Rate

FILE 47: Misteri Game Center Nebula

Mystery & Detective Series 649

Cahaya percikan listrik dan api menerangi asap yang membumbung bagai nebula,
kabut asap di luar angkasa.

    INSPEKTUR Anton terpaksa melakukan olah TKP tanpa tim Labfor. Ia bersama tiga orang polisi dan sejumlah sekuriti yang berada di pos kawasan laboratorium itu. Hanya ada tiga orang sekuriti yang berada di pos dengan jarak berjauhan. Karena sistem keamanan yang canggih membuat pengawasan dari sekuriti tak terlalu ketat. Setiap staf ahli dan karyawan yang keluar masuk harus melewati pemeriksaan sidik jari dan retina.
    Sebuah lubang di pagar teralis ditemukan di areal di sisi laboratorium. Bekas roda ban kendaraan juga ditemukan di luar pagar teralis.
    “Kita harus segera membawa mayatnya untuk diotopsi. Tentu harus ada ijin keluarga korban. Tak ada lagi yang ditemukan di sini.”
    Rekan inspektur itu mengiyakan. “Ya, biar kami yang akan menyiapkan ijinnya.”
    “Kalian juga harus waspada karena pelaku kali ini lebih dari satu, mungkin tim, dan memiliki kemampuan khusus.”
    “Siap … Anda juga harus berhati-hati.”
    Inspektur Anton mengangguk. “Saya yang akan menemui keluarga korban secara tak resmi. Melakukan pendekatan kekeluargaan kepada saksi mata.”
    Rekan inspektur itu berkata. “Baiklah, apa Anda sendirian?”
    “Saya akan mengajak tunangan saya.”
***
    Ela, ilmuwan muda itu tak ingat telah mengunci pintu kamar apartemennya. Biasanya ia lupa menguncinya. Namun, ia memiliki alasan sendiri untuk mengunci pintu. Alasan yang hanya dapat diketahui olehnya.
    “Ela … tolong buka pintunya,” pinta temannya yang tinggal di lantai yang sama.
    “Pergi, Jaz. Udah kubilang aku mau sendiri saja sekarang….” Suara Ela diiringi isakan tertahan. “Aku tak mau kalian ikut mati!”
    Perkataan Ela mulai tak jelas.
    “Stay calm! Oke? Semua pasti ada jalan keluarnya. Masih banyak orang-orang baik yang tulus menolongmu kok.” Jazzy berusaha membujuk temannya itu. Sudah dari pagi ia mencoba dan ketika Inspektur Anton datang bersama Selfi maka ia mencoba membujuk untuk kedua kalinya.
    Bukannya bertambah tenang, suara isakan Ela terdengar lebih keras. Jazzy yang berada di luar pintu, matanya nampak berkaca-kaca. Mereka dan korban merupakan teman yang akrab. Arnes sering mengajak mereka piknik di pulau-pulau di sekitar Kepulauan Seribu.
    Ela masih tak membuka gorden yang menutupi jendela di ruang apartemennya yang nampak gelap. Ruangan itu terasa pengap, apalagi AC dimatikan. Ia jadi terbiasa dengan kegelapan di dalam ruang apartemennya yang luas.
    Sesekali ia melihat sekelebat bayangan dan wajah
Arnes yang menari-nari dalam benaknya.
    “Hei, kau harus sarapan. Gak baik nangis terus dengan perut kosong,” bujuk Jazzy. “Arnes juga akan sedih melihatmu begini.”
    Untuk beberapa lama tak terdengar jawaban. Hanya suara isak yang sesekali terdengar. Kemudian suara Ela mulai terdengar walau bergetar. “Ya, tunggu di dekat pintu, aku akan keluar.” Ela akhirnya beranjak dari tempatnya dan perlahan membuka kunci pintu lalu menariknya hingga terbuka.
    Jazzy menunjukkan sepiring nasi goreng dan dadar yang disiapkannya untuk Ela. “Sarapan bareng yuk! Kebetulan ada tamu.”
    Ela menyadari kehadiran Inspektur Anton dan Selfi yang sedari tadi mengawasi mereka.
    Penampilan Inspektur Anton nampak santai dengan kaos dan celana kargo, sedangkan Selfi memakai kaos tanpa lengan yang dipadu dengan leging dan kaca mata.
    “Nampaknya saya mengenal kalian dari TV?” tanya Ela.
    “Benar, saya Inspektur Anton dan ini tunangan saya, Selfi.” Inspektur Anton memperkenalkan Selfi. “Rencananya kami akan piknik di tempat ini, tapi nampaknya tugas selalu mengikuti.”
    “Eh, kebetulan, kita sarapan bareng yuk!” seru Jazzy seolah tak pernah ada kejadian apapun.
    Inspektur Anton dan Selfi yang merencanakan siasat itu. Mereka hanya mengangguk tanda setuju.
    Ruang apartemen Ela menjadi lebih ceria. Suasana yang gelap dan pengap menjadi terang dan segar ketika gorden dan jendela di buka. Apartemen itu menghadap ke pesisir pantai Pulai Badai.
    Suasana hati Ela bersangsur-angsur membaik. Ia nampak tersenyum ketika sahabatnya Jazzy berseloroh. Setelah sarapan ia bersedia bercerita mengenai kejadian di malam penembakan itu.
    “Bunyi alarm nyaris tak terdengar karena bunyi guruh dan deras hujan.” Ela bercerita tentang kejadian di malam penembakan itu. “Saya menduga Arnes masih ada di dapur membuat kopi … dan saya hendak memeriksa alarm itu, tapi … di tengah perjalanan saya berubah pikiran dan ke arah ruang dapur….” Ela menutup bibirnya dengan jemari, ia nampak akan menangis kembali tapi ditahan dengan menarik napas dalam-dalam. “Maaf … waktu itu saya pingsan, jadi tak begitu jelas melihat mayat Arnes.”
    “Oke… cukup segitu saja. Kalau kau mengingat ada hal aneh sebelum kejadian di malam itu, bisa kirim pesan ke nomer saya.” Inspektur Anton mengeluarkan kartu nama miliknya.
    “Oya, aku ingat sebelum menyadari kejadian itu… ada panggilan ponsel dari Arnes, namun, anehnya tak ada suara apapun. Waktu itu saya pikir Arnes bercanda.” Ela memeriksa nomer ponsel yang tertera di kartu nama milik Inspektur Anton.
    “Apa sebelumnya ada hal-hal aneh yang diceritakan oleh almarhum?” tanya Selfi berusaha ikut membantu penyelidikan itu.
    “Arnes orangnya memang konyol … ada-ada saja topik yang diceritakannya. Tapi ia tak pernah mengarang cerita.” Ela mengingat-ingat. “Termasuk ketika Arnes bercerita tentang seorang penelepon misterius sebelum hari naas itu.”
    Inspektur Anton meluruskan badannya. “Penelepon misterius? Apa yang disampaikan?”
    Ela berusaha mengingat-ingat. “Hm … ya, Arnes terlihat bingung ketika bercerita mengenai penelepon misterius itu. Penelepon itu mengatakan bahwa Arnes mengenalnya. Dia bernama Ghost….”
    “Ghost?” tanya Inspektur Anton lebih kepada mengingatkan dirinya sendiri.
    “Iya … dan Arnes pikir Ghost adalah salah satu nama karakter di dalam game Blizzard.”
    Setelah mendengar keterangan itu, Inspektur Anton merogoh saku di celana kargo dan mengeluarkan ponselnya. Ia mencari foto lambang tengkorak dari stempel yang ditemukan di dekat mayat korban.
    “Kau mengenal ini lambang ini?” Inspektur Anton menunjukkan foto di layar ponselnya.
    “Ya, itu kan lambang kemenangan di game Blizzard. Kami sering memainkan game itu di dalam ruang rekreasi pada waktu jam istirahat.”
    “Bisa kau jelaskan game ini tentang apa dan bagaimana gameplay-nya?” tanya Inspektur Anton berusaha mendapatkan petunjuk.
    “Ya kayak game MMORPG FPS gitu. Duh, kalau ngejelasin lebih jauh aku kurang paham karena hanya jadi newbie, anak bawang. Mungkin kau harus bertemu dengan Faril, pemilik game center di pusat kota.”
    Inspektur Anton beranjak dari tempat duduknya. “Terima kasih… jika ada hal yang penting tentang kasus ini jangan ragu untuk mengirim pesan ya … aku akan senang menerima pesan darimu.”
    “Pesan apa inspektur?” tanya Selfi dengan nada seolah cemburu. Namun, sebenarnya ia hanya menggoda saja.
    “Lah ya pesan tentang kasuslah….” Inspektur Anton nampak salah tingkah.
    Ela dan Jazzy kemudian tertawa melihat inspektur polisi itu nampak canggung dikelilingi tiga gadis cantik itu.
    Suasana yang tegang bisa lebih sedikit mencair karena Selfi. Namun, mereka tak menyadari bahwa kasus itu baru saja dimulai.
***
    Asap hitam nampak membumbung dari game center di pusat kota. Gedung pusat game Nebula mulai terbakar siang hari itu. Warga sekitar baru menyadarinya. Mereka bergegas mencari cara untuk memadamkan api dari dalam gedung. Termasuk menelepon pemadam kebakaran.
    Pintu game center itu dapat membuka secara otomatis dengan sensor laser. Namun, lama-lama engsel pintu meleleh karena panas membuat pintu menjadi macet. Para pelanggan sudah berlarian keluar ketika pintu masih bekerja normal.
    Di dalam ruangan tinggal Faril yang masih sibuk menyelamatkan komputer. Ia menyadari pintu macet ketika hendak menyelamatkan komputer yang tersisa dari dalam ruangan. Asap yang telah memenuhi ruangan membuatnya terbatuk-batuk. Suaranya yang serak dan berat seakan tercekat di tenggorokan tak terdengar jelas.
    Faril mencoba menggedor pintu keluar lebih keras, namun kaca tebal itu tak bergeming. Sementara asap makin terhirup ke dalam paru-parunya. Dadanya serasa sesak dan beberapa kali terbatuk.
    Bunyi sirine pemadam kebakaran mulai terdengar dari luar. Ia kembali berteriak untuk memberitahukan posisinya. Kemudian ia kembali ke meja kasir demi mengangkat kursi. Beberapa kali ia terbatuk-batuk dan menabrak meja karena ruangan sudah ditutupi asap tebal. Asap karbondioksida menyesakkan dadanya. Paru-parunya seakan terbakar dari dalam. Ia mengangkat kursi dan hendak memecahkan kaca pintu dengan kursi, namun tidak sampai sedetik kemudian, Faril sudah terjatuh di balik pintu keluar. Napasnya tercekat. Ia berusaha agar tak mati lemas. Berusaha melawan rasa sakit akibat sesak di dadanya.
    Jilatan api berwarna merah kekuningan memperlihatkan tarian mistik, disertai percikan bunga api listrik dari kabel yang korsleting. Menyulap benda apa saja yang dilaluinya menjadi arang. Merayap memburu udara, membakar dinding yang terbuat dari bahan plastik dan fiber. Membakar kalender, jam dinding, poster-poster game, maskot, mainan figur, hiasan yang dibuat memakai printer 3D, dan beberapa komputer yang terlambat diselamatkan. Aroma kabel terbakar makin menyengat. Ruangan itu dipenuhi api warna-warni dari kabel yang terbakar dan percikan listrik. Cahaya percikan listrik dan api menerangi asap yang membumbung bagai nebula, kabut asap di luar angkasa.
    “Cepat pecahkan kacanya!” Jerit seseorang.
    “Masih ada orang di dalam?”
    “Iya! Saya lihat anak itu masuk lagi ke dalam.”
    “Oh, dia lebih sayang komputernya daripada nyawa sendiri.”
    Bunyi pukulan logam di kaca terdengar. Untuk beberapa saat hanya terdengar bunyi retak kemudian retakan di kaca mulai melebar.
    Teriakan, jeritan dan bunyi berderap langkah kaki di luar gedung game center yang terbakar sayup-sayup terdengar di telinga Faril. Bunyi berdenging panjang memenuhi kepalanya. Ia menutup telinganya, bunyi berdenging seperti keluar masuk dari dalam kepalanya. Kulit pipinya merasakan cairan kental yang keluar dari dalam telinganya. Darah seakan turun dari kepala, dan mengalir keluar dari dalam telinganya yang panas.
    “Hei, cepat dobrak saja kaca pintunya!” Suara seruan kembali terdengar.
    “Ya, ya benar, aku melihat seseorang yang terkapar di balik pintu!”
    Pintu keluar yang terbuat dari kaca tebal tak mudah dipecahkan. Petugas pemadam kebakaran hanya membuat lubang dan melongok dari luar. Kemudian mereka mulai mendobrak pintu hingga engsel yang telah meleleh terlepas.
    Masih setengah sadar Faril mendengar suara di sekitarnya seperti bergema dalam daun telinganya yang panas. Ia berusaha membuka mata dan hanya asap yang terlihat. Kemudian ia mulai melihat sekelebat sosok yang menggunakan masker. Ia menduga bahwa pemadam kebakaran yang sudah berhasil masuk hendak menyelamatkannya.
    Asap putih dan abu-abu memenuhi ruangan game center itu. Membatasi jarak pandang regu pemadam kebakaran yang menerobos masuk. Mereka memakai masker oksigen. Sesosok tubuh, Faril yang tergeletak lemas di balik pintu nyaris terkena pecahan kaca yang dipecahkan dari luar. Untungnya hanya luka gores yang membuat wajahnya berdarah. Tubuhnya yang lemas segara digotong keluar.
    Di luar ia melihat cahaya merah api yang membakar gedung game center itu. Poster-poster yang tertempel di luar gedung menghitam karena jelaga.
    Kemudian gelap. Bunyi berdenging dalam kepala Faril perlahan menghilang. Digantikan bunyi angin kencang yang bertiup seperti dari dalam terowongan di dalam kepalanya. Kepalanya yang terasa berat tiba-tiba terasa seringan bulu. Sekejap kemudian, ia tidak merasakan apapun lagi. Seperti menghilang tertelan kegelapan yang panjang.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience