Episode 4

Romance Series 19934

Bunyi hujan bersama dengan petir di malam yang mencemaskan bagi Ran, semenjak kejadian di masa lalu dia menjadi sangat takut pada petir apalagi kegelapan. Pukul 23:40 Ran terdiam di dalam kamarnya melihat layar handphone juga nyala Tv yang bergema di kamar itu. Semuanya agar Ran tidak mendengar aungan petir dari luar. Berkali-kali ia menghubungi Vina namun tetap saja tidak ada respon. Dia hanya bisa menutupi dirinya dengan selimut "kalau lampunya mati, aku yang akan mati terlebih dulu" gumam Ran dalam hatinya.

"Kak Hendra... aku takut" telfon Ran pada Hendra yang saat ini sedang di Bandung.

"Kamu tenang dulu, kakak cari orang buat jemput kamu" jawab Hendra sangat cemas mendengar dentuman petir bersama dengan hujan yang sangat deras.

"Ran takut lampunya mati" keluhnya mencoba untuk tenang.

"Atur dulu nafasnya, tenang... Kakak ke sana sekarang" kata Hendra langsung menyetir mobil ke Jakarta menyusul adiknya.
Jakarta ke Bandung? Mustahil sampai hanya dalam beberapa menit, butuh beberapa jam untuk sampai di tujuan.

Tak

Lampu seketika mati, kegelapan di kamar itu mulai merebah. Ia hanya bisa menatap handphone yang kini beberapa inci dari wajahnya.

Ddrrrtt

"Terjadi pemadaman listrik di lingkungan perkampungan x Karena kerusakan kabel listrik. Dimohon pengertiannya" pemberitahuan pesan masuk di handphone Rangga mengenai rumah baru yang Ran tinggali saat ini.

Rangga bergegas mengambil kunci mobil tanpa melihat jam saat ini yang menunjukkan pukul satu malam. Entah perasaan yang sedang kacau atau memang saat ini dia sangat khawatir. Hanya butuh 10 menit Rangga menancapkan gas mobil di jalan yang sudah sepi hingga sampai di halaman rumah yang sangat gelap tanpa pencahayaan sama sekali.

Tok tok tok

"Ran!"

"Buka pintu nya sekarang! Ini aku Rangga!"

"Kamu ada di dalam kan?"

Panggilan itu sama sekali tidak terdengar oleh siapapun karena derasnya hujan. Rangga segera menelepon Ran yang saat ini entah di mana dan seperti apa perasaan nya.

"Halo! Ran! Kamu di mana?" tanya Rangga khawatir.

"Lampunya mati... aku..."

Tuuutt

Rangga langsung mendobrak pintu tebal nan besar itu tanpa rasa sakit sedikit pun, dia sangat khawatir mendengar suara Ran yang sangat lemah.

Brak

Pintu langsung terbuka, Rangga berlari ke lantai 2 ditempat Ran saat ini, pintu yang masih terkunci dari dalam terus digedor oleh Rangga, dia sama sekali tidak tenang sebelum melihat wajah Ran.

Bankkk

Pintu kamar itu terbuka dengan sekali tendangan oleh Rangga, kini hanya lampu senter handphone yang menyinari langkah Rangga mencari Ran. Saat ini Ran tidak berdaya terbaring lemah di atas kasur, Ran mengalami sesak nafas saat lampu mati sedikit pun dia tidak pernah pindah atau bergerak dari tempat tidurnya melainkan hanya menyelimuti seluruh tubuhnya hingga membuat oksigen disekelilingnya berkurang.

"Ran!" panggil Rangga langsung menggoyangkan tubuh Ran agar sadar. Seluruh tubuhnya berkeringat dan sangat pucat, tangan Ran seperti es ketika Rangga menggenggam tangannya.

"Kak Hendra..." rintih Ran mengira kalau lelaki itu kakaknya.

"Ran takut gelap, Ran..."

Tak

Lampu langsung menyinari seluruh ruangan hingga membuat Ran tersadar kalau lelaki yang berada di hadapan nya ini adalah Rangga.

"Ran, kamu..."

"Jangan sentuh aku" ia langsung menyembunyikan wajah di antara kedua lututnya. Dia menahan tangisannya dan mencoba terlihat kuat di depan Rangga. Tentu saja saat itu Rangga hanya bisa duduk diam dihadapannya, tak ada yang bisa dilakukannya selain menatap wanitanya yang sedari tadi hanya diam tanpa pergerakan.

"Ran..." panggil Rangga lembut namun tak ada respon darinya. Ingin dia menyentuh tapi keberanian diri membuat nya berhenti dan hanya diam memerhatikan apakah saat ini dia baik-baik saja.

"RAN" Panggil Vina dari lantai bawah berlari mencari sahabatnya. Ketika mendengar suara dari seseorang yang dikenalnya Ran langsung beranjak dari kasur dan masuk dalam pelukan Vina yang sudah berada di depan pintu kamar.

"Hiks hiks... aku takut Vin. Kamu ke mana sih... hiks hiks" keluh Ran dalam pelukan erat sahabatnya

"Maafin gue... gue emang bego" ujar Vina ikut meneteskan air mata karena khawatir.

"Gue gak bakalan ninggalin lo lagi, jangan nangis Ran. Lo anak yang kuat" puji Vina memberikan kekuatan. Tangisan yang masih berderai di pipi Ran kini disambut oleh tangan lembut Vina yang sangat menyayanginya. Semua yang Ran rasakan saat ini adalah bentuk dari kecelakaan masa lalu yang kadang menghantuinya di malam hari ketika cuaca tidak mendukung. Di hadapan semua orang dia memang terlihat hebat, berwibawa, kuat dan pantang menyerah tapi sesungguhnya dia seperti anak kecil yang harus selalu diawasi dan dijaga agar tidak terluka.

Rangga yang masih terpaku melihat Ran yang seperti itu sangat terpukul baginya. Ternyata selama ini dia sangat tersiksa karena perbuatannya.

"Udah makan?" tanya Vina pada Ran.

"Hiks hiks belum" jawabnya.

"Aku buatin makanannya, nanti ma'ag kamu kambuh kalau gak makan" celoteh Vina menatap sahabatnya dari tadi mengelus perutnya.

"Atau ma'ag kamu emang dari tadi kambuh? Dari tadi kamu pucat gemetar gini karena emang belum makan?" Vina menatap tajam Ran yang mulai memalingkan wajahnya ke arah lain. Yah, Ran tidak ahli dalam berbohong.

"ke dapur sekarang juga" ajak Vina menarik tangan Ran menuju ke bawah. Tangan Ran mencoba menahannya untuk pergi.

"Perut aku sakit banget, aku gak sanggup gerak" keluh Ran yang kini merasakan sakit yang tidak tertahankan.

"Biar aku saja" kata Rangga langsung meninggalkan mereka menuju dapur.

"Aku buatin air hangat, tunggu di sini" pinta Vina menyelimuti sahabatnya dengan selimut di atas kasur.

"Jangan lama-lama" pesan Ran pada Vina

Saat Vina menuju ke dapur mengambil minuman hangat untuk Ran, di situlah dia menjumpai Rangga sedang memasakkan telur dadar, sup dan bubur agar pencernaan Ran tidak sulit untuk mengurai makanannya.

"Saya rasa cukup sampai di sini saja, biar saya yang melanjutkannya pak Rangga" kata Vina dengan bahasa formal nya.

Rangga tidak merespon perkataan dari Vina, dia melanjutkan kegiatan masaknya tidak menganggap Vina ada.

"Terimakasih sudah menolong teman saya tadi. Sebutkan saja berapa biaya yang harus saya bayar mengenai pertolongan anda" kata Vina lagi sedang mengaduk air hangat bersama gula yang sudah larut di dalamnya.

Tak.

"Aku hanya niat untuk menolong. Tidak lebih" singkat Rangga langsung meletakkan spatula dengan sedikit tekanan.

"Baguslah kalau anda mengerti" sebal Vina masih menyimpan rasa sedikit tidak suka jika Rangga masih dekat dengan sahabat nya.

"Mana dia Vin?" tanya Ran menanyakan keberadaan Rangga yang sudah tidak terlihat.

"Dia sudah pergi Ran, sekarang makan bubur ini" perintah Vina memberikan semangkuk bubur, telur dadar dan sup yang masih panas.

Terlihat sedikit rasa sedih di wajah Ran ketika mengetahui kalau Rangga sudah pergi, belum sempat ia berterimakasih. "Apa ini masakan buatanmu?" tanya Ran merasakan telur dadar itu sekali suap.

"Iya, kenapa? Enak kan" kata Vina tidak ingin lagi ada Rangga dalam kehidupan sahabatnya. Meskipun Vina mengatakan hal tersebut Ran lebih tahu rasa sup, telur dadar yang sering dia makan bersama dengan seseorang yang sangat dia cintai dulu.

***

Pada pukul 07:00 Haikal sudah berada lebih dulu di mejanya mempersiapkan semua kegiatan dan jadwal pertemuan mereka hari ini. Ketika Haikal memasuki ruang Presdir, dia sudah melihat Rangga sudah di kursinya menyelesaikan pekerjaan di pagi itu.

"Pak Rangga?" panggil Haikal mengira-ngira sepertinya dia tidak tidak tidur semalaman dan hanya melihat komputer yang dipenuhi oleh data data yang perlu diselesaikan.

"Aku ingin semua jadwal hari ini selesai pukul 12:00 siang" titah Rangga dan harus dipatuhi oleh Haikal.

"Baik pak" jawab Haikal hanya bisa menerima semuanya.

"Aku mencoba untuk menyesuaikan diri dengan cara Rangga bekerja. apa aku yang terlalu lambat atau Rangga yang gila kerja? Apa benar dia itu robot yang tidak pernah lelah?" setiap hari pertanyaan itu selalu terbesit di benak Haikal.

Mengapa hal tersebut terjadi pada Rangga?

Jawabannya hanya satu, yaitu Ran. Satu-satunya cara untuk membuat Rangga menghilangkan ingatannya pada Ran adalah bekerja keras dengan otaknya dengan semua urusan perusahaan.

Setelah semua pekerjaan selesai, Rangga beserta kedua orang tuanya menuju ke suatu tempat yang dulu sangat asing bagi Rangga. Gundukan tanah tersusun rapi berjejer di tempat itu, wewangian bunga berwarna-warni beterbangan ke segala arah karena tiupan angin.

"Mama datang sayang" sahut Rachel berdiri di sebuah nisan yang bertuliskan Aditya bin Aditya. Mawar merah yang sudah lepas dari tangkai nya kini pindah ke atas gundukan tanah yang berada di depan mereka.

"Dik, maaf aku baru bisa datang menjenguk mu" sapa Rangga menyentuh batu nisan milik saudara kembarnya.

"Papa sama Mama akan selalu mendoakan Aditya di sana" .kata Ayah Rangga mengajak berbicara pada sesuatu yang tidak bisa menjawab setiap pertanyaan mereka

"Papa sama mama pergi dulu. Kamu masih mau di sini atau ikut kita?" tanya Rachel pada Rangga.

"Aku masih mau di sini" jawab Rangga masih ingin mengatakan sesuatu pada saudaranya.

"Maaf, aku tidak bisa menjaga Ran dengan baik. Aku hanya membuatnya tersiksa karena perbuatan ku"

"Tidak tahu cara seperti apa lagi yang aku lakukan agar dia mau kembali di sisiku. Apa Ranmu yang dulu gadis yang kuat?" tanya Rangga pada saudaranya

"Dulu kamu selalu bercerita tentang si mungil yang selalu bahagia dan ceria setiap saat. Setiap inci dari dirinya kamu ceritakan hingga tak satupun yang terlewat. Dia yang selalu berada di depan untuk melindungi mu dari anak-anak nakal. Sekarang dia seperti kamu yang sangat rapuh dan selalu butuh bantuan. Aku sangat mencintainya, bantu aku untuk mendapatkan si mungil kita. Kadang aku ingin menyerah tapi sesungguhnya takdir selalu mempertemukan aku dengannya. Hingga aku percaya kalau dia adalah takdir ku saat ini dan di masa depan"

Dengan mengatakan semua keluh kesah yang dirasakan oleh Rangga, bisa membuatnya tenang dan berfikir jernih lagi. Rahasia yang hanya diketahui oleh Rangga dan orang tuanya tersimpan rapi tak ada goresan sedikitpun. Sebenarnya Aditya adalah sahabat Ran saat mereka masih kecil. Karena kondisi fisiknya yang tidak seperti anak-anak pada umumnya, membuat kedekatan antara keduanya tidak bisa dipisahkan, hingga Ran tidak bisa melupakan masa kecilnya yang indah. Hanya karena sebuah kecelakaan yang menimpa Aditya dan Rangga. Adiknya sendiri yang mendonorkan matanya pada kakaknya tercinta dan pada masa kritis yang dialami oleh Aditya, Rangga mendengar semua cerita mengenai seorang gadis kecil yang sangat baik hati dan suka menolong orang yang lemah. Setiap hari di akhir hidupnya, Aditya berpesan pada kakaknya kalau dewasa nanti Rangga harus menjaga Ran sama seperti saat gadis kecil itu menjaganya dulu. Tanpa disadari Rangga telah benar-benar jatuh hati pada seorang gadis yang bernama Ran. Yang dari awalnya hanya ingin menjaga dari kejauhan kini menjadi sebuah ikatan sakral yang tidak dapat dipisahkan. Tapi semua itu berakhir tragis bagi hubungan mereka yang sudah hancur dan tinggal kenangan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience