Episode 19

Romance Series 19934

Ddrrttt... Drrrtttt

"Halo, selamat siang. Apa ini dengan ibu Ran Tania?

"Iya. Saya Ran Tania, ini siapa ya?" tanya Ran sopan

"Saya wali kelasnya Doni, apa bisa Mba ke sekolah sekarang?"

"Maaf sebelumnya pak. Sepertinya saya bukan orang yang bisa menjadi wali dari Doni. Seharusnya kakaknya Doni pak" tolak Ran sopan.

"Saya sudah menghubungi Vina tapi dia sendiri yang memberikan nomor anda pada saya. Dia mengatakan kalau anda lebih dari segalanya bagi Doni" jawab pak guru itu sudah menjadi ping pong oleh Vina.

"Kalau begitu, bisa berikan saya waktu 30 menit lagi pak. Soalnya saya sedang mengajar" pesan Ran sebenarnya sedang menjelaskan materi yang sedang dia bawakan di kelasnya.

"Oke guys. Mungkin sampai di sini saja pembahasan kita pada hari ini. See you next time. Thank you" pamit Ran beranjak dari mejanya.

"Thank you Ma'am" ucap para mahasiswa serentak.

"Ma'am" panggil ketua tingkat kelas pada Ran.

"Ada apa Gibran?" tanya Ran menoleh.

"Begini Bu, akan ada perkemahan yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional dan kami berharap Ma'am bisa datang memeriahkan acara kami. Karena para alumni juga akan hadir demi menjalin hubungan yang baik antar semester" Gibran menjelaskan secara rinci mengenai kegiatan yang dia adakan.

"Kalau sebagai tamu insyaa Allah saya bisa datang. Tapi apa kamu sudah memberitahukan pada yang lain?" tanya Ran memastikan

"Mereka akan datang jikalau ma'am juga hadir. Karena rata-rata dari seluruh mahasiswa adalah sebuah organisasi yang Ma'am bentuk beberapa tahun yang lalu. Jadi bisa dibilang kalau Ma'am adalah pemegang keputusan terpenting" tutur Gibran meyakinkan.

"Organisasi? Ohhh, saya ingat. Kenapa bisa organisasi yang kami bentuk bisa sebesar ini hingga hampir seluruh pengurus Himpunan masuk di dalamnya?" tanya Ran berfikir kalau kegiatan belajar sharing ilmu pengetahuan beberapa tahun yang lalu sudah fakum tapi ternyata masih berjalan hingga sangat besar.

"Pak Rangga yang menjaganya sampai sebesar ini. Bahkan organisasi ini diikuti oleh beberapa universitas karena begitu banyak ilmu juga fasilitas yang dibutuhkan mahasiswa" kata Gibran terus terang.

"Rangga..." Gumam Ran mengingat lagi hal-hal yang selalu membuatnya takjub pada kekasihnya itu.

"Lakukan kegiatan itu. Hubungi saya jika ada yang ingin kalian tanyakan" pesan Ran meninggalkan tempat itu.

"Terimakasih Ma'am" ucap Gibran juga pergi.

"Rangga... sampai saat ini cintaku semakin dalam jika mengingat semua pengorbanan mu untukku" gumam Ran berada di dalam taxi menuju ke sekolah Doni.

Hal yang begitu ia sesali adalah waktu, seharusnya mereka menghabiskan waktu indah bersama-sama, bukannya saling menghindar dan tidak memahami perasaan masing-masing. Sekarang semua itu tinggal penyesalan.

Setibanya di sekolah tempat Doni menuntut ilmu. Terdengar suara seorang wanita tua yang sedang marah di rumah BK. Ran mendekati ruangan itu.

Plakk

Sebuah tamparan mengenai pipi Doni tepat di depan Ran yang baru saja masuk.

"Ada apa ini!? Kenapa ibu menampar dia" ucap Ran membela. Wajah Ran sangat kesal melihat wanita di hadapannya sedang berkicau melakukan pembelaan terhadap anaknya.

"Ohhh, jadi anda walinya. Doni memukuli anak saya! Lihat muka dia, anak saya babak belur dibuat anak nakal ini!" Tutur wanita itu menunjukkan semua luka-luka di tubuh anaknya

"Terus ibu mau apa?" tanya Ran.

"Minta maaf pada anak saya atau saya akan mengambil jalur hukum" kata wanita itu emosi.

"Tenang dulu bu. Kita selesaikan masalah ini secara kekeluargaan. Tidak perlu membawa hukum, mereka masih anak sekolah" tutur Guru BK meluruskan.

"Doni, minta maaf sekarang juga!" Tegas wali kelasnya Doni agar masalah cepat selesai.

"Saya gak mau! Lebih baik saya masuk penjara daripada minta maaf sama anak ibu" ucap Doni menolak tegas dengan tatapan tajamnya.

"Boleh saya bicara dengan Doni secara empat mata?" pinta Ran ingin mengetahui yang terjadi diantara kedua siswa itu.

"Silahkan mba" jawab guru BK itu dengan sopan.

"Kamu kenapa mukulin anak itu?" tanya Ran langsung ke inti

Doni hanya diam. Nampak kalau dia sedang menahan emosinya yang sedang membara dalam dirinya.

"Kalau kamu gak mau ngomong. Aku yang minta maaf sama ibu itu biarpun aku tahu kalau kamu gak salah" ancam Ran bicara santai dengan Doni.

"Dia bilang kak Vina itu pelacur dan..."

"Dan apa?"

"Matre dan manfaatin kak Reza" ungkap Doni hingga membuatnya sangat marah dan memukuli siswa itu.

"Terus kenapa kamu juga babak belur gini?" tanya Vina hanya bisa beristighfar karena menahan emosinya

"Dia ngajak temen-temennya buat mukulin aku" jawab Doni lembut

"Masuk sekarang juga" titah Ran langsung memasang mode gahar ketika berada di ruang BK

"Maaf pak, saya tidak mengizinkan Doni untuk minta maaf pada ibu ini dan anaknya" ucap Ran dingin

"Loh, seharusnya kalian sadar diri saya masih sabar menunggu permintaan maaf dari kalian! Anak saya korban dari masalah ini!" Wanita itu tidak terima dan bangkit dari tempat duduknya

"Seharusnya ibu tanya dulu anaknya sebelum berkicau tanpa tahu kejadiannya" ucap Ran santai dengan senyuman menjatuhkan

"Kurang ajar kamu ya! Ternyata kamu itu tidak ada bedanya dengan wanita-wanita yang tidak berpendidikan! Pantas saja suamimu mengalami depresi hingga mati karena sifatmu yang seperti ini" hina ibu itu sungguh membuat Ran tidak bisa menahan dirinya.

"Jaga mulut tante!" Peringat Doni juga beranjak dari tempat duduknya

"Kenapa! Hah! Kalian sama saja. Hobinya cuma merusak kehidupan orang! Sama seperti kakakmu yang menjual dirinya seperti jalang!" Teriak ibu itu makin ngelunjak

Byurr

Tatapan mata penuh penekanan ketika Ran mengguyurkan sebuah vas bunga yang berisi air ke wajah ibu itu dengan kasar.

"Kamu!" Ibu itu terkejut dan tidak sempat menghindari serangan dari Ran.

"Pasal 310 ayat (1) KUHP Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun. Pembunuhan berencana yang dilakukan oleh anak anda dengan teman-temannya pada Doni. Apa anda ingin menggugat kami? Belum lagi pasal 182, 183, 184, 185, 186 mengenai perkelahian. Kita lihat siapa yang lebih diuntungkan jika anda melakukan gugatan?" Ran menjelaskan semuanya dengan cakap.

Kedua guru yang menjadi saksi diam tak berkutik melihat seorang wanita yang sangat hebat dengan kata-katanya. Bahkan Doni tersenyum melihat Ran yang sangat elegan dan bisa diandalkan.

"Untung aja Ran yang datang, kalau si nenek sihir itu pasti aku udah masuk penjara karena bibirnya sama dengan tante ini" gumam Doni dalam hatinya.

Wanita tua itu sudah tidak berkutik di hadapan Ran. "Tidak perlu minta maaf pada kami. Di sekolahin dulu mulut sama moral tante sebelum ngomong sama orang" pesan Ran langsung membawa Doni pergi tanpa berpamitan pada guru-guru yang berada di ruangan itu.

"Ssshhttt sakit kak" ringis Doni saat ini berada di warung makan. Ran mengobati luka Doni sembari menunggu makanan mereka tiba di meja.

"Barandal kok ngeluh sakit. Lain kali kalau ada yang ngomongin Vina lagi hubungi aku biar kita sama-sama hajar orangnya" tutur Ran sementara memberikan obat merah di kening Doni.

"Emang kak Ran bisa mukulin orang?" tanya Doni terkekeh

"Gak lah. Cuma bisa lempar batu doang" jawab Ran mencari luka-luka Doni di wajahnya menggunakan sarung tangan karet ala-ala suster perawat pada umumnya.

"Hahaha... gak jadi deh aku masukin kakak di geng aku" ucap Doni mengikuti perintah dari Ran untuk tidak bergerak

"Jangan macam-macam ya Doni, aku bantuin kamu itu karena memang mereka yang salah. Jangan bikin Vina stres karena sifat kamu ini" pesan Ran lembut.

"Iya iya. Ran" ucap Doni menatap Ran penuh arti

Plak

"Ngomong yang bener" koreksi Ran menabok bahu Doni.

"Kenapa emangnya?" tanya Doni makin mendekatkan dirinya pada Ran

"Gak sopan panggil nama orang yang lebih tua" ucap Ran mengemasi kotak P3K yang baru dibelinya bersama dengan sarung tangan karet yang sudah berada di tempat sampah

"Iya kak Ran" ujar Doni mengikuti.

"Sekarang makan yang banyak terus balik ke rumah" pesan Ran sudah menerima pesanan mereka.

"Rumah kakak?"

"Rumah kamulah" jawabnya

"Gak mau! Aku di rumah temen aja" tolak Doni masih tidak ingin bertemu dengan Vina

"Temen mana? Memangnya kamu gak segan tinggal terus sama dia seminggu ini?" tanya Ran

"Aku banyak temen" jawab Doni melahap makanannya

"Terus duit kamu gimana? Baju, makanan, terus..."

"Aku laki kak, aku bisa tinggal di mana aja kalau udah gak punya apa apa" jawab Doni memotong pembicaraan Ran.

"Telfon aku kalau kamu udah gak punya tempat lagi. Nih" pesan Ran langsung memasukkan uang ke kantong baju Doni.

"Aku gak terima belas kasih orang!" Ketus Doni menaruh uang itu di atas meja.

"Ini bukan belas kasih tapi terimakasih karena sudah jagain aku tadi pas mau di serang tante itu" ucap Ran menyodorkan.

"Habisin semuanya, pesan aja kalau masih mau" tutur Ran menyantap makanan miliknya.

"Aku boleh pesan nasi bungkusnya 10?" tanya Doni meminta persetujuan Ran

"Iya. Pesan sebanyak yang kamu mau" jawab Ran mengangguk dengan senyuman manisnya

"Aku bayar dulu. Tunggu sini, jangan kabur" pesan Ran menuju ke kasir

"Argh" ringis Ran terjatuh.

"Kakak kenapa?" tanya Doni membantu Ran untuk duduk

"Dari kemarin kaki aku sakit gitu tapi masih bisa nahan. Mungkin karena aku buru-buru pergi ke sekolah terus gak perhatiin kakinya" pikir Ran menyentuh kaki kanannya yang sudah memerah. Namun dia menyembunyikannya dalam kaos kaki yang panjang.

"Kayaknya keseleo deh. Sini aku pijit" ucap Doni ingin menyentuh kaki Ran

"Jangan! Biarin aja. Pasti sakitnya ilang sendiri kok" tolak Ran tidak ingin disentuh.

"Kalau gitu aku antar sampai rumah" kata Doni menjaga dengan hati-hati. Ia meminta seorang wanita untuk memapah Ran menuju ke mobil taxi

"Makasih ya Doni" ucap Ran tulus

"Sama-sama kak" jawabnya

***

Pukul 04:00 pertanda kalau Doojoon sedang dalam perjalanan menuju ke rumah. Ran sedang membaca buku di atas kasur untuk materi yang akan dia bawakan besok di kampus.

"Assalamualaikum" kata Doojoon masuk ke dalam kamar. Biasanya Ran menyambutnya di depan pintu tapi saat ini dia tidak menemukan istrinya. Mulai timbul pertanyaan dalam hati Doojoon

"Waalaikum salam" jawab Ran menyambut Doojoon, ia beranjak dari kasur dan berjalan menuju Doojoon dengan perlahan

"Kamu kenapa?" tanya Doojoon melihat langkah kaki Ran tidak sejalan

"Kaki aku...sakit" jawab Ran gugup takut dimarahi.

Doojoon terkejut, sekejap ia langsung menggendong Ran ke atas kasur "mana saya lihat" ucap Doojoon melepaskan kaos kaki sepanjang betis Ran.

"Jangan! Aku... takut" tolak Ran menahan tangan Doojoon.

Tangan dan kaki adalah tempat sensitif bagi Ran jika ia mengalami luka di area tersebut. Karena dia pasti mengingat hal-hal di masa lalu. Rasa sakit yang dialami Ran dulu selalu terbayang-bayang jika mendapatkan luka hingga akhirnya jikalau hanya sebuah goresan, ia sangat cemas dan takut tapi lebih tepatnya lebay ;). Apalagi kalau bersama dengan orang yang sangat dekat dengannya langsung berubah sangat manja

"Gak apa-apa. Kamu percaya kan sama aku?" Doojoon menggenggam tangan Ran. Ia mengambil minyak pijat dalam nakas samping kasur.

"Perlahan ia melepaskan kaos kaki Ran" ia melihat kondisi kaki Ran yang sudah memerah dan membengkak

"Pantas saja kamu se takut ini" gumam Doojoon menyentuh kaki Ran.

"Awww!" Ringis Ran merasa sakit

"Ini baru nyentuh sayang, belum saya apa-apain" ucap Doojoon mencairkan suasana tegang

"Sakit! Udah, biarin aja. Sakit banget" keluh Ran menutupi wajahnya karena tidak ingin melihat kakinya

"Nanti makin parah. Sini saya pijitin, sakitnya cuma sebentar sayang" ucap Doojoon bisa diandalkan kalau pijat memijat

"Gak mau! Aku telfon kak Hendra aja. Biar dia yang urusin aku" tolak Ran meraih handphone miliknya yang berada di sudut kasur

Doojoon membiarkan Ran melakukan keinginannya "halo Ran? Ada apa?" tanya Hendra mengangkat panggilan dari Ran

"Huaaaa... kaki aku keseleo" adu Ran manja.

"Kenapa bisa keseleo?"

"Aku pakai high heels kemarin, terus tadi jatoh di rumah makan" jawabnya sambil melirik Doojoon yang sedang mengganti pakaiannya kemudian pergi membersihkan diri.

"Siapa yang suruh pakai high heels tinggi hah!? Kan aku udah bilang jangan nyiksa diri sendiri, itu karma karena gak dengerin abangnya sendiri" oceh Hendra malah memarahi Ran

"Kok marah sih! Aku... cuma mau ngadu aja!" Ucap Ran kesal

"Sekarang maunya apa?"

"Jemput aku, pengen mama" jawab Ran

"Kakinya di pijit dulu baru aku jemput. Nanti makin parah kalau gak diobati" tutur Hendra menjelaskan

"Sakit kak... Nyut-nyut kakinya" keluh Ran

"Memang sakit. Doojoon mana?" tanya Hendra

"Mandi. Tadi dia mau pijitin tapi aku gak mau" adu Ran jujur

"Emang nanti siapa yang pijitin? Aku? Aku gak bisa mijit Ran. Kamu nih ada-ada aja. Gak usah mempersulit kalau ada yang mudah. Kalau kamu gini terus, bisa-bisa aku gak khawatir lagi sama kamu. Kamu itu terlalu bergantung sama aku padahal udah punya suami yang bisa jagain kamu. Pokoknya jangan ke sini kalau kakinya gak dibenerin" Hendra langsung mematikan panggilan nya.

"Kak Hendra jahat!" Keluh Ran di atas kasur.

Beberapa menit berjalan, Doojoon baru saja keluar dari kamar mandi. Ia melihat wajah masam Ran terdiam bersandar di senderan kasur. Air mata mengalir tanpa suara di pipi Ran, ia terlihat sangat kesal mendapatkan ocehan dari Hendra

"Mau dijemput kak Hendra?" tanya Doojoon sedang memilih pakaian

"Gak" jawabnya sambil menyeka air mata.
Sepertinya istrinya habis dimarahi oleh Hendra.

"Sakit banget ya?" tanya Doojoon menghampiri, ia masih memakai jubah mandi berwarna putih.

"Iya, sakitnya udah menyebar. Terus aku dimarahi sama kak Hendra sampai gak di kasih pulang" adu Ran seperti anak kecil.

Doojoon terkekeh, ia tahu maksud dari Hendra melalui Ran

"Terus dibiarin aja sampai diamputasi?" Doojoon mencoba menakut-nakuti Ran

"Pijit aja, aku bisa nahan kok" ucap Ran akhirnya meminta Doojoon.

"aku siapin es buat kompres kakinya terus, aku pakai baju dulu" pesan Doojoon dengan suara yang lembut pada Ran

Ran menjadi saksi bisu melihat Doojoon memakai pakaiannya di depan Ran. "Nih orang lembut tapi kalau penampilannya di rumah cool banget" gumam Ran masih bisa menikmati hidangan yang memang miliknya. Ia masih sempat memikirkan hal itu meskipun sedang kesakitan.

"Konpres nya udah jatuh Ran" ucap Doojoon melihat Ran dari cermin.

"Ohhh, iya." Jawabnya fokus kembali

"Udah siap?" tanya Doojoon saat ini sudah berada di atas kasur

"Mmmm" jawab Ran menyelimuti dirinya dengan selimut, hanya kaki yang berada di luar di depan Doojoon

"Santai, jangan kaku" pesan Doojoon mulai menaikkan sedikit kaki Ran sejajar lalu diletakkan di pahanya.

"Makan sama siapa tadi?" tanya Doojoon mendengar sedikit percakapan Ran

"Dengan Doni, tadi aku dapat telfon dari sekolah. Dia berantem sama siswa jadi aku pergi"

"Terus..." Doojoon memijat dengan lembut

"Shhh... jadi aku ketemu sama mama siswa itu, terus dia marah sama kita berdua sampai-sampai aku kena juga" cerita Ran.

"Jadi kamu ikutan marah juga?" tanya Doojoon mencari selak untuk membunyikan kaki Ran

"Iya. Mulut gak berpendidikan gitu udah wajar aku siramin dia air dari Vas bunga yang udah keruh" jawab Ran

"Terus jatuhnya di mana sampai kayak gini?" tanya Doojoon mencari titik temu

"Di rumah makan..."

Krek

"Akhhhh" teriak Ran kesakitan. Tapi setelah itu sakitnya perlahan hilang.

"Gimana?" tanya Doojoon memastikan perasaan Ran

"Enak!" Jawab Ran kebingungan. Rasa sakitnya tidak lagi menyiksa Ran. Ia menggerakkan kakinya perlahan dengan senyuman lega.

"Imbalan nya mana?" tanya Doojoon menjulurkan tangannya pada Ran

"Ehh, kemarin kamu mau kasih aku kejutan? Sekalian sama imbalannya aja sekarang" Doojoon meminta janji Ran.

"Sini aku bisikin" panggil Ran meminta Doojoon mendekatinya

Doojoon penasaran, ia mendekatkan dirinya duduk di samping Ran.

Cup

"Itu kejutannya" ucap Ran mengecup pipi Doojoon.

"Terus imbalannya mana?" tanya Doojoon menempelkan dirinya hingga tatapan mereka bertemu

"Kamu mau imbalannya apa?" tanya Ran tidak memalingkan pandangannya

Tangan Doojoon mulai bergerak ke satu titik keinginannya "aku... mau ini" ucap Doojoon gugup. Ia tahu pasti Ran masih membutuhkan waktu untuknya.

Tangan itu sedang menyentuh bibir pink alami Ran. Bibir lembut itu sungguh menaikkan hasrat Doojoon untuk segera melakukannya. Detak jantung Doojoon terdengar jelas di telinga Ran karena posisi mereka yang berdempetan.

Tapi ia tahu, kalau Ran tidak menginginkan nya. Doojoon menutup matanya demi menghilangkan semua pikiran itu. Tatapan Ran masih tetap sama, ia melihat Doojoon yang berusaha menahan diri untuk tidak menciumnya meskipun posisi wajah mereka sudah berdempetan.

Cup

Ran mengecup bibir itu sekilas hingga mata Doojoon kembali menatap Ran. "Bolehkah?" tanya Doojoon memangku wajah Ran dengan kedua tangannya

Ran mengangguk.

Deg!

Cup

Perlahan tapi pasti bibir itu kini dalam jangkauan Doojoon. Ciuman yang sangat lembut, menunggu Ran untuk meresponnya.

Doojoon ingin meminta lebih, jemarinya mulai merengkuh tubuh Ran. Ciuman yang tadinya sangat lembut kini mulai agresif hingga Ran kesulitan menyeimbangi gerakan Doojoon.

"Awww" keluh Ran kesakitan.

"Maaf sayang" Doojoon mengehentikan ciuman itu, ia tidak sadar mendapatkan kenikmatan hingga menindih kaki Ran yang keseleo.

Ran terkekeh, "this is not your first kiss, right?" tanya Ran merasakan keahlian yang dimiliki Doojoon saat mereka berciuman.

"Iya" jawabnya mengangguk

"Sejauh mana hubungan mu dengan kekasihmu yang dulu?" tanya Ran penasaran.

"Tenang, yang di bawah gak pernah main kok. Cuma yang di atas doang" bisik Doojoon menyentuh leher jenjang Ran yang sangat putih mulus.

"Aku gak percaya sama jawaban kamu, pasti udah pernah kan sama dia" ia memaksa Doojoon untuk mengakuinya.

"Gak sayang. aku bukan orang yang seperti itu. Memang terdengar kulot tapi aku akan melakukannya dengan hubungan yang resmi, bukan sekedar kenikmatan sementara tapi selamanya" jawab Doojoon.

"Ohhh. Kenapa kamu senyum senyum gitu?" tanya Ran melihat Doojoon bahagia

"Kalau aku minta lagi boleh?" tanya Doojoon

"Nanti kakinya kesenggol lagi" tutur Ran

"Okedeh. Lain kali" ucap Doojoon berpindah tempat. Dengan manja ia menaruh kepalanya di paha Ran. Kemudian memeluk pinggang Ran yang sangat ramping. Desakan nafas Doojoon dirasakan Ran sedikit membuatnya geli.

"Mas?"

"Hm?" Doojoon masih menenggelamkan kepalanya di perut Ran.

"Aku mau izin"

"Izin? Ngapain?" Doojoon meluruskan tatapannya pada Ran.

"Aku mau camping. Anak-anak yang ajakin aku. Boleh gak?" jawab Ran menyisir rambut Doojoon dengan kedua tangannya.

Tangan Ran yang sedang bergerak membuat sedikit tatapan Doojoon terhalang, ia menarik tangan Ran masuk ke dalam jemarinya. "Berapa hari?" tanyanya.

"Empat hari" jawabnya pelan.

"Empat hari!!" Doojoon syok, waktunya saja sangat sedikit bersama Ran karena pekerjaan yang menumpuk apalagi Ran akan meninggalkan dia selama empat hari.

"Mas... boleh ya? Aku pengen banget. Udah lama gak camping" Ran memohon sangat ingin pergi

"Ada laki-laki?"

"Ada perempuan juga mas, himpunan yang bikin kegiatan" jawab Ran menambahkan agar Doojoon tidak khawatir.

Ingin sekali dia pergi mengikuti Ran, tapi perusahaan yang sedang dia bangun saat ini sedang sibuk-sibuknya. Apalagi memikirkan Ran tidak ada di rumah di akhir pekan membuatnya makin lemas memikirkan. "Kamu kok tega ninggalin aku" keluh Doojoon memelas.

"Mas... Vina sama Reza juga ada... terus teman-teman aku yang lain jiga ikut" Bujuk Ran manja. Ia juga ingin mengajak suaminya tapi urusan kantor tidak bisa dihindari. Apalagi ini adalah kesempatan langka bisa bertemu dengan teman-teman lamanya

"Reza kan kerja di kantor, terus Vina juga hamil. Pasti kamu kesepian di sana sayang" ucap Doojoon mencari alasan.

"Mas..." Paksa Ran hingga Doojoon mengatakan iya

"Hari apa berangkat nya?" tanya Doojoon.

"This week, on Thursday"

"aku izinkan, tapi aku sendiri yang anterin kamu ke sana" ucap Doojoon.

"Makasih mas" ucap Ran sangat bahagia, dengan segera ia mengambil handphone di samping Doojoon untuk memberitahukan jawaban untuk mahasiswa yang sedang menanti. Posisi handphone yang sedikit jauh dari Ran, menunduk sedikit padahal Doojoon masih berbaring di pahanya.

Deg

Dua gunung yang bersentuhan dengan wajah Doojoon ketika Ran meraih handphone nya. "Ekhem! Ran... punya kamu nempel di muka aku" ucap Doojoon senyum malu-malu.

Plak

"Mas Doojoon mesum!" Ran menutupi kedua payudaranya dengan kedua tangannya. Tatapan absurd membuat Doojoon mendapatkan sebuah jitakan dari Ran

"Ibadah itu namanya" koreksi Doojoon membenarkan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience