50 Mission possible

Romance Series 8479

Bertumpu mencoba untuk bertahan dengan keadaan semakin riuh. Tangisan berderai bersama air hujan di sekelilingnya. Tiada tanda-tanda dia akan berpijak dari tempatnya. Padahal para orang-orang telah berlalu pergi seminggu yang lalu setelah mengucapkan kalimat perpisahan pada nisan yang kini menjadi sandaran tubuh Fiona.

Dia selalu berada di pemakaman itu berhari-hari, menghabiskan waktunya untuk mengobrol dan mengikhlaskan kepergian sang ayah

"Ayah. Aku telah memaafkan mu"

Meskipun tiada kata perpisahan ataupun petunjuk mengenai keluarga asli Fiona, tetap saja dia masih sangat menyayangi seseorang yang selalu memberikan kebahagiaan di hidupnya.

"Aku pasti akan menjaga mama dan Natalia. Aku akan selalu melindungi orang-orang yang kamu cintai"

Perlahan kaki yang terlihat lelah itu melangkah meninggalkan pemakaman. Hujan telah reda, tapi tidak dengan tangisannya.
"Ana! Apa yang kamu lakukan di sini? Kita harus segera kembali" ucap Pandu saat menemukan Fiona di perjalanan pulang dengan jarak yang jauh.

Sebuah jas hitam menyelimuti tubuh Fiona yang basah. Dia terlihat sangat lesu dan lebih banyak diam.

tepat saat dirinya tiba di rumah, Natalia dan ibunya sudah menancapkan tatapan tajam terhadap dirinya. Seorang lelaki tua duduk di hadapan mereka dengan tenang. Lelaki tua itu adalah penegak hukum kepercayaan ayahnya.

Fiona segera mengambil posisi duduk bersama ibunya. "Saya datang ke sini untuk menyampaikan wasiat terakhir Tuan Nugroho"

Lelaki tua itu mengeluarkan sebuah surat wasiat yang berisikan tulisan tangan sang ayah bersama dengan legalitas surat kekuasaan kepemilikan saham dan seluruh asetnya.

Lelaki tua itu membacakan surat wasiat dengan suara yang lantang. Semua harta dan aset seluruhnya diberikan kepada Fiona.

"Ini surat khusus untuk anda di waktu terakhirnya"

Fiona membukanya dan membaca surat miliknya.

"Fiona... anakku. Hanya ini yang bisa ayah lakukan demi menebus semua kesalahan ku. Jangan salahkan siapapun mengenai kematianku. Ayah tahu kamu adalah anak yang bijaksana dan bertanggung jawab. Maafkan adik dan ibumu, ini semua salah ayah karena tidak bisa mendidik mereka dengan baik. Ayah serahkan semuanya kepada dirimu. Tetaplah menjadi anak yang hebat dan kuat. Semua harta yang ayah berikan kini sudah tidak ada lagi kaitannya dengan siapapun dan tidak ada yang bisa mengambilnya selain dirimu. Baik dulu ataupun sekarang, ayah selalu mendukung semua keputusan mu"

Dia terdiam sejenak, pikiran nya tidak lagi bersamanya. Rasa bersalah kini menyelimuti hatinya.

Jauh di dalam lubuk hati Fiona, dia juga mengharapkan seseorang yang selalu menjadi bahu untuk bersandar, tapi dia sadar dengan kata-kata nya yang sangat melukai lelaki itu.

Sudah pasti tidak ada kesempatan lagi bagi dirinya untuk kembali mengatakan maaf. Dia sendiri yang telah memutuskan hubungan dengan kasar.

Rasa itu semakin dalam, bahkan langkah kakinya kini mengikuti pikirannya. Tubuh Fiona gemetar saat kakinya melangkah masuk di kediaman Alexander. Sama saja dia mengantarkan nyawanya sendiri demi sebuah kata maaf.

Dia percaya masih ada kesempatan kedua untuk mengungkapkan perasaan yang sesungguhnya. Berharap akan kedatangan Jordan tapi yang menyambutnya seorang lelaki kaku dengan tubuhnya yang tegap di kegelapan malam.

"Tuan tidak ada di sini dokter Fiona"

"Aku tahu dia pasti di sana Hendry, kumohon... izinkan aku masuk ke dalam"

"Maaf dokter"

Tubuh Fiona tetap memaksa masuk, tapi satu genggaman Hendry sudah mampu menahannya. "Aku ingin bicara dengan Jordan. Kumohon"

Hendry tidak tega melihat air mata yang sudah memerah kelelahan, tapi perintah adalah nyawa bagi dirinya.

"Apa tidak ada lagi kesempatan untuk ku!?"

"baiklah. Maafkan aku Jordan! Ini adalah yang terakhir. Sekali lagi maaf"

Suara Fiona menggema, tapi tidak ada respon yang di dapatkan. Sebelum pergi dia menyelipkan sepucuk surat putih di tangan Hendry.

"Berikan pada dia. Terimakasih atas segalanya"

Dia berjalan sempoyongan, kakinya dipenuhi luka goresan tanpa alas kaki. Ternyata sesakit ini rasanya saat cinta tak terbalaskan, justru menambah luka yang semakin sesak menarik nafasnya.

Dia benar-benar harus kembali ke tempat tinggalnya yang dulu. Tidak ada lagi alasan dia harus bertahan di kota ini. Meskipun pahit kini dia adalah pewaris tunggal semua peninggalan ayahnya.

Rasa lelah yang belum terbayarkan beberapa hari terakhir semakin membuat tubuhnya melemah. Dia semakin kurus dan berantakan. Begitu banyak tekanan yang sebenarnya tidak mampu untuk dia pikul, karena tempat nya bersandar telah hilang selamanya.

Plak!!

Tamparan keras menyambut Fiona ketika pintunya terbuka lebar. Sang adik sudah menunggu kedatangannya. Selalu saja tatapan mata itu membuatnya tidak berdaya, apalagi untuk membela diri.

"Dari mana saja kamu? Apa kamu tahu sudah berapa lama kami menunggu?"

Fiona tidak mampu lagi menjawab pertanyaan itu, dia melintasi keduanya dengan tatapan kosong.

"Fiona!"

Gedubrak!!

Dia didorong sampai kepalanya terbentur keras di sudut meja kaca sampai membuat nya kehilangan kesadaran.

"Bagaimana ini! Apa dia sudah mati?" Tanya Tamara cemas melihat kondisi Fiona saat darah segar mengalir dari kepalanya.

Kepalanya terbentur sampai meja kaca itu pecah dan berhamburan disekelilingnya.

"Sepertinya dia hanya terkena pecahan nya saja" ucap Natalia melihat kondisi Fiona dari dekat.

Natalia tersenyum, "jangan khawatir mah, kalau dia mati semua warisan itu akan berada di genggaman kita"

Kedua wanita itu sudah benar-benar gila. Bahkan kondisi Fiona tidak lagi dipedulikan. "Dia pasti akan sadar dalam beberapa waktu, kita harus segera membawa nya" ucap sang ibu memberikan saran

"Tenang saja mama, bawahanku dalam perjalanan ke sini" ucap Natalia saat memindahkan Fiona di kamarnya.

"Maksud kamu?"

"Aku sudah menyiapkan mobil dan akan membuangnya ke jurang. Anggap saja ini kecelakaan tunggal karena kondisi Fiona yang mengonsumsi alkohol saat mengendarai mobil nya"

Rencana itu langsung diterima sang ibu dengan meriah "lalu luka di kepalanya? Pendarahannya cukup banyak Natalia"

"Mama tenang saja, semakin banyak darah yang keluar maka semakin berkurang kesadaran Fiona"

Dalam kesadaran samar-samar Fiona masih mampu membuka matanya, bahkan dia mendengarkan percakapan ibu dan adiknya mengenai rencana pembunuhan.

Niatnya ingin memberikan semua harta itu kepada adik dan ibunya tapi mereka lebih memilih jalan yang salah untuk mendapatkan nya.

Dia pasrah, dia menerima, dia sudah tidak sanggup lagi mendapatkan penderitaan ini. Mungkin dengan kematian nya, kedua wanita itu akan bahagia dengan kehidupan mereka.Tiada rasa iba, mereka sungguh tega tanpa rasa bersalah.

Sepertinya ini adalah waktu terbaik untuk melepaskan semuanya. Meskipun sakit tapi ini adalah perjalanan terakhir menuju akhir.

Kedua lelaki sudah datang menghampiri Natalia. Dengan senyuman wanita itu memberikan amplop tebal yang berikan dollar sangat banyak.

"Sudah tahu dengan tugas kalian?"

Keduanya mengangguk dengan patuh, mereka langsung menyelimuti tubuh Fiona agar tidak ada yang melihat.

Tubuh Fiona dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Sementara kedua lelaki berotot itu membawa pergi mobil Fiona.

Dia hanya bisa menangis menunggu waktu. Jalan yang semakin jauh, Fiona semakin kehilangan kesadaran nya.

Setibanya di sebuah jalan perbukitan dengan jurang bebatuan yang terjal mereka berhenti. Kedua lelaki itu membuka bagasi lalu memindahkan Fiona ke kursi kemudi.

Kini Fiona yang menjadi saksi bisu akan kematiannya. Dia sempat bertatapan dengan kedua lelaki yang kini sedang memakaikan
sabuk pengaman.

Melihat tatapan Fiona, mereka sedikit tersentuh, tapi beberapa menit kemudian saat semuanya sudah siap. Kini mobil itu diluncurkan ke jurang.

"Kasihan sekali nona itu"

"Pertama kalinya aku melihat seseorang sangat pasrah dengan kematian nya"

"Kuakui dia sangat cantik, matanya sangat cerah seperti cahaya pegunungan di pagi hari"

"Tega sekali nona membunuh kakaknya dengan sadis"

"Sudah lah, bukan urusan kita. Selesaikan tugas kita"

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience