episode 49

Romance Completed 76642

Malam saat Rangga baru saja menyelesaikan sholat isya nya di dalam kamar bersamaku yang menjadi ma'mum di atas kasur sambil duduk.

Memang rebahan memakai mukena sangat nyaman hingga sehabis sholat aku hanya diam sambil memeluk guling dengan nyaman.

Saat ini moodku tidak bersahabat karena kejadian siang tadi saat Rangga bersama dengan Jessica. Hingga sekarang aku masih kesal melihat Rangga yang santai saja.

"Sayang"

Rangga menghampiri ku dengan senyuman menggoda, tapi aku tidak terpengaruh akan sikapnya padaku.

"Sayang" panggil Rangga lembut tapi aku tak menghiraukan nya. Tangannya mulai menjulur di pinggangku dengan lembut.

Tak

"Gak usah carper, aku masih marah sama kamu" jawabku melepaskan tangan Rangga.

Dia tertawa melihat ku yang masih cemburu pada kejadian tadi.

"Gak lucu!" ketusku membelakangi Rangga di atas Rangga.

"Kamu cemburu?" tanya Rangga membalikkan ku mengarah padanya.

"Udah tahu masih nanya!" balasku.

"Yaudah... maaf sayang" kata Rangga memelukku dari belakang

"Kamu kok ceria banget hari ini?" tanyaku pada Rangga.

"Karena little girl nya aku udah balik lagi" jawab Rangga masih memelukku

"Jadi selama ini kamu pikir aku gila! Gitu?"

"Gak sayang... maksudnya aku bisa meluk kamu dan ngambek kayak gini" jawab Rangga.

"Gak usah meluk, aku masih sebel sama kamu" tutur ku menolak Rangga.

"Gimana kalau malam ini kita latihan"

"Latihan apa?"

"Latihan jalan, biar cepet sembuh" tutur Rangga.

"Yaudah"

"Yaudah apa?"

"Bantuin aku"

"Sini sayang, biar suamimu yang ganteng ini bantuin kamu" kata Rangga turun dari kasur dan membantuku.

Mukena yang masih melekat di tubuhku kini ku lepas dan dikembalikan Rangga menuju closet.

Aku sudah bersiap di sudut ranjang menunggu Rangga kembali membantuku berdiri.

Set

Rangga menarik ku dalam pelukan nya dan memapah ku dalam dada bidangnya agar tidak terjatuh.

"Siap?" tanya Rangga

Aku mengangguk dan tersenyum melihatnya, kedua bola mata hitam yang kini memerhatikan setiap inci dari pergerakan ku.

"Jangan dilepas ya" peringat ku pada Rangga agar dia tidak melepaskan genggaman nya.

"Sampai mati pun gak akan aku lepas" kata Rangga.

Rangga sangat serius membantu pemulihan ku, hingga semuanya berjalan dengan baik.

Selama 30 menit aku berjalan mengitari kamar kami bersama Rangga yang masih menemani.

"Hah! Aku gak sanggup lagi. Aku capek" keluhku bersandar di dada bidang Rangga.

"Istirahat aja kayak gini" tutur Rangga menjadi patung di hadapanku.

"Sayang?"

"Hm?"

"Malam ini, aku boleh meluk kamu sambil tidur?" tanya Rangga.

Selama beberapa hari ini Rangga selalu menjaga kontak batin denganku, dia hanya memelukku saat aku dalam masa tidak stabil. Mungkin dia takut aku akan gila kalau sentuhannya mengingatkan ku pada lelaki biadab tidak berakal itu.

"... boleh" jawabku.

"Kamu gak apa-apa kalau aku peluk semalaman?" tanya Rangga.

"Kita lihat aja nanti" jawabku.

"Kalau gitu, kita bobo sekarang aja" tutur Rangga menggendong ku menuju ke kasur.

"Tapi ini masih jam setengah delapan" pikirku mengira-ngira.

"Biar bisa lama meluk kamu" kata Rangga membenamkan tubuhnya masuk menghirup udara di sekeliling leher ku kemudian menempatkan kepalanya di dadaku.

"Kamu gak lihat nih, kantong mata aku hitam banget. Aku jagain kamu setiap malam biar kamu tidur nyenyak" kata Rangga menaruh tanganku di pipinya.

"I love you" ucapku.

"I do love you" balas Rangga.

Malam ini adalah malam yang panjang bersama dirimu yang kini dalam pelukan ku. Kamu adalah satu-satunya malaikat yang menjagaku dalam keterpurukan ku meski kadang aku selalu membuat mu terluka. Maaf kalau beberapa hari ini aku tidak perduli pada dirimu, tidak memahami perasaan mu, tapi kamu harus tahu kalau cintaku padamu itu selamanya.

"Mimpi indah"

Kecupan singkat mendarat di kedua mata yang sudah tertutup, menghirup bau parfum yang melekat di tubuhnya. Tanpa sadar aku menatap lama wajah tampan yang kini sudah terlelap begitu cepat. Memerhatikan setiap inci dari ciptaan tuhan yang sempurna ini.

Rahang yang kokoh, alis tebal yang tersambung, hidung mancung dan bibir seksi yang selalu mesum pada tubuhku. Aku akan mengingat setiap bentuk dirimu, lelaki yang aku cintai, pasangan hidup dan matiku.

***

Tubuh lelaki yang masih setia menempel pada diriku hingga menjelang pagi, dia tersenyum memerhatikan ku dalam diam. Satu kalimat keluar dari bibirnya
"I love you"

Dia menggenggam tanganku memastikan bekas lebam yang sudah pudar di kedua pergelangan tanganku.

"Semalam... apa kamu mimpi buruk lagi?" tanya Rangga.

"I'm okay" jawabku lembut.

"Kamu istirahat lagi ya, biar aku bawain kamu sarapan" titah Rangga beranjak dari kasur.

"Aku ikut, sekalian latihan" Aku beranjak turun mengikuti Rangga yang mengulurkan tangannya padaku.

Meskipun perlahan, aku sudah bisa. Kali ini kami menggunakan lift menuju dapur. Karena masih pukul enam, hanya aku dan Rangga yang berada di dapur.

Pekerjaan kantor papa dan bisnis mama yang baru membuat mereka sibuk hingga bekerja sampai larut malam. Dan akhirnya kami hanya bisa berkumpul saat hari libur. Rangga yang mengambil cuti demi menjagaku pulih seutuhnya.

"Kamu mau makan apa?" tanya Rangga mencari bahan di kulkas.

"Nasi goreng sama telur ceplok" jawabku.

Dia mengambil bahan bahan yang dibutuhkan demi membuat nasi goreng special untuk ku.

Melihat nya memakai celemek membuat ku berdebar kencang. Dia sangat serius dengan mengerjakan nya hingga tidak menyadari kalau aku menghampiri nya diam-diam.

"Loh, kapan kamu jalan ke sini?" tanya Rangga. Dia kaget ketika aku memeluknya dari belakang.

"Kamu cuma fokus sama masakan, aku di nganggurin sendiri" keluhku masih memeluk nya.

"Kakinya sakit gak?" tanya Rangga memastikan.

"Udah enggak" jawabku.

Dia mengangkat ku di atas meja masak yang luas. Hingga aku tertawa lepas karena kekonyolan kami. Aku duduk bersila melihat Rangga yang memotong daging tepat di depanku.

"Pengen bantuin kamu motong dagingnya" ucapku berharap.

"Gak boleh, nanti luka gimana!" tolak Rangga.

"Tangan kamu juga luka" gerutu ku memasang wajah kesal.

"Nih, hati-hati. Ayamnya potong dadu kecil, sayur kol iris panjang kayak gini" tutur Rangga memberikan contoh.

Aku tersenyum kembali dan segera mengambil alih tugas iris mengiris yang diberikan Rangga.

Setelah semua bahan sudah diatur, sekarang tinggal memasukkan bahan ke panci. Kini aku menjadi asisten Chef Rangga. Karena semua bahan kini berada di sekeliling tempatku duduk jadi aku tinggal menunggu perintah dari Rangga.

Pertama-tama Rangga memasukkan potongan ayam ke dalam panci, saat ayamnya mulai matang Rangga memasukkan irisan bawang lalu memasukkan sayuran opsional kesukaan ku, dan yang terakhir memasukkan nasi dan bumbu sachet.

"Harum banget" pujiku memerhatikan secara dekat Rangga mengaduk nasi goreng itu

"Tambahin sambal pedas ya, biar nantang" ujarku mengambil sambal yang dekat denganku.

"Sayang, masih pagi kok makan pedes, nanti bolak balik toilet" kata Rangga.

"Dikit aja, ya ya" bujuk ku manja.
"Sayang, dikiiiittt aja" bujuk ku lagi.

"Oke" singkat Rangga.

Aku memberikan saos sambal itu pada Rangga, akhirnya makananku ada rasa lagi, tidak seperti hari-hari sebelumnya yang hambar tanpa sambal.

"Suamiku jago banget masak" pujiku pada Rangga.

"Kamu bilang apa?" tanya Rangga merona.

"Suamiku" jawabku.

"Lagi"

"Mas Rangga sayang" bisik ku menggoda Rangga.

Alasan selama ini aku tidak mau memanggil nya mas lagi karena itu adalah senjata terampuh jika ingin membuat nya tersipu berjuta-juta kali, bahkan hingga membuat wajahnya memerah apalagi telinganya yang seperti dijewer karena sangat merah.

"Ran, berhenti!"

"Kenapa?" tanyaku.

"Saat ini aku sedang mati-matian menahan diri, kalau kamu mengatakan nya lagi kamu akan memastikan betapa berantakannya isi kepalaku"

"Pft... iya, iya. Aku gak godain kamu" ucapku tertawa.

Dia menggendong ku menuju meja makan.

"Loh, kok di balikin ke sini sih" keluhku sudah duduk di atas kursi.

"Bahaya!" jawab Rangga.

"Apanya yang bahaya?" tanyaku lagi

"Kamu!" jawab Rangga.

***

Ini pertama kalinya aku keluar rumah mengajak Rangga ke suatu tempat, tentu saja Rangga sangat excited menemani ku.

"Kita mau ke mana sayang?" tanya Rangga.

"Tempat aku di sekap"

Seketika wajah Rangga datar dan terdiam.

"Ngapain ke sana?"

"Pengen ketemu sama orang yang nolong aku"

"Siapa?"

"Nanti kamu juga tahu. Mukanya jangan datar gitu! Kayak mau makan orang" ujar ku melihat Rangga.

"Aku... takut kamu lost control lagi" Rangga sangat khawatir.

"Kan ada kamu di samping aku" jawabku mencoba meyakinkan Rangga.

Setibanya kami di parkiran tempat kejadian, aku mencari sepasang suami istri yang membantuku hari itu. Tidak terlihat tanda-tanda keberadaan mereka berdua di parkiran itu.

"Permisi" ucapku pada pejalan kaki yang melewati kami.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya pria berumur 30 tahun.

"Di mana pasangan lansia yang biasa membersihkan tempat parkir di sini?" tanyaku.

"Ohhh, nenek Rumi sama kakek Harto. Mereka tinggal di kompleks belakang apartemen ini. Mba lurus aja ikut jalan sini terus ada lorong kecil, mba masuk ikutin aja lorong itu, mereka tinggal di sudut kiri akhir lorong mba"

"Terimakasih ya" ucapku pada lelaki itu.

"kayaknya mobil gak bisa masuk" pikir Rangga.

"tinggalin aja mobilnya di sini" usulku

"Kamu yakin bisa jalan? Atau mau aku gendong?" tanya Rangga khawatir.

"bisa jalan, gak usah khawatir" balasku.

Dia meraih tanganku dan menempatkan nya di lengan sebagai tumpuan ku saat jalan nanti "kalau gak sanggup bilang, biar aku yang gendong" pesan Rangga memastikan lagi.

"iya, iya sayang"

Kami berjalan mengikuti arahan yang diberikan, banyak anak-anak berkeliaran juga para ibu rumah tangga yang berkumpul bersama sepanjang perjalan melewati lorong kecil.

"Permisi bu, mau tanya?"

"Tanya apa mas?"

"Rumahnya nenek Rumi mana ya?" tanya Rangga yang sudah berada di lokasi terakhir arahan lelaki tadi

"Itu rumahnya mas" kata ibu itu menunjuk sebuah gubuk yang tidak layak untuk ditinggali.

Mataku dan Rangga saling bertatapan, sepertinya pasangan lansia itu hidup terlantar.

"Kenapa cari nenek Rumi mas?" tanya ibu-ibu yang berkumpul.

"Istri saya ada perlu sama nenek Rumi" kata Rangga ramah pada ibu-ibu itu.

"Kenal nenek Rumi dari mana? Atau istrinya kerabat nenek Rumi?" tanya ibu-ibu itu kepo

"Iya, saya keluarga nya" jawabku pada ibu-ibu itu.

"Kenapa baru sekarang mengunjungi nenek Rumi, selama ini mereka sangat menderita tanpa sanak saudara yang menanyakan keadaan mereka. Atau mba anaknya ya!" kata Ibu-ibu itu spontan padaku.

"Kelihatan nya kalian orang kaya, mba malu punya orang tua miskin jadi di terlantarkan"

Semua bentuk keluhan yang mereka lontarkan tidak lain karena rasa iba pada pasangan itu.

"Tolong di jaga mulutnya mba. Istri saya tidak ada hubungan keluarga dengan nenek Rumi" kata Rangga memasang wajah dingin ketika mereka mengatai ku.

"Terus kenapa tadi bilang keluarga?"

"Itu karena..."

"Rangga! Biar aku aja yang jelasin" pintaku.

"Sebenarnya saya ingin bertemu nenek Rumi dan suaminya karena mau mengucapkan terimakasih karena sudah menolong saya seminggu yang lalu" jelas ku.

"Jadi... mba korban penculikan dan penyekapan di apartemen itu?"

Aku mengangguk menjawab pertanyaan mereka.

"Astagfirullah, kami minta maaf mba, sudah suudzon sama mba" kata mereka tulus.

"Iya, saya maafkan. Saya juga mengerti ibu-ibu sekalian melontarkan kalimat seperti itu karena kasih sayang kalian pada nenek Rumi dan kakek Harto" jawabku lembut.

"Mba pasti sangat tertekan ketempat ini"

"tidak apa-apa kok bu, ada suami saya yang menjaga saya" ucapku lembut.

"Kalau begitu, biar kami antar ke sana" tawar ibu-ibu itu.

"Tidak perlu repot bu, terimakasih sudah membantu" ujarku.

"Kami tulus membantu mba, anggap saja sebagai permohonan maaf dari kami" kata ibu-ibu yang berjumlah 5 orang itu.

Kami bertujuh pun menuju ke rumah gubuk yang sepi itu, sudah pasti aku jadi pusat perhatian karena langkah ku yang begitu lambat dan sedikit kaku.

"aku gendong ya, kamu udah gak kuat" kata Rangga menggenggam tanganku.

"Masih bisa kok" bisik ku malu melihat sikap Rangga sangat over.

"Di gendong aja mba, mukanya udah pucat gitu" kata ibu itu.

"Gak usah malu mba, di sini cuma ada kita" kata mereka.

"Saya baik-baik saja kok" jawabku ramah pada mereka.

Sekali lagi Rangga merasa kesal karena aku tidak menuruti perintahnya, aku yang paling tahu akan kondisi tubuhku jadi aku masih bisa bertahan.

Ketika kami berada di depan gubuk yang berukuran 4x4 terlihat nenek Rumi sedang merawat suaminya yang terbaring sakit di atas kasur lusuh penuh tambalan.

"Assalamualaikum" ucapku di depan pintu.

"Wa alaikum salam, masuk" jawab nenek Rumi dengan logat khasnya.

Tanpa merasa jijik ataupun kotor aku dan Rangga segera masuk dan ibu-ibu yang lain menunggu di luar.

"Nenek..."

Aku segera memeluknya erat. Meski dia tidak mengenal diriku dengan hangat dia membalas pelukan ku

"Kamu siapa nak?" tanya nenek Rumi.

"Saya anak yang nenek selamatkan di parkiran" ucapku.

"Alhamdulillah ya Allah, kamu selamat nak" kata nenek Rumi mengucap syukur.

"Terimakasih telah menolong istri saya" ucap Rangga melihat ku meneteskan air mata.

"Sudah tugas manusia saling tolong menolong" kata nenek Rumi.

"Kakek sakit apa?" tanyaku penasaran.

"Suami saya demam tinggi, sudah 3 hari saya menjaga dia" kata nenek Rumi mengganti kompres yang berada di kepala suaminya.

"Kenapa tidak ke rumah sakit nek?" tanyaku lembut

"saya tidak sanggup membayar biaya rumah sakit" kata nenek Rumi menyentuh tangan suaminya.

"Nenek sudah makan?" tanyaku

Nenek Rumi terdiam ketika aku menanyakan hal itu, mataku langsung mengarah pada ibu-ibu yang memerhatikan kami dari luar.

"Nenek Rumi selalu menolak pemberian kami, mereka tidak ingin menjadi beban bagi tetangganya" kata ibu itu

"Kita ke rumah sakit ya nek, bawa kakek berobat" usul Rangga.

"Tidak perlu nak, suami saya pasti tidak mau dan tidak ingin membebani"

"Kamu tunggu di sini, biar aku yang cari makanan untuk mereka" tutur Rangga keluar "tolong jaga istri saya bu" pesan Rangga pada mereka.

"Tenang saja, kami akan menjaga istri anda" jawab mereka.

Rangga segera mengeluarkan handphone miliknya dan menelfon dokter keluarga menuju ke sini.

Tak lama kemudian dokter kenalan Rangga datang bersama dengan beberapa pengawal membawa sebuah makanan juga sembako untuk pasangan lansia itu.

Awalnya nenek Rumi menolak tapi karena aku yang memaksa, dia menerima nya dengan tangan terbuka. Pemeriksaan pun telah dilakukan dan obat juga telah diberikan.

Sudah dua jam kami berada di sana menemani nenek dan mengobrol dengan mereka, para ibu-ibu yang menemani kembali ke rumah mereka masing-masing mengurus suami mereka yang baru pulang kerja.

"Nenek, kami izin undur diri" kata Rangga lembut.

"Ini ada sedikit hadiah untuk nenek dan kakek, mudah-mudahan berkah" ucapku mengeluarkan amplop dan memberikan nya pada nenek Rumi.

"Terimakasih sudah menolong kami" kata nenek Rumi.

"Justru saya yang berterima kasih nek. Kami pamit dulu. Wasalamualaikum"

"Wa alaikum salam" balas nenek Rumi.

hy guyss, sorry baru unggah episode baru. jangan lupa komentar, saran dan juga rating novel aku. byee

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience