"assalamualaikum. Sayang?" Ucap Doojoon saat masuk ke dalam kamarnya.
Doojoon melihat sekeliling mencari sumber kebahagiaan nya. "Ran?" Panggil Doojoon mengitari setiap sudut kamar, tapi Ran tidak dia temukan.
Doojoon bergegas turun ke bawah, mungkin istrinya sedang makan atau berbincang dengan para maid di bawah.
"Mbok Arsih" panggil Doojoon menuruni tangga ke lantai satu.
"Kenapa Tuan?" Tanya mbok Arsih masih memakai alat sholatnya menghampiri Doojoon
"Ran mana?" Tanya Doojoon masih mencari dengan matanya
"Loh, bukannya di kamar lagi sholat?. Tadi pas saya antar minum ke kamar, nona baru selesai wudhu terus saya tinggalin karena nona mau sholat" jawab mbok Arsih mengingat kejadian tadi.
Doojoon semakin tidak karuan dibuat Ran yang menghilang tanpa jejak sedikit pun.
Doojoon langsung mengambil handphonenya menelfon seseorang "cari di sekitaran kompleks sekarang juga" perintah Doojoon pada pengawal yang selalu berjaga di luar rumah
"Mbok, tolong cari Ran di taman dan seluruh rumah ini" perintah Doojoon kembali ke kamarnya.
"Ahh, handphone" gumam Doojoon menelfon nomor Ran.
Ddrrttt...
Doojoon mencari titik getaran Handphone milik Ran, dia menemukannya dalam tas yang terletak di atas sofa tertutupi bantal kecil.
Doojoon mengambil tas itu mengeluarkan handphone Ran, dia mengecek panggilan terakhir yang masuk ke handphone istrinya. Ya, panggilan itu dari mama Rachel, yaitu mama dari almarhum Rangga mantan suaminya.
Doojoon melepas nafas lega, pasti istrinya berada di kediaman Rangga. Menyugar rambutnya ke atas, duduk bersandar di sofa tempat handphone itu di temukan.
Doojoon menyadari sesuatu dalam tas itu. "Apa ini?" Dia menemukan pil tablet yang sudah dikonsumsi. "Ini kan...pil kontrasepsi" Doojoon melihat tablet itu sudah kosong setengahnya.
Doojoon merasa seperti di khianati oleh istrinya. Dia pikir selama ini Ran memang benar-benar mencintainya. Rasa kecewa, marah, sedih sangat jelas terpampang di wajah Doojoon.
"Apa yang kulakukan selama ini belum bisa meluluhkan hatim mu? Dengan cara apa lagi aku harus memperlakukan mu Ran?" Gumam Doojoon sangat terluka. Ingin dia membanting semua barang di kamar itu, tapi apa gunanya?
Bunyi mobil terdengar dari jendela kamar, sudah pasti itu Ran yang berlari cepat ketika turun dari mobil "Ran, aku sangat mencintai kamu. Jangan membuatku berharap lebih jika kamu hanya mempermainkan ku" ucap Doojoon melihat Ran dari jendela.
Klek
"Assalamualaikum...mas-"
Tep, Doojoon menghempaskan sebuah tablet pil di atas kasur.
Tatapan marah Doojoon menusuk seperti duri di sekujur tubuh Ran "sejak kapan kamu minum obat ini?" Tanya Doojoon dengan nada dinginnya
Doojoon semakin mendekati sosok wanita yang terdiam seperti patung "saat pertama kali kita melakukannya" jawab Ran menatap takut lelaki di hadapannya.
"Ran, apa sesulit itu ya menerima perasaan ku?" Lirih Doojoon sangat kecewa.
"Mas, dengerin aku dulu, pil ini-"
"Ran, kalau kamu jelasin dari awal aku pasti tidak akan berharap lebih" bantah Doojoon menatap dengan datar ke arah Ran.
"Maaf mas, aku belum siap-"
"Aku tidak menginginkan maafmu Ran. Setiap kali kita melakukannya, di saat terakhir aku selalu mengecup perutmu! Kamu tahu kan artinya?" Jelas Doojoon menahan emosinya
"Aku...tahu" lirih Ran menahan air matanya. Baru kali ini dia mendengar suara Doojoon yang besar di telinganya.
"Kenapa kamu tidak mengatakannya di awal? Apa aku hanya seorang lelaki selalu menurutimu hingga kamu dengan bebasnya memutuskan sesuatu sesuai keinginan mu!? Jawab Ran!"
Ran kaget bahkan dia sudah tidak berani menatap lelaki di depannya "mas, aku gak pernah berfikiran seperti itu mas. Aku menghargai kamu sebagai suami ku" jawab Ran mencoba menenangkan
"Menghargai? Aku selalu saja menjadi orang yang tidak punya harga diri di depanmu Ran! Itu semua karena aku sangat mencintai kamu!" Kata Doojoon dengan nada tegas yang meninggi menurut Ran, padahal Doojoon hanya ingin membuat Ran memahami perasaannya dengan jelas.
"Mas Doojoon... tenang dulu. Biar aku jelasin dari awal hiks hiks" lirih Ran meneteskan air matanya
Doojoon yang melihat bulir itu merasa luluh, tapi dia juga sangat tertampar dengan kenyataan ini
"Pada akhirnya seolah hanya aku saja yang berjuang tanpa balasan dan berkorban tanpa pengertian" ucap Doojoon tidak tega melihat Ran yang hanya bisa menangis.
Ia memilih untuk pergi dari kamar itu "mau ke mana?" Tanya Ran menahan tangan Doojoon
"Aku tidak punya tempat bersandar selain dirimu Ran. Tapi saat ini mungkin lebih baik kita menenangkan diri sendiri" ucap Doojoon pergi begitu saja.
"Mas Doojoon hiks hiks hiks. Aku juga gak mau seperti ini. Ini bukan keinginan aku mas hiks hiks, aku takut dengan masa laluku hiks hiks. Maafin aku hiks hiks" lirih Ran dengan tangisan yang bergema di ruangan itu.
Doojoon yang masih memakai pakaian muslimnya langsung menuju ke mobilnya tanpa seorang supir. Dia menghidupkan mobilnya dan melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Dalam beberapa menit dia sampai di halaman rumah seseorang.
Tingtiong
Doojoon memencet tombol rumah yang masih tertutup. Seorang wanita membukakan pintu untuknya "kamu...?"
"Boleh bicara sebentar Dokter?" Tanya Doojoon langsung to the point
Sang Dokter langsung mempersilahkan tamu nya masuk "kamu teman Ran Tania kan?" Tanya dokter itu menerka.
"Iya, sekarang saya suaminya" jawab Doojoon serius.
"Ada apa?" Tanya Dokter yang berumur 40 tahun itu dengan sopan. Ya, dia adalah dokter psikiater yang menangani Ran dulu saat dia trauma.
"Apa seorang yang mengalami trauma di masa lalu akan sulit menjalani kehamilan?" Tanya Doojoon sangat serius
"Untuk wanita yang memiliki riwayat trauma sebelumnya, mungkin menjadi korban pelecehan seksual, berisiko akan mengalami Gangguan stres pascatrauma. Kita sudah sangat bersyukur Ran sudah melewati masa kelamnya dulu"
"Jadi apa dia akan kesulitan untuk hamil?" Tanya Doojoon merasa bersalah pada Ran.
"Bukan sulit untuk hamil. Tapi kondisi perasaan sang ibu memang ada kaitannya dengan janin yang kandung nya. Ibu yang stress akan membuat janinnya juga akan stress, dan semakin ibu mengkhawatirkan janinnya yang stress, sang ibu akan semakin stress lagi, dan itu akan terus begitu. Ketika stress, nafsu makan sang ibu juga bisa jadi berkurang, tidur juga tidak nyaman, dan itu akan semakin mempengaruhi kesehatan janin. Belum lagi ketika nanti bayi sudah lahir, tangisan bayi dan kewajiban baru sebagai orangtua dapat membuat diri sang ibu lebih stress dari sebelumnya, sehingga berpotensi menimbulkan kelainan baru lagi, seperti depresi pasca salin" jelas sang Dokter membuat Doojoon paham akan semuanya.
"Mungkin Ran tidak ingin melukai buah hatinya jikalau dia mengingat kejadian kelamnya dulu. Seorang ibu hamil perasaannya sangat sensitif dan rapuh, jika hal yang tidak diinginkan terjadi maka akan melukai ibu dan janin yang ada di perutnya" Dokter sudah bisa membaca maksud Doojoon kemari dengan wajah datarnya.
"Tapi melihat Ran, dia pasti bisa melalui semuanya. Mungkin saat ini dia masih belum bisa terbuka tentang perasaannya pada orang lain. Dia masih Ragu untuk mempercayai seseorang. Kamu pasti bisa melakukannya. Saat ini curahkan kasih sayang dan buat dia selalu bersandar padamu agar kepercayaan nya kembali" ucap dokter menguatkan Doojoon
Doojoon terdiam mengingat pertengkarannya dengan Ran, "apa perbuatan ku salah?" Gumam Doojoon mengintropeksi dirinya
"Ada yang ingin kamu katakan?" Tanya dokter menyadarkan lamunan Doojoon.
"Tidak ada dok. Terimakasih dan maaf telah mengganggu waktu anda" ucap Doojoon langsung pamit meninggalkan kediaman itu dengan mobilnya.
"Sabar itu mahal Doojoon, tapi kamu pasti bisa menghadapi sikap Ran padamu" ucap sang dokter menyaksikan dari jendela rumahnya saat Doojoon pergi
mau absen dulu reader yang paling gercep dapat notifikasi My destiny ;)
Share this novel