung Maria tidak menerima lamaran anak orang kaya itu atau ia akan menjadi janda.”
    “Eva … toxin? Anda baru mengetahui atau baru mengatakannya?” tanya Agatha, berpura-pura baru mendengar tentang virus itu. "Jika ini berhubungan dengan ilmuwan Indonesia di laboratorium antar negara, maka media asing patut mengetahuinya."
    “Saya berubah pikiran untuk tidak mengatakannya. Entah salah atau nggak, sebenarnya hanya pihak berwenang yang boleh mengetahuinya. Namun, saya masih merahasiakannya dari jurnalis lain. Tapi, data ini toh akhirnya akan disebarluaskan oleh narasumber lain demi mewaspadai virus mematikan itu.” Inspektur Anton nampak enggan bercerita tentang virus itu ke wartawan dari media asing.
    “Dari mana Anda mendapatkan informasinya?”
    “Infonya dari Evangela. Ya, saya memiliki datanya. Saya harap Anda nggak menulisnya di media asing sebelum penyidikan kami selesai.”
    “Jadi kutukan Ancol itu hanya isu belaka?”
    “Ya. Bisa jadi pelakunya turut menyebarkan isu itu. Ah, evatoxin adalah kutukan bagi manusia khususnya kaum Adam.” Inspektur Anton nampak mencelos. “Pria lebih beresiko. Jadi saya lebih punya resiko kematian jika terkena virus itu, ya, dibanding Anda.”
    “Lalu apa sudah ada penawarnya?” Agatha nampak cemas.
    “Antitoxin adamin … siap untuk diproduksi masal. Walau masih dalam tahap pengembangan.”
    “Apa ada bukti baru di TKP?”
    “Sama seperti kasus sebelumnya. Tubuh korban mengering dan mengeluarkan darah dari sembilan lubang. Pelakunya diduga kuat seorang wanita. Pertama, evatoxin hanya dapat membunuh kaum pria. Kedua, yang lebih penting, kami menemukan robekan pakaian yang dikenakan pelaku di genggaman korban. Jadi jelas ini bukan ulah hantu.” Inspektur Anton menyerahkan flashdisk miliknya. “Data yang kau perlukan ada di sana. Kau bawa informasi yang kubutuhkan, bukan? Nah, sekarang giliranmu.”
    Agatha mengeluarkan tablet dari tasnya. Ia meninggalkan
laptopnya di dalam mobil. Ia menyalakan lalu memasang kabel USB On The Go. Untuk beberapa saat ia menyalin arsip di dalam flashdisk milik inspektur itu. Kemudian ia menunjukkan foto digital yang diambilnya dari tempat kejadian. “Aku menduga pelakunya adalah Maria, adik Evangela.”
    Inspektur Anton mengamati foto seseorang yang keluar dari pintu mobil. Foto yang tertera di layar monitor tablet itu terlihat agak buram, namun sisi wajahnya mirip aktris Maria.
    “Di area parkir sedikit gelap. Saya sudah mengedit foto. Meningkatkan level kecerahan foto dan hasilnya, yah, cukup bagus meski menjadi buram.” Agatha menangkap perubahan air muka Inspektur Anton. “Itu benar-benar Maria. Ia mirip kakaknya, Evangela.”
    “Meski gak mungkin. Karena Maria sudah meninggal!” Inspektur Anton nampak tercenung. Kali ini ia berharap mendapat petunjuk dari dengungan lebah dan suara-suara yang tak terdengar itu.
***
    Inspektur Anton mondar-mandir di ruang kantornya. Lewat tengah malam itu ia masih berada di sana. Seorang diri. Bersama misteri tanpa ujung yang menghantuinya.
    Sementara itu Agatha sudah melaju di atas sepeda motornya. Pikirannya berkecamuk. Jika Maria telah meninggal, lalu siapa yang dilihatnya? Bukti menyebutkan bahwa ditemukan sobekan pakaian wanita di jok belakang mobil korban. Tidak mungkin hantu meninggalkan jejak!
    Inspektur Anton memandang dari jendela kantornya sembari berpikir. Saat itu Agatha sudah membuka penyamarannya saat berada di lift sepi dalam perjalanan ke kamar apartemen Denara. Ia hendak melaporkan temuannya.
    Tiba-tiba Inspektur Anton meraih ponsel di atas mejanya. Ia menelepon dr. Morga. Kilatan cahaya menerangi kegelapan dalam kepalanya. Ia seperti mendapat ilham.
    Misteri mulai menampakkan seringai tajam giginya yang berkilat. Menampakkan salah satu wajah yang selama ini dikenalnya.
    “Ya, haloo dokter Morga? Maaf, mengganggu Anda. Saya hanya ingin mengetahui nama petugas yang memeriksa DNA mayat Maria.”
    Satu jawaban dan penjelasan singkat. Tubuh Inspektur Anton membeku. Gagang telepon nyaris terlepas dari jemarinya.
    Ia merasa begitu bodoh sepanjang hidupnya. Kelemahan yang ada pada kaumnya sejak jaman purba; terkecoh oleh tipu daya seorang wanita.
***
    “Bagaimana, Fi?” tanya Denara sembari menyodorkan segelas coklat hangat kepada Selfi. Di luar jendela apartemen gerimis mulai turun.
    Butir-butir gerimis memburamkan kaca jendela apartemen Denara.
    Dini hari itu, langit mulai benderang. Malam merayap perlahan menuju pagi.
    “Terima kasih.” Selfi menyeruput coklat dan merasa semangatnya pulih.
    “Apa yang kau dapat?”
    “Entahlah.” Selfi hati-hati meletakkan gelasnya di meja dekat ranjang. “Semakin banyak yang kuketahui, semakin bingung jadinya. Mungkin juga
karena lelah.”
    “Kau melewatkan sesuatu. Atau tersesat oleh petunjuk yang salah.”
    “Ada kemiripan wajah pelaku dan Maria dan seorang lagi
yang mirip dengannya.” Selfi menunjukkan foto yang telah diperbesar tiga kali di layar tabletnya.
    “Lalu?” Denara ikut bingung.
    “Dan Maria sudah menjadi mayat. Mana mungkin ia melakukan pembunuhan.”
    “Bagaimana dengan kakaknya? Evangela mirip dengan Maria,” tanya Denara.
    “Ya, Evangela. Misteri lainnya, siapa wanita yang bersamanya?”
    “Si Manis Jembatan Ancol?” Denara tersenyum.
    “Hah?” Selfi melongo.
    “Hahaha, bercanda, Fi. Jangan terlalu serius.” Denara tertawa. Sejujurnya, perempuan itu tertawa karena tekanan depresi yang makin hari makin bertambah. Makin keras tawa seseorang, maka makin keras tingkat depresi yang berusaha ditekannya.
    “Aku harus menyelidiki kakak Maria, Evangela.”
    “Aku pikir juga begitu.” Denara menutup gorden jendela kamar apartemennya. “Hey, ini sudah pagi. Gak terasa ya. Oya, dari semalam kau belum istirahat loh, jadi sebaiknya kau tidur sebelum menyelidiki Evangela.”
    “Ya, terima kasih.” Mendengar kata ‘tidur’ Selfi menguap. Segelas coklat hangat membuatnya lebih rileks sekaligus menambah kantuknya. Ia harus berbaring, setidaknya untuk sejenak. Ia menyetel alarm di ponselnya kemudian berusaha memejamkan mata.
    Selfi tertidur. Kali ini tanpa mimpi buruk. Rasa letih membuatnya tertidur lelap. Hanya dalam tidur wajahnya nampak polos, tanpa mengenakan topeng apapun. Sejenak ia dapat menanggalkan identitasnya sebagai jurnalis berprestasi bernama Selfi atau sebagai sosoknya yang lain; Agatha...
    Setiap manusia memiliki beberapa sisi yang berbeda. Bisa jadi satu dua atau lebih. Setiap jiwa memiliki wajah-wajah yang lain dari alter ego. Jiwa purba yang bereinkarnasi dalam seribu satu kehidupan abadi di multi dimensi yang membentuk seribu satu wajah itu. Yang menari-nari dalam alam bawah sadar. Apakah mimpi adalah cerminan dari memori jiwa reinkarnasi yang berada di multidimensi? Di dunia lain? Namun, kali ini, Selfi kembali kepada jiwa murninya dalam tidur tanpa mimpi. Menjadi dirinya yang apa adanya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience