Rate

FILE 8: Misteri Kamar 222

Mystery & Detective Series 649

SELFI terkantuk-kantuk di dalam mobil. Ia menyandarkan kepalanya ke jok.
    “Pemirsa … kasus kriminal kembali terjadi di hotel Merkuri. Kali ini… hoahmm.”
    Tangannya bertumpu ke dasbor di depannya sembari memegang lembaran teks. Matanya terpicing membaca tulisan di depannya. Denara memaksanya membaca garis besar berita ‘kutukan Ancol’ yang telah dirangkum seadanya sebelum pengambilan gambar. Ia membaca lembaran di tangannya sembari terkantuk-kantuk dan sesekali menguap. Tulisan di script terasa berbayang-bayang. Ia berusaha mengucapkan sesuatu, namun ia tak mengerti apa yang diucapkannya. Kepalanya pening. Mungkin karena jetlag atau ia belum pernah tidur nyenyak seharian.
    Kemacetan Jakarta di sepanjang ruas jalan membuatnya tersiksa. Ia ingin segera meluruskan tubuhnya yang terasa babak belur di atas ranjang. Jok empuk di dalam mobil tak mampu mengusir rasa lelahnya. Bayangan untuk tidur lelap yang sempurna itu terasa masih jauh. Ia bahkan belum mandi sejak dua hari lalu.
    “Duh, kita harus putar lagi, nih.” Denara memegang setir. Ia berusaha mencari jalan alternatif ke Ancol. Sedan mungilnya merayap mudah di tengah jalur kendaraan.
    Selfi tidak memedulikan ocehan Denara. Ia berusaha memejamkan mata ketika sedan yang ditumpanginya mendadak berguncang. Lembaran kertas di tangannya terjatuh ke pangkuannya.
    Selfi hendak memejamkan mata ketika Denara mengerem mendadak. Ia berusaha menghindari mobil di depannya yang tiba-tiba memotong arus kendaraan.
    Perut Selfi bergolak. “Duh!!”
    Tidak bisa tidak, sedan Denara berhenti. Menunggu kemacetan terurai.
    Selfi membuka mata. Suaranya masih serak, “Kenapa harus terburu-buru.”
    “Rekan kita sudah stand by di hotel Merkuri. Bersama jurnalis lain.”
    “Mereka sudah bergerak?”
    “Mereka dan kita juga kelelahan. Tapi kita gak akan melewatkan berita heboh.”
    “Hah, heboh, ya.” Selfi melirik sinis. “Seberapa heboh, sih?”
    “Nanti kau mengerti.”
    Keduanya terdiam. Masih kesal karena kejadian mendadak itu.
    Mereka menenggelamkan diri dalam pikiran masing-masing.
    Lima belas menit kemudian, arus kendaraan yang mengular sepanjang lima kilometer mulai merayap perlahan. Kemacetan mulai terurai. Sedan mungil Denara melaju bebas melewati ruas jalan menuju Ancol.
    Kesadaran Selfi sesampai di lobi hotel Merkuri masih belum pulih sepenuhnya. Ia seperti tidak mengenali rekan-rekannya yang sudah siap merekam dirinya. Rekan-rekannya hendak memulai merekam opening scene, adegan pembuka dari program acara Fakta dan Kriminal. Sebagai pembawa acara, Selfi selalu tampil dengan T-shirt hitam polos dan celana kargo. Seperti ketika tampil di layar kaca memandu berita di daerah konflik.
    Tidak jauh dari tempat itu, reporter lain tengah siaran langsung. Reporter yang lebih segar dan tangkas mengabarkan berita. Sedangkan Selfi…
    Selfi hanya berdiri beberapa langkah di depan kamera. Ia tidak merespon aba-aba dari juru kamera. Melihat itu, Denara segera bertindak.
    “Tunggu! Biarkan Selfi istirahat.” Denara memberi tanda. “Sehari saja.”
    Padahal Denara yang memaksa mengambil gambar hari itu juga. Sekarang ia malah berbalik membela Selfi. “Kalian juga istirahat. Kita mulai besok lusa pagi-pagi. Lagian ini bukan acara live. Jadwal bisa berubah sewaktu-waktu.”
    Rekan-rekan Selfi membubarkan diri. Tanpa kasak-kusuk apalagi mengeluh.
    Kegiatan di dalam hotel sudah relatif normal, meski angka pengunjung kian menurun. Resepsionis sudah kembali menerima tamu meski tak sebanyak hari-hari sebelumnya.
    Selfi dan Denara menginap di kamar terpisah lantai dua hotel Merkuri.
    Hanya lantai pertama yang masih dikosongkan untuk proses penyidikan polisi. Garis polisi warna kuning terang dipasang di ujung koridor lantai pertama. Mencegah agar warga dan jurnalis tidak merusak TKP. Meski begitu masih ada jurnalis yang nekat menerobos masuk untuk mengambil gambar.
    Reporter televisi hanya diberi ijin menyiarkan berita dan mengambil gambar di luar garis polisi. Juga agar mencegah menularnya penyakit mematikan yang telah membunuh korban dalam semalam.
    Sampai saat ini dokter di antero Jakarta masih berkutat meneliti penyakit misterius itu. Entah disebabkan bakteri, virus atau overdosis obat-obatan terlarang. Sampel darah korban telah diteliti ilmuwan terkemuka dari dalam negeri. Polisi mencegah agar tidak terjadi intervensi dari ilmuwan asing. Bahkan ketika badan kesehatan dunia WHO meminta kepada ilmuwan Indonesia untuk mengirim sampel darah korban kepada mereka untuk penelitian. Mencegah negara maju agar tidak mengembangkan senjata biologi pemusnah massal. Atau membuat penawar yang dijual dengan harga tinggi.
    Berharap kepada ilmuwan terbaik dalam negeri, Indonesia berusaha memecahkan misteri ‘kutukan’ Ancol secara mandiri.
    Denara mengantarkan Selfi hingga masuk ke dalam kamarnya. Kamar nomor 222 di lantai tiga itu tampak terang benderang. Petugas hotel hanya mengantarkan mereka hingga ambang pintu kamar. Denara dan beberapa rekan-rekannya menginap di kamar lainnya. Mereka memesan tiga kamar bersebelahan.
    Sejak kasus kematian misterius, tarif menginap di hotel Merkuri anjlok menjadi separonya. Tingkat hunian menurun drastis. Mereka tidak ingin terkena kutukan Ancol. Hanya orang-orang yang nekat seperti Selfi dan Denara yang malah mendatangi tempat terkutuk itu. Bersama wartawan dari berbagai media dan orang yang sekedar penasaran.
    Selfi menaruh ranselnya di atas pinggir ranjang. Tidak banyak barang bawaannya. Membawa banyak barang malah akan merepotkannya. Segala keperluannya ada di dalam ransel yang selalu melekat di punggungnya. Beberapa keperluan wanita, beberapa potong pakaian, kamera digital, handycam, dan laptopnya dalam tas lain. Ia segera membanting tubuhnya ke atas ranjang.
    “Aku tutup, ya. Kau bisa istirahat sekarang.” Denara menutup perlahan pintu kamar hotel. Seruan Denara masih terdengar dari luar kamar, “Kamarnya kunci, ya. Jangan lupa!” Ia masih menunggu di depan pintu kamar. Mendengarkan dari balik pintu sebelum pergi ke kamarnya sendiri. Terkadang ia tidak mengerti kepada tingkahnya sendiri.
    “Cerewet … Ya, ya!!” Selfi sewot. Ia membanting tubuhnya ke atas ranjang. Tas ranselnya melompat-lompat di dekat betisnya. Ia tidak dapat beranjak lagi, seakan tubuhnya menyatu dengan ranjang. Tubuhnya lemas. Kepalanya terasa berat. Ia malas beranjak bahkan untuk sekedar mengganti pakaiannya. Ia tidak peduli aroma dari tubuhnya. Kedua matanya perlahan menutup. Seperti ayahnya, ia mudah tertidur, kapan saja dan di mana saja. Ia sudah berada di batas kesadarannya ketika samar-samar terdengar bunyi berderit di dekat ranjangnya. Tepat di depan ranjangnya. Angin dingin terasa mengusap telapak kakinya.
    Bunyi seperti seseorang tengah menyeret benda berat di atas karpet tebal.
    Srakkk … srakkkk
    Kedua mata Selfi terasa berat untuk sepenuhnya membuka. Namun, ia berusaha membuka matanya lebar-lebar. Alisnya naik. Matanya yang terpicing tidak dapat mengenali sosok gelap yang bergerak perlahan di depan ranjangnya. Dahinya berkerut.
    Matanya tertutup air mata kantuk. Tertutup kabut. Sekelilingnya tampak buram dan berpendar.
    Selfi berusaha mengumpulkan kesadarannya. Sesekali ia mengucek matanya dengan punggung tangannya. Berusaha menyingkirkan air mata yang menggelayut. Ia melongok ke ujung ranjangnya. Bayangan gelap di depan ranjangnya semakin terlihat jelas. Hitam samar serupa bayangan. Ia mengenali rambut dan wajah dari sisi samping bayangan itu adalah seorang perempuan! Dari atas ranjangnya Selfi melihat sosok perempuan berambut panjang tengah menyeret sesuatu. Ia tidak habis pikir.
    Hantu?!! Di dalam kamar terang benderang seperti ini? Selfi membatin.
    Selfi beranjak dari ranjang lalu melongok ke lantai. Sesosok tubuh pria terkapar di lantai. Lehernya terpuntir ke belakang. Wajahnya yang tertutup rambut tidak dapat dikenali. Bunyi berasal dari gesper sabuk kulit yang menjerat leher mayat. Perempuan berambut panjang itu tengah menyeret sesuatu.
    Apakah itu mayat pria?!!
    Tubuh Selfi membeku. Napasnya terhenti. Ia menyaksikan ‘hantu’ perempuan itu menyeret mayat hingga sampai ke jendela kamar hotel. Setelah susah payah membuang mayat ke luar jendela, sosok perempuan itu ikut melompat. Sebelum melompat ia sempat menoleh ke Selfi dari ambang jendela. Tersenyum kepada Selfi yang terheran-heran.
    Sebuah suara menggema dalam kepala Selfi.
    Tinggalkan tempat terkutuk ini!!
    Atau kau MATI!! Kalian mati!!
    Suara jeritan pilu menyertai sosok perempuan yang melompat ke luar jendela. Dari atas ketinggian lantai tiga, suaranya sirna perlahan.
    Sekejap kemudian bunyi benturan keras terdengar.
    Tiba-tiba Selfi membuka mata. Pandangannya menumbuk langit-langit kamarnya. Sekujur tubuhnya seperti tersengat listrik. Ia segera beranjak dari atas ranjang. Memandang linglung ke sekeliling kamar. Hanya mimpi!! Mimpi buruk!!
    Tidak ada jejak darah di atas karpet. Jendela kamar hotelnya tertutup. Gorden tebal menutupinya. Tidak ada bunyi mengerikan. Semua seperti keadaaan yang terakhir kali dilihatnya.
    Bunyi berderap di depan kamarnya mengalihkan perhatiannya. Terdengar seperti seseorang yang berlari. Denara? Atau siapa…?
    “Kau masih disitu, Den?”
    Hening.
    Selfi segera melompat dari atas ranjang. Tenaganya seakan pulih kembali. Rasa letihnya tiba-tiba sirna. Jantungnya berdentam-dentam menggetarkan tubuhnya. Ia tidak pernah setakut ini. Apalagi kepada hal-hal tidak masuk akal.
    Ketakutan terbesar justru kepada hal yang tidak dapat kita lihat.
    Hantu?!! Hah, ia tidak percaya hal takhayul seperti itu.
    Selfi melangkah ke pintu kamar. Ia buru-buru menguncinya. Ketakutan yang tidak beralasan. Reporter yang pernah berada di daerah konflik dan medan perang seharusnya tidak gemetaran seperti itu. Musuh yang tidak tampak justru semakin mengerikan.
    Selfi hendak kembali ke ranjangnya ketika hasrat untuk ke kamar kecil itu muncul. "Duh, kenapa harus sekarang sih!!" gumamnya.
    Setelah dari toilet rasa kantuk kembali menyerangnya.
    Selfi mencari tombol lampu. Jemarinya meraba tembok. Ia lebih nyaman tidur dalam gelap. Karena di dalam gelap ia bisa lebih tenang. Dan tidak dapat melihat hal-hal aneh. Untuk sebagian orang, tidur di dalam gelap malah mengerikan, namun Selfi berbeda.
    Satu kali jentikan. Bunyi klik menyertai lampu yang padam.
    Kali ini Selfi terpana sekaligus kaget. Untuk beberapa saat tubuhnya membeku. Tembok kamar dipenuhi coretan bercahaya. Cahaya kehijauan berpendar dalam gelap.
    Angka dua berbagai ukuran dan tulisan loro berputar-putar dalam kepalanya.
    2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
    Loro
    LORO L O R O
    loro L-O-R-O
    LoRO
    LO120
    Coretan yang berpendar itu seakan menghipnotisnya. Coretan hijau berpendar di tembok menari-nari memutarinya. Berubah serupa bintang gemintang di kegelapan dalam kepalanya. Tubuhnya serasa ringan hingga ia serasa melayang.
    Tubuh Selfi ambruk di atas lantai kamar hotel. Karpet tebal meredam rasa sakitnya. Ia tidak mengenal jeritannnya sendiri.
    Jeritannya seperti terdengar dari jauh. Dari dasar kegelapan. Ia pingsan.
    Ia tak sempat bertanya. Apa yang terjadi di kamar hotel yang ditempatinya? Apa maksudnya nomer dua yang dihubungkan dengan kata: Loro?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience