03 Pria Misterius

Romance Series 7177

Setelah operasi selesai, dia langsung menuju ke UGD karena malam ini adalah shift nya. Sungguh wanita ini kelelahan tapi dia sangat menyukai pekerjaannya. “dokter! Ada pasien sedang menuju kemari” kata sang suster ketika Fiona baru saja tiba setelah operasi

“dokter Rina ke mana?” tanyanya memakai jubah kebesarannya

“dia sedang menangani pasien luka bakar yang baru saja tiba dokter” jawab suster menyiapkan peralatan yang di butuh kan.

“apa keluhan pasien?” tanya Fiona menunggu di pintu utama UGD yang sudah siap menjemput.

“pasien mengeluh nyeri di perut, mual dan muntah dan diare terus menerus. Kerabatnya juga mengatakan kalau pasien sedang demam” jawab suster dengan yakin.

“ke radiologi sekarang juga, pasien akan segera melakukan CT-Scan dan siapkan ruang operasi bagi pasien” perintah Fiona langsung dilaksanakan oleh suster.

Beberapa menit kemudian, pasien tiba dan langsung di pindahkan di brankar ruang gawat darurat. Fiona memastikan setiap gejala yang di jelaskan oleh sang suster, sepertinya diagnosisnya tepat. “apa pasien sering mengonsumsi alkohol?” tanyanya mengambil sampel darah pasien dari lengannya

“tidak dokter, mengonsumsi alkohol itu tidak baik” jawab seorang gadis yang menemani kakaknya di rumah sakit. Gadis itu menangis sesenggukan sambil melihat kakaknya yang sedang menahan sakit. Ia menyuntikkan anti biotik dan pereda nyeri di selang infus yang sudah terpasang di bantu oleh suster “lakukan pemeriksaan” Fiona menyerahkan sampel darah untuk di periksa pada suster.

Fiona menunduk menyetarakan tubuhnya dengan gadis itu “mama papa mana?” tanya Fiona lembut
“saya tinggal berdua dengan kakak” jawabnya. Fiona sedikit kaget mendengarnya “kamu sudah makan?” tanya Fiona melihat wajah gadis itu pucat pasi dengan penampilan yang kumuh berantakan

Gadis itu menggeleng “saya dan kakak belum makan dari kemarin” jawabnya. Ia membawa gadis kecil itu menuju ke ruangannya

Deg

Ia mengambil handphone genggamnya menelefon seseorang yang dia butuh kan “bisa bawakan makanan ke ruanganku?” tanya Fiona pada seseorang dalam panggilannya.

“saya ke sana sekarang” jawab seorang lelaki dengan nada datar namun Fiona biasa saja.

Tok tok, bunyi pintu di ketuk dari luar. Anisa datang terburu-buru karena perintah dari sahabatnya “kamu kenapa? Ada yang bisa di bantu?” tanyanya to the point

“tolong bantu urus berkas pasien bernama Haikal” pintanya pada Anisa mengurusi segala kebutuhan pasien yang baru saja dia tangani.

“lagi? Kali ini pasien mana lagi yang kamu bantu?” tanya sahabatnya memutar matanya malas. Tapi dia tetap menuruti kemauan sahabatnya.

“usus buntu pasien sudah pecah dan infeksinya sudah menyebar” kata Fiona menatap sendu gadis kecil yang sedang meminum susu kotak pemberiannya.

Tak, tanpa permisi seseorang masuk dengan wajah dinginnya. Pandu yang membawa makanan berat dalam sebuah paper bag di tangannya. Tatapan itu membuat Fiona kebingungan “mengapa kamu tidak memberitahu ku mengenai pertunangan ini Ana?” kalimat itu membuat kedua wanita yang berada di dalam terdiam dalam keheningan.

“em, kalau begitu saya pergi dulu” pamit Anisa membawa anak kecil itu pergi bersamanya “kita pergi yuk dik” ajak Anisa mengambil paper bag yang berada di atas meja tamu laku segera menutup pintu meninggalkan keduanya.

“aku... tidak pantas untuk mu Pandu” lirihnya terbata-bata.

“memangnya siapa yang menentukan kamu pantas atau tidaknya dengan aku? Aku tidak peduli dengan semua itu” ucap Pandu menaikkan ritme suaranya. Mendekatkan diri nya menyudutkan Fiona di sudut ruangan itu.

“tapi aku peduli!” jawabnya kini berani menatap mata pandu yang sangat marah, tapi itu semua hanya dalih untuk membuat laki-laki di depannya ini percaya

“aku bukan siapa-siapa tanpa mereka pandu. Aku harus ikhlas menerima semuanya”

“bagaimana dengan perasaanku!? Apa kamu akan merelakan cinta kita? Perjuangan kita selama ini?”

“...”.

“kamu anggap apa perasaanku selama ini? Apa hubungan kita ini seperti tali yang bisa di putuskan begitu saja? Di mana hatimu Ana!” kali ini Pandu benar-benar murka. Dia sangat bingung dengan wanita yang menahan air matanya

“jawabanku masih sama Pandu. Kita akhiri hubungan ini dan terima adikku yang tulus mencintaimu” ucap Fiona bahkan tidak berani menatap pria di hadapannya

“apa cintamu tidak tulus padaku?” Pandu memutarbalikkan keadaan. Kenapa wanitanya ini berubah dalam waktu singkat. Sebenarnya sakit, tapi ini semua demi rasa cinta terhadap keluarganya yang tidak pernah terbalaskan

“anggaplah seperti itu perasaanku padamu. Benci aku sebanyak yang kamu mau. Dengan begitu perasaan ini akan hilang” ucap Fiona dengan serius menatap Pandu di hadapannya.

“baiklah jika itu maumu Fiona. Jangan menyesal dengan keputusanmu” ucap Pandu berlalu pergi tanpa basa basi.

Lagi-lagi Fiona sangat terpukul menerima kenyataan ini. Dia terduduk lemas tak berdaya “hiks hiks...aku kehilangan hidupku...hiks hiks aku kehilanganmu” tangisan itu bergema, tidak peduli seperti apa reaksi orang-orang terhadapnya. “hiks hiks...maafkan aku Pandu...maafkan aku”

30 menit berlalu, Fiona menuju ke ruang operasi pasien terakhirnya hari ini. Meski sakit, semuanya harus berjalan semestinya. Waktu menunjukkan pukul dua malam dini hari, dia kembali ke apartemen miliknya, memarkirkan mobilnya di parkiran basement apartemen dan berjalan menuju lift

Tep “mpphhh” seseorang membekap mulutnya dari belakang. Lelaki itu membawanya ke sudut ruangan sempit diantara batas tembok. Suara langkah kaki berlarian mengelilingi mereka berdua, untung saja keduanya tidak ditemukan. Fiona diam tak berkutik mengikuti perintah karena kini pisau berada di lehernya.

“mata biru?” batin Fiona memindai seseorang yang tampak di depannya. Keduanya saling bertatap dalam kegelapan malam.

Dia diam seperti patung, bukannya takut tapi dia menatap kosong lelaki di hadapannya. Beberapa menit kemudian, tidak ada lagi suara langkah kaki hingga akhirnya lelaki itu bernafas lega tanpa melepaskan pisau yang menempel di kulit Fiona hingga menimbulkan goresan luka.

Lelaki itu menatap Fiona yang tidak ketakutan sama sekali, “kenapa tidak langsung menebasku? Apa kamu takut?” tanya Fiona tidak memiliki semangat hidup. Mata Fiona menatap tajam penuh pertanyaan

Mata tajam itu melihat tubuh mungil yang berada dalam pengurungan nya“aku tidak tertarik dengan wanita lemah sepertimu. Ugh!” ucap lelaki itu meringis kesakitan. Fiona langsung menengok ke bawah, darah bercucuran hingga membasahi kemeja putih lelaki yang penuh dengan luka di sekujur tubuhnya. Tanpa berpikir panjang, Ia langsung membawa lelaki itu ke apartemennya.

Fiona segera mengambil peralatan medisnya lalu menuju ke kamar di mana lelaki yang sudah duduk bersandar lemah di kasurnya. Ia mengambil gunting melepaskan sisa kemeja yang menempel di tubuhnya. “apa yang kamu lakukan?” tanya lelaki itu menahan tangan Fiona.

“melakukan hal yang kamu lakukan padaku tadi” jawabnya membuat lelaki itu melepaskan genggamannya. “rupanya kamu ugh! Wanita pendendam ya” ucapnya dengan kekehan

“biarkan aku melakukan tugasku” tutur Fiona sangat lincah memakai gunting

“kamu seorang dokter?” tanya lelaki itu. Fiona hanya diam memeriksa luka di tubuhnya. Ada dua tembakan yang berada di bagian perut kiri dan lengan, untung saja peluru itu tidak terlalu dalam.

Dengan profesional Fiona mengambil alkohol, menaruhnya di kapas dan mengolesinya di sekeliling luka tembakan, lelaki itu meringis tapi dia tidak peduli sama sekali. Menyuntikkan anestesi di area tembakan. Ia mulai mengeluarkan peluru itu dengan hati-hati dan serius.

Dalam hatinya menggerutu “kenapa aku membawa lelaki misterius ini ke rumahku” gumamnya dalam hati.

Lelaki itu menatapnya tanpa dia sadari, “siapa namamu?” tanya pria itu penasaran. “Fiona Anastasya” jawabnya datar, ia kembali fokus mengobati luka itu. Setelah satu peluru di keluarkan, dia pindah ke bagian lengan. Cepat bukan? “dia bukan wanita biasa” gumam lelaki itu merasa takjub akan keahlian Fiona.

“aku Jordan” ucapnya berbisik di telinga Fiona sembari tersenyum menatapnya

Fiona menghela nafas “apa Anda tidak pusing sudah kehilangan banyak darah?” tanyanya menatap datar lelaki di hadapannya. Lelaki itu diam seperti habis di marahi, baru kali ini ada yang berani menatapnya seperti itu. Tidak ada yang berani menatap matanya yang tajam seperti seekor elang pada mangsanya, dan berkah bagi para wanita yang menginginkannya. Tapi wanita di depannya ini berbeda, seakan kehadirannya di sini adalah beban, wanita yang memasang ekspresi tidak senang dan selalu menghela nafas panjangnya karena pasien ini tidak berhenti mengajaknya berbicara.

Dalam sekejap, kedua luka itu sudah di perban. “ini” kata Jordan mengangkat rambutnya yang menutupi dahinya. Lukanya tidak begitu besar sehingga tidak butuh jahitan. Fiona menuju ke dapur mengambil air hangat dan menaruhnya di mangkuk bersama dengan handuk putih berukuran kecil. Kembali ke kamar menaruh mangkuk berukuran besar di atas nakas samping kasur. Ia memasangkan bando di kepala pria itu agar rambutnya tidak mengenai wajahnya. Kemudian dia membasahi handuk itu kemudian meremasnya.

Dengan telaten Fiona membasuh wajah lelaki yang diam menuruti perintah darinya. Jordan teringat kejadian tadi saat dia menodong pisau ke arah wanita yang sedang membersihkan tubuhnya dengan hati-hati. “lehermu...” lirih Jordan. “bukan urusanmu” Fiona menepis tangan yang ingin menyentuh goresan pisau yang juga berdarah.

Ia baru menyadari kalau tubuh pria ini sanggatlah menawan, bekas-bekas luka dan balok-balok otot yang tersusun indah bagaikan sebuah karya seni yang enak di pandang, apalagi dia sangat besar dan tinggi sampai Fiona kelelahan membawanya. Astaga! Dia harus membuang jauh-jauh pikiran itu. Setelah semuanya selesai di kemasi. Ia membantu Jordan mengubah posisi duduknya menjadi baring.

“lalu kamu akan tidur di mana?” tanya Jordan memerhatikan wanita cantik yang sedang membentangkan selimut menutupi tubuhnya. “jangan pikirkan aku, lekas sembuh dan jangan pernah ke sini lagi” ucap Fiona menaruh bantal di lengan Jordan yang terkena peluru agar tidak terjadi kerusakan otot.

Apartemen yang hanya memiliki satu kamar yang menyatu dengan kamar mandi dan ruang tamu yang bersebelahan dengan dapur, sungguh sangat sederhana. Beberapa menit setelahnya, lelaki itu tidur karena efek dari obat yang di berikan oleh Fiona. Pukul empat dini hari, dia masih termenung dengan lamunannya terbaring di atas sofa menatap langit-langit pelafon rumah. Matanya tidak bisa tertutup, begitu banyak beban di pundaknya. Lelah, gelisah yang tidak bisa hilang hanya dengan menutup mata.

“ugh!”

“hah..hah..”

Lelaki yang terkulai di atas kasur itu terlihat pucat dan berkeringat, panas di sekujur tubuhnya membuat Fiona punya kegiatan untuk mengalihkan pikirannya sementara waktu.

“jangan pergi” ucapnya menahan Fiona pergi. Dia merasa iba hingga akhirnya dia memilih untuk menemani di sampingnya. Memberikan pil dan merawatnya dengan telaten. Hingga akhirnya Fiona tertidur di sampingnya sampai pagi. Beban bukan, tapi dia sudah berjanji dengan kewajibannya.

Cantik.

Gumam seseorang melihat paras yang sangat memukau meski tanpa riasan yang menutupinya.

Mata yang tertutup rapat itu tepat berhadapan dengan dirinya. Sejenak menikmati pemandangan aneh tapi juga tidak bisa dia lewatkan begitu saja, baru kali ini dia melihat wanita yang sangat cantik dengan postur tubuh yang baginya itu sangat mungil.

"Apa memang kulit wanita seperti ini" gumam Jordan menyentuh pipi yang sangat putih dan mulus seperti kapas, bahkan urat-urat kecil yang terlihat jelas di mata Jordan.

"Seperti salju" gumamnya lagi tidak henti menyentuh beberapa sudut wajah Fiona yang masih tertidur pulas

Utangnya semakin banyak pada perempuan ini. Entah mengapa matanya tidak bisa pindah ke arah lain. Justru perasaan yang seolah menggelitik dengan berbagai kebingungan.

“kamu gadis yang sangat pemberani” gumamnya lagi mengingat kejadian semalam ketika sebuah pisau mendarat di lehernya. Ketika mengingat hal itu, dia mencoba mendekati memeriksa luka yang dia buat semalam, goresan pisau sampai membuat gadis itu berdarah. Tangan itu dengan sadar memeriksa hal yang membuatnya khawatir.

“syukurlah baik-baik saja” ucapnya memastikan. Luka itu sudah diperban dengan baik. “ugh” merasakan sebuah tangan menempel di pipinya. Mata Fiona terbuka lebar

Tak!

“berani-beraninya kamu!” ucap Fiona menepis tangan itu dengan refleks. mata Fiona membulat marah

“maaf, aku hanya ingin memastikan lukamu” ucapnya dengan terbata-bata. Dia juga kaget Fiona tiba-tiba terbangun dan langsung memelototinya.

“jangan khawatirkan aku. Fokus saja pada pemulihanmu dan segera pergi dari sini!” ucap Fiona sinis. Perempuan itu dari semalam sangat dingin dan ketus padanya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience