Ran berlari menuju ke rumah sakit saat dirinya turun dari taksi. Perasaan takut terjadi sesuatu yang buruk pada ibunya kini merasuki pikirannya
"Kak Hendra..." Lirih Ran melihat kakaknya yang sedang duduk menunggu kabar dari dokter yang sedang memeriksa ibunya
Sebuah pelukan disambut hangat oleh sang kakak, "mama kenapa?"
"Doakan yang terbaik untuk mama Ran" lirih Hendra dalam pelukan adiknya.
Ran tidak menyadari seseorang yang berdiri bersandar di dinding selalu menatapnya.
"Mas Doojoon? Sejak kapan..."
Dokter baru saja keluar dari ruangan "bagaimana dokter?" Tanya Hendra langsung menghampiri
Dokter itu menggelengkan kepalanya "Sudah lama saya saya menjelaskan pada kalian semua kalau pasien harus mendapatkan perawatan yang intensif di rumah sakit, tapi kalian mengabaikannya.
Keadaan pasien semakin melemah" jelas dokter sudah kenal pada dua lelaki tinggi di sebelah Ran.
"Penyakit? Mama saya tidak ada penyakit dok. Mama saya sehat kok" Gumam Ran kebingungan.
Ayu, Muti, Doojoon dan Hendra hanya menunduk ketika Ran melemparkan tatapan matanya meminta penjelasan mengenai penyakit ibunya.
"Kita bicara di luar Ran" ucap Doojoon mengajak Ran ke tempat yang sunyi untuk menjelaskan keadaan ibunya.
"Mama kenapa mas?" Tanya Ran sangat penasaran
Doojoon meraih tangan itu dengan lembut, mencoba untuk menenangkan Ran yang sangat khawatir pada ibunya
"Mama memiliki tumor otak di area sensitif, dokter tidak menyarankan untuk operasi. Mama sudah melakukan kemoterapi tapi tumor itu semakin lama semakin parah hingga mama memilih untuk menghentikan kemoterapi dan menunggu..."
"Sejak kapan kamu tahu penyakit mama?"
"saat kamu pergi melanjutkan pendidikan mu di luar negeri" jawab Doojoon
Deg
"Apa...mereka semua tahu penyakit mama?" Tanya Ran dengan nafas yang tersengal-sengal menahan emosinya di dalam hati
Doojoon mengangguk, ia semakin menggenggam tangan Ran lebih erat lagi.
Tiada suara tangisan di bibir Ran, tapi air matanya mengalir dengan derasnya "aku menyembunyikan penyakit mama dari kamu karena-"
"Karena aku seorang pasien gila dan takut kalau traumaku kembali lagi ?" Ucapan Doojoon di potong begitu saja oleh Ran. Genggam itu dilepaskan kasar oleh Ran.
"Brengsek kalian semua!" Umpat Ran sangat marah
"Ran, aku ingin memberitahu kami tapi-"
"Tapi kak Hendra melarang kan? Apa aku tidak penting di mata kalian! Wanita yang terbaring itu adalah orang yang paling aku cintai! Aku hampir saja kehilangan waktu terakhirku bersama dengan mama!" Keluh Ran sangat terluka.
"Maafkan aku" lirih Doojoon menatap lekat mata yang menatapnya tajam sangat marah
"Selama ini aku berusaha untuk keluar dari duri yang selalu menusukku setiap saat, cuma mama obat yang paling ampuh sampai membuatku bertahan selama ini. Dan kalian tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa seperti semua baik-baik saja" rintihan itu membuat Doojoon terdiam mendengar semuanya
Hendra dan Ayu datang menghampiri keduanya "apa lagi kak? Aku pikir kalian begitu memahami ku, tapi kenyataannya semua hanya rasa kasihan kalian karena mentalku yang rusak"
"Ini semua demi kebaikan kamu Ran, semua ini keinginan mama" jawab Hendra dengan nada lembutnya kepada sang adik
"Kebaikan? Justru kalian yang melemparkan aku kembali ke jurang! Aku memang wanita yang cacat mental tapi tidak bisakah kalian terus terang meskipun itu menyakitkan. Aku bisa melaluinya karena aku punya kalian di sisiku!"
Ran sudah mencoba yang terbaik untuk melupakan masa kelamnya, melupakan semuanya demi menjadi Ran yang ceria dan baik-baik saja tapi semua itu tidaklah mudah.
"Aku juga capek kak, aku capek seperti ini terus! Penyakit mama sudah lama tapi kenapa saat sekarang aku tahu! Kalian masih anggap aku manusia gak! Kalian masih anggap aku ada! Hah?"
"Aku hampir aja kehilangan waktu terakhirku sama mama! Aku kecewa sama kamu mas!" gumam Ran pergi meninggalkan mereka bertiga dengan perasaan bersalah.
Sepanjang jalan menuju ke ruangan ibunya, air mata itu di seka nya ketika mengaliri kedua pipinya "aku tidak selemah itu sampai kalian semua menyembunyikan masalah ini dariku. Kalian tega" lirih Ran sepanjang perjalanan.
Bruk!
"Maaf" lirih Ran menabrak seseorang yang melintas di depannya
Seluruh sendinya lemah tak bertenaga, nafas yang tidak beraturan mencoba untuk mengontrol emosi yang menggebu-gebu di hatinya.
"Ran, kamu baik-baik aja kan" Doojoon mencoba memapah langkah kaki yang tidak tegak lagi. Doojoon ternyata mengikutinya dari belakang karena takut Ran melakukan hal yang gila lagi.
"Aku gak mau lihat muka kamu mas! Pergi sekarang juga! Aku benci sama kamu! Gak usah bantuin aku!" Ran justru menolak bahkan menepis tangan Doojoon bersama dengan tatapan benci di mata Ran.
Doojoon terdiam memikirkan sesuatu "oke. Aku pergi tapi setelah anterin kamu ke ruangan mama" jawab Doojoon masih bersih keras.
"Gak mau!" Tolak Ran mendorong jauh Doojoon di dekatnya. Doojoon terhempas ke dinding tapi tidak kuat karena pertahanannya
"Ran, aku gak mau terjadi hal buruk sama kamu. Aku gak mau kamu melukai diri kamu sendiri karena menahan emosi di hatimu" ucap Doojoon lembut.
"Ran! Jangan bertingkah seperti ini! Doojoon sudah melakukan yang terbaik buat kamu! Kamu gak berhak marah ke dia!" Hendra sudah di naiki emosi melihat Ran sangat kasar
"Siapa yang seharusnya marah hah? Aku atau kalian!?" Bentak Ran kasar
"Kak, biarkan Ran melakukan apapun semaunya, asalkan tidak melukai dirinya sendiri" Doojoon mencoba melerai di situasi yang memanas antara kakak beradik
Saat ini juga Hendra sedang dalam kondisi yang tidak baik, semua itu karena memikirkan ibunya yang semakin parah. Apalagi melihat Ran yang tidak stabil semakin membuatnya stres dan bingung menghadapi semuanya
"Udah mas, sekarang kita kembali ke ruangan mama dulu. Mama pasti sudah siuman" kata Ayu mengajak semuanya
Ran berjalan sendiri meskipun Doojoon sigap di sebelah menjaganya. Tidak ada satu katapun keluar sepanjang perjalanan ke ruang VIP rumah sakit.
Tepat saat mereka sudah sampai, Muti dan Elsa menunggu di sofa ruang ibunya di rawat.
"Mamah" lirih Ran berada di sisi brankar ibunya yang terbaring lemas. Tangan yang mulai keriput itu terlihat pucat dengan urat-urat yang terlihat jelas. Bagaimana bisa kondisi ibunya sudah separah ini, Ran tidak pernah menyadarinya selama ini.
"Ran..." Lirih Andin mendengar suara anak kesayangannya
"Mama kenapa begini hiks hiks mama pasti sembuh, maafin Ran selama ini gak sadar kondisi mama" lirih Ran dengan tangisan pecah di ruangan itu
"Jangan salahkan suamimu Ran, ini semua keinginan mama. Mama tidak ingin kamu khawatir" ucap Andin lembut
"Ran akan kehilangan mama tanpa tahu apa yang terjadi mah, Ran gak mau!" Rengek Ran sedih
"Ran, Doojoon yang selama ini merawat dan menemani mama. Mama yang melarang Doojoon memberitahu kamu penyakit mama" lirih Andin
"Tapi ini gak adil mah, Ran juga berhak tahu. Ran anak mama!"
Andin tersenyum mengelus pipi sang anak "mama kemo lagi ya, mama harus kembali sehat lagi. Atau Ran bawa mama ke luar negeri berobat di sana, kita pergi ya ma.." ajak Ran memaksakan kehendaknya
"Mama...rindu papa" lirihnya
Deg
"Mama pengen ketemu sama papa" lirih ibunya dengan senyuman
"Gak boleh! Kalau mama pergi, Ran harus ikut" tolak Ran menggelengkan kepalanya, tangisannya semakin deras dalam pelukan sang ibu
"Seorang anak yang ditinggalkan ayahnya di sebut yatim, seorang ibu yang meninggalkan anaknya di sebut piatu. Lantas sebutan apa untuk seorang anak yang meninggalkan orang tuanya?" Tanya Andin pada Ran
Ran terdiam tidak bisa menjawab pertanyaan ibunya "rasa kehilangan yang dialami seseorang ibu terhadap anaknya yang pergi tidak akan bisa dibandingkan dengan apapun di alam semesta ini. Rasa sakit itu tidak bisa dijelaskan Ran. Mama sudah sangat bersyukur kamu baik-baik saja melewati masa lalumu" jawab Andin dengan pelan dan lembut
"Waktu mama tidak lama lagi sayang, tapi mama bahagia kamu sudah menjadi anak yang hebat di mata mama. Kamu hebat menjalani takdirmu sayang"
Sakit memang, tapi dia belajar untuk ikhlas mengantarkan ibunya dengan senyuman. "Maafin Ran selalu nyusahin mama selama ini" lirih Ran memeluk ibunya di atas brankar
"Mama juga minta maaf sayang, terimakasih sudah hadir di dunia mama dan papa. Mama bangga melahirkan anak-anak yang baik hati dan berbakti kepada kedua orangtuanya" ucap Andin kini dipeluk oleh ketiga anaknya
Tangisan mereka menyatu di ruangan itu. Tangisan itu membuat Andin sangat tenang dan damai. "Doojoon mana?" Tanya Andin tidak menyadari kehadiran anak mantunya di tengah-tengah mereka
"Ran...suruh mas Doojoon pergi" lirihnya
"Temui dan minta maaf pada suamimu Ran" kata Andin tegas menatap anaknya tajam.
Perintah ibunya adalah kewajiban mutlak bagi Ran. Ia harus pergi malam itu juga.
"Aku dengan senang hati akan pergi biar mama melarang sekalipun" jawabnya dalam hati.
gimana hari kalian? salam kenal dari aku yaa
Share this novel