Rate

FILE 19: Don't Trust Anyone

Mystery & Detective Series 649

 SELFI tidak pernah merasa bersemangat seperti pagi itu. Rasa pesimisnya akibat terserang racun tempo hari sirna. Ia yakin tubuhnya sudah terbebas dari teror racun mematikan itu. Ia tidak berharap akan menjadi korban kutukan Ancol. Namun, siapa yang bisa meramal masa depan? Hanya Tuhan saja yang bisa mengetahui masa depan, bahkan utusan-utusannya tidak mengetahui kapan tepatnya kiamat terjadi?
    “Lihat siapa matahari yang bersinar sekarang?” Denara menggodanya.
    Selfi mengulum senyum. Ia baru saja mandi dan menghabiskan sarapannya. Lalu segera melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda.
    “Apa yang telah aku lewatkan?”
    “Oke, pertama.” Denara membaca berita online di layar tabletnya. “Denny Darsa menjadi korban keempat kutukan Ancol. Kematiannya mirip dengan kematian tiga pria sebelumnya.”
    “Aku sudah tahu itu. Bahkan berada di tempat kejadian.”
    “Yah, setidaknya media massa ramai menulis seperti itu.”
    “Apakah mereka menulis keterlibatan korban dengan penculikan Maria?”
    “Mereka baru berasumsi … masih gak dapat membuktikannya. Begitu juga dengan kepolisian. Ya, polisi….”
    Ketika Denara mengatakan ‘polisi’ ketukan terdengar dari pintu kamarnya.
    Denara dan Selfi beradu pandang sejenak.
    “Biar aku yang membuka,” ujar Denara sembari beranjak dari kursinya.
    Selfi mengawasi dari kejauhan. Ketika ia mengenali wajah Inspektur Anton di luar kamar, semangatnya bertambah. Sekaligus merasa sedikit enggan. Ia bisa menduga alasan kedatangan polisi itu.
    “Saya nggak menemukan Selfi di hotelnya….”
    “Selfi harus beristirahat beberapa hari. Menjauhi ‘kutukan’ itu.” Denara menunjuk ke arah Selfi. “Anda hendak menculiknya?”
    “Hanya beberapa pertanyaan.” Inspektur Anton tersenyum mendengar kata penculikan itu.
    “Oya… ya… kalau gitu, silakan saja.” Denara nampak salah tingkah. Ia sudah menganggap Selfi sebagai anaknya sendiri.
***
    “Saya sudah memeriksa korban selamat lainnya.” Inspektur Anton merapikan tumpukan kertas yang berserakan di meja kerjanya. Kemudian menyingkirkan botol air mineral, bungkus makanan dan tumpukan pakaiannya. Sudah beberapa hari ia tidur di dalam kantor demi memecahkan kasus misteri hotel Merkuri. Biasanya ia menghabiskan waktu di jalanan, dari satu penginapan ke penginapan lain.
    Di ruang kantor Inspektur Anton, Selfi merasa tak tenang duduk di depan meja kerja yang dipenuhi tumpukan berkas. Meski itu bukan pertama kalinya ia berada di sana, namun beberapa kali ia kehilangan fokus antara memerhatikan inspektur itu dan berkas-berkas lembar dokumen, kliping, dan foto-foto yang ditempel di whiteboard. Ia berusaha menduga-duga sampai sejauh mana penyelidikan dan data yang telah dikumpulkan kepolisian.
    “Berapa korban yang tewas?” tanya Selfi sembari mengamati foto-foto dan berkas yang berada di meja inspektur itu. “Eh, maksud saya berapa orang korban yang selamat?
    “Dari enam orang yang dirawat di kamar isolasi, dua masih kritis dan satunya selamat yaitu Anda seorang. Bisa dibilang sebuah keberuntungan atau keajaiban.” Inspektur Anton membacakan salah satu berkas yang bernomor dan berlabel laboratorium forensik. “Racun itu menyebar ke udara dari darah korban. Menyerang pernapasan dan kontak langsung dengan kulit. Untungnya Anda berada cukup jauh dari korban.”
    “Jadi saya hanya sedikit menghirup racunnya?” Selfi merasa bersyukur masih dapat lolos dari maut.
    “Ya … untung dalam kadar yang rendah. Karena di dalam ruangan itu banyak pengunjung lain yang juga menghirup racun yang sama.”
    “Siapa saja yang terkena?” tanya Selfi.
    “Seorang bartender, petugas medis dan…rekan-rekan saya yang berusaha mengevakuasi di tempat itu. Mereka terkena cipratan darah korban atau terlalu banyak menghirup udara yang terkontaminasi. Anda selamat karena hanya menghirup sedikit. Puluhan pengunjung lainnya merasakan mual, dan beberapa sampai opname di rumah sakit.”
    “Saya ikut berduka....” Selfi nampak menyesal karena tidak dapat berbuat banyak demi menolong korban.
    “Diskotek itu ditutup, ah, mungkin untuk selamanya atau lebih baik dikubur. Karena racunnya masih melekat di sana. Kamar korban di hotel Merkuri juga rencananya akan ditutup selamanya, diisolasi atau bahkan ditembok menjadi kamar rahasia.”
    Keduanya terdiam beberapa saat. Lalu Inspektur Anton bertanya, “Anda melihat seseorang yang mencurigakan di diskotek itu? Sebelum kejadian?”
    “Saya melihat korban bersama dua orang wanita sebelum tewas.”
    “Bisa Anda gambarkan ciri-cirinya.”
    “Suasana diskotek yang remang-remang dan keramaian pengunjung membuat saya gak begitu jelas melihat dua wanita itu. Saya harus menjaga jarak dari korban. Anda tau itu.”
    “Dari mana Anda tau bahwa kedua orang itu adalah wanita?”
    “Tubuh mereka tinggi semampai, cukup seksi, dengan rambut panjang.” Selfi mengingat-ingat. “Kedua rambut wanita itu panjang seperti….”
    “Seperti?” Inspektur Anton mengerutkan kening.
    “Maria dan Si Manis Jembatan Ancol....” Selfi mendengus.
    Inspektur Anton tersenyum. “Salah satunya mirip Maria, itu yang saya tangkap. Apakah Anda yakin?”
    “Saya melihat dalam jarak yang cukup dekat.”
    “Anda mengenal Maria? Atau hanya mengenal dari fotonya saja?”
    “Rambut hitamnya panjang bergelombag sepinggang. Wajahnya yang cantik membuat siapa saja tidak akan melupakannya. Gadis blasteran Sunda-Rusia. Siapa yang gak tertarik?” Selfi mengulum senyum. “Anda sebagai lelaki pasti tertarik bukan?”
    “Saya juga penggemar Maria….” Inspektur Anton kembali tersenyum. “Saya suka perannya di film… duh, lupa judulnya waktu dia berperan sebagai mata-mata wanita.”
    “Judulnya Undercover … Ya, ada sembilan film yang dibintangi Maria.” Selfi diam-diam juga mengagumi peran Maria yang sedikit banyak menginspirasinya. Terutama ketika dirinya menyamar menjadi Agatha Casey Holmes.
    “Hmm, lagi-lagi angka sembilan, ya.”
    “Dan ia menghilang di film kesembilannya.”
    “Tepatnya tewas." Inspektur Anton mengingatkan.
    “Anda yakin itu mayat Maria?” tanya Selfi.
    “Kami sudah melakukan tes DNA. Dan hasilnya positif.”
    “DNA pembanding siapa?”
    “Kakak Maria, Evangela.”
    “Ah, ya, saya baru pertama kali bertemu dengannya di kamar isolasi.”
    “Wajahnya mirip Maria. Kecuali rambutnya yang panjang sebahu.” Tiba-tiba Selfi menyadari sesuatu. “Anda gak mencurigainya?”
    “Siapa?” Inspektur Anton nampak heran.
    “Evangela, saudara Maria."
    Ya, wajahnya cukup mirip. Dan ilmuwan itu cukup mencurigakan karena memiliki akses ke penggunaan evatoxin … nama virus baru itu." Inspektur Anton tercenung beberapa saat. Tidak bisa tidak akhirnya ia menceritakan tentang virus baru itu kepada Selfi.
    "Evatoxin ... jadi, Evangela bisa jadi tersangkanya?" Selfi nampak belum yakin dengan ucapannya. Gerakan matanya menyiratkan keraguan.
    “Kita tak bisa asal menuduh tanpa bukti kuat. Apalagi motifnya masih belum diketahui. Alibi Evangela juga kuat, dari data mesin presensi sidik jari ia berada di laboratoriumnya pada waktu terjadinya beberapa kasus itu. Saya sudah mengeceknya. Meski itu pun tidak menjamin seratus persen.” Inspektur Anton nampak berpikir, lalu berusaha tersenyum. “Dan Evangela sekarang sedang meneliti virus itu. Dia yang memberi nama virus baru dan membuat penawarnya bernama antitoxin adamin. Jika dia pelakunya, kenapa ia memberikan penawarnya kepada saya?"
    “Lalu siapa yang aku lihat di diskotek waktu kejadian itu?”
    “Hantu Maria? Kau yang melihat sendiri.” Inspektur Anton nyengir.
    Selfi mulai kesal melihat tingkah inspektur itu yang banyak tersenyum ketika menghadapi misteri kasus tanpa ujung. Masih belum ada titik terang. Kerja mereka selama ini tidak menghasilkan kemajuan yang berarti. Seharusnya polisi di depannya tidak sesenang itu. Inspektur Anton memang suka bercanda sejak pertama kali bertemu, tapi sekarang saatnya tidak tepat. “Bisa jadi itu penggemar fanatiknya … membalaskan dendam kematian artis yang digemarinya.”
    “Banyak asumsi. Banyak sekali. Kasus ini masih dalam proses penyelidikan.” Inspektur Anton mengamati wajah Selfi lekat-lekat.
    “Ya, saya juga tengah menyelidikinya.”
    “Nah, itu.” Wajah Inspektur Anton berubah prihatin. “Sekarang, Anda harus menjauhi kasus ini. Ini juga demi kebaikan kita semua.”
    Selfi sedikit tersinggung. “Ah, itu sudah resiko pekerjaan.”
    “Karena pelakunya melihat Anda … ia menggunakan dosis yang lebih mematikan untuk membunuh Anda. Sekarang Anda juga mangsanya.”
    “Iya, tapi kan saya perempuan, jadi virus itu tak terlalu berbahaya." Selfi masih bersikeras. "Harusnya kepolisian yang lebih berhati-hati karena mayoritas kalian adalah laki-laki.”
    “Rekan saya sudah jadi korban. Saya gak ingin Anda mengalami hal yang sama. Apakah Anda mau diopname di rumah sakit?”
    “Itu bukan urusan Anda…,” pungkas Selfi. Ia beranjak dari kursi dan buru-buru hendak keluar dari dalam ruangan. Ia merasa dedikasinya selama ini merasa telah diremehkan. Ia hanya dapat mengomel di dalam batin. Aku pasti bisa menangkap pelakunya … membeberkan segala kejahatan mereka ke publik ... menangkap basah pelakunya lebih dulu daripada polisi yang penuh aturan…
    Selfi tidak menyadari bahwa dirinya telah masuk ke dalam perangkap dari kasus Ancol, karena itu Inspektur Anton berusaha mencegahnya.
    “Hei, tunggu,” ujar inspektur polisi itu menyusul Selfi yang sudah berada di ambang pintu. Ia menghalangi Selfi dengan dadanya yang bidang sebelum keluar dari ruangan.
    “Maaf, saya harus kembali bertugas.” Selfi nampak bersungut-sungut. “Jadi tolong minggir.”
    “Iya, maaf kalau mengganggu … sebenarnya saya ingin mengajak makan siang.” Inspektur Anton berusaha memberikan senyum terbaiknya.
    Selfi terdiam dan tak bergeming untuk beberapa saat. Ia menghela napas dan raut wajahnya yang semula tegang nampak lebih santai. “Apa ini semacam suap?”
    Inspektur Anton tertawa pelan. “Bukan … saya belum sarapan sejak pagi. Dan rekan saya… begini, sebenarnya saya sudah lama ingin mengajak Anda makan-makan.”
    Selfi masih terdiam. Nampak ragu sembari memerhatikan inspektur itu.
    “Ini juga sebagai permintaan maaf saya jika ada sikap yang tidak berkenan selama ini.” Inspektur Anton masih berusaha membujuk. “Saya harap ini bukan yang terakhir kalinya kita bertemu. Maksud saya … saya harap kita bisa bertemu di kondisi dan waktu yang berbeda selain di tempat kejadian perkara atau di kantor.”
    “Okelah … tapi Anda yang traktir ya.” Selfi mengedipkan mata.
    “Ya, tentu … tentu.” Inspektur Anton nampak lega. “Mari kuantar ke mobil.”
    “Mobil polisi?”
    “Bukan. Tapi mobil pribadi yang sudah menua.”
    Selama dalam perjalanan, Selfi lebih banyak diam, sedangkan inspektur polisi itu berusaha berbicara sekenanya demi mencairkan suasana.
    “Asalmu dari mana?” tanya Inspektur Anton.
    “Situbondo, Jawa Timur. Sekitar lima jam dari Surabaya dengan kendaraan umum.”
    “Lumayan jauh ya.”
    “Ya, duh, sebenarnya jika bukan karena Denara, aku sudah berada di rumah sekarang.”
    “Oh, begitu?”
    “Saya gak hadir di pernikahan adik sepupu saya.” Selfi nampak enggan untuk membahasnya.
    “Wah sayang banget tuh. Dan semua demi karir?”
    Selfi yang mendengarnya agak tersinggung. Jadi ia berusaha mengganti topik yang juga bertujuan menegur inspektur itu. “Nampaknya Anda tidur di kantor? Gak ada keluarga yang menunggu di rumah?”
    “Saya masih membujang.”
    Selfi tidak berpura-pura kaget. Untuk apa? Toh ia sudah mendengar dari Denara dan pengakuan inspektur itu sendiri di hadapan Agatha, sosoknya yang lain. “Dan semua demi karir. Hah, kalau begitu kita impas.”
    “Keluarga yang menunggu di rumah hanya ibuku yang merawat nenek yang sakit-sakitan bersama seorang adikku. Saudara-saudara saya merantau ke luar pulau… Sejak ayah tiada. Untungnya mereka cukup tegar dan mendukung setiap keputusan saya karena saya menjadi tulang punggung bagi mereka.”
    Selfi terdiam. Ia agak menyesal karena telah memulai percakapan itu.
    “Hei, makanan kesukaanmu apa? Kau biasanya makan di mana?” tanya Inspektur Anton berusaha mengalihkan topik.
    Selfi nampak lega ketika inspektur itu menanyakannya.
    “Kalau aku terserah apa saja deh, asalkan kenyang. Tau sendirilah orang lapangan. Yah, di lain waktu bisa sambil wisata kuliner, tapi kebanyakan makan yang instan.” Selfi tersenyum.
    “Oke.” Inspektur Anton ikut tersenyum. Senyum kemenangan.
    Senyuman yang berbalas.
    Selfi tak mengira, begitu pula inspektur itu, bahwa mereka bisa makan berdua tanpa sekalipun membahas kasus Ancol. Pembicaraan yang ringan di hari itu membuat hubungan mereka mengalami kemajuan.
***
    Sesampai di apartemen Denara, Selfi kembali mendengar ocehan Denara.
    “Polisi kembali melarang kita terlibat dalam kasus Ancol.” Denara mengomel sembari berjalan hilir mudik. “Mereka bahkan menyuruh kita menjauhi tempat kejadian.”
    “Bukankah kau sudah mengantongi ijin dari kepala kepolisian?” tanya Selfi heran.
    “Ah, ijin itu sudah dicabut. Ijin ditarik kembali, ya, tepat ketika kau kencan dengan Inspektur Anton.” Denara bersungut-sungut. “Mereka juga berusaha membujukmu, melalui inspektur itu.”
    Selfi tidak terkejut. “Ya, sebenarnya tujuan mereka baik, sih. Demi kebaikan kita juga.”
    “Mereka merebut ladang nafkah kita,” dengus Denara.
    “Lalu, apa yang bisa kita lakukan?”
    “Kita akan terus melakukan peliputan dengan atau tanpa ijin dari polisi.”
    Dua wanita itu tidak banyak bicara ketika berada dalam perjalanan menuju ke lokasi diskotek yang telah ditutup. Mereka hendak melakukan pengambilan gambar yang sempat diundur dari jadwal beberapa kali.
    Selfi berharap, Inspektur Anton dapat memaafkan mereka. Dalam hati kecilnya ia tak berharap hubungan pribadinya dengan inspektur itu mengalami kemunduran walau demi karir sekalipun. Apakah ia harus berkorban demi ambisi Denara? Demi karir dan prestasi? Ia tak mengerti. Apakah ia mulai jatuh hati kepada inspektur itu. Apakah itu cinta? Atau hanya rasa belas kasihan belaka? Ataukah keduanya? Ia masih butuh bukti untuk percaya bahwa inspektur itu juga memiliki rasa kepadanya. Selama ini ia belajar dari pengalaman: jangan percaya kepada siapapun, sebelum ada buktinya. Namun, sayangnya kebanyakan perempuan mudah percaya, karena perempuan memang begitu mudah membayangkan tentang masa depan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience