Keesokan harinya, aku duduk bersama dengan mama, papa dan beberapa pelayanan di ruang keluarga.
Mama dan papa yang begitu extra hati-hati menjaga ku saat Rangga mempersiapkan hadiah untukku.
"Ma, kenapa Rangga sangat lama?" tanyaku yang dari tadi melihat pintu utama kediaman Aditya.
"Bentar ya sayang, biar mama telfon Rangga. Kamu jangan takut ya, papa akan jagain kamu" ujar mama segera mengambil telfon genggam nya.
"Pah, kak Hendra mana? Katanya mau jenguk aku?" tanyaku yang mulai cemas dan sedikit gugup.
"Bentar lagi datang kok, papa sama mama pasti jagain Ran" tutur papa mulai keringat dingin karena takut aku kumat lagi.
"Ran!!!"
Terdengar suara cempreng seorang wanita memanggilku.
Terlihat dari pintu utama orang-orang yang selama ini sangat mengkhawatirkan ku datang dengan senyuman lega di bibirnya.
Semua anak panti asuhan, Muti, mama, kak Hendra, Reza, dan kak Rizki datang membawa hadiah untukku.
"Mama..."
"Sayang, anakku..."
"Kak Ran, Muti kangen..."
Mama segera memelukku erat bersama dengan gadis nakal yang sangat aku rindukan.
"Ran... maafin gue... hiks hiks hiks... gak bisa jagain lo"
Vina menghampiri ku dengan perasaan bersalah, padahal dia yang berusaha menjaga ku saat kecelakaan itu.
Pelukan bertubi-tubi menimpa ku yang sudah tidak berdaya di kursi roda.
"Maaf, baru hari ini aku sama kak Rizki jenguk kamu" kata Reza tulus
"Makasih udah datang" jawabku dengan senang hati.
"Kak Ran... jangan nangis ya. Adit pasti jagain kak Ran yang lagi sakit" tutur anak kecil menghampiri ku.
"Kak Ran, luka nya pasti sakit" ujar seorang gadis cilik memerhatikan ku.
"Adit sama Carla gak takut sama kak Ran?" tanyaku di kondisi yang tidak normal ini.
"Gak takut" jawab mereka serentak.
"Bu Tina mana?" tanyaku mencari pengasuh dari kedua anak manis dihadapan ku.
"Kita di sini"
Bu Tina menghampiri sambil menggendong bayi laki-laki bersama dengan Rangga.
"Dia...
"Dia bayi yang waktu itu kita bicarakan" jawab bu Tina menghampiri ku.
"Nama nya siapa?" tanya Mama Rachel yang ikut penasaran pada bayi mungil itu.
"Nama nya dedek bayi tante" jawab Adit polos.
"Bukan Adit, tapi Rapunzel" tolak Carla yang ikut memberikan nama pada bayi itu.
"Aku ingin kamu yang memberikan bayi ini nama" pinta bu Tina berharap padaku.
"Gimana kalau Vino" kata Vina memberikan saran
"Gak boleh, nanti dia bakalan jadi pengikut lo, jadi playboy kelas kakap" kritik Reza dengan nada santai nya.
"Mmm, kalau Arjuna?" pikirku.
"sangat cocok sama bayi ini. Boleh saya gendong?" pinta Rangga bersemangat
Dengan senang hati bu Tina memberikan bayi itu pada Rangga yang masih sangat kaku menggendong nya.
"Bayi nya sangat lucu sayang" ujar Rangga.
oekkk
Ooeekkk
Ooeekkk
"Loh? Kok nangis?" tanya papa
"Gak suka kali sama kamu bayinya" sambung Reza.
"Sini, biar aku aja yang gendong" tutur ku menghampiri Rangga dan mengambil bayi lucu itu.
"Kamu masih lemah Ran" cegah kak Hendra memerhatikan ku.
"Aku bisa kok" jawab ku
"Hai sayang" ucapku lembut menyentuh pipi bayi itu.
"Bayinya senyum mah" lapor Muti pada ibuku.
"Kayaknya bayi ini suka sama kamu" pikir ibuku.
Tentu saja semua orang yang berada di ruangan itu hanya tertuju padaku dan bayi yang sedang ku gendong di atas kursi roda.
"Kalau gitu, kita punya bayi perempuan aja!. Aku gak suka bayi laki-laki" ekspresi Rangga sedang cemburu melihat ku.
"Memang nya kenapa kalau laki?" tanya Vina.
"Aku gak mau cinta aku di bagi sama lelaki manapun" singkat Rangga.
"Bussseettt dah! Anak sendiri aja di cemburuin" suara Vina mulai membahana.
"Cinta aku sama bayi kita nanti, itu beda sayang. Cinta aku sebagai istri dan cinta sebagai seorang ibu" jawab ku pada Rangga.
"Yang penting kan kamu cinta sama aku" singkat Rangga.
"Selamat siang" sapa seorang wanita berdiri di depan pintu utama kediaman kami.
"Jessica!" Vina langsung bereaksi tidak suka.
"Kamu kenapa di sini!" seru mama Rachel sedikit kesal.
"Jangan gitu mah" bentak Rangga menghampiri Jessica
"Mau jengukin Ran" jawab Jessica sopan sambil menggenggam sebuah buket mawar merah.
"Masuk Jes, makasih udah jengukin Ran" kata Rangga.
"Pergi!" ucapku tidak tahan melihatnya.
"Ran, jangan gitu" tutur Rangga lembut padaku.
Semakin Jessica mendekat nafasku semakin sesak melihat bunga mawar yang tidak ingin ku lihat.
"Ambil bayi nya dari Ran, cepat!" tegas kak Hendra yang peka pada kondisi ku.
Mama segera mengambil bayi itu dariku dan membawanya pergi.
Bunga mawar kini adalah sesuatu yang sangat aku tidak suka, karena bunga mawar adalah hal yang mengingatkan ku pada dekorasi juga wangi khas yang sangat menyesakkan.
"Kita ke taman belakang aja ya" ajak kak Hendra membantu menenangkan pikiran ku
"Tega kamu Rangga!" keluh ku meninggalkan mereka bersama dengan Kak Hendra juga Kak Rizki sementara yang lain diajak pergi oleh mama Rachel.
"Ran mau minum obat?" tanya kak Hendra menawarkan.
"Gak perlu kak, aku cuma haus aja" ucapku yang membuat kak Hendra meninggalkan kami berdua di sini.
"Ran, ada yang bisa aku lakukan untukmu?" tawar kak Rizki menyesuaikan tingginya dengan kursi roda ku.
Aku hanya diam tak bersuara
"Mukanya ditekuk begitu sih, mirip sama sincan kamu nya" ledek kak Rizki menatapku penuh makna.
"Aku ada hadiah buat kamu. Tapi jangan bilang orang ya" bisik kak Rizki agar tidak ada yang dengar.
Ketika salah satu tangan nya merogoh sebuah benda dari tas ransel milik nya.
"Ini kan...
"Kamu suka?"
"Suka banget!" jawabku.
"Aku bertanya pada Vina makanan kesukaan mu, dia bilang kalau kamu suka minuman manis yang dingin sama puding"
Ini pertama kalinya aku melihat makanan legend kesukaanku. Tentu saja aku tidak segan lagi untuk mengambilnya.
"Makasih ya, kak Rizki sama kayak kak Hendra. Selalu peka sama yang aku suka" puji ku sembari menyeruput Boba dan Pudding coklat kesukaan ku.
"Makan yang banyak ya, nanti aku beliin lagi kalau masih suka" tutur kak Rizki membelai lembut kepalaku seperti adik nya
"Ran, kamu udah bisa jalan?" tanya kak Rizki memperhatikan ku.
"Mmm, gak bisa" jawabku santai fokus pada puding di hadapan ku.
"Kenapa gak bisa?"
"Setiap malam, kaki aku mati rasa dan sakit kalau digerakin" jawabku.
"Ran, kamu bisa kok bersandar sama kakak kalau kamu gak punya tempat tujuan" lirihnya di hadapan ku.
"Makasih ya kak"
Sementara kak Hendra sedang memerhatikan kami dari kejauhan. Ketika aku melihatnya, dia hanya tersenyum dan pergi meninggalkan kami berdua di sini.
"Ran"
Panggil Rangga menghampiri kami berdua yang berada di taman dekat kolam.
"Kak Rizki, kita balik sama mama aja" pintaku tidak ingin melihat Rangga dan Jessica bersama.
"Kamu kenapa Ran, Jessica itu mau jenguk kamu. Kenapa kamu marah?" kata Rangga.
"Makin banyak orang yang berinteraksi dengan Ran, hanya akan membuat nya tersiksa Rangga" sahut kak Rizki
"Rangga... aku malu pada dunia, aku malu pada semua orang yang tahu masa kelam ku" pikir ku.
"Maafkan aku Ran, aku tidak bermaksud melukai mu" ucap Jessica lembut
"Ran..."
Dengan patuh kak Rizki membawaku masuk
Tep
"Biar aku saja yang mendorongnya" pinta Rangga menahan kursi roda yang saat ini berada di tangan kak Rizki.
"Gak perlu, nanti luka di tangan kamu makin parah" jawabku menatap dingin Rangga dan Jessica yang bersikap polos di depan Rangga.
"Tapi aku mau" kata Rangga tanpa basa basi mendorong kursi roda milikku. Tentu saja Jessica selalu mengekor pada Rangga ke manapun tujuannya.
"Dasar keras kepala" cerutu ku sepanjang jalan pada Rangga yang hanya tersenyum membawaku.
Saat tiba di ruang keluarga, aku melihat mereka berkumpul bermain dengan anak-anak panti yang sangat bahagia.
Saat itu juga mataku tertuju pada dokter Syifa yang datang mengunjungi ku.
"Dokter?"
"Saya datang untuk memastikan keadaan mu Ran"
"Jangan takut, aku ada di samping kamu" bisik Rangga melihat reaksi ku.
"Wah, sepertinya Rangga sangat teliti merawat lukamu. Bekas nya sudah mulai memudar" puji dokter Syifa melihat pergelangan tangan juga kaki ku.
Senyumku terlukis lebar mendengar hal baik itu.
"Kalau begitu, apa kamu siap untuk latihan selanjutnya?" tanya dokter Syifa membantu ku untuk berdiri.
"Tapi dokter...
"Biar Rangga yang akan menjagamu mu" tutur dokter Syifa menjauhkan kursi roda yang ku jadikan titik tumpuanku berdiri.
"Rangga" panggilku di jarak 3 meter di depan ku.
"Biarkan dia dulu, aku ingin melihat perkembangan kaki Ran" tahan dokter Syifa pada Rangga yang ingin mendekati ku.
"Ran, kamu pasti bisa"
Rangga menyemangati ku dari kejauhan bersama dengan orang-orang yang tegang melihat ku berlatih.
Saat mencoba melangkahkan kaki pertama kali, tubuhku bergetar hebat mengingat lelaki bajingan itu menyentuh kakiku.
"Aku gak bisa!"
"Sakit!"
Brukkk
"RAN!" suara semua orang memanggil ku.
"Aku... gak bisa" ucapku terbata-bata.
"Gak apa-apa, kaki aku milik kamu" kata Rangga memelukku khawatir.
"Sekali lagi!" tegas dokter Syifa.
"Tapi dokter...
"Sekali lagi, bukan tubuhmu yang bermasalah tapi pikiran dan hatimu yang menolak untuk berusaha Ran. Jangan takut, ada kami yang siap menjagamu setiap waktu" tutur dokter Syifa.
"Biarkan dia Rangga" perintah dokter Syifa pada Rangga yang kini memelukku.
Tatapan khawatir dari Rangga yang tidak tega ketika melihat ku tak berdaya di lantai. Tangan Rangga mulai melepaskan ku perlahan.
"Rangga! Tangan kamu!" teriak Jessica melihat tangan Rangga berdarah.
"Sepertinya secara tidak sadar tanganku terbentur saat membantu Ran" pikir Rangga tidak perduli.
"Obati lukamu" pintaku pada Rangga.
"Tapi aku ingin menjagamu di sini" tolak Rangga setia menemaniku.
"Aku... bisa" jawabku meski aku tidak yakin.
"Sini, biar aku saja yang obati" kata Jessica menawarkan diri.
"Biar aku saja, tidak perlu membantuku" jawab Rangga mengambil kotak P3K menuju ke sofa tak jauh dari ku.
Di mana ada Rangga tentu saja Jessica pasti mengikuti.
"Biar aku saja" paksa Jessica ingin membantu.
Mataku tajam ku ingin menusuk Jessica yang sedang membantu Rangga mengobati luka dengan tatapan yang hanya tertuju padaku.
"Sepertinya banyak wanita yang mengincar suami mu Ran" bisik dokter Syifa membangkitkan amarah ku.
"Kamu harus jadi wanita yang kuat, agar tidak ada yang berani mengambil hak mu. Tapi kondisimu yang seperti ini hanya akan membuka jembatan bagi mereka yang mengincar hak yang sama denganmu. Jadilah kuat Ran"
Kata-kata intimidasi itu masuk tepat di hatiku yang sudah membara melihat mereka bersama.
Rangga hanya terkekeh melihat wajahku yang membara terbakar api cemburu.
Tanpa sadar aku berdiri tegak dan berjalan perlahan meski masih sangat lambat dan gemetar.
Dokter Syifa tersenyum melihat semangat ku yang berusaha kuat demi Rangga
"Ternyata obat ini cukup ampuh" gumam dokter Syifa merasa lega.
"Sepertinya latihan hari ini sudah cukup, di latihan berikutnya Rangga yang akan membantumu" tutur dokter Syifa beranjak pergi meninggalkan kami.
"Kak Ran hebat!" puji Adit dan Carla yang menghampiriku tanpa rasa takut pada kondisiku saat ini.
"Adit bantuin kak Ran ke kursi roda ya"
"Carla juga pengen bantu"
Kedua anak aktif itu sangat bersemangat membantuku meski kekuatan mereka tidak mampu memindahkan ku. Tapi demi membuat mereka bangga bisa membantuku, aku harus berusaha meski kaki ku sudah tidak sanggup lagi melangkah.
"Carla, Adit, Muti boleh ikutan bantuin kak Ran, boleh gak?" bujuk Muti melihat ku memaksakan diri.
"Boleh" jawab mereka setuju.
Aku yang terlalu memojokkan diriku sendiri karena derita yang ku alami, tanpa sadar banyak tangan yang siap untuk merangkul juga memberikan cinta untuk ku.
Mungkin saja dunia ku akan berubah hitam kalau mereka tidak di sini bersama ku.
Terimakasih untuk semua cinta tulus yang ku terima sepanjang hidupku.
Don't forget to follow, comment and Vote 5 stars. love you guys
Share this novel