Rate

FILE 3: Coffee, Crime and Cat

Mystery & Detective Series 649

    INSPEKTUR Anton memutuskan untuk mampir di kedai kopi Antiq yang telah menjadi TKP. Kebetulan jalannya searah ke arah hotel Merkuri. Garis polisi melintang di pintu masuk dan nomer-nomer tanda tempat barang bukti telah ditempatkan di posisinya. Rupanya tim Labfor telah mengolah TKP.
    “Maaf, inspektur, menginterupsi kasus Anda.” Seorang anggota Reskrim memberi salam. “Kasusnya mirip seperti racun di dalam es kopi, bedanya, ini kopi hitam dengan racun arsenik karena mulut korban beraroma seperti bawang putih. Korban mentraktir keempat temannya kopi hitam. Pelayan di kedai ini mengatakan kelima gelas itu ditaruh bersamaan dan nyaris tak ada bedanya. Korban yang membawa sendiri gelas-gelas kopi itu dari konter pelayan. Ditengarai kasus ini meniru kasus es kopi. Kami ingin mendengar saran Anda?”
    “Entah kebetulan atau tidak, media yang berpengaruh menyiarkan berita itu. Apa ada pesan terakhir dari korban?” tanya Inspektur Anton mengamati tempat kejadian perkara. Kedai kopi itu seperti kafe pada umumnya, bedanya lebih bernuansa antik. Dindingnya ditutupi anyaman bambu dan kursi-kursinya terbuat dari rotan. Berbagai benda antik seperti sepeda onthel, radio kuno, foto-foto hitam putih dan barang-barang dari tembikar menjadi perabotannya. Lampu-lampu ditaruh di dalam batang bambu yang dipernis hingga mengilap.
    “Ada pesan undangan dari korban yang dikirim kepada keempat temannya.” Reserse itu menunjukkan salinan pesan teks dari ponsel teman-teman korban. “Mayat korban sudah dibawa ambulan ke rumah sakit bersama keluarganya. Proses otopsi masih menunggu ijin keluarga, mereka masih keliatan syok. Kejadiannya jam satu siang tadi. Korban datang bersama keempat temannya.
    Inspektur Anton membaca pesan itu. 13/13.00 datang ke kedai kopi, aku yang traktir. Dari Martha.
    Bunyi dengung lebah kembali mengusik pendengaran Inspektur Anton. Kemudian ia seperti mendengar suara-suara di dalam kedai itu. Suara-suara orang mengobrol kemudian terdengar gelak tawa dan jeritan pendek. Sekejap kemudian kembali hening.
    Tim Labfor memberi akses kepada Inspektur Anton untuk mengamati TKP. Ia mengamati garis yang dibuat menandakan posisi korban ketika tewas. Posisinya berada di antara kursi di sudut kedai. Posisi korban diapit keenam temannya. Gelas-gelas plastik yang bentuk dan warnanya sama berada di atas meja kayu.
    “Apa kalian sudah mendapat profil korban dan teman-temannya?” tanya Inspektur Anton.
    “Ya, korban seorang mahasiswi berusia dua puluhan yang sudah diwisuda. Untuk merayakannya ia mentraktir teman-temannya di sini. Ini catatan yang berhasil saya kumpulkan.”
    Inspektur Anton memeriksa catatan itu. “Nampaknya di sini tak ada CCTV.”
    “Ya, betul kedai ini tak memasang CCTV. Namun, kebetulan seorang teman Martha merekam kejadian itu dengan ponselnya.” Polisi itu menyalakan file rekaman yang sudah berada di dalam tabletnya.
    Video rekaman diputar bersama suara-suara yang terdengar dari tablet itu. Rekaman dimulai dari sejak kedatangan mereka ke kedai itu. Adegan sepotong-sepotong yang menggambarkan keadaan ruang kedai. Suara-suara tawa yang terdengar mirip seperti yang didengar Inspektur Anton. Beberapa kali rekaman itu tak fokus dan bergerak-gerak.
***
    Martha menjengit. Terdengar suara batuk pendek lalu suara mendesis kepanasan. Jemarinya memegang leher seakan sesuatu tersangkut di tenggorokan. “Martha? Kamu kenapa?” tanya temannya. Keempat temannya yang lain ikut melongo keheranan. Mereka tengah berada di sudut kedai kopi Antiq. Kedai favorit mereka ketika tengah merayakan sesuatu.
    Martha mengernyit. “Airrrr....” Suaranya terdengar serak.
    “Eh, ambilin air!” seru temannya yang lain.
    “Anak ini tersedak kali ya?!” Temannya heran.
    Seorang temannya bergegas merogoh tasnya. Ia mengeluakan botol air mineral lalu menyodorkan kepada Martha. “Nih!”
    Ketika temannya hendak menyodorkan air mineral itu, tubuh Martha merosot di sofa.
    “Mar? Lu tersedak atau gimana?” tanya temannya.
    Namun, tubuh Martha tak bergerak. Seorang temannya mencoba mencari denyut nadi di pergelangan tangannya.
    “Martha lu kenapa?” ujar teman yang lain mulai panik.
    “Pasti mie atau kopinya ada sesuatu nih.” Teman-teman Martha saling pandang.
    “Gak mungkin Martha keracunan kan?” tanya temannya yang lain. “Ini bercanda kan? Ini pasti ulah kalian!”
    “Heh, berhenti merekam!” seru seseorang teman Martha.
    “Enggak, jangan dimatikan rekamannya. Penting untuk penyelidikan polisi.”
    “Polisi?!! Kalian serius?”
    “Gue gak mau terlibat! Gue gak mau ikut polisi!”
    “Hei—hei, tenang… ini kan belum terbukti! Siapa tau Martha cuma bercanda, iya kan? Kayak kasus es kopi?
    “Bercanda apanya? Ini bukan acara TV!”
    Kemudian tubuh Martha bergerak-gerak, suara serak terdengar. Kejadian itu hanya beberapa detik setelah itu tubuh Martha kembali mematung.
    Untuk beberapa lama tak terdengar suara. Wajah mereka nampak pucat, saling pandang, bibir bergerak dengan suara lirih yang tak terdengar ke perekam.
    “Hei, ayo bawa ke rumah sakit!”
    Terdengar suara dari seorang teman Martha. “Ini pasti dari kopinya. Ini tanggung jawab pemilik kedai!”
    Seorang pelayan yang sedari tadi hanya memperhatikan dari konter mulai melangkah mendekat. Ia tak ingin ikut campur, namun setelah mendengar tuduhan itu mulai bertindak. “Yang menyeduh kopinya tadi Martha. Dia sendiri yang menyajikan dan membawa kepada kalian bukan?”
    “Ehh, iya sih, denger tuh, jangan asal nuduh!” seru seorang teman Martha.
    Beberapa pengunjung juga mulai berkerumun di sekitar meja korban. Mereka membantu membawa Martha yang sudah lemas ke luar kedai. Rekaman masih berlanjut ketika korban dibawa ke mobil kemudian rekaman itu berakhir.
***
    Rekaman itu berakhir. Inspektur Anton meminta daftar nama-nama teman serta foto mereka. Namun, ia tak menemukan petunjuk di sana. Di dalam rekaman video itu juga tak ada petunjuk berarti. Kemudian ia pergi ke meja kafe yang ditempati seorang pelayan kafe. Nampaknya ia baru saja diinterogasi polisi.
    “Maaf, kalau boleh saya ingin mengajukan pertanyaan.” Inspektur Anton duduk di dekat pelayan itu.
    “Sudah saya katakan semuanya kepada polisi itu.”
    “Apa yang Anda katakan?”
    “Martha yang menyeduh kopinya. Dia berada di depan konter ketika menyiapkan kopinya.” Pelayan di kedai itu mengingat-ingat. “Saya ingat betul karena akibat kejadian itu ... saya nyaris dipecat. Sa—saya gak percaya akibat kejadian itu, bos saya sampai marah.” Wanita berusia dua puluhan bernama Lidya itu meraih tisu, namun hanya meremasnya. Matanya nampak berkaca-kaca. “Saya ... saya gak menyangka akan terjadi pembunuhan di kedai ini. Seumur hidup saya baru pertama kali ini melihat….”
    “Apa ada yang aneh ketika Martha menyeduh kopinya sendiri?”
    “Ya, itu tidak biasa. Jarang pelanggan yang menyeduh kopi sendiri. Hanya pelanggan yang tipikalnya seperti Martha yang mudah akrab dengan pelayan di sini yang menyeduh kopinya sendiri.”
    “Apa sebelumnya pernah ada pelanggan yang menyeduh kopinya sendiri?” tanya Inspektur Anton sembari mengamati raut wajah pelayan itu.
    “Jarang, biasanya mereka terima jadi, kecuali memang seorang pelanggan yang memiliki pengetahuan lebih.”
    “Apa Anda melihat sesuatu yang dimasukkan ke dalam kopi itu? Dari tangan Martha atau teman-temannya? Selain krim tentu saja.”
    “Martha lebih suka kopi hitam dengan gula pasir tanpa tambahan susu atau krim. Ya, hanya gula.”
    “Dan ia menaruh gula di semua kopi itu?”
    "Iya, dan juga seperti menulis sesuatu di secarik kertas."
    “Sebelumnya, apa ada perkataan atau gelagat aneh dari Martha ketika datang ke kedai ini?”
    “Martha termasuk gadis yang ceria, cerewet dan aktif. Oya, ia pernah bilang kalau ingin kerja di kedai ini… katanya untuk tambahan biaya kuliah. Sekitar beberapa bulan lalu. Setelah itu ia mulai jarang ke kafe, katanya lagi persiapan sidang dan wisuda.”
    “Apa dia pernah cerita tentang masalah di kampus atau keluarganya?”
    “Hmmm … dia hanya pernah bilang kalau orang tuanya kolot, mungkin waktu itu suasana hatinya kurang baik atau karena siklus bulanan perempuan. Atau ada masalah lain, entahlah.”
    “Apa korban pernah mengajak teman spesial ke kedai ini?”
    “Maksudnya pacar?”
    “Ya.”
    “Kalau hanya berdua jarang. Ia selalu membawa dua sampai empat temannya. Oya, saya baru ingat, pernah seorang cowok menanyakan tentang Martha, ia menunggu di kedai ini sampai satu jam lebih, namun Martha tak datang.”
    “Apa cowok itu ada di tempat kejadian ketika Martha tewas?”
    “Iya … tapi dia tidak ikut bergabung. Dia datang lebih awal, wajahnya nampak cemas. Oya, dia mengeluarkan secarik kertas dari saku kemejanya. Meremasnya lalu membuang di tempat sampah. Saya melihat Martha menulis sesuatu di sana, setelah menyeduh kopinya. Kemudian ia keluar untuk bertemu dengan pacarnya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi nampaknya bukan hal yang bagus karena wajah pacar Martha nampak masam. Tadi polisi sudah memeriksa tempat sampah, namun tak menemukan benda yang mencurigakan. Anehnya, kucing yang biasanya bikin berantakan tempat sampah juga sepertinya malas memeriksa tempat sampah itu. ”
    Inspektur Anton segera memeriksa tempat sampah. Ia memakai sarung tangan karet dan mengeluarkan benda-benda dari kantong sampah itu. Melihat hal itu, anggota Labfor yang lain ikut membantunya.
    “Apa yang Anda cari inspektur?” tanya rekannya. “Kami sudah memeriksanya. Hanya ada struk belanja, kardus, bungkus makanan, dan secarik kertas kosong.”
    “Nah, ini dia.”
    “Tapi, itu hanya kertas kosong inspektur?”
    “Coba periksa di lab, saya berani bertaruh ada jajak racun di sini.”
    “Jadi, pelakunya pacar korban?” tanya pelayan itu. “Tapi ia tak ikut menyeduh kopi.”
    “Ini bukan pembunuhan … tapi bunuh diri. Mungkin karena masalah asmara.” Inspektur Anton menjelaskan. “Martha yang sakit hati menaruh serbuk racun di kertas itu. Kemungkinan bubuk arsenik. Setelah menuang sebagian di gelas kopinya lalu ia menaruhnya di saku kemeja pacarnya. Jadi pacarnya mengira bahwa itu adalah pesan. Sebenarnya serbuk racun itu ditaruh di lipatan kertas agar sisa racunnya jatuh di saku kemeja pacarnya. Jadi ketika kemeja itu diperiksa masih ada sisa arsenik di saku kemeja itu. Mungkin itu sebabnya kucing yang biasa berkeliaran di kedai ini tak menengok ke tempat sampah itu, insting hewan itu merasakan ada bahaya di sana. Kalian dapat menyelidikinya lebih lanjut alasan Martha yang hendak menjadikan pacarnya sebagai tersangka kasus ini. Saya yakin ada hubungan dengan masalah asmara.”
    “Wah, terima kasih atas bantuannya inspektur! Boleh kami traktir kopi?”
    “Oke, kopi hitam satu. Aku minum di mobil saja karena harus segera ke hotel Merkuri.” Inspektur Anton bergerak ke konter bersama rekan-rekannya.
    “Siap inspektur!”
***
    Sesampai di hotel Merkuri, mobil Inspektur Anton tidak bisa masuk melalui lobi depan karena dipenuhi warga dan kru media. Belum lagi para penghuni hotel yang datang dan pergi untuk menghindari masalah atau malah berdatangan demi memenuhi rasa penasaran mereka.
    “Kita harus lewat mana inspektur? Pintu depan dipenuhi kerumunan. Seandainya kita langsung ke sini kita tak akan terjebak kerumunan warga dan wartawan.”
    “Ya, sabar saja,” ujar Inspektur Anton menenangkan.
    Mobil yang dikendarai inspektur Anton bergerak lambat di antara kerumunan warga dan kendaraan lain.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience